Belajar Ilmu Parenting Langsung dari Syeh Salim, Hafidz Muda dari Gaza yang Datang Langsung ke Indonesia

Wednesday, May 29, 2019

Belajar Ilmu Parenting Langsung dari Syeh Salim, Hafidz Muda dari Gaza yang Datang Langsung ke Indonesia
Photo by Kelli McClintock on Unsplash


Seperti tahun sebelumnya, majelis taklim atau tempat kajian yang sudah saya ikuti sejak 2009 silam, kembali kedatangan tamu istimewa saat penutupan sebelum lebaran. Tanggal 22 Mei kemarin adalah hari terakhir saya mengikuti kajian sebelum akhirnya libur. Tapi, ada yang membuat kajian terakhir itu menjadi sangat spesial. Bukan karena setelahnya saya bisa segera mudik, melainkan ada tamu spesial dari Palestina. Beliau adalah syeh Salim.


Berbeda dari tahun sebelumnya, syeh yang dulu datang cenderung pemalu. Bisa jadi karena beliau masih remaja, yakni berusia 20an lebih sedikit. Sedangkan yang datang tahun ini kalau tidak salah usianya sudah 30an. Di atas saya satu tahun saja. Bukan hanya hafidz, beliau juga sudah menempuh pendidikan S3, lho. Wah, bikin takjub, Masya Allah.


Biasanya, syeh yang datang dari Palestina lebih banyak bercerita tentang kondisi di sana. Bagaimana kejamnya Israel, bagaimana kondisi mereka dan keluarga. Saya membayangkan, tahun ini pun tak akan jauh berbeda. Sebab mereka tinggal di tempat yang sama, ‘kan?


Siapa sangka jika syeh Salim justru bicara soal parenting. Awalnya beliau merasa senang melihat anak asuh pesantren tahfidz yatim dan dhuafa yang dikelola oleh majelis taklim kami ikut hadir di sana. Bahkan ada seorang santri sudah menamatkan hapalannya hingga 30 juz. Selain itu, beliau juga senang saat mendengar kami belajar bahasa Arab setiap minggu demi mendalami Alquran.


Dari sana bisa jadi beliau akhirnya bicara soal parenting. Tentang kita yang sangat sibuk dengan urusan dunia. Yang sangat jarang sempatnya untuk mengurusi pendidikan anak-anak, misalnya mengajari mereka menghapal Alquran. Kata beliau, manusia sibuk itu adalah hal wajar. Kita sibuk nyuci baju, setrika, masak, dan sibuk dengan pekerjaan lain adalah hal lumrah, kok. Tapi, sebisa mungkin kita maksimalkan waktu antara Magrib ke Isya’ untuk membantu mereka menghapalkan Alquran.


Tahapan Mendidik Anak-anak Hingga Dewasa


Kalau kita membaca artikel parenting pasti sudah biasa, ‘kan? Hmm, tapi, kalau yang membahas langsung seorang Hafidz dari Gaza, kayaknya ini ‘beda’ dan menarik sekali. Meski apa yang disampaikan pernah juga saya pelajari di beberapa artikel parenting, tapi, ada poin lebih yang tidak bisa kita dapatkan kecuali dari apa yang beliau sampaikan kemarin.


Mendidik anak-anak soal agama tidak harus dimulai sejak mereka mengerti (seperti usia sekolah). Justru mulailah sejak dini. Meskipun mereka masih kecil (usia balita), tapi jangan remehkan hal itu. Tanamkan ilmu agama dengan mengenalkan kalimat tauhid. Walaupun mereka belum bisa bicara, belum dapat menirukan apa yang kita ucapkan, tetapi hal itu tidak akan sia-sia, lho.


Lalu, tahapan apa yang perlu kita lakukan saat mendidik anak-anak dari usia 0-21 tahun?

1. Usia 0-7 Tahun, Ajari Mereka dengan Kasih Sayang


Sebelum usia 8 tahun adalah masa emas bagi pertumbuhan anak kita. Maksimalkan usia 0-7 tahun dengan mengenalkan mereka pada pendidikan agama. Mulailah dari mengajari mereka hal-hal sederhana seperti membaca basmalah hingga shalat.


Usia 0-7 tahun tidak perlu dipaksakan. Biarkan berjalan alami dan menyenangkan. Kamu pasti paham, meskipun kita ingin anak-anak mengerti ilmu agama bahkan hingga menghapal Alquran, tetapi jangan sekali-kali rebut waktu bermain mereka. Ya, mereka tetap harus bermain seperti anak-anak lainnya. Itu sesuatu yang wajar dan pastinya dibutuhkan juga.


Kalau saya pribadi, mengajarkan Alquran bukan dipaksa belajar membaca huruf hijaiyah, melainkan lebih banyak memperdengarkan murattal Alquran dan diulang-ulang. Anak usia dini memang tajam sekali ingatannya. Mereka bahkan bisa menirukan kebiasaan kita tanpa perlu dilatih sebelumnya, cukup dengan melihat saja. Karena itu, penting bagi kita untuk berhati-hati dalam bersikap. Jangan sampai salah memberikan contoh pada mereka.

2. Usia 7-14 tahun, Ajak Mereka dan Beri Hukuman Ringan Jika Melanggar


Kalau mereka tidak mau shalat padahal mereka sudah paham bahwa shalat itu wajib, nggak masalah memberikan hukuman bagi mereka. Yang pasti hukuman itu bersifat ringan dan tidak menyiksa.


Tapi, jika sejak awal kita sudah membantu mereka melakukan semuanya dengan baik dan menyenangkan, Insya Allah ke depannya pun nggak akan susah buat mereka menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Iya, ‘kan?


Kalau kita terlalu keras pada anak-anak, sudah bisa dipastikan mereka melakukan apa yang disuruh hanya karena takut dan takut. Jika tidak ada orang tua, mereka dengan santai melanggarnya. So, jangan jadi musuh bagi anak-anak. Jadilah teman dan pendengar yang baik.

3. Usia 14-21 Tahun, Berdiskusi dan Jadilah Teman Mereka


Jika kita menemukan teman yang tepat, pasti mau curhat pun nggak akan sungkan, ya? Semua beban bisa dikeluarkan tanpa aling-aling. Nah, maka seperti itulah kita seharusnya memosisikan diri saat anak-anak berusia 14-21 tahun.


Syeh Salim menitikberatkan pendidikan agama dan mengajari mereka menghapal Alquran sejak dini. Kenapa kita harus mengajari mereka menghapalkan Alquran? Sebab banyak sekali keistimewaan yang didapat.


Suatu saat, Alquran itulah yang akan menuntun mereka menjadi anak yang shaleh dan taat. Alquran itu pula yang akan menyelamatkan dunia dan akhirat mereka. Alquran itu juga yang kelak bisa memberikan syafaat kepada penghapalnya dan orang-orang terdekatnya (seperti orang tua).


Syeh Salim sempat bercerita, ada orang tua yang telah meninggal. Kemudian Allah naikkan derajatnya. Orang tua tersebut kaget, amalan apa yang membuatnya seperti itu? Ternyata itu berkat anaknya yang shaleh dan penghapal Alquran. Derajat orang tuanya naik lagi dan lagi. Masya Allah.


Kalau dipikir, kita di dunia hanya sebentar. Kematian itu pasti adanya. Tidak bisa dipilih apalagi ditunda. Semua akan menemui kematian. Tapi, selama hidup, kita diberikan banyak pilihan. Mau ngapain aja di dunia? Sekadar bersenang-senang atau berpeluh-peluh menjadikan anak-anak kita shaleh dan sekaligus menjadi penghapal Alquran? Pilihan itu ada di tangan kita.


Buat menghapalkan Alquran pastilah bukan hal yang mudah terlebih kalau di rumah saya, saya dan suami bukan seorang hafidz dan hafidzah. Saya pribadi memang tidak mendaftarkan si sulung untuk ngaji di TPQ. Selain jarak yang lumayan dengan kondisi saya yang tidak bisa mengendarai motor sendiri (memalukan..hehe), saya juga terbiasa seperti ibu saya dulu, mengajari anak-anak ngaji di rumah. Alhamdulillah, meskipun begitu, pendidikan Alquran di sekolah si sulung sangat maksimal. Itu adalah kelebihan tersendiri yang pada akhirnya membantunya menghapalkan Alquran pelan-pelan. Di usianya yang saat ini 8 tahun lebih, dia sudah hampir menyelesaikan hapalan juz 30. Masya Allah tabarakallah, baru satu juz aja sudah membuat orang tuanya bahagia banget, gimana yang usia segitu sudah hapal 30 juz?


Syeh Salim sempat bicara begini, kita tuh terbiasa memusingkan soal makanan anak-anak, “Udah makan belum mereka?”, “Hari ini mereka makan apa, ya?”, tetapi kita tidak pernah khawatir ketika mereka belum mengaji seharian? Miris banget dan nampar muka saya langsung.


Alquran itu penting. Alquran yang akan menuntun mereka. Jika sejak dini kita didik mereka dengan benar, mengajarkan Alquran hingga mereka dewasa, ketika mereka pergi dari rumah untuk menyelesaikan pendidikan, jangan khawatirkan mereka lagi, Insya Allah mereka akan berpegang teguh pada apa yang kita ajarkan dulu.


Jika ingin anak kita sukses, jangan sibuk menjadikannya dokter dulu, arsitek dulu, tapi bantu dia menghapalkan Alquran dulu. Barulah mereka akan dengan mudah mengejar profesi lain yang diinginkannya.


Semoga kelak kita menjadi orang tua yang mampu mencetak anak-anak generasi  Qurani, ya. Meskipun tidak akan mudah, setidaknya kita harus berusaha dan pantang menyerah.


Salam,

Comments