Friday, March 31, 2017

Ketika Virus Datang

Ketika Virus Datang



Ketika Virus datang, bukan ketika cinta datang, ya? Hihi. Musim hujan yang tak menentu. Panas, terik lantas berubah hujan lebat semalaman. Awalnya Ayah yang batuk usai pulang dari kantor. Besoknya anak-anak ikutan batuk kompak.

Siapa pun tak nyaman dengan kondisi meriang, tenggorokan sakit dan gatal, bahkan si kakak selalu mengeluh hidung mampet. Tapi, gejala itu akan membaik dalam beberapa hari hingga dua minggu. Masalahnya, saat ini, sudah bukan hitungan hari atau minggu tapi sudah sebulan mereka kena common cold. Setiap pagi minum hangat diberi madu dan jeruk nipis. Cukup melegakan dan bisa membantu mengencerkan dahak.

Saya bukan anti obat sehingga malas ke dokter atau sekadar membeli obat batuk di apotek. Masalanya, dari WHO saja sudah dijelaskan bahwa batuk dan flu memang tak perlu obat selain cairan yang banyak. Obat-obat yang beredar di pasaran rupanya tidak lebih banyak memberikan manfaat. Justru lebih banyak efek sampingnya. Lalu, kenapa kita harus meminum obat batuk setiap hari bahkan hingga sebulan begini? Apalagi anak-anak, kalau ke dokter obatnya bahkan lebih banyak ketimbang emak dan bapaknya. Mirisnya. Ada puyer, masih obat pelega napas, anti virus, antibiotik dan vitamin seabrek. Lebaykah saya? Ini hanya pengalaman saya saja selama ini.

Belum lagi diagnosa yang ‘ngalor ngidul’. Masyaallah, jika yang datang pasien yang benar-benar sulit keuangannya dan merasa dokternya bicara benar, bagaimana jadinya? Obatnya nggak cukup seratus ribu lho, biasanya sekitar 300 sampai 500 ribu. Saya nggak tega aja kalau lihat pasien yang begini.


Edukasi Pasien atau Konsumen Kesehatan


Mestinyakan beberapa dokter yang belum rasional (Saya sebut beberapa karena tidak semua dokter demikian) itu mengedukasi pasiennya. Bukan jualan obat, ya? Kalau saya yang mengerti bisa hanya memastikan diagnosa dan memilih obat-obat yang dirasa perlu saja untuk ditebus.

Misalnya saja saat kakak kejang januari lalu, tepat diusianya yang keenam. Setelah dua tahun tidak kejang demam, qadarallah dia kejang hingga menggigit lidah dan mengompol. Saya yang sudah hafal penanganannya tetap saja shock berat. Meskipun setelahnya saya tidak akan buru-buru ke dokter juga apalagi sampai dirawat inap karena kondisi setelah kejang nampak baik-baik saja.

Saya selalu sedia stesolid rektal di rumah, menghafal semua tanda gawat daruratnya serta berusaha nggak panik. Karena ketika panik yang berlebih, otak kita nggak akan jalan. Kakak kejang demam tak sampai satu menit. Kejangnya pun seluruh tubuh. Setelah masuk stesolid, ia lemas dan tertidur. Tak beberapa lama dia bangun untuk minum.

Bulan berikutnya saya membawa Alby ke dokter walaupun keadaannya hanya batuk pilek dan hampir sembuh. Saya tidak sedang meminta obat batuk pilek sebab common cold hanya disebabkan oleh virus yang hanya bisa sembuh dengan daya tahan tubuh. Jadi mau ngapain? Mau coba kartu asuransi baru..hihi. Nggak mungkin, ya. Jadi saya butuh stesolid untuk stok di rumah. Dan obat ini nggak bisa dibeli bebas diluar sana. Jadi harus minta resep sama dokter.


Second Opinion


Oke, ada dokter baru di rumah sakit. Saya mau coba dan mendaftar karena tiga dokter lain sudah menyakiti hati saya dengan diagnosa  nggak pasti serta overtreatment. Teganya! Lebay nggak, sih? Memang faktanya, tidak semua orang yang pergi ke dokter butuh obat apalagi diagnosa yang tidak perlu. Ada yang pengin konsultasi dan memastikan apakah penanganan yang dilakukan di rumah sudah tepat atau belum? Kalau sekadar common cold, ya nggak perlu dikasih antibiotik segala, kan? Terlalu berlebihan pokoknya.

Alhamdulillah, ada dokter spesialis anak baru, dokter Leny namanya. Cukup komunikatif dan memberikan treatment yang lumayan masuk akal soal kejangnya Alby. Tapi, tetap ya dapat obat batuk dan pilek serta antibiotik yang nggak saya tebus. Saya juga nggak mencoba mendebatnya. Udah capek sih..hihi. Biasanya saya selalu bilang bahwa, “Kenapa anak saya diberi AB? Bukannya common cold  sebabnya hanya virus yang nggak perlu obat?” dan berbagai debat menyakitkan lainnya. Nggak banget, ya. Lama-lama capek juga.

Jadi, kesimpulannya, Alby kejang demam usia enam tahun masih dikategorikan normal apalagi saya juga ada riwayat kejang demam. Normal hingga usianya tujuh tahun. Semoga ini yang terakhir, ya. Kalau saya baca di web resmi seperti kidshealth atau AAP dan milis sehat, normalnya terjadi sampai usia lima tahun. Tapi, dokter Leny justru berbeda dan membuat saya bisa bernapas lega. Alhamdulillah.

Tahu Kapan Harus ke Dokter


Oke, kembali lagi ketika sebulan ini semua common cold, saya hanya memberikan banyak minum dan makan yang benar. Buah yang banyak, jus buah, sup hangat. Karena sepertinya di rumah terjadi ping pong satu sama lain. Satunya sehat, satunya baru sakit, ketularan lagi. Dan begitulah seterusnya hingga Allah yang akan menghentikan. Hanya saja, meskipun ini hanya virus, kita juga harus waspada dengan tanda gawat darurat. Misalnya saja sesak, dehidrasi berat dan anak tidak sadarkan diri karena lemas berlebihan. Segera ke dokter. Karena sesak bisa saja mengarah ke pneumonia, yaitu komplikasi yang disebabkan virus atau bisa juga bakteri.

Saya nggak takut buat pergi ke dokter. Sama sekali nggak takut. Apalagi jika itu memang diperlukan. Hanya saja, jika tidak dibutuhkan kenapa juga harus ke dokter yang ‘kenyataannya’ lebih banyak mengundang penyakit ketimbang sehat? Why? Rumah sakit jelas rumahnya orang sakit. Anak-anak dan dewasa datang dalam keadaan sakit dan bisa menularkan kita juga.

Jadi, virus datang dan akan pergi sendiri tanpa diundang. Ratusan jenisnya membuat kita nggak ada habisnya melawan dan membentuk antibodi baru. Kalau anak sering batpil apalagi saat masuk sekolah, itu sangat wajar. Sebab, daya tahan tubuhnya sedang bekerja dan lingkungan sekolah pun nggak pernah steril, ya.

Bersyukurnya, saya lumayan mengerti setidaknya tentang apa yang mesti dilakukan dan tidak ketika anak sakit. Tahu cara penangangan pertama ketika salah satu mulai nggak enak badan. Tahu kapan mesti ke dokter atau menanganinya di rumah. 

Perjalanan ini tidak mudah bagi saya, karena banyak sekali perbedaan baik dari pasangan serta anggota keluarga. Namun, saya memang termasuk kukuh sekali setelah banyak belajar dari milis sehat. Nggak mau ngasih obat yang tidak tepat hanya demi menenangkan saya sebagai orang tua sedangkan anaknya malah rugi karena salah konsumsi obat.

Sabar, setiap penyakit ada perjalanannya sendiri. Insyaallah, makin besar usia anak, makin jarang juga mereka sakit. Sekarang? Dinikmati aja :)

Salam hangat,