Friday, June 23, 2017

Cinta yang Lain

Cinta yang Lain


Adilla bergeming. Wisnu banyak bicara namun sedikit pun tak membuat wanita itu menyahut. Seolah kehabisan akal, Wisnu pun ikut diam dan menatap keluar jendela. Mungkin hanya butuh waktu.

Di sebuah bangku dengan aroma obat-obatan yang kental menguar, seorang lelaki berkemeja biru duduk sambil tak henti mulutnya berkomat kamit. Sejuta doa panjang ia lantunkan sejak wanitanya memasuki ruang operasi. Tak elak, dadanya dipenuhi getar ketakutan. Menatap lalu lalang pasien dengan selang infus membelalai membuatnya semakin merinding. Sejatinya, dia tak pernah bisa berdamai dengan keadaan seburuk ini.

Kemarin, nyala di mata istrinya masih berpendar. Kelopak dihiasi manik berwarna pekat menimbulkan rindu setiap kali bertatap. Lelaki itu selalu bergegas pulang selepas pekerjaannya selesai. Mengendarai motor matic berwarna hitam dengan beberapa garis merah di kedua sisi. Dengan kaca helm menutupi wajah, pikirannya melanglang hingga ke rumah.

Pernikahan mereka sebenarnya tak pernah jauh dari tajuk rindang bahagia. Dua bulan setelah resepsi sederhana di gelar di kediaman istrinya, berita bahagia itu seolah kado terindah yang diterima oleh berpasang-pasang mata dalam keluarga besar.

Cucu pertama dari anak sulung yang baru saja menikahi gadis berparas ayu. Siapa pun akan segera menyunggingkan senyum membayangkan menimang bayi lucu dengan kedua pipi menggembung serupa bakpao. Lengkingan tangis akan membuat rumah mereka semakin ramai. Tapi, rupanya Tuhan lebih punya kuasa ketimbang makhluk-Nya.

Kebahagiaan yang tersulur tiba-tiba kerontang. Perempuan yang sedang mengandung itu terpeleset di lantai kamar mandi. Tubuhnya terpental dengan perut mencium lantai. Bau amis darah merayapi keramik berwarna biru cerah. Pandangannya kabur. Kepalanya berdenyut sebelum akhirnya menjadi gelap.

***


Wisnu tercenung sebelum akhirnya pasrah. Menatap embun yang mengambang di kelopak mata Adilla, istrinya.

“Siang ini juga kita lakukan tindakan.” Ucap dokter Mita.

Sepasang suami istri itu saling berpandangan. Sepertinya baru kemarin mereka berbunga ketika mengetahui kehamilan yang memasuki usia sebulan. Wisnu dengan antusias mengajak Adilla ke dokter. Istri dan cabang bayi dalam keadaan sehat. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Tapi, hari ini mereka harus menata hati ketika dokter menyatakan Adilla mengalami keguguran. Entah kenapa, kesedihan itu tak pernah mengucap permisi ketika bertandang. Bergegas melipat semua pijar. Dalam sekejap merubahnya menjadi duka.

Adilla menangis sesenggukan. Sesekali dia mengusap air mata dengan ujung jilbab. Perutnya melilit. Nyeri tak tertahan. Tapi, bukan karena rasa sakit itu dia menangis. Perasaan bersalah dan rasa kehilangan begitu pekat. Dia membayangkan kejadian menyesakkan yang terjadi tadi pagi. Ketika dengan tergesa keluar kamar mandi. Keinginan menyiapkan sarapan untuk Wisnu yang sebenarnya masih terlelap.

Jika saja dia berhati-hati, mungkin kejadian buruk ini tak pernah mampir dalam hidupnya. Sesal menyesaki pikiran. Rasa sakit diabaikan. Hari ini, dia harus rela kehilangan. Betapa banyak orang yang menginginkan kehamilan, menunggu hingga bertahun-tahun. Dia, yang dianugerahi lebih cepat, tak sedikit pun mensyukuri nikmat. Merasa berdosa serta lalai, Adilla tersengguk-sengguk.

Wisnu yang baru datang usai mengurus administrasi, menemukan istrinya dengan lelehan air mata. Dengan hati-hati dia mendekat, merengkuhnya penuh iba. Bukan hanya wanita itu saja yang merasa sepi, dirinya pun seolah kehilangan pendar penuh cahaya yang selama ini diimpikan.

“Jangan menangis, ini semua sudah takdir.”

Wanita dengan wajah sembab itu menggeleng cepat. Terbata menjawab.

“Jika bukan karena Adilla, bayi kita mungkin masih selamat.”

Wisnu menolak. Melihat Adilla siuman saja sudah membuatnya lega. Tak lagi diharapkannya mimpi yang tiba-tiba pergi. Biarlah, itu sudah jadi kuasa Tuhan. Mereka harus pasrah dan menerima.

“Nanti Allah ganti dengan yang lebih baik,” ucap Wisnu setengah berbisik sambil mendaratkan kecupan lembut di kening istrinya.

***


Adilla kembali ke rumah setelah menjalani kuretase di rumah sakit. Sepanjang perjalanan pulang, dia tak henti menangis. Diam sebentar, kemudian isaknya terdengar menyayat.

Wisnu yang memapahnya turun dari mobil merasa iba. Pasti tak mudah menerima kenyataan sepahit ini. Tapi bukannya tak mungkin jika saja hati sudah ikhlas menerima. Wisnu bukannya tak sedih melihat kondisi istrinya yang lemah terlebih kehilangan calon buah hati sejatinya sudah cukup membuat kekuatannya runtuh. Tapi, sejak pertama bertemu Adilla, Wisnu berjanji akan membuat wanita berhidung mancung itu selalu tersenyum. Meski dalam keadaan sesulit apa pun.

“Kamu mau makan apa?” Ucap Wisnu sambil berlutut menatap istrinya yang sedang duduk di kursi kayu dengan pandangan kosong.

Wanita itu sungguh jauh dari kata bahagia. Lihat saja, kedua matanya sekarang memiliki kantung hitam, kelopaknya bengkak, bibirnya kering karena sulit meneguk air.

“Jangan seperti ini, Dil. Mas, kan masih ada di sini,” susah payah menarik perhatian istrinya supaya tersenyum. Kemudian kalimat itu sedikit membuatnya menoleh. Namun, kembali lagi menatap jendela yang menganga lebar.

Adilla bergeming. Wisnu banyak bicara namun sedikit pun tak membuat wanita itu menyahut. Seolah kehabisan akal, Wisnu pun ikut diam dan menatap keluar jendela. Mungkin hanya butuh waktu.

***


Semalaman Adilla tak bisa memejamkan mata. Dia mengeluh kesakitan. Wajahnya pucat pasi. Wisnu mendadak panik. Apakah ini akibat kuretase dua hari lalu? Kenapa istrinya sampai kesulitan bergerak bahkan berpindah posisi pun dia tak sanggup.

Wisnu panik. Ini di luar perkiraan. Seharusnya tak ada rasa sakit usai kuretase. Prosesnya pun sudah dilakukan dari kemarin. Keadaan Adilla saat di rumah sakit tak bermasalah. Dia baik-baik saja kecuali luka batinnya yang masih basah.

“Sebaiknya kita ke rumah sakit.”

Adilla menggeleng. Dia frustasi setiap mengingat tempat itu. Mungkin memang sakitnya hanya sesaat. Belum seminggu dia menjalani kuretase. Jadi wajar kalau sakitnya masih muncul sesekali.

Pada akhirnya Wisnu mengalah. Menarik selimut dan menutupi tubuh istrinya yang menggigil kesakitan. Dia khawatir bukan main, tapi Adilla bersikap lebih keras sehingga membuat suaminya bungkam.

Malam ini tak berbeda jauh. Adilla bahkan terlihat jauh lebih buruk dari sebelunya. Tak sesuap pun nasi dia makan. Minum hanya beberapa teguk. Sisanya merintih kesakitan. Wisnu tak mau terlambat. Tanpa persetujuan Adilla, dia membopongnya hingga ke rumah sakit. Lihat saja, wanita yang terlihat semakin kurus itu bahkan tak bisa menolak. Tubuhnya lemah dengan rasa sakit menusuk di semua sisi dinding perutnya.

Dokter yang menangani Adilla sedang ke luar kota. Dokter lain datang dan segera melakukan USG. Melihat kerut di kening sang dokter, Wisnu seketika gelisah. Sesuatu yang buruk telah terjadi.

“Dinding rahimnya robek. Mungkin akibat kuretase yang kurang hati-hati.”

DEG!

Wisnu tercenung. Menatap Adilla yang kesakitan. Wanita itu bahkan tak merespon karena terlalu sibuk meredam ngilu yang bergantian datang hingga membuat tubuhnya pasi.

“Kita harus segera melakukan operasi. Kalau tidak, bisa terjadi infeksi dan memperburuk keadaan pasien.”

Rasanya, baru kemarin dia melihat wanita itu tersenyum di balik pintu setiap kali Wisnu datang. Menggamit tangan suaminya lantas mengecupnya penuh rindu. Sekarang, bertubi kebahagiaan itu pergi. Dengan mata terpejam, Wisnu merintih dan memohon. Jangan renggut kebahagiaannya yang lain.

***


Adilla baru saja siuman. Membuka mata dan menemukan lelaki itu tersenyum. Meski dengan pandangan kabur, Adilla bisa dengan jelas mengeja kebahagiaan yang tersungging dari senyum suaminya.

Wisnu berkali-kali mencium punggung tangan istrinya. Mengusap kepala dan sesekali terlihat embun di kedua matanya. Adilla merasa beruntung. Sebab kejadian memilukan yang terjadi beberapa hari terakhir sungguh membuatnya tersadar. Betapa dia amat terpaku dengan kepergian calon buah hati lantas tak mampu menemukan kebahagiaan lain yang begitu nyata di depan mata.

Adilla menangis. Kali ini air matanya mengambang hingga merayapi kedua pipinya yang merah. Wisnu mengusapnya. Satu kebahagiaan mungkin saja telah pergi, tapi lelaki yang selalu setia mendampingi itu masih berdiri di tempat yang sama. Mengajaknya untuk terus bangkit dan melanjutkan hidup. Bukankah dia juga bahagia yang kemarin luput dia syukuri?

Wednesday, June 21, 2017

Cerpen Dia

Cerpen Dia


Dia, lelaki yang dipenuhi luka di masa lalu kini justru tengah leluasa menyakiti orang yang sudah menyembuhkan sakitnya…

“Siapa perempuan itu?” Suaranya terdengar lebih serak.

Kamal tercengang beberapa saat. Wanita berparas ayu itu sudah berada di belakangnya tepat lima detik sebelum dia menutup obrolan mesra dengan teman di facebook. Wanita dengan gurat kelelahan di kening, kedua mata yang kehilangan pendar, bibir merah yang beku, kenapa begitu tega lelaki itu melakukannya? Serupa ditusuk sembilu, kalimat terakhir yang diucapkannya pada perempuan lain membuat wanita itu sulit menyembunyikan perih.

“Dia cuma teman,” kalimatnya mudah saja didengar, namun sulit sekali dimengerti. Bagaimana bisa seorang teman mengucap kalimat kasih serupa orang yang saling mencinta. Tidak salahkah wanita itu membaca kalimat terakhir, “I miss you.”

“Apa pantas seorang teman bicara semesra itu pada suami orang?!”

“Lagian kita nggak pernah ketemu,” sergah Kamal.

“Sarah pikir ini cuma salah paham. Tapi ternyata benar,” tangisnya mulai berhamburan.

“Mas cuma main-main.”

Lelaki tiga puluh lima tahun itu menyangka semua ucapan itu hanya serupa guyonan antar teman biasa. Padahal akibat yang ditimbulkan bisa saja mengguncang ketenangan dua perempuan yang sedang menginginkan kepastian. Harapan yang dilambungkannya serupa mimpi-mimpi di malam pekat. Dia abaikan perasaan. Dia lupakan pedihnya luka.

Kamal memang sempurna dengan kulit putih dan hidung mancungnya. Kedua alis legamnya saling bertaut membuat siapa pun ingin berlama-lama memandang. Ucapannya manis dan selalu menyanjung. Sebab itulah, wanita yang bahkan tak pernah bertatap muka dengannya berani untuk tetap tinggal.

Sebelumnya, Kamal memang betul tak benar-benar ingin menjalin hubungan spesial dengan wanita lain selain Sarah, istrinya. Tapi, rupanya setan bermain lebih lihai sehingga perasaan yang awalnya biasa berubah menarik bahkan hingga membuat lelaki berperawakan tinggi itu sulit sekali tidur.

Serupa orang yang baru saja jatuh hati, pertemuan tanpa sengaja di dunia maya membuat keduanya saling suka. Awalnya hanya berkenalan dan saling sapa. Lama-lama Kamal mulai menaruh hati. Pelan-pelan dia mengatakan suka. Gayung bersambut, wanita yang baru dikenalnya itu membalasnya mesra. Sungguh diluar prasangka, hubungan keduanya semakin lekat. Tiga bulan sudah cukup membuat rasa berubah cinta.

Tidak cukupkah ketulusan yang Sarah berikan selama ini? Lelaki itu amat tahu jawabannya. Bahkan lebih dari yang dia harapkan. Lalu alasan apa yang membuat Kamal begitu mudahnya berpaling?

Bau busuk bangkai tentu akan tercium juga bahkan hingga ratusan meter. Begitu juga dengan hubungan spesial Kamal dengan wanita bernama Restu. Keduanya memang tak pernah saling bertemu, namun dunia maya sudah cukup menjadi tempat menumpahkan rindu. Kamal lupa, kendati istrinya tak memergoki, Tuhan tentu lebih tahu siapa yang sebenarnya tengah berkhianat.

Sarah hanya berniat mengantarkan teh hangat untuk suaminya. Semalam, Kamal pulang larut. Selepas shalat subuh, lelaki dengan kacamata minus itu kembali terlelap. Dengan hati-hati Sarah menjulurkan selimut. Keluar ke dapur dan menyiapkan sarapan. Teh hangat yang pekat dengan satu sendok gula dia bawa dengan nampan. Pintu sedikit tersibak. Dia masuk tanpa perlu menimbulkan derit.

Kamal terlalu asyik sehingga tak menyadari jika sejak beberapa detik lalu, istrinya tengah mematung dengan keterkejutan nyaris sempurna merobek rongga hati. Adakah yang lebih menyakitkan ketimbang melihat orang yang kita cintai ternyata berdusta?

Teh hangat di tangannya hampir saja jatuh ke lantai. Sekuat tenaga Sarah menahan isak yang sulit sekali disimpan. Kenapa lelaki yang dulu datang penuh luka, meminta Sarah mendampingi dan menyembuhkan, kini justru dengan leluasa mencabiknya? Tidak ingatkah lelaki itu, ketika dia memintanya menjadi istri, memohon dengan mata penuh pijar, berjanji tak akan menyiakan bahkan haram jika sampai melukai dirinya. Di mana kalimat-kalimat yang berterbangan serupa kapas dan menghantarkan mereka pada surga di dalam rumah tangga? Tak ada kejadian yang lebih menyakitkan ketimbang kejadian pagi ini.

Pelan-pelan Kamal beringsut dari meja kerja, menutup laptop dan menatap wanita yang sedang dipenuhi hujan. Apa yang harus dia lakukan? Mungkin saja setelah ini, wanita yang bersedia mendampingi bahkan berkorban nyawa itu akan meminta cerai. Bayangan masa lalu berkelebat dalam ingatan.

Untuk pertama kalinya Kamal menemui Sarah di sebuah rumah sakit. Tanpa sengaja mereka berkenalan. Sarah yang sedang bertugas sebagai perawat memeriksa kondisi Kamal yang limbung di UGD. Pada malam yang dipenuhi hujan lebat serta guntur, lelaki itu diantar seorang teman dalam kondisi yang sangat lemah. Demam selama lima hari, tubuh menggigil serta kekurangan cairan. Dengan cekatan, Sarah memasang jarum infus diikuti keluh sakit dari lelaki berkacamata itu.

“Semua akan baik-baik saja,” suaranya terdengar pelan.

Kamal tersenyum. Bukan hanya karena dia merasa jauh lebih baik, namun entah kenapa, wanita dengan seragam berwarna biru cerah dengan jilbab senada itu begitu memesona. Sahabatnya mencubit lengan Kamal. Disusul suara mengaduh, Kamal tertawa.

Esoknya, Kamal yang diketahui positif tifus akhirnya mulai membaik. Pertemuan semalam dengan salah satu petugas medis membuatnya gundah. Rupanya Kamal tak sedang main-main. Dia meminta nomor handphone serta berkenalan dengan perawat yang pertama kali menolongnya. Dan tak butuh waktu lama, Kamal pun jatuh hati.

Lantas, ada apa dengan duka dan tangis di masa lalu? Tentang lelaki yang datang penuh luka, ditinggalkan tunangannya, bahkan dengan penuh sayat sembilu, wanita yang segera resmi dinikahinya lari dengan lelaki lain. Detik itulah, Kamal mulai merasa dirinya tak akan bertahan hidup lebih lama. Lelaki lain mungkin saja segera beranjak dan mencari pengganti. Tapi, Kamal terlalu cinta untuk segera lupa.

Dan Tuhan selalu punya jawaban atas setiap doa yang dipanjatkan oleh hamba-Nya. Sarah, wanita dengan mata penuh pelangi muncul di hadapannya. Kamal yang sudah setahun tak pernah tertarik dengan perempuan lain, kali ini tiba-tiba jatuh cinta tanpa perlu banyak alasan. Dia hanya suka. Rindu menderu hampir di setiap malam. Lantas, wajah Sarah selalu memenuhi ingatan. Dengan terbata, lelaki itu datang dan memohon agar Sarah mau menemaninya dalam mengarungi biduk rumah tangga.

Sarah pun tak berpikir lama saat menganggukkan kepala disertai semburat kemerahan di kedua pipi. Mungkin itulah yang dinamakan jodoh.

Rumah tangga yang nyaris sempurna. Meski belum juga dikarunia momongan, kehidupan mereka tak pernah kehilangan pendar. Selalu saja ada aroma hangat menyeruak penuh cinta. Lalu, kejadian pagi ini begitu menyentak. Entah sejak kapan lelaki itu mulai merasa butuh wanita lain selain Sarah.

“Apa salah Sarah, Mas? Tega kamu, Mas!” Kalimat itu berulang kali diucapkannya.

Kamal tak menjawab. Tercenung memikirkan kesalahan besar yang sudah dilakukan. Bagaimana bisa kebahagiaan sesaat sempat masuk dalam pikiran. Bukankah Tuhan sudah memberikannya lebih dari apa yang dia minta? Sarah, dia bukan sekadar ibu rumah tangga. Meluangkan waktu mengurus suami dan mertua. Padahal pekerjaannya di rumah sakit tak bisa dibilang sedikit. Banyak hal-hal kecil yang Kamal lewatkan namun selalu jadi prioritas bagi Sarah. Seperti menyediakan air putih hangat untuk suaminya sebelum tidur. Memastikan lelaki itu tetap sehat dengan menaruh vitamin di dalam kotak makannya. Dia selalu penuh kejutan. Dan Kamal mulai menyadari di saat tak tepat. Ketika wanita itu sudah amat terluka.

***

Bertemu dan menjalin hubungan dengan Kamal membuat hari-harinya nyaris utuh. Mereka bicara tentang banyak hal. Restu merasa ada orang yang amat memerhatikan dan selalu tulus menyanjung. Beberapa kali dia mulai memikirkan hubungan mereka. Cinta tanpa status bahkan merusak rumah tangga orang. Dia serupa duri dalam daging. Mencintai suami orang dengan tanpa perasaan. Bukankah dia juga wanita yang sulit berbagi bahagia dengan wanita lain? Lantas kenapa dengan mudahnya dia merusak rumah tangga orang hanya demi kebahagiaannya sendiri.

Beberapa hari terakhir, Kamal tak lagi menyapa. Dia juga kehilangan ucapan selamat pagi dari lelaki bermata elang itu. Ketika malam, Restu bahkan tak menemukan Kamal mengucapkan selamat tidur serta sedikit kalimat penuh rindu. Lelaki itu seolah hilang ditelan bumi.

Apa yang terjadi? Mungkin hubungan mereka diketahui orang lain? Lebih buruknya oleh istri Kamal. Dengan terbata, wanita tiga puluh tahun itu mulai mempertanyakan apa sebenarnya yang ingin dia dapatkan dengan mencintai suami orang? Kamal bahkan tak pernah berhutang janji untuk menikahinya apalagi menceraikan istri sahnya. Tidak sekalipun ada kalimat seperti itu. Selama ini, mereka hanya mengatakan rindu. Tak lebih. Lalu apa yang akan Restu dapatkan selain kecewa?

Nyata-nyata dia membohongi diri sendiri. Kebahagiaan tak akan didapat dengan menyakiti orang lain. Restu meringkuk di dalam selimut. Menyesali setiap jengkal dari kesalahannya.

***

Wanita itu begitu tergoda untuk segera mengakhiri semua. Perasaan yang dipenuhi luka, hati yang berkeping dan tak lagi utuh membuatnya terseok untuk melanjutkan hidup bersama Kamal. Piring pecah tentu tak lagi bisa utuh. Meski dengan hati-hati menyambungnya, tetap saja ada bagian retak yang tampak. Begitu juga dengan hatinya.

Beberapa hari ini suaminya memutuskan membuang akun sosial medianya. Demi membuktikan rasa bersalah serta menyesal. Laki-laki itu lebih suka menemani Sarah ketimbang biasanya. Dia selalu berlama-lama memandangi kedua mata Sarah yang masih sembab.

Kamal tahu, kesalahannya terlalu besar untuk bisa dimaafkan. Tapi sungguh, lelaki dengan sweter biru itu tak pernah siap jika harus berpisah dari wanita yang dahulu telah menyembuhkan cedera di hatinya.

“Sebaiknya mas cepat tidur. Ini sudah malam.” Sarah tergugu melihat Kamal sedang menatapnya. Lelaki itu dengan mata elangnya tampak tersenyum sambil menarik selimut.

“Ada apa, Mas? Kenapa tersenyum sendiri?” Sarah penasaran.

“Mas sedang jatuh cinta,” ucapnya sambil mengerling disusul rona merah di kedua pipi Sarah.

***

Terlalu banyak nikmat yang kita ingkari. Terlalu sedikit yang bisa kita ingat. Keburukan tidak pernah melahirkan kebaikan. Pun keduanya tak akan pernah bisa menyatu. Serupa minyak dengan air yang tak pernah saling bertaut.

Monday, June 19, 2017

Tetap Produktif Saat Mudik dengan ASUS E202

Tetap Produktif Saat Mudik dengan ASUS E202


Assalamualaikum…Apa kabar sahabat? Nggak terasa, ya Ramadhan sudah di penghujung waktu. Itu artinya, saya harus bersiap mengemas segala macam keperluan anak-anak untuk dibawa pulang ke kampung halaman. Mulai dari pakaian, camilan, buku bacaan dan mainan. Sejak menikah, saya punya rutinias tahunan, mudik!

Bagi yang pernah mudik terutama untuk waktu cukup lama serta jarak yang nggak dekat, butuh ekstra persiapan. Apalagi jika membawa serta anak-anak. Terutama yang masih di bawah lima tahun. Bawaannya segunung, itu nggak bisa dikurangi. Kalau dilebihkan nanti paksu ngomel…hehe.


Si sulung sekarang sudah beranjak enam tahun, sedangkan si bungsu masih di bawah dua tahun. Keperluan mereka pun beragam. Bawaan wajib buat kakak misalnya, beberapa buku cerita, komik kesayangan, crayon dan buku gambar. Sedangkan untuk baju ganti masih terlihat wajar seperti kami yang dewasa.


Nah, si adek punya perintilan lebih ruwet…hehe. Maklum, usianya masih di bawah dua tahun. Saya selalu prepare lebih banyak baju ganti, camilan, beberapa popok, keperluan mandi, selimut, ekstra baju hangat karena di Malang hawanya dingin, mainan, beberapa kosmetik bayi seperti krim ruam (kulitnya adek sensitif banget), minyak telon, obat demam serta kereta bayi.


Dulu, sebelum memiliki buah hati, rasanya menyiapkan pakaian dan segala keperluan nggak terlalu sulit, lho! Bawaan hanya sedikit, koper cukup satu. Sedangkan sekarang? Seperti orang mau pindah rumah. Astaga…kompor dan segala keperluan dapur pun seperti ikut dibawa. Padahal, isinya hanya baju ganti anak-anak, mainan, buku-buku cerita dan popok serta keperluan mandi saja. Nggak lebih!


Satu hal lagi yang sering membuat kepala pening adalah kewajiban membawa laptop kala bepergian. Saya dan suami seringkali memerlukan laptop meski pun saat berada di luar rumah. Misalnya saja ketika harus liburan keluarga ke puncak atau mengunjungi rumah saudara. Kami sering kesulitan terutama ketika ada deadline yang mendesak. Adakah ibu-ibu yang pernah mengalami hal ini?


Saya pun demikian. Tas punggung rasanya sudah sesak dan penuh dengan keperluan anak-anak. Kalau harus memasukkan laptop dengan berat yang sering membuat punggung pegal, malas sekali rasanya. Sedangkan untuk mudik, seperti biasanya selalu memakan waktu dua minggu lebih. Itu bukan waktu sebentar. Saya punya jadual rutin menulis setiap harinya, belum lagi kewajiban membuka laptop saat mengikuti kelas menulis yang dimulai bulan Juli mendatang. Bisa-bisa saya ketinggalan kelas karena nggak membawa laptop. Nggak rela banget!


Tapi, bawaan lain yang sudah dikemas pun nggak bisa juga dikurangi. Dilema melanda hati. Akhirnya, mau nggak mau harus rela juga punggung pegal demi membawa laptop. Sempat terpikir juga beralih menggunakan notebook. Saya membayangkan, andai saja ada notebook yang ringan tapi tetap nyaman dipakai. Apalagi kalau baterainya bisa tahan lama sehingga nggak susah-susah mencari colokan listrik terutama saat berada dalam perjalanan. Memangnya ada ya yang senyaman itu? Mungil tapi tetap stylish. Berwarna cerah sesuai dengan passion saya sebagai penulis dan tukang oprek dapur…hehe.


Buat saya, memilih notebook itu nggak asal pilih model dan gaya saja. Tapi, wajib juga memiliki beberapa kriteria yang pada akhirnya akan memudahkan saya untuk menggunakannya. Beberapa tips ini mungkin bisa membantu bagi ibu-ibu yang sedang galau memilih notebook.


1.      Sesuaikan dengan budget.

Jangan sampai setelah membeli notebook baru, uang belanja bulanan jadi habis, ya. Sesuaikan saja dengan budget kita, nggak perlu memaksakan. Nanti malah ujung-ujungnya menyesal. Untuk itu, kita butuh notebook dengan harga terjangkau tapi tetap berkualitas.


2.      Pilih sesuai kebutuhan.

Kalau ibu-ibu seorang penulis dan sering main ke sosial media seperti saya, butuh sekali notebook yang bisa melesat cepat saat menjelajahi dunia maya. Jadi, nggak perlu menunggu terlalu lama apalagi sampai ketiduran saat berselancar. Saya juga memiliki hobi baru, suka menulis resep masakan. Otomatis harus mengunggah foto-foto makanan dengan warna yang lebih memikat. Jadi, kebutuhan kedua tentu saja laptop itu harus memiliki hasil gambar dengan warna lebih indah.



3.      Tombol keyboard yang nyaman.

Sebagai penulis, tentu saja saya selalu menggunakan keyboard. Mengejar deadline menulis akan terasa lebih ringan jika notebook yang digunakan memiliki keyboard nyaman dan tahan lama.


4.      Pilih touchpad yang sesuai kebutuhan.

Beberapa orang mungkin mengabaikan fungsi dan kegunaan dari touchpad. Padahal, hampir setiap pekerjan dilakukan dengan menggunakan touchpad. Jadi, pastikan touchpad pada notebook yang ibu-ibu pilih sudah nyaman dan sesuai dengan kebutuhan.


5.      Memiliki baterai tahan lama.

Jangan sampai baru pakai beberapa jam, baterai sudah habis. Nggak lucu juga kan jika terjadi di saat penting seperti ketika bekerja dan sulit mencari colokan listrik. Jadi, pastikan notebook baru yang dipilih bisa hemat baterai, ya!


6.      Desain Stylish

Penting juga memilih notebook dengan bentuk yang tipis, mungil serta ringan saat dibawa ke mana pun. Dan jangan sampai ketinggalan gaya, ya. Pastikan juga notebook kece yang dipilih berkualitas.


7.      Anteng dan tenang saat digunakan.

Apa sih bahasanya, ya? Hehe. Anak saya terutama yang bungsu, mudah sekali terbangun saat ada suara berderit sedikit saja. Jadi, kadang baru menyalakan laptop, dia sudah terbangun karena laptop saya lumayan berisik. Nggak enak juga kan karena jadi terganggu dan pekerjaan saya jadi tertunda. Sebaiknya pilih notebook dengan suara yang nggak berisik, supaya pekerjaan kita di luar misalnya di perpustakaan atau pun di rumah nggak membuat orang menoleh karena terganggu.


8.      Garansi dan tahan lama.

Pilih laptop dengan garansi yang bersaing. Misalnya yang berani memberikan garansi seumur hidup…hehe. Nggaklah, ya. Karena jaminan seperti garansi ini sebagai bukti juga bahwa produk yang ditawarkan memang berkualitas dan nggak main-main. Kalau murah tapi gampang rusak, untuk apa juga diperjuangkan? Kayak ibu-ibu memperjuangkan mantan pacar dulu…*eh


Baru-baru ini saya tahu, ternyata ASUS meluncurkan produk terbaru dan super kecenya. Semua kebutuhan dan kriteria yang sudah saya sebutkan di atas bisa dengan mudah kita temukan dalam ASUS EeeBook E202. Desainnya yang elegan dan stylish cocok banget buat ibu-ibu keren seperti kita.


Bentuknya yang minimalis dan super tipis membuat ransel saya jadi ringan saat digunakan. E202 ini beratnya hanya 1.21kg saja. Dimensinya hanya 193x297 mm. Ukurannya nggak lebih besar dari kertas A4! Pasti mudah banget saat dibawa ke mana-mana. Semakin mupeng saja kan ibu-ibu?


Saya juga termasuk orang yang suka dengan warna-warna cerah. Notebook E202 yang hadir dengan windows 10 dan DOS ini ternyata juga menyediakan beberapa warna menarik. Di antaranya silk white, dark blue, lightning blue, dan red rouge.



ASUS E202 ini memiliki touchpad yang super keren. Kita bisa menggunakannya layaknya menyentuh layar smartphone. Bisa dibayangkan betapa kerennya produk ini. Sangat sesuai dengan kebutuhan saya. Karena hampir setiap pekerjaan, saya menggunakan touchpad ini. 



Notebook  berukuran A4 milik ASUS ini juga menggunakan prosesor intel hemat daya yang bisa kita gunakan hingga 8 jam. Ketika baterai habis, kita pun bisa dengan cepat mengisinya kembali dengan port USB 3.1 type-C yang sangat menghemat waktu. USB ini bisa dicolok dengan berbagai arah dengan colokan reversible. Kecepatan transfer USB 3.1 ini lebih cepat 11x dibanding USB 2.0. Sungguh memudahkan sekali terutama saat kita berada di luar rumah. Nggak capek-capek mencari colokan listrik hingga ke kolong meja. Hehe.


Selain itu, keunggulan lain dari E202 adalah keyboardnya yang kokoh dan sangat nyaman digunakan. Desain one-piecce chiclet keyboardnya bikin kegiatan menulis jadi lebih mudah. Pasti nggak akan menyesal kalau bisa bersanding dengan notebook kece satu ini. Menulis jadi lebih menyenangkan!


Ada lagi? Kelebihan yang lain adalah berselancar di dunia maya semakin cepat dengan adanya teknologi dari Wi-Fi terbaru 802.11ac yang memiliki kecepatan tiga kali lipat dari 802.11n. Cocok banget buat saya yang suka ngeblog dan mencari referensi dari internet. Browsing pun lebih menyenangkan dan anti lemot. Jadi nggak perlu menunggu sampai ketiduran lagi deh.


Bagaimana ibu-ibu? Tertarik banget kan dengan ASUS E202 ini? Saya sendiri sangat membutuhkan notebook dengan model seperti E202 ini. Hal paling penting yang ada pada notebook ini terutama karena ringan dan bentuknya yang mungil. Bisa dibawa ke mana pun saya pergi. Kegiatan menulis dan upload resep pun semakin menyenangkan. Mudik nggak harus bawa ransel super berat.


Perjalanan mudik pun akan terasa lebih ringan. Kegiatan menulis tak akan terganggu. Bawaan yang menyesaki ransel bisa berkurang. Punggung bisa berbagi beban dengan menggendong si bungsu. Nggak melulu karena laptop yang berat. Akhirnya, kekhawatiran saya terjawab sudah dengan notebook super kece dari ASUS. Terimakasih ASUS…


Sunday, June 18, 2017

Cerpen Kakak Ipar

Cerpen Kakak Ipar


“Ayu mau pulang ke rumah ibu,” suaranya pelan tapi cukup menghentak.


Lelaki yang pura-pura serius dengan berita kebakaran stasiun yang muncul di surat kabar pagi itu akhirnya terpaksa menoleh. Perempuan dengan mata sembab berdiri tepat di depannya. Dia sudah bersiap dengan tas jinjing berwarna merah. Hampir bisa dipastikan, separuh dari pakaian di lemari telah dikemasnya. Kali ini Abi tak lagi acuh.


“Untuk apa? Bukankah baru kemarin kamu pergi ke rumah ibu?” Suara Abi terdengar datar. Padahal, isi hatinya melompat dan berlarian. Terkejut.


“Ayu hanya ingin menenangkan diri, Mas.”


Abi menarik pergelangan tangan istrinya. Sepertinya baru kemarin rumah mereka bermekaran dan penuh binar. Kenapa kesedihan begitu cepat mengganti? Rasanya tak ada lagi kehangatan di antara mereka berdua sejak kedatangan keluarga Irfan, kakak kandungnya.


“Kalau ada masalah, sebaiknya kita selesaikan berdua,” Abi menatap kedua mata Ayu yang mulai basah.


Masalah itu sudah pernah mereka bicarakan. Tentang keluarga lain yang masuk dalam kehidupan mereka. Irfan sedang butuh tempat tinggal. Beberapa minggu sebelumnya dia dipecat dari tempat kerja. Tak ada sisa tabungan. Rumah kontrakan sudah tak bisa dibayar. Anak dan istri mulai mengeluh. Pada akhirnya, Irfan hanya bisa meminta tolong pada adik kandungnya, Abi.


Abi tak pernah keberatan dengan kedatangan mereka. Rumahnya terbuka luas bagi siapa saja yang membutuhkan. Masih ada satu kamar kosong di sebelah ruang makan. Ayu pun mengiyakan dan dengan senang hati menerima tamu baru di rumahnya.


Beberapa hari masih terlihat nyaman. Hingga suatu kali, tanpa sengaja Abi melihat sendiri perlakuan kurang menyenangkan dari kakak iparnya. Menyuruh Ayu mencuci dan membersihkan kamar. Abi melihat istrinya tak menolak.


Hingga larut malam, lelaki dengan rambut ikal itu tak menerima keluhan dari istrinya. Ayu tampak baik-baik saja. Menyiapkan makan malam seperti biasa. Masuk ke kamar dan tidur tanpa membahas persoalan itu sedikit pun.


Untuk kali kedua, kakak iparnya itu terdengar membentak Ayu karena bajunya yang kelunturan. Istri Irfan sempat marah dan memaki Ayu beberapa kali. Kali ini Abi tak lagi diam. Mendatangi mereka berdua dengan hati penuh gemuruh.


“Ada apa, Mbak?” Sahutnya sambil menggenggam tangan Ayu.


“Istri kamu nggak hati-hati. Bajuku jadi kelunturan seperti ini!” Ucap Erna ketus


“Seharusnya mba Erna mencucinya sendiri. Kan Ayu nggak tahu baju mana yang luntur.”


Erna mendengus kesal, “Cuma diminta tolong sedikit saja. Ini baju mahal.” Dengan wajah berlipat, Erna berlalu sambil membawa blus putih yang berubah kemerahan.


Ayu diam. Matanya sudah cukup menceritakan semua. Lelah seharian tak berarti apa-apa. Hanya saja, makian itu membuat semuanya terasa lebih berat.


“Sabar, ya.” Abi merangkulnya. Membiarkan isaknya lepas.


Wanita bermata lentik itu tetap saja tak bicara. Abi pikir dia sudah melupakan. Memang bukan soal mudah bersanding dalam satu rumah dengan orang lain. Terlebih ketika orang tersebut tak bisa menjaga sikap. Menyakiti dengan perlakuan serta ucapan. Bagi Ayu, semua sudah cukup menjelaskan. Kenapa suaminya belum juga menegur? Perlakuan kakak iparnya sudah sulit ditolerir. Hampir setiap hari Ayu tak berbeda dengan pembantu di rumah sendiri.

 

“Kamu yang sabar, ya.”


Lagi-lagi kalimat yang sama keluar dari mulut Abi. Ayu mulai jenuh. Apakah tidak ada yang bisa dilakukan suaminya supaya mbak Erna bisa lebih menghargai ketika meminta tolong? Ayu sungguh amat tersakiti dengan kejadian-kejadian buruk yang terjadi padanya akhir-akhir ini.


“Mas, sepertinya Ayu nggak bisa terus menerus seperti ini.”


Air tenang sudah berubah riak. Gelombang kecil yang hilir mudik sudah menyumbang gerakan ombak yang lebih dahsyat. Abi menyadari, betapa tak mudah menjalaninya. Terutama ketika Abi tak di rumah. Beberapa hari lalu, Irfan sudah bicara pada istrinya. Tanpa bicara keras, Abi berusaha meredam semua kejadian buruk yang terjadi belakangan ini. Tapi, tidak dengan mengusir mereka pergi begitu saja.


“Kamu yang sabar, mas Irfan sudah janji akan segera pindah kalau dia sudah dapat pekerjaan.”


“Semoga saja,” ucap Ayu lemas, lantas menarik selimut. Segera tidur. Meski sebenarnya sulit sekali nyenyak. Hari-hari berikutnya sudah terbayang di kepala. Ketika Abi berangkat kerja, Erna akan dengan santainya menyuruh ini dan itu. Irfan yang melihat bahkan tak berkomentar atau menegur sedikit pun. Sayangnya, bukan hal mudah mengadukan itu semua. Ayu merasa tak berhak membuka aib saudara suaminya sendiri. Lebih buruknya, akan ada pertengkaran selain dengan saudara iparnya. Ayu ingin mimpi buruknya segera usai. Diam-diam dia menahan isak. Memunggungi Abi dan mengusap matanya yang basah. Laki-laki itu tak boleh tahu kalau dia sedang menangis.


Dan seperti kejadian yang telah tergambar jelas, kejadian itu tak juga usai. Irfan yang masih menganggur, Erna yang tak juga menunjukkan empati. Pada akhirnya Ayu menyerah. Buru-buru mengemas pakaian. Memilih waktu tepat untuk bicara dan meminta izin pergi. Tidak, dia tak benar-benar ingin berpisah dengan suaminya. Cinta dan rindunya masih dalam tertanam pada lelaki bermata jernih itu.


“Ayu mau pulang ke rumah ibu.”


Ayu melihat Abi tertegun sambil memegang surat kabar. Bukan, ini bukan mimpi yang ingin mereka raih. Seperti petir yang menyambar di siang bolong, lelaki itu menarik tangan Ayu, menatap kedua matanya yang sembab.


Kenapa terburu-buru pergi? Bukankah mimpi mereka masih terlalu jauh untuk segera ditinggal? Rumah dengan keceriaan serta gelak tawa anak-anak bahkan belum terjamah separuhnya. Bagaimana Abi bisa menjelaskan bahwa masalah itu akan segera usai?


“Ayu, jangan pergi ketika ada masalah. Kita harus selesaikan.”


Kali ini Abi melihat istrinya menggeleng. Untuk pertama kali wanita _dengan isak yang melompat_itu menolak permintaannya.


Sudah cukup pembicaraan kemarin. Pada akhirnya tak pernah merubah apa pun. Ayu tak ingin Abi bertengkar dengan Irfan. Itu sebabnya dia lebih memilih pergi ketimbang menahan sembilu menyayat hatinya setiap hari. Baginya, meninggalkan suami bukan perkara mudah. Tapi, mengadukan kelakuan Erna dan Irfan juga tak membuat masalahnya semakin berkurang. Mungkin sebaiknya dia pergi, supaya mereka mengerti dan mulai menyadari. Tapi, laki-laki berwajah teduh itu meruntuhkan benteng pertahanannya. Dia merasa tak akan sanggup berpisah terlalu lama. Akan ada rindu yang berkelebat dan menariknya dalam kubangan kesedihan yang lebih dalam. Bagaimana dia bisa meninggalkan lelaki terkasihnya? Siapa yang akan menjaga dan menyiapkan kemeja saat dia hendak bekerja?


Pelan-pelan kekhawatiran itu terusir sirna. Ayu harus memutuskan.


Abi beranjak, menyuruh Ayu menunggu sebentar. Dia sudah mendaki terlalu jauh. Meminang wanita berpipi kemerahan itu bukan hal mudah. Memintanya menjadi istri lantas sekarang hanya beban duka yang diberikan? Bukankah mimpi mereka bukan hanya sekadar menjadi pasangan suami istri? Tapi lebih daripada itu, ingin kebahagiaan itu tetap terjaga meski badai dan ombak besar mengguncang.

Abi merasa perlu memperjuangkannya. Tujuan dari pernikahannya sudah terpatri di dalam hati. Bersama hingga mati, berkumpul dengan senyum merekah di surga. Tapi, kejadian ini meruntuhkan semua. Lelaki tiga puluh tahun itu tak mau berhenti di tengah jalan dan memenggal mimpinya begitu saja. Tujuan itu harus diraihnya.


Tak lama, Erna dan Irfan muncul dari balik gorden berwarna ungu. Disusul suaminya. Ayu sempat tergugu lantas terbata menata isi hati. Apa yang akan dilakukan suaminya?


Pelan-pelan Abi memulai pembicaraan. Tentang masalah-masalah kecil yang berubah riak menerjang. Erna dan Irfan sempat menolak. Merasa tak terima saat disalahkan. Tapi, Abi hanya perlu meluruskan. Tidak sedikit pun ingin bertengkar.


Sedangkan Ayu? Hanya diam menunduk. Sesekali menatap lelakinya. Ada keharuan muncul di pelupuk mata. Menjelma bulir bening bercahaya. Gemuruh di hati berubah teratur. Rindu. Sepertinya sudah lama sekali Ayu tak menatap wajah tampan suaminya. Terlebih ketika dia selalu tidur menunggungi Abi. Ayu menghela napas panjang. Menaruh tas jinjingnya di lantai keramik. Sekali lagi, menatap suaminya yang dengan tegas bicara. Membuat kelegaan muncul di hati.


Thursday, June 15, 2017

Menolak Jatuh Cinta

Menolak Jatuh Cinta


Butuh waktu seribu tahun untuk mengurai rasa yang terlanjur singgah. Namun, hanya butuh mengenal kebiasaanmu untuk mulai jatuh hati. Kalimat itu sering diucapkannya ketika tanpa sengaja masuk dalam obrolan ringan bersama lelaki yang dulu pernah menjadi matahari. Lelaki dengan kamera DSLR yang menggantung mesra di leher. Dia dengan kaos oblong berwarna putih selalu menarik hati seorang wanita jelita bernama Sienna.


“Sampai kapan?” Tanya Galih sambil mengamati setiap lekuk cantik di wajah Sienna. Baginya, wajah mungil dengan kedua pipi kemerahan itu selalu istimewa. Meski tak lagi mampu menjelma matahari, setidaknya Galih masih bisa menemani, walau hanya dengan sedikit cahaya yang tersisa.


“Sampai aku tak lagi mengenalmu.” Sienna menyahut sambil mematut jilbab merah jambu di kepala.

Galih tertawa. Memalingkan wajah. Membuang setiap rasa yang berubah indah. Bukankah kemarin dia berjanji tak akan lagi jatuh cinta pada wanita penyuka red velvet itu?


“Lalu kenapa kita tidak menikah?” Tiba-tiba saja Galih melontarkan kalimat yang membuat perempuan dua puluh satu tahun itu terhenyak.


“Kita?” Sienna menegaskan. Jantungnya melompat, berdentum keras dan membuat suaranya berubah serak.


Galih tersenyum. Menyadari betapa dahsyatnya kalimat itu. Menatap sepasang bola mata indah yang membulat, mengarahkan pandangan serius penuh tanda tanya. Dia menangkap kegugupan dari Sienna. 


Sekali lagi Galih mengangguk. Sepasang bola mata yang bertemu, saling bertatap dan menimbulkan rindu. Keduanya sudah berjanji melupakan


“Galih, kita sudah berjanji tak akan membicarakan ini,” Sienna berpaling. Menyembunyikan resah yang tiba-tiba menyelinap. Merasa bersalah karena sudah mengulangi kesalahan yang sama. Jatuh cinta pada lelaki yang bukan miliknya. 


Galih memang tampil menawan, lelaki baik dengan wajah tampan. Kerap menghibur dan berkorban meski kenyataannya Sienna tak pernah menjadi kekasihnya. Sienna suka berlama-lama bicara dengannya. Bercerita tentang hobi dan hal paling disukai. Galih dengan senang hati menjadi pendengar setia. Sesekali, lelaki dua puluh lima tahun itu memberikan solusi atau ide brilian. Sienna sering dibuatnya kagum. Sosok sempurna untuk jadi pasangan.


Tapi, sepertinya waktu belum mengizinkan. Galih yang sejak lama memendam rasa, memilih segera bertandang ke rumah wanitanya. Meminta izin untuk mencinta, memulai hidup baru jika diizinkan, atau segera meresmikan hubungan dengan Sienna. Keinginan lelaki penyuka fotografi itu teguh. Tak main-main jika sudah mencintai seseorang. Sayangnya, ayah Sienna masih menganggap putri tunggalnya terlalu dini jika harus segera membina rumah tangga. 


Galih memilih diam dan pura-pura lupa akan keterpurukannya. Sienna betul menyukai lelaki berkacamata itu. Tapi mustahil menjalin hubungan di luar ikatan pernikahan. Tak perlu banyak berdalih, hatinya tetap menolak pacaran.


Galih mengerti, keduanya berjanji melupakan. Hanya berteman dan sesekali bertemu bersama yang lain. Tapi, rupanya tak mudah menepis cinta yang sudah tertambat di antara kedua hati. Butuh waktu lama menghilangkan rasa canggung. Butuh banyak kosa kata untuk bicara tanpa melibatkan perasaan. Itu sulit!


“Minggu depan aku akan ke Jakarta.”


Sienna menaikkan kedua alis, “Berapa lama?”


Gali tertawa. Dia tahu betul ada orang yang sedang mengharapkannya tetap di tempat yang sama, tak beranjak apalagi menjauh.


“Hanya tiga sampai enam bulan.”


“Hanya?” Sienna tertawa hambar. Tentu saja, lelaki itu boleh pergi kapan pun dia mau, bahkan selamanya. Toh, keduanya tak pernah terikat janji. Mungkin saja setelah ini, lelaki dengan kacamata bulatnya itu akan mengirimkan undangan pernikahan. Bukankah semua itu tak pernah mustahil terjadi? Dan dengan terpaksa, Sienna akan patah hati.


“Kenapa? Bukankah itu baik untuk kita berdua?”


Tentu saja, Sienna mengangguk. Tenggorokannya tiba-tiba tercekat. Menahan kedua sudut mata yang hampir basah.


“Apa ucapanku salah?” Galih bertanya, memastikan tak menyakiti perempuan di hadapannya.


Sienna memaksa tersenyum sambil menggeleng. Jujur saja, dia ingin mengatakan padanya, bahwa dirinya tak pernah siap kehilangan. Meski hanya sebagai teman, namun perasaan itu terlanjur tertanam dan subur. Terpaut usia yang cukup jauh, alasan dirinya yang masih menyelesaikan kuliah membuat semua rasa itu menguap, namun kenyataannya tak demikian. Selalu saja, setiap kali dia mengusir pergi, cinta itu justru  lebih kuat mendekap.


“Atau kamu mau ikut denganku?”


“Apa maksudmu?”


“Kita kawin lari saja,” Galih tertawa.


Sienna memaksa tergelak. Dalam hati dia berdoa, agar dijodohkan dengan Galih. Jika pun mereka tak berjodoh, semoga saja Tuhan menjodohkan keduanya. Doa yang terlalu memaksa. Tapi, apa salahnya? Bukankah Tuhan punya kehendak dan segalanya? Apalagi arti penolakan ayah kemarin jika Tuhan menghendaki mereka bersama, halangan sebesar apa pun tak akan berarti apa-apa.


“Kamu mau menunggu?”


Sienna terhenyak. Apakah itu sebuah janji? Apakah tak terlalu mustahil diwujudkan?


“Aku akan datang kembali,” Galih meyakinkan.


“Aku tak mau menunggu,” sahut Sienna. Pelan tapi cukup menyentuh gendang telinga lelaki di hadapannya.


Galih menyesap teh panas yang sudah berubah dingin. Seperti menelan duri. Bayangan bisa bersanding dengan Sienna menjelma mimpi. Wanita itu ragu dengan janjinya.


Sienna mengambil sweter, “Aku harap masih bisa berjodoh denganmu.”


Galih tersenyum, begitu juga dengan hatinya. Mengharap mimpi serupa. Keduanya berlalu.


Galih melajukan mobilnya kencang. Sienna menyandarkan tubuhnya di jok mobil. Belum ingin beranjak. Masih mengatur denyut jantung yang berubah sepi. Menatap langit yang mulai sembab. Berwarna gelap serupa kantung mata yang kerap menangis. Sienna menghapus sedikit basah di sudut mata.


Bukan hal baik jatuh cinta di waktu tak tepat. Sama saja menjatuhkan diri dari tebing curam. Harapan yang melambung akhirnya terjerembab. Butuh waktu seribu tahun melupakan. Tapi tak butuh waktu lama untuk jatuh cinta.


Sienna tak mau terbuai mimpi. Hidup harus terus berjalan. Jika berjodoh, Galih akan meresmikan. Jika tidak, untuk apa menunggu lelaki yang belum tentu miliknya?

Wednesday, June 14, 2017

Kisah Sepotong Roti

Kisah Sepotong Roti


“Kayaknya dalemnya nggak mateng, ya?”

Aku mengerutkan kening. Melihat mas Aji merobek donat yang baru saja kubuat. Lalu tanpa perasaan mencampakkannya kembali di atas piring. Berbaur bersama donat lain yang mulai dingin

“Kalau nggak suka jangan dimakan!” Sahutku ketus. Buru-buru kubawa piring ke dapur. Menaruhnya di atas meja. Lalu menutupnya. Memaksa melupakan kejadian barusan. Berharap ingatanku menguap seketika. Ah, sulit! Aku justru berbalik menatapnya. Mengambil sepotong donat dengan garis putih di tengahnya. Permukaannya lembut saat kupegang. Walaupun sudah mulai kering. Mungkin karena sudah dingin, pikirku.

            Aku pun menyobeknya. Lalu tampaklah adonan basah di tengah. Donatnya memang mentah. Tidak matang sempurna.

            Ah, mas Aji memang benar. Donat ini tak layak dimakan. Tapi, harusnya mas Aji menghargai kerja kerasku. Bisa saja dia berpura-pura memakannya. Rasanya tak terlalu buruk. Apalagi jika dimakan bersama butter cream dan taburan mesis. Lidahku masih menerima. Sekali lagi aku mendengus kesal.

            Susah payah bangun pagi. Selesai qiyamul lail langsung menimbang terigu di dapur. Memasukkan ragi dan beberapa bahan lainnya. Mengaduknya dengan tangan hingga pegal. Aku ingin mas Aji makan masakanku. Walaupun tak selalu sempurna, tapi aku tak pernah berhenti mencoba.

            Aku mengintip ke ruang tengah. Lelaki kesayanganku sedang tertawa menyaksikan sebuah tayangan komedi di televisi. Sedangkan aku justru sedang menahan isak. Memaksa berdiri dengan menopang tubuh pada meja makan. Aku tak ingin dia mendengar tangisku. Kuharap mas Aji mengerti tanpa harus kuberi tahu.

            Mas Aji memang pemilih soal makan. Sejak menikah, aku bahkan tak begitu hafal makanan kesukaannya. Bayangkan saja, dia bisa dengan lahap makan cumi-cumi bersantan yang dimasak oleh ibu. Dan menolak mentah-mentah ketika aku membuatnya. Sungguh menyakitkan!

 Dia pun susah sekali makan sayuran. Terlebih yang berwarna hijau. Jika aku membuat sayur sop, wortel dan beberapa sayuran pelengkapnya akan tersisa di piring. Seringkali aku jadi enggan memasak. Capek-capek tapi tak pernah dihargai. Kadang hanya dilihat lalu diendus sekilas. Lantas ditinggal pergi. Itu bukan hanya terasa menyayat hati, namun berserakan sudah perasaanku.

            Aku juga mengeluhkan soal kebiasaannya minum yang manis. Dia tak suka air putih. Padahal, aku mengkhawatirkan kesehatannya. Kakak iparku mengidap diabetes. Itu sebabnya aku berusaha memberikan air putih lebih banyak. Namun, hasilnya nihil. Dia hanya menyeruput sedikit. Jadi, terpaksa selalu kubuatkan teh manis atau kopi susu favoritnya.

            “Aji, kamu kok tambah kurus aja?” Celetuk salah satu saudara kami suatu hari ketika berkunjung ke rumah.

            Sungguh aku malu ketika ada orang menyindir tubuh mas Aji yang ramping. Mereka seolah menyebutku sebagai istri yang tak pandai melayani suami. Lihat saja, kebanyakan orang akan naik berat badannya hingga sulit direm saat sudah menikah. Sedangkan mas Aji, justru semakin terlihat kurus. Hanya tersisa kulit yang membungkus tulang.

            Napasku berat. Mata berkabut. Aku menyuap sepotong donat dengan paksa ke mulut. Mengunyah cepat. Separuhnya lagi kuremat. Permukaannya basah terkena air mata.

            Aku ingin menyalahkan mas Aji. Namun, aku sendiri rupanya memang tak pandai memasak. Semakin geram rasanya mengingat saat dia melempar sisa donatnya pagi ini. Padahal dia tahu, aku bekerja keras demi itu.

            Tiba-tiba terngiang ucapan teman dekatku. Ketika dia membuat kue brownis coklat sebagai kado ulang tahun suaminya. Kue berwarna gelap itu pun sukses dibuat. Namun sayang, hasilnya bantat. Lalu aku begitu heran dengan kalimat yang dia ucapkan selanjutnya.

            “Alhamdulillah punya suami neriman. Suamiku bilang dia akan menghabiskannya walaupun kuenya gagal,” dia tertawa tanpa beban.

            Ah, andai itu mas Ajiku. Tentu aku tak akan sesakit ini.

***

            “Hari ini kamu masak apa, Nad?” tanya mas Aji sambil mengintip ke dapur. Aku tersenyum hambar. Mengaduk sayur bayam. Lantas memasukkan potongan tomat ke dalamnya.

            “Tumben nggak bikin kue?”

            Aku menggeleng. Walaupun sangat ingin, aku akan memikirkannya seribu kali. Lelahnya memang tak seberapa. Namun, sakitnya akibat dihina itu sulit sekali disembuhkan. Memang akhir-akhir ini aku jadi malas ke dapur. Mas Aji mungkin merasakan itu. Aku hanya memasak menu sederhana. Itu pun makanan yang jelas-jelas akan mas Aji terima. Seperti sambal dan pindang goreng. Untuk kali ini aku enggan mencoba resep rumit. Salah sedikit bisa fatal akibatnya bagi perasaan.

            Tiba-tiba saja mas Aji menyodorkan mangkuk kosong padaku, “Aku lapar, Nad.”

            “Mas mau sayur bening?” tanyaku heran sambil menebak lekuk indah di wajahnya.

            Dia mengangguk. Mengambil satu piring kosong dan mengisinya dengan nasi panas. Entah harus tersenyum senang atau bahkan menangis. Perasaanku campur aduk melihat mas Aji makan dengan lahap. Lauk sederhana. Tempe goreng, sambal terasi serta sayur bening yang biasa dia tolak. Kali ini dihabiskan.

            Mas Aji tak suka memuji. Dia juga tak banyak bicara ketika bersamaku. Terkadang sikap diamnya bagiku adalah sebuah pujian. Jika suaranya keluar, pastilah hanya protes tajam yang menyentuh gendang telinga. Aku lebih suka dia diam. Itu lebih menenangkan.

            Sorenya aku memberanikan diri membuat roti. Kubayangkan aroma butter yang menyebar ketika roti baru keluar dari oven. Panas-panas aku bisa mencobanya. Mas Aji pasti senang jika aku bisa menyajikannya sore ini sebagai teman minum teh.      

            Terigu kutimbang hati-hati. Begitu juga dengan ragi, gula pasir serta butter. Roti ini kubuat dengan senang hati. Penuh senyum dan berdzikir tiada henti. Berharap tak ada masalah lagi.

            Tiga kali proofing. Roti mengembang cantik. Sambil menunggu dioven, aku pun mengerjakan pekerjaan lain yang belum sempat kuselesaikan. Menjemur baju. Aku pun terburu-buru saat menuruni anak tangga. Gawat! Rotiku belum kutengok sejak tadi.

            “Yah, gosong!” Celetuk mas Aji yang ikut nimbrung di belakangku. Rotinya memang mengembang cantik. Namun sayang over bake. Belum lagi permukaannya yang sedikit menghitam. Ah, mas Aji pasti akan menghabisiku setelah ini.

            “Rotinya agak pahit-pahit gitu, Nad.” Ucapnya sambil mengambil sepotong. Lalu mengembalikannya lagi.

            Benarkan? Aku sudah bilang. Bahkan beribu kali kuingatkan pada diri sendiri. Mestinya tak perlu capek-capek membuat roti. Biarkan saja mas Aji beli di supermarket dekat rumah jika mau. Kalau sudah begini, bagaimana aku bisa menyatukan hati yang berserak? Detik itu juga aku menangis dan menghambur dalam pelukannya. Aku sungguh tak tahan. Sekian lama memberikan kode supaya mas Aji lebih berhati-hati saat bicara padaku. Hasilnya tak pernah menggembirakan. Dia hanya bicara tentang apa yang ada di kepalanya. Mengabaikan soal hati. Membuang jauh rasa peka yang harusnya dia miliki.

            Mas Aji tertawa, “Ada apa, Nadia? Apa aku salah bicara?” tanyanya sambil melingkarkan kedua lengan pada tubuh mungilku.

            Tentu saja mas Aji salah bicara. Kenapa bicara terlalu banyak? Satu kalimat saja sudah menikam apalagi dua. Aku berteriak dalam hati.

            “Nad?” tiba-tiba lelaki tiga puluh tahun itu menarik daguku menghadap wajahnya. Aku melihat pelangi dalam hangat tatapnya. Dia tersenyum. Menyuruhku berhenti menangis. Tapi, perasaanku menentang.

            Aku memilih pergi. Berlari meninggalkan dapur yang masih berantakan. Sendiri dan menangis di dalam kamar. Mas Aji tak berusaha mengejar. Harusnya dia datang padaku dan meminta maaf. Itu yang aku butuhkan saat ini. Namun, sepertinya sinyal di rumahku cukup lemah. Sehingga membuat mas Aji tak pernah memahami apa yang sebenarnya aku inginkan. Seperti inikah rasanya disakiti?

***

            Langit masih gelap ketika mas Aji menyalakan motor dan bergegas ke kantor. Sebelumnya dia mencium keningku. Berpamitan lantas mengusap kepalaku pelan. Aku hanya bergeming. Masih terbawa rasa sendu kemarin sore.

            “Mas berangkat ya, Nad.”

            Aku menggangguk. Mengantarnya sampai pintu pagar dan membalas salamnya lirih.

            Kemarin memang mas Aji melakukan kesalahan. Ya, setidaknya aku merasa dia tak cukup peka untuk menerka perasaan dan sakit hatiku. Tapi, pagi ini justru sebaliknya. Mas Aji pergi bekerja tanpa sempat sarapan atau pun minum teh.

            Tiba-tiba air mataku meleleh. Karena terlalu banyak menangis, aku pun kesulitan memejamkan mata. Hingga larut malam aku masih terjaga. Imbasnya, aku bangun kesiangan dan mas Aji, seperti biasa tak pernah merasa ingin membangunkanku.

            Pukul lima tiga puluh aku menemukan mas Aji sudah berdiri rapi di depan cermin. Aku yang baru saja bangun dengan masih mengenakan mukena terlonjak kaget. Rupanya aku tertidur usai shalat fajar.

            “Kok aku nggak dibangunin?”

            “Aku nggak tega bangunin kamu, Nad. Kayaknya kamu capek banget.” Meleleh sudah semua kebekuan semalam. Tanpa protes apalagi marah. Kalimat yang datar tanpa sakit hati. Aku telah melakukan kesalahan besar dengan menyakiti suamiku sendiri.

            Kemarin aku menyalahkannya untuk banyak hal. Tentang sikapnya yang kurang peka. Tentang ucapannya yang menyakitkan. Bahkan tentang banyak hal yang sampai sekarang justru tak kulihat di mana letak kesalahannya.

            Sekelebat bayangan berhamburan di pelupuk mata. Isakku berlarian. Gemuruh di dada semakin membuat sesak. Aku melihat mas Aji tak pernah naik pitam ketika aku marah. Dia lebih banyak diam sehingga pertengkaran kecil di rumah selalu berakhir cepat. Aku membayangkan dia yang tak pernah memprotesku soal sarapan pagi yang sering terlewatkan. Padahal dia harus menempuh jarak puluhan kilo meter demi sampai ke tempat kerja. Mas Ajiku yang neriman. Tak meminta ganti menu ketika masakanku tak sesuai dengan keinginannya. Dia memilih menahan lapar. Tak makan hingga keesokan harinya.

            Kejadian itu bermunculan bagaikan slide-slide yang sedang menampar keras wajahku. Segera kuambil handphone yang tergeletak di meja kamar. Mengetik pesan singkat.

            “Maafkan aku, Mas…”

***

Sepotong Kue Bolu

Sepotong Kue Bolu



Pelan-pelan aku mulai menyadari jika memasak tidak hanya ditentukan oleh bakat. Mungkin saja ibu menurunkan kepandaian memasaknya padaku, tapi jika tak pernah mencoba, semua bakat akan serupa tumpukan pasir tak berharga. Bagiku, pengalaman selama bertahun-tahun menjajal hampir semua menu di dapur, membuat tangan jauh lebih terampil. Sesekali pernah gagal, tapi semangat tak pernah pupus.

Sejak SMA aku suka memasak. Akibat terlalu sering melihat kegiatan ibu di dapur. Kelihaian ibu membuat cake dan roti membuatku semakin penasaran bagaimana menaklukkan jajanan favorit keluarga di rumah. Sejak saat itulah, ibu mengajarkan banyak hal, mengaduk adonan cake, membuat roti lembut serta memasak menu lebaran. Apa pun yang ibu kerjakan, selalu jadi pemandangan menarik untukku saat itu.

Bagi beberapa orang, memasak adalah sesuatu yang membosankan. Padahal, bisa menyajikan sesuatu yang spesial dari tangan sendiri adalah bonus luar biasa. Angga termasuk yang senang mendapatkan bonus-bonus itu dariku.

Ah, sayanganya, tak lama lagi kami akan berpisah. Beberapa waktu lalu, Angga menemuiku. Tak seperti biasa. Dia mengetuk pintu kamar, meminta izin masuk. Aku yang tak terbiasa merasa ada yang janggal.

“Kamu yakin akan menikah?” Tanya Angga sambil menarik kursi di depan meja rias.
Aku tersenyum, mulai mengerti arah pembicaraan kami selanjutnya.

“Memangnya kenapa? Apa Khey masih terlihat seperti adik kecil bagimu, Bang?” Ucapku sambil mencubit lengan Angga. Menahan gemuruh yang tiba-tiba menghantam dinding di hati. Rasanya terlalu menyedihkan, mengingat kami hampir tak pernah berpisah. Angga adalah kakak yang baik. Dia bukan tipe cowok yang malas mengantar adik perempuannya. Berbeda dengan kedua kakakku yang lain. Perhatian Angga justru membuat kami sulit menerima kenyataan seperti ini.

“Nanti siapa yang akan memasak kue untukku, Khey?” Angga menunduk. Memerhatikan kedua kakinya yang sengaja digerakkan ke kanan dan kiri.

“Memangnya abang nggak mau nikah?” Aku tertawa. Lebih tepatnya memaksa tergelak meski terlihat hambar.

“Harusnya aku duluan yang menikah. Kenapa kamu cepat sekali tumbuh dewasa. Rasanya baru kemarin aku mengantarmu ke sekolah.”

Aku tersenyum. Kali ini tak lagi menahan tangis. Kedua sudut mata terlanjur basah. Angga menatapku lama. Menarik napas dan beranjak.

“Izinkan Kheyla menikah, Bang...”

Angga memalingkan wajah, bergegas meninggalkan kamar. Menyisakan ngilu di hati.

Apa yang membuat seseorang terlambat mengerti? Terlalu sayang? Atau karena tak suka sehingga malas memahami? Mungkin kedua alasan itulah yang sedang dialami oleh kakak sulungku. Entah karena terlalu sayang, sehingga membuatnya menolak mentah-mentah pertunanganku dengan Sandi. Atau karena dia tak menyukai Sandi sehingga sampai detik ini tak juga memahami perasaanku.
Beberapa kali kucoba jelaskan, adik bungsunya hanya akan menikah, tidak pergi ke mana-mana. Sesekali akan bertandang ke rumah, bahkan mungkin lebih sering karena Sandi pun mengkhawatirkan kondisi ibu yang semakin tua. Kami sepakat akan menjaga orantua, baik ayah dan ibu Sandi atau pun orangtuaku.

Rumah Sandi pun tak seberapa jauh. Hanya beberapa ratus meter dari tempat tinggal kami. Tentu saja itu tak menjadi alasan kuat bagi Angga untuk menolak pinangan lelaki yang sudah menyukaiku sejak SMA itu. Kami sama-sama sudah dewasa. Sandi sudah bekerja dua tahun lalu sejak dia berhasil menyelesaikan kuliahnya. Ayah dan ibu pun tak pernah mempermasalahkan. Hanya saja, Angga selalu mencari alasan baru. Semakin lama semakin tak kumengerti.

Sungguh terlalu rumit mengingat aku dan Sandi sudah resmi bertunangan sejak tiga bulan lalu. Meski tak setuju, Angga tak bisa berbuat apa-apa. Hanya sesekali menyindirku yang terkesan terburu-buru ingin menikah. Padahal, usiaku sudah dua puluh empat tahun. Harus menunggu usia berapa lagi?
Beberapa kali Angga tak menegur. Bagaimana aku bisa nyaman jika dalam rumah ada orang dekat namun sengaja mendiamkanku? Tanpa sebab yang jelas, tanpa alasan pasti. Kadang dia lebih ketus. Marah ketika aku terlambat pulang ke rumah. Padahal, Jakarta memang selalu macet. Bukan rahasia jika jalanan selalu padat terutama saat jam pulang kerja.

Tapi Angga selalu menemukan pembenaran untuk dirinya. Dengan berbagai macam alasan, dia merasa berhak memarahiku. Ah, kenapa abangku berubah? Aku bahkan hampir tak bisa mengenalinya.

“Kue bolu apa?” Sahutnya dari belakang ketika aku mengeluarkan kue bolu pandan yang baru matang dari oven.

“Rasa pandan. Ini kesukaan abang, kan?”

Angga mengangguk. Tersenyum lebar lalu kembali diam. Kali ini tidak lagi mendiamkanku.
“Abang minta jangan teruskan pertunanganmu, Khey.”

Aku yang tak siap mendengarkan kalimat itu, tersentak dan seketika menatapnya penuh tanya.
“Ada apa dengan abang? Bukankah Kheyla sudah berusaha jadi adik yang penurut? Kheyla juga ingin punya keluarga, Bang. Pernikahan Khey tak akan merusaka hubungan kita sebagai saudara. Kenapa harus dilarang?” suaraku dipenuhi isak. Sedikit mengenai kue bolu yang tergeletak di meja.
“Bagaimana kalau Sandi ternyata bukan orang yang tepat buat kamu?”

Kalimat Angga serupa sembilu menyayat. Angga bahkan lebih mengenal Sandi dari pada aku. Sandi teman satu angkatan saat SMA. Sama-sama menjadi remaja masjid. Tak mungkin jika Angga tak mengenal siapa calon suamiku.

“Ucapan abang sempurna membuat Kheyla sakit. Kheyla pikir abang adalah orang yang paling mengerti perasaan Khey.” Tangis tak lagi terbendung. Butuh waktu lama bagiku agar bisa bicara panjang lebar pada Angga. Sebab tangis menyumpal tenggorokan. Membuat suara tercekat.
Setiap perempuan mendamba pernikahan dengan sang pangeran. Menjadi istri dan seorang ibu adalah impian terindah. Namun, terkadang mimpi itu harus terseok bukan karena sang pangeran yang terlambat datang. Tapi karena halangan lain dari keluarga sendiri. Bagiku ini terlalu sulit. Menikah namun ada yang bimbang bahkan merasa pernikahan kami nanti justru tak bisa menuai bahagia. Dalam keadaan seperti sekarang, aku tak bisa mencari jalan keluar. Sandi sudah memutuskan akan melaksanakan akad dalam waktu dekat meski mengetahui Angga tak pernah setuju dengan hubungan kami. Dia tetap keukeuh ingin kami menikah. Aku masih ragu. Pada akhirnya, malas bicara dengan kedua lelaki itu.

Aku mengusap kedua mata yang basah. Segera memotong kue bolu yang telah dingin. Menaruhnya di meja makan, berharap Angga akan segera menghabiskannya seperti waktu-waktu sebelumnya.
Malam ini, ketika keluar dari kamar, aku menemukan Angga sedang duduk di meja makan sambil mengunyah beberapa potong bolu pandan buatanku. Dia tak memerhatikan kedatanganku. Hanya termangu sambil menatap televisi yang menyiarkan acara sepak bola.

Suasana lengang. Ibu sudah tidur di kamar. Begitu juga dengan ayah. Angga beranjak. Tak menoleh atau bahkan menyapa adik bungsunya ini. Ah, rasanya ingin menangis melihat kakak kesayanganku tak acuh seperti itu.
***

“Bang,” aku menyerahkan boks berisi kue bolu tape keju kepada Angga.

“Apa ini?” Tanyanya penasaran lalu mengambil alih kotak berwarna biru itu dari tanganku. Membukanya pelan sambil mencium aroma wangi yang menguar dari dalamnya.

“Meski sudah menikah, Khey nggak akan lupa membuatkan abang kue bolu. Khey janji akan datang lebih sering,” ucapku sembari tersenyum.

Angga terperangah lantas merangkulku.

"Jaga adikku baik-baik," ucapnya lagi sambil menepuk bahu Sandi, suamiku.

Sunday, June 11, 2017

Raina Dan Luka

Cerpen Raina dan Luka


(Terkadang cinta justru datang menikam dengan sadisnya…)

Seorang wanita dengan pasmina merahnya tampak terburu-buru meninggalkan sebuah kafe. Ada gurat kesedihan yang sengaja ia sembunyikan. Namun, seorang lelaki yang sejak awal memerhatikan tampak terkejut dan segera menyusul.

“Kenapa buru-buru?”

Raina memalingkan wajah, tak mengacuhkan pertanyaan dari orang yang amat dikenalnya.

“Aku antar?”

Raina bergeming. Sepasang bola matanya menyapu jalan. Belum ada taksi lewat. Dia harus bergegas. Waktunya hanya sedikit. Ajakan lelaki berkemeja rapi di sebelahnya adalah sebuah jawaban. Namun, wanita dua puluh tujuh tahun itu enggan mengiyakan. Ada sesak yang mengganjal. Dia tak mungkin menerima tawarannya.

“Raina, aku akan antar,” sekali lagi suara itu tampak lebih tulus terdengar. Raina bahkan tak menitipkan seulas senyum sebagai jawaban. Tak ada gelengan kepala atas sebuah penolakan. Wanita dengan long cardigan abu-abu itu justru lebih serius menatap smartphone sambil memesan sebuah taksi online.

“Rai, kamu masih marah?”

Lelaki itu memaksa menguak sebuah luka lama. Luka yang sebenarnya masih belum kering sempurna. Bagaimana bisa dia bertanya sedangkan sejak awal Raina tak pernah memaafkan? Sudah lupakah bagaimana dia dengan amat menyakitkan memperlakukan wanita berperawakan tinggi itu? Sudah hilangkah bayangan penuh hujan yang kemarin bergetar dan memohon sebuah keputusan? Dan lelaki dengan dasi merah marunnya tiba-tiba bertanya tentang perasaan yang telah sengaja dikoyak. Bagaimana rasanya?

Tentu saja Raina tak merasa perlu memedulikan apalagi menjawab semua pertanyaan itu. Dia amat mengenalnya. Namun tak pernah disangka, sakit hati justru datang dari lelaki itu. Kenapa dia tega?

“Rai, aku minta maaf,” kali ini terdengar memaksa. Tangan kukuhnya menarik pergelangan Raina. Dengan keterkejutan luar biasa, sontak wanita berparas ayu itu menghempas dengan mata terbeliak.

“Di antara kita tak ada hubungan apa pun. Jadi tak pantas bicara berdua seperti ini.”

Lelaki di sebelahnya menyesal. Menangkupkan kedua tangan dan meminta maaf berkali-kali. Dia seolah mengemis belas kasih, tapi Raina tetap tak ingin mengangguk apalagi mengiyakan. Luka itu bahkan terasa lebih perih sekarang.

***

Ibu masih terlelap. Tekanan darahnya berangsur normal. Raina tergugu. Wanita enam puluh tahun itu kini dipenuhi guratan usia. Kelopak mata dan keningnya tampak lebih keriput. Lelah dan beban pikiran terasa amat menyiksa. Raina memang sudah berhasil menyelesaikan kuliah di fakultas kedokteran, sebuah cita dan asa orangtua serta keinginannya yang melambung sejak usia dini. Namun, nyatanya hidup senantiasa menghadirkan kisi-kisi lain. Selalu ada bahagia di antara duka. Begitu pun sebaliknya.

Ketika keberhasilannya menjadi dokter teramat memikat, maka pernikahan dan menjadi seorang istri adalah impian berikutnya. Dan Tuhan telah menurunkan kebahagiaan beruntun, lelaki dengan wajah tampan yang sejak lama menjadi teman kuliah, memutuskan melamar meski keduanya tak pernah menjalin hubungan istimewa.

Diam-diam lelaki berkacamata minus itu menyukai Raina meski tak sekalipun mengungkapkan. Dia menunggu meski nyatanya tak selalu mudah. Berhadapan dengan wanita behidung mancung itu membuatnya selalu gugup. Dia bertingkah aneh demi menutupi resah yang selalu datang tanpa diminta.

Satu, dua, hingga tiga tahun berikutnya, rasa itu tak berkurang, justru semakin sempurna. Cinta yang bagi sebagian orang terasa lebih indah, kini justru menyiksa. Pada akhirnya, Faris memberanikan diri melamar Raina. Datang ke rumah wanita cantik itu dengan kedua orangtua. Menyatakan cinta serta berharap bisa menikahinya.

Raina yang baru saja menyulam bahagia, tiba-tiba berbunga. Faris muncul sebagai seorang teman yang selalu siap membantu. Baginya itu istimewa meski tak pernah berharap lebih. Nyatanya, lelaki itu menyimpan rasa. Raina menerimanya penuh haru. Faris tertunduk sambil mengusap keningnya yang basah.

Lamaran dilaksanakan sebulan setelahnya. Pertemuan kedua keluarga. Hanya dihadiri orang-orang terdekat. Penetapan tanggal pernikahan dan tak ada lagi selain senyum menyembul dari kedua orang yang sedang jatuh cinta.

Sepertinya Tuhan sedang menghujani mereka dengan kebahagiaan. Tapi badai dan petir itu tiba-tiba saja datang tanpa diundang. Pernikahan yang tinggal beberapa pekan, undangan yang disebar ramai berubah jadi malapetaka.

Raina mengusap kedua sudut matanya yang basah. Ibu menarik selimut. Membuyarkan lamunannya. Cepat-cepat Raina membantu. Wanita yang rambutnya mulai beruban itu kembali terlelap. Tak menyadari sejak tadi ada Raina di sampingnya.

Pukul sembilan malam, Raina beranjak. Masuk ke kamar dengan perasaan kalut. Pertemuan sore tadi dengan Faris membuatnya terpaksa mengingat kelamnya masa lalu. Cinta yang masih tersisa namun harus segera pupus sebab takdir tak menghendaki keduanya bersama. Bagi Raina, keadaan saat itu amat menyakitkan. Perlakuan Faris yang tak sesuai harapan membuatnya sulit memaafkan. Jika memang tak bisa memperjuangkan, lantas kenapa dengan antusias menyatakan cinta?

Telepon berdering. Sebuah panggilan dari orang yang baru saja menyelinap dalam pikirannya. Sudah  tiga tahun, Faris seolah menghilang. Pernikahan serta resepsi megah yang dibatalkan dengan tiba-tiba membuat keduanya menjaga jarak.

Raina ragu. Mengambil handphone dan menaruhnya lagi. Dering ketiga, Raina mulai tak mampu. Dia meringkuk di ujung tempat tidur. Menangis. Suara dering telepon tak mau berhenti. Entah apa yang ada di dalam pikiran Faris. Seharusnya cukup sakit dan luka kemarin, tak perlu menambah apalagi menabur harapan baru yang mustahil diwujudkan.

Raina mengusap kedua matanya yang basah. Lelaki itu masih berusaha dan enggan berhenti. Raina mengumpulkan sisa keberanian, mengangkat telepon, dan suara itu memecah hening.

“Raina, aku ingin bicara.”

“Tentang apa?” Raina duduk di depan meja rias. Tubuhnya lemas seketika.

“Tentang kita,” Faris terdengar menarik napas dalam.

Apa yang akan dibicarakan lagi? Rasa malu atas pernikahan yang gagal digelar? Atau tentang rasa yang berubah semburat penuh luka? Raina mengerutkan kening.

“Aku tak punya banyak waktu.”

“Raina, aku minta maaf karena dengan tiba-tiba membatalkan pernikahan. Bukan aku yang mau. Ibu tiba-tiba saja menolak dan ingin menikahkanku dengan sepupu yang baru datang dari Malaysia. Sejak lama ibu mengharapkan dia menjadi menantu…”

Raina termangu. Kalimat-kalimat itu seolah dusta. Sejak kapan ada seorang ibu yang rela merusak bahagia putranya? Apakah Faris sebodoh itu hingga tak mampu menolak? Lantas, bagaimana dengan udangan yang disebar dan pernikahan yang hanya sebentar lagi digelar? Apakah Faris sudah berbohong? Tapi, lelaki yang selalu tersenyum ramah itu hampir tak pernah melakukannya. Sejak kedatangannya terakhir ke rumah Raina, dia tak lagi muncul dan tak pernah memberikan alasan. Seolah dialah orang paling bertanggung jawab atas batalnya pernikahan mereka.

Sekarang, tiba-tiba saja Faris muncul dan membuat kejutan luar biasa. Ada apa ini? Raina menghapus resah. Tiba-tiba saja kepalanya pening.

Faris percaya ini akan sia-sia. Dua hari yang lalu, dia baru kembali ke tanah air. Sekian lama menghilang demi menghindari perjodohan yang tak pernah diinginkan. Sekuat tenaga mencari alasan supaya sang ibu tak terluka. Berniat melanjutkan kuliah spesialis di luar negeri. Berjanji akan kembali dan menyembuhkan luka orang terkasihnya.

Pertemuan tanpa sengaja di kafe sore tadi membuat semua rencana Faris berantakan. Awalnya, dia hanya berniat bertemu sahabat lama. Tak disangka, di sana ada Raina yang ternyata masih menyimpan luka atas kejadian bertahun silam.

Faris menyesal dan segera menyusul ketika Raina tiba-tiba beranjak tanpa menyentuh segelas cappucino yang sudah dipesannya.

Raina mengaku kecewa telah datang sore itu. Bukan hanya karena pertemuan tanpa diduga dengan mantan tunangannya, tapi lebih berat meninggalkan ibu dengan kondisi yang sedang memburuk. Sebuah pesan singkat dari adik bungsu membuatnya segera beranjak. Beberapa pasang mata yang melihat merasa ikut bersalah karena sudah mengajak keduanya hadir. Pertemuan penuh luka.

Usia ibu memang tak lagi muda. Namun sakit itu muncul sejak pernikahan putri sulungnya yang batal dilaksanakan. Raina merasa amat bersalah, kenapa harus menerima pinangan Faris. Sesal yang selalu datang di akhir.

“Rai,” tiba-tiba suara Faris mengejutkannya.

“Iya,” Raina mencoba berdamai. Tak baik menyimpan sakit hati terlalu lama. Itu hanya akan menghambat bahagia.

“Aku ingin kita menikah.”

Terasa disayat sembilu. Lelaki itu dengan mudahnya mengucap kalimat yang sama berulang kali.

“Faris, aku harus segera tidur.”

Raina memutus telepon sebelum lelaki itu sempat menolak. Dia bergegas merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Bergelung dalam selimut. Menangis sejadinya. Gemuruh dalam dada yang membuncah, rindu dan sakit yang berjejalan. Ada apa ini? Kenapa rasanya begitu sakit?

Raina menarik napas dalam. Satu jam kemudian tak juga mampu memejamkan mata. Sementara lelaki di seberang sana merasakan kekalutan serupa. Raina beranjak, mengambil wudhu dan menggelar sujud panjang. Ribuan duri yang menusuk dilepaskannya pelan.

Tanpa disadari, lelaki yang dulu amat dicintai sedang melakukan hal serupa. Sujud serta doa mereka menghentak ketenangan langit. Tangis keduanya menghadirkan ribuan cahaya. Malam yang semakin beranjak, hati yang mulai luluh dan ikhlas. Raina mencoba memaafkan meski terlalu sakit. Faris mencoba mengikhlaskan walau kenyataannya, perasaan itu tak berkurang meski hanya sejengkal saja.

***

Raina terhenyak mendapati seorang perempuan paruh baya sedang berdiri di depan pintu. Dia begitu mengenalnya. Tiba-tiba saja wanita itu merengkuhnya dengan suara isak yang terdengar putus-putus. Dengan ragu, Raina membalas pelukannya. Mencoba menerka apa yang akan disampaikan.

“Maafkan ibu. Selama ini ibu egois. Ibu sudah melukai kamu dan keluargamu.”

Raina tergugu. Rasanya seperti mimpi. Wanita yang dulu menolak pernikahannya kini datang dan meminta maaf. Faris membuktikan ucapannya, kalimatnya semalam bukan dusta.

 Tiba-tiba saja Raina ingin menangis mengingat bagaimana ibunya jatuh sakit dan dirawat hingga berkali-kali sejak batalnya pernikahan itu. Ada banyak luka yang tak akan sembuh hanya dengan kata maaf. Ada banyak kejadian menyakitkan yang tak bisa dihapus hanya dengan kalimat sederhana itu. Tapi hati yang ikhlas tentu tak mengharapkan semua luka itu menguap. Raina selalu percaya, tak ada kejadian tanpa kehendak Tuhan.

“Ibu ingin kalian menikah. Ibu tak akan menghalanginya lagi.”

Raina termangu. Kedua bola matanya membulat. Kristal bening bergulir. Raina menemukan lelaki berkamata minus itu sedang tersenyum di hadapannya sebelum sempat dia menghapus tangis. Faris kembali, menunaikan janji yang sudah terpatri di dalam hati. Menikahi bidadarinya, menyembuhkan lukanya.