Tuesday, October 31, 2017

Cerbung Antara Kita Bag 10; Kisah Kita

Cerbung Antara Kita Bag 10; Kisah Kita
Photo on Unsplash


(Raina)

 

Harapan itu menguap,

Menjelma mimpi,

Merenggut binar yang sempat singgah sejenak,

Dan menjadikanmu pangeran dalam kisah semalam

“Hayo, mikirin apa, sih, Rai?” pekik bang Rio sambil menepuk punggungku dari belakang.

Kalau kujawab, dia pasti akan menertawakanku lagi. Lebih baik aku menghabiskan sarapan dan segera berangkat mengajar. Anak-anak pasti sudah menunggu.


Tapi, bukan bang Rio kalau cepat menyerah. Dia memandangku lekat. Setelah menyesap teh hangat buatan ibu, bang Rio segera menyindir mataku yang sembab. Mungkin juga masih menyisakan kantung mata berwarna gelap. Kurang tidur dan menangis semalaman. Ah, menyesal rasanya karena sudah menghabiskan waktu untuk memikirkan mas Bagas.


“Kamu habis nangis, Rai?” Tiba-tiba bang Rio menunjuk kedua mataku.


Aku menggeleng. Menunduk demi menyembunyikan bengkak di kelopak mata. Kalau aku bilang, apa bang Rio akan marah? Atau justru dia jadi penasaran dan bertanya langsung pada mas Bagas? Aku jadi bingung harus apa. Lama-lama rahasia ini juga pastilah terbongkar karena mereka berdua merupakan teman satu kampus bahkan bertugas di rumah sakit yang sama.


“Jangan bohong, deh. Diapain sama Bagas?”

 

Bang Rio menatapku serius. Ini bukan dia yang biasanya. Bang Rio biasanya cuek dan tidak peduli. Dia suka usil dan tak punya perasaan. Tapi, kali ini kulihat bang Rio benar-benar bertanya, kenapa aku menangis?


“Apa yang dilakukan Bagas sama kamu? Ada yang nggak beres, nih!” ucap bang Rio sambil memicingkan matanya.


Ibu menyusul dari dapur sambil membawa sepiring buah yang baru dicuci. Melihat kami berdua saling diam, ibu pun jadi jauh lebih penasaran.


“Ada apa, Rio? Rai?”

 

Mungkin pertanyaan dalam hati ibu sudah bisa kutebak langsung. Kenapa kalian berdua tidak ribut di meja makan? Biasanya kalian tidak pernah berhenti bertengkar, bahkan saat makan pun seperti hendak saling lempar sendok dan garpu. Tidak ada habisnya.


“Rai habis nangis, Bu.”


Aku melotot. Sayangnya, sikapku barusan justru semakin menunjukkan betapa bengkaknya kelopak mataku. Aku jadi serba salah. Tidak mungkin aku ceritakan sekarang, bahkan sebenarnya aku masih ragu dengan kejadian kemarin pagi. Entahlah, aku hampir tak percaya kenapa bisa gadis setinggi foto model itu muncul di sini. Selama enam bulan bertetangga dengan mas Bagas, tidak pernah kulihat tamu selain bang Rio atau teman-teman kampusnya sesama laki-laki. Dan perempuan berwajah cantik kemarin seperti terlihat sangat mustahil berada di sana. Tapi, dia memang di sana, berhadapan dengan mas Bagas dan mengatakan sesuatu yang bisa membuat jantungku berhenti berdetak.


“Rai! Ada apa?” ibu mulai menatap dengan pandangan menyelidik.


Aku menggeleng. Segera menelan sisa roti di mulut dan meneguk susu hangat di meja.


“Rai berangkat dulu, Bu.”


“Eh, kamu mau ke mana lagi? Kami belum selesai bicara, lho!” tegur bang Rio sambil menarik tali ranselku dari belakang.


Aku kesal, segera menimpuk kepala bang Rio dengan kepalan tangan. Dia mengaduh dan  segera mengusap kepalanya.


Ibu hanya tertawa, mengantarku hingga pintu depan. Sebelum pamit aku sempat mengatakan bahwa mungkin nanti atau entah kapan, aku akan bicara pada ibu tentang masalah ini. Ibu, seperti biasa mengangguk, tak pernah memaksa.


***


Aku bertemu mas Bagas. Tidak seperti biasa, dia menyusulku. Aku juga ingin bicara tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat. Aku harus segera pergi dan menyusul teman-temanku. Mereka pasti sudah menunggu sejak tadi, begitu juga dengan anak-anak di sana.


Hampir tidak pernah kutinggalkan tugasku kecuali saat sakit dan terpaksa. Mungkin, urusan semacam ini bukan termasuk hal yang bisa dikategorikan darurat. Aku tak mau datang terlambat hanya demi mas Bagas. Dia pasti bisa menunggu. Dan aku pun bisa menunggu demi mendengar penjelasan atau bahkan kejujurannya.


Setelah menangis semalaman, aku merasa jauh lebih siap. Kenapa aku harus takut dibohongi sedangkan selama ini kami berdua memang tidak terikat apa-apa. Memang, rasanya sakit karena rahasia itu justru kuketahui dengan cara yang tidak seharusnya.


Aku berusaha memaafkan orang yang menyakitiku. Menyimpan rasa sakit hanya akan membuatku sulit bahagia menjalani hidup. Aku sulit tidur hanya karena memikirkan kejadian kemarin. Aku sulit berpikir tentang banyak hal termasuk soal anak-anak di kawasan pabrik itu hanya karena mas Bagas yang sempat melakukan sesuatu yang tidak pernah aku harapkan sebelumnya.


Menjadi bagian dari luka adalah hal wajar yang terjadi di dalam hidup seseorang termasuk aku sendiri. Rasanya tidak mudah ketika mengharapkan seseorang, tapi kenyataannya justru dia sendiri yang mematahkan harapanku. Aku ingin mendengar langsung semua penjelasan dari mas Bagas. Ya, mungkin nanti saat kami punya waktu untuk bicara.


“Rai, maafkan mas. Mas ingin jelasin semuanya sama kamu.”


Aku hanya tersenyum dan berharap mas Bagas tidak melihat kelopak mataku yang bengkak akibat menangisi dia semalaman.


“Insya Allah nanti kita bicara. Rai harus segera pergi, Mas.”


Mas Bagas berhenti mengejar. Aku rasa dia mengerti. Kita akan bicara saat waktunya telah tiba. Entah kapan, atau mungkin selamanya tak akan pernah ada penjelasan berbeda seperti yang kuharapkan.


Allah, ternyata tidak mudah berdamai dengan hal semacam ini. Aku segera pamit. Berlalu meninggalkan mas Bagas. Insya Allah kita akan bertemu dalam keadaan yang jauh lebih baik.


***


(Bagas)


“Eh, Gas! Kamu apain Raina?”


Saya sempat kaget saat Rio tiba-tiba menyusul ke halaman rumah sesaat setelah Raina pergi.


“Eh,  bukannya kita harus segera berangkat?” Jawab saya asal. Berharap dia tak memaksa saya bicara lebih banyak.


“Nggak, nggak. Adikku kayaknya nangis semalam. Matanya bengkak. Dan jangan bilang kalau kamu nggak tahu apa-apa soal ini?”


Saya tersenyum, sebagai seorang laki-laki saya harus jujur dan menjelaskan semuanya. Saya tahu, meski agak rame dan ribut, Rio sebenarnya adalah seorang kakak yang baik. Karena kami pun sudah berteman cukup lama, saya pun tahu lebih banyak tentang siapa Rio sebenarnya. Karenanya, saya tak ragu saat dia bertanya, dan saya akan jelaskan semuanya.


“Kita ngobrol di dalam.”


***


(Raina)


Bahagia itu hanya sebatas sesapan bibir tipismu

Pada salah satu sisi cangkir teh yang selalu aku hidangkan

Di dekat tempat berbaringmu...


“Benarkah?”


Aku menatap kedua matamu sekali lagi. Ingin memastikan bahwa ucapanmu barusan hanyalah sebuah guyonan. Tapi, hingga debar dalam dadaku semakin bergemuruh, wajahmu justru semakin serius meminta persetujuan.


“Apa Mas serius?” Suaraku terdengar serak. Kepala tiba-tiba saja terasa pening. Tidakkah aku sudah salah dengar, apakah benar kamu meminta izin untuk menikah lagi?


Kepalaku semakin berat, mata berkunang. Wajahmu seolah bayangan yang berputar semakin cepat. Membuat pandanganku kabur. Kemudian, hanya gerakan tubuh limbung dan kerasnya hantaman lantai yang menyentuh kepala yang pada akhirnya menidurkanku begitu lama.



***


Raina baru siuman setelah setengah jam dia jatuh pingsan. Bagas sempat panik meski dia seorang dokter, tidak mudah menghadapi kejadian seburuk itu tepat ketika dia meminta izin kepada istrinya untuk bisa menikah lagi.


Bagas berharap Raina tidak akan pernah salah sangka padanya. Dia tidak benar-benar mencintai Sherly, dia terpaksa melakukannya sejak tes DNA itu keluar dan gadis kecil yang sudah beranjak remaja itu ternyata benar-benar mewarisi kulit putih serta bibir tipis miliknya.


Bagas merasa menjadi lelaki paling bodoh. Hanya demi anak gadis yang tak pernah diharapkannya, dia rela menyakiti Raina. Istrinya tidak pernah mengeluhkan apa pun sejak mereka menikah. Meski Bagas lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit, wanita berlesung pipit itu tidak pernah keberatan. Belum lagi setelah memiliki anak, Raina menjadi wanita paling sibuk. Ah, rasanya Bagas teramat menyesal telah menuruti permintaan Rara.


Gadis kecilnya yang dulu, yang dia anggap bukan darah dagingnya, kemarin sekali memohon. Ya, hanya sekali. Dia meminta Bagas menikahi Sherly. Dengan tatapan dipenuhi hujan, Rara meminta Bagas menikahi ibunya. Ya, hanya sebentar saja. Setelahnya Bagas boleh melakukan apa pun termasuk meninggalkan Rara yang ternyata adalah darah dagingnya sendiri.


“Mama tidak punya waktu banyak. Dokter bilang mungkin hanya sebulan, bahkan bisa jadi kurang.”


Bagas menatap buah hatinya sekali lagi. Hampir tak percaya dengan apa yang diucapkan Rara.


“Rara mohon, menikahlah dengan mama supaya dia bahagia. Hanya sebentar saja,”


Tatapan gadis itu semakin deras. Bagas mematung. Mungkin bukan hal masuk akal, tapi mungkin dia bisa mengabulkan permintaan terakhir gadis itu. Bagas tersadar dari lamunannya, sebuah anggukan pada akhirnya menyembulkan senyum manis pada wajah Rara. Sedetik kemudian, gadis yang tak pernah disebutnya anak itu berkali-kali mencium tangannya, menangis amat dalam.

 
***

Tuesday, October 24, 2017

Cerbung Tentang Kita Bag 9; Antara Kita

Cerbung Tentang Kita Bag 9; Antara Kita
Photo on Unsplash


(Bagas)


Mengingat masa lalu serupa menusukkan jarum tajam ke ulu hati, ngilu. Saya tidak tahu betul bagaimana kejadian saat malam di mana saya tiba-tiba saja jatuh pingsan di rumah Sherly. Kebodohan yang terus saya dengungkan hampir setiap hari. Tidak ada yang bisa diingat dari kejadian itu selain benturan keras di kepala bagian belakang. Tidak ada yang bisa dilihat saat malam beranjak pagi kecuali ingatan menjijikkan tentang gadis yang telah lama membohongi saya.

Saat terbangun pada pagi yang menyesakkan, dengan kepala masih berdenyut pusing, saya melihat Sherly duduk di depan cermin di dalam kamarnya. Dia tersenyum menyambut saya, lebih tepatnya menyeringai dan menertawakan kebodohan saya. Dia mendekati ranjang di mana saya masih lemah berbaring. Jemarinya yang lentik menyentuh pipi yang dengan tegas saya tepis. Apa yang sebenarnya terjadi?


Saya bahkan kehabisan kata-kata dan memutuskan segera beranjak meski dengan kesadaran masih limbung. Sherly mencegah. Tapi saya sudah tidak percaya padanya sejak pagi ini ketika tiba-tiba semua ingatan berubah memuakkan. Gadis itu dulu bersikap baik seperti seorang adik kepada kakaknya. Gadis itu selalu sopan bahkan tidak pernah berani menyentuh lengan saya meski kami sering pergi berdua. Gadis itu bahkan sudah saya anggap seperti seorang adik. Tapi lihatlah apa yang telah dilakukannya sekarang?


“Ini terakhir kali kita bertemu!” Pekik saya sambil membanting pintu kamar yang dibalas seringai.


Saya seorang lelaki, tidak pantas menangis hanya karena dimainkan perasaannya. Tapi saya akan menangis bahkan lebih dalam lagi ketika menyadari bahwa ada dosa yang telah saya perbuat entah apa, bahkan menebaknya pun tak bisa. Sepanjang jalan pulang, saya mengurut kening. Ribuan istigfar mengalir membasahi bibir. Apa yang harus saya katakan kepada kedua orang tua? Mereka telah mendidik saya sampai sebesar ini bukan untuk sebuah dosa besar yang sangat menjijikkan. Mereka akan sangat kecewa, bahkan saya sendiri tidak bisa memaafkan kesalahan serta kebodohan saya selama ini. Kenapa dengan entengnya menerima permintaan Sherly tanpa sedikit pun rasa curiga. Saya tidak pernah membayangkan bahwa gadis yang tak pernah berkata manis itu berani melakukan hal semacam ini.


Untuk kali terakhir, saya ingin melenyapkan ingatan tentang Sherly. Tentang apa pun yang berhubungan dengannya. Ingatan padanya membawa rasa pahit dan ngilu yang nyaris bersama membasuh ulu hati. Habis sudah semua impian saya. Habis!



***


Sherly menarik pergelangan tangan gadis kecil berkuncir dua. Menahannya untuk tidak beranjak lebih dekat kepada saya. Saya tertawa sinis. Omong kosong apa lagi yang akan dibuatnya kali ini. Sudah habis kesabaran saya.


“Rara adalah anak kita, mas Permadi. Dia darah dagingmu!” Isaknya setengah berteriak dengan suara serak


Saya ingin percaya, sayangnya kepercayaan seseorang tidak bisa dimainkan. Jika dulu saya bisa dengan mudah percaya, maka kali ini ada usaha yang lebih keras lagi untuk mendapatkannya.


“Kalau begitu kita tes DNA.” Kata saya tegas.


“Jadi kamu tidak percaya bahwa dia anakmu? Keterlaluan kamu!” Sherly berteriak seperti orang kesetanan. Dan saya masih tidak peduli bahkan tidak ingin beranjak sedikit pun dari keputusan awal.


Apa yang tidak bisa diketahui akan dibuktikan dengan tes DNA. Jika gadis itu memang benar putri saya, maka saya akan bertanggung jawab dengan lapang dada. Mungkin saya harus memaafkan masa lalu saya yang pahit dan memberikan ruang sedikit saja pada gadis itu. Gadis kecil itu tidak pernah berdosa dan bukan penyebab terjadinya dosa besar di antara kami. Saya akan memaafkannya, memaafkan gadis kecil itu tapi tidak untuk Sherly. Saya sudah terlalu muak. Bahkan sejak awal melihat wajahnya, perut saya tiba-tiba mual dan ingin muntah.


Sherly, dia masa lalu yang menerbangkan semua mimpi saya. Hilang. Musnah!


***


(Raina)


Malam ini, ketika kedua mataku mulai bengkak karena menangis, tiba-tiba kulihat mas Bagas melambaikan tangan dari jendela kamarnya. Entah apa yang ingin dia katakan. Kulihat kedua tangannya saling mengatup di depan dada, sampai-sampai dagunya menyentuh ujung jarinya. Dia meminta maaf?


Sayangnya tidak semudah itu meminta maaf, mas. Butuh lebih dan lebih banyak lagi waktu untukku berpikir bahwa sebenarnya kejadian tadi pagi hanyalah sebuah permainan. Bukan sesuatu yang mesti kupercaya.


Tanpa menjawab, kututup pintu balkon kamar. Meninggalkan mas Bagas sendiri. Meninggalkan hatiku yang tiba-tiba ngilu mengingat semuanya.

***

 

Monday, October 23, 2017

Cerbung Tentang Kita Bag 8; Rahasia Bagas Permadi

Cerbung Tentang Kita Bag 8; Rahasia Bagas Permadi
Photo on Unsplash


(Bagas)

Aku angin,

Menerbangkanmu

Pada mimpi-mimpi masa lalu

Malam sudah larut ketika kami bertiga tiba di Surabaya. Setelah mengikuti seminar di Jakarta, saya, Sherly dan Dimas memutuskan segera pulang sesaat setelah sampai di bandara Juanda. Sayangnya Sherly terlihat sangat pucat, mungkin terlalu lelah atau entahlah. Gadis itu memang terlihat tidak fit hari itu.


Dimas sudah pulang dengan sebuah taksi menuju rumah kostnya. Sedangkan saya masih menunggu taksi berikutnya untuk Sherly. Saya tidak tega meninggalkannya sendiri. Terutama karena dia seorang perempuan dan dia sendirian. Saya akan merasa berdosa jika terjadi sesuatu yang buruk menimpanya.


Sherly sempat menolak, tapi saya memaksa mengantar. Lagi pula, jalan menuju rumahnya satu arah dengan rumah saya. Lima menit kemudian, taksi datang dan melesat cepat meninggalkan bandara, meninggalkan malam yang awalnya indah berubah kelabu.


Malam itu, entah kenapa, perasaan tidak enak mendera. Saya harus turun dari taksi dan memastikan Sherly masuk rumah dalam keadaan baik-baik saja. Saya membawakan koper kecil miliknya, namun sebelum meninggalkannya pulang, Sherly jatuh pingsan di depan rumah tepat satu langkah sebelum dia menyentuh gagang pintu.


Astgafirullah. Saya segera membopong Sherly masuk ke dalam. Rumah besar tanpa penghuni kecuali dia dan saya saat itu. Mungkin Sherly terlalu lelah atau karena sangat antusias menguruskan badan, dia jadi lupa tidak makan siang. Saya ingin tertawa karena kebodohannya tapi mengingat kami hanya berdua, saya jadi urung melakukannya. Bukan hal lucu menrtawakan orang pingsan. Tapi dia terlalu aneh akhir-akhir ini. Saya dan Dimas sempat mempertanyakan kenapa dia tiba-tiba  berubah jadi gadis paling feminin di kampus? Dimas bilang, mungkin Sherly sedang mengincar salah satu dari kami. Saya terbahak mendengarnya. Kami sudah seperti saudara. Mustahil saling suka kecuali jika Dimas dan Sherly jadian, saya baru setuju. Tapi, lupakanlah. Sekarang saya harus memikirkan bagaimana caranya segera pulang sedangkan Sherly belum juga sadar.


Sebelum Sherly siuman, saya segera membayar taksi dan menyuruhnya pergi. Mustahil saya meninggalkan Sherly sendiri. Kemustahilan yang sebenarnya sempat membuat saya ragu beberapa saat. Namun, saat kembali ke rumahnya, Sherly sudah siuman duduk di sofa sambil memegang kepalanya yang mungkin berdenyut.


Syukurlah, saya menarik napas lega. Sepertinya dia hanya kurang makan atau mungkin terlalu capek.


“Untuk apa mati-matian diet kalau akhirnya kamu jatuh sakit,” saya tertawa disambut senyum tipis darinya.


Sambil menyodorkan segelas air putih, saya memutuskan segera pamit. Malam semakin larut, tidak mungkin saya berada di rumah gadis berkulit putih ini. Tapi Sherly masih menahan saya dan tidak mengizinkan saya pergi. Katanya dia masih pusing dan takut pingsan lagi. Akhirnya malam itu kami memutuskan makan malam sebentar sebelum saya memutuskan pulang.


***


Saya telah melakukan kesalahan besar, tepat di malam saat hujan lebat mengguyur kota Surabaya. Sherly menahan saya pulang. Setelah makan semangkuk mie instan buatannya, saya meneguk segelas teh panas.


Gadis manis ini terlihat baik-baik saja setelah menyantap sepiring buah. Saya kembali tersenyum. Jadi, saya merasa tidak ada alasan lagi untuk tetap tinggal meski nyatanya malam telah beranjak pagi. Orang tua saya pasti akan mencari dan panik meski sejak tadi saya telah menghubungi.


“Sebentar lagi hujan reda, tunggulah sebentar.” Ucap Sherly sambil melihat keluar.


“Saya pulang naik taksi, kenapa harus menunggu hujan reda?” tanya saya heran.


“Tapi, hujan akan membahayakanmu di jalan, Mas.”


Baiklah, tapi saya yakin tidak perlu menuruti kalimat Sherly kali ini. Saya segera pamit meski dia berkali-kali melarang. Sayangnya, entah kenapa tiba-tiba kepala saya berat. Pandangan kabur, sebelum berhasil berdiri, saya justru jatuh ambruk. Dan selanjutnya, saya tidak mengingat apa pun.


***


Sunday, October 22, 2017

Resep Martabak Brownies

Resep Martabak Brownies


Assalamualaikum, alhamdulillah kembali baking setelah sekian lama tidak membuat kue dan roti. Nah, kali ini bertepatan dengan tema posting rame-rame bersama sobat Cookpad. Temanya adalah kue tradisional berserat. Nah, lumayan asyik juga, secara kue-kue berserat itu bikinnya nggak semudah makannya..he.

Pilihannya lumayan banyak juga sih. Misalnya saja bika ambon yang saat ini lagi hits di jagad Cookpad dengan edisi ekonomisnya yang antigagal, ada juga serabi, kue cucur dan salah satunya juga martabak. Dan pilihan saya jatuh pada martabak coklat atau disebut sama mbak Nina (Catatan Nina) sebagai martabak brownies. Gemes banget nggak sih lihat martabak dihiasi topping selucu ini? macam-macam jenisnya dan pastinya sangat menggugah selera. 


Kalau ngajakin anak-anak sudah pasti mereka happy banget bantu menghias. Toppingnya bisa ditaburi suka-suka. Atau tanyakan apa yang mereka inginkan? Kalau emaknya lebih suka lihat berwarna warni biar lebih indah aja. Cakep difoto...kwkwk.


Resepnya saya ambil dari Catatan Nina. Di sini saya skip pasta coklat karena kebetulan tidak ada di rumah. Kalau ditambah pasta coklat pastilah nyoklatnya legit banget, ya. Satu resep ini jadi dua loyang. Lumayan banyak juga, kan hasilnya. Daripada beli di luar, mending bikin sendiri aja supaya lebih hemat. Yess, emak-emak emang sukanya begini...haha. Antara pelit dan hemat selalu beda tipis :D
 


Bahan:

235gr terigu protein sedang (Seperti segitiga)

1 kuning telur

15gr coklat bubuk

1sdt baking powder

85-90gr gula pasir

350ml air (saya pakai susu cair)

1/2sdt pasta coklat (saya skip)

1/4sdt garam

Secukupnya gula pasir untuk taburan

Secukupnya margarin atau butter untuk olesan


Bahan Tambahan Perloyang:

1/4sdt baking powder

1/4sdt baking soda


Topping:

Keju parut

Wafer

Biskuit

Mesis

Atau sesuai selera


Cara membuat:


  • Campur terigu, baking powder dan coklat bubuk. Ayak jadi satu. Masukkan kuning telur, garam dan gula pasir. Aduk rata.

  •  Campur pasta coklat dengan air (jika pakai) lalu masukkan dalam campuran terigu. Aduk sampai rata lalu mixer adonan sampai licin.

  • Tutup adonan dengan lap bersih dan diamkan sampai 60 menit.

  • Panaskan cetakan martabak atau teflon dengan api kecil.

  • Masukkan baking powder dan baking soda, aduk rata lalu tuang adonan dalam cetakan atau teflon. Adonan ini nantinya akan jadi dua loyang. Jadi setiap loyang silakan ditambah 1/4sdt baking powder dan baking soda sesaat sebelum dipanggang.

  • Biarkan adonan berbuih dan berbusa, ya. Jangan ditutup sebelum adonan berbusa. Taburi gula pasir di atasnya dan tutup. Biarkan matang.

  • Angkat dan taburi topping di atasnya. Lebih nikmat jika diberi susu kental manis dulu baru diberikan topping sesuai selera.

  • Potong-potong dan sajikan. Wuhuuu, hasilnya cakep berserat, masya Allah.

Jangan lupa pakai api kecil supaya hasilnya nggak gosong, yaa. Resep ini bisa jadi alternatif kalau kita bosan makan martabak versi originalnya. Bisa deh bikin varian martabak brownies kayak gini. Anak-anak heboh melihat penampilannya yang luar biasa gemesin..hehe.


Ketika akhir pekan, kita bisa jadwalkan mengajak anak-anak mencoba berbagai macam resep yang pastinya mudah dicoba. Beri mereka masing-masing tugas sederhana. Bisa sekaligus membentu mereka lebih percaya diri dan berlatih bersabar hingga kuenya matang.


Meskipun hasilnya kadang nggak sesuai harapan, tapi biasanya kita lebih puas menyantap hasil masakan sendiri. Begitu juga dengan mereka. Sekalian ngajarin juga biar nggak sering jajan di luar karena memang lebih banyak manfaat positif yang bisa kita dapat ketika masak sendiri di rumah. Salah satunya tentang kebersihannya.


Selamat mencoba dan salam hangat,


Friday, October 20, 2017

Rindu

cerpen rindu
Photo on Unsplash


Pukul 10 malam, Rasyid baru saja sampai di rumah. Setelah mengunci mobil, lelaki 30 tahun itu menatap lampu ruang tamu yang masih menyala. Bella pasti belum tidur, atau mungkin tidur dalam keadaan duduk tegak sambil sesekali kepalanya terjatuh membentur bahu. Rasyid bisa membayangkan bagaimana wajah cantik itu terlelap begitu lelahnya sambil tetap memegang jarum rajut. Sedangkan sepatu mungil berwarna biru cerah yang sudah sampai separuh dikerjakan akhirnya berantakan karena dimainkan oleh kucing kesayangan mereka.


Sudah berulang kali Rasyid mengatakan pada istrinya bahwa dia tak perlu repot-repot menunggu. Rasyid sudah membawa kunci rumah sendiri, dia bisa masuk kapan pun tanpa mengganggu Bella. Sayangnya, wanita bertubuh mungil itu tetap keras kepala. Dia ingin membukakan pintu dan melihat wajah Rasyid pertama kali saat suaminya tiba di rumah. Kenapa harus begitu?

 
“Hanya ingin memastikan bahwa kamu pulang benar-benar karena lembur, Mas.”

“Hah? Apa maksudmu?” Rasyid bertanya heran.

“Bisa jadi kamu pulang karena hmm, aku pasti tahu beda parfum orang lain dengan parfum suamiku sendiri. Apalagi parfum perempuan tentu berbeda dengan yang kamu pakai, Mas.” Jawab Bella dengan wajah jenaka.


Rasyid tertawa sambil mengacak rambut Bella, “Lalu apa yang kamu temukan, Sayang?”


“Bella bersyukur, kemeja mas Rasyid bersih, parfumnya pun hanya berganti jadi asam keringat! Wajah, tidak ada yang berbeda dari sejak pertama kita bertemu pagi tadi. Hanya lebih banyak minyak dan sedikit debu.”
 

Sekali lagi Rasyid terbahak, “Jadi kamu bersyukur sudah menikah denganku, kan?”

Bella mengelak, “Tidak juga.”

“Apa?” Tanya Rasyid kesal.
 

Tiba-tiba saja Bella duduk dan menarik pergelangan tangan suaminya, “Maafkan jika aku belum juga bisa memberikan anak buat kamu, Mas.” Suaranya terdengar putus-putus.

Rasyid diam. Dia rindu tangisan bayi. Dia rindu dipanggil ayah. Tapi dia jauh lebih rindu melihat senyuman istrinya.

Rumah itu, hanya ramai saat mereka berdua bertemu. Selepas Rasyid pergi bekerja setiap pukul enam pagi, rumah serupa istana yang Rasyid bangun dengan hasil keringatnya hanyalah sebuah ruang kosong tanpa penghuni. Sepi.

Lima tahun pernikahan, mereka belum juga dikarunia anak. Hampir lebih tepatnya. Bella pernah hamil hingga usia kandungan tujuh bulan. Bayi laki-laki yang lebih cepat hadir di dunia. Putra pertama mereka lahir prematur. Tidak sampai semalam, bayi itu meninggal karena fungsi paru-parunya belum sempurna. Mereka berdua berduka.

Hampir setiap hari Bella menangis. Kejadian yang sangat menyedihkan. Tidak ada kesedihan yang lebih besar melebihi kehilangan seorang anak yang telah tinggal dan hidup di rahimnya selama sekian bulan. Dan Rasyid tahu duka Bella teramat dalam.
 

Beberapa hari Rasyid bahkan sengaja cuti. Dia memutuskan menemani Bella selama masa berkabung. Dan perlahan, istrinya yang selalu terlihat cantik itu pun mulai bangkit, melupakan kehilangan, melupakan kesedihan.

Sekarang, ketika mereka sudah 8 tahun menikah, kehamilan itu pun kembali menjadi kado terindah dalam kehidupan rumah tangga mereka. Bella menangis dan memeluk suaminya saat melihat hasil test kehamilan. Kebahagiaan yang telah lama hilang.


Lima bulan kehamilan, Rasyid dan Bella benar-benar berusaha menjada si cabang bayi. Bella bahkan tidak pernah diizinkan melakukan banyak hal seperti biasanya. Bahkan mencuci dengan mesin pun dilarang. Bellah merasa Rasyid sangat berlebihan, sayangnya suaminya yang punya stok sabar melebihi dirinya itu tahu kapan harus menuruti kemauan Bella dan tahu kapan harus menolaknya.


Seorang asisten rumah tangga akhirnya mereka pekerjakan di rumah demi mengambil alih semua tugas Bella.
 

“Jadi Bella harus ngapain, Mas? Bosan kalau hanya duduk, pindah ke kamar, baca buku.” Keluhnya suatu hari.
 

Keesokan harinya, Rasyid membawakan buku panduan merajut dan beberapa peralatan rajut. Menyodorkan pada istrinya, “Kalau masih bosan, besok kamu ikut saja ke kantor. Jadi pengawas!” Celetuk Rasyid sambil mencubit hidung Bella.


Bella tertawa dan menerima dengan senang hati hadiah dari suaminya. Kegiatan baru yang akan sangat menyenangkan. Dia bisa membuat topi bayi, sepatu bayi, atau mungkin selimut bayi yang lucu. Bella membayangkan bagaimana jika suatu saat janin dalam kandungannya lahir dan memakai semua pernak pernik yang telah dibuatnya, tentu akan sangat menggemaskan.

 
“Terima kasih, Mas Rasyid!”


Dokter melarang Bella melakukan aktivitas berat karena kandungannya yang masih muda sering mengalami kontraksi dini. Dia benar-benar harus istirahat. Duduk pun tidak boleh terlalu lama. Dia tahu apa yang harus dilakukannya. Tidak ingin kejadian sebelumnya terulang lagi. Maka dia jarang melawan setiap kali Rasyid menyuruhnya segera isrirahat, tidak boleh terlalu lama berdiri untuk memasak, tidak boleh mengepel lantai, dia benar-benar jadi tuan putri selama masa kehamilan keduanya.


Rasyid membuka kunci pintu rumahnya pelan. Ketika pintu terbuka, Rasyid sudah pasti bisa melihat istrinya sedang tertidur di kursi dengan benang rajut menjuntai ke lantai. Dia tertawa.

“Dasar keras kepala! Sudah mas bilang jangan menunggu mas pulang, kamu bisa sakit punggung karena tidur sambil duduk seperti ini.” Rasyid bicara sendiri dengan suara pelan. Setelah menaruh ransel, dia memunguti benar-benar yang terjatuh di lantai lantas bergegas membopong istrinya ke kamar.


“Berat, Mas?” Tiba-tiba saja Bella membuka mata. 

Rasyid menggeleng dan tertawa, “Dasar bandel!” ujarnya berkali-kali.

Bella tertawa sambil menatap wajah suaminya. Keesokannya, kebahagiaan itu berubah mencekam seketika.
 

***


Rasyid masih belum percaya jika pagi tadi, istrinya mengalami pendarahan hebat. Tanpa jatuh, tanpa kejadian menakutkan apa pun. Bau amis menyebar diiringi rintih kesakitan. Rasyid buru-buru membawa Bella ke UGD. Istirnya itu kini masih belum juga siuman.


“Biarlah, biarlah. Yang penting Bella selamat.” Berkali-kali kalimat yang sama keluar dari mulut Rasyid. Mereka sudah berusaha dan bersungguh-sungguh menjaga. Tapi mungkin Allah belum menghendaki. Biarlah, biarlah asal istirnya selamat. Mereka masih bisa memikirkan kebahagiaan lainnya. Rasa sepi itu bisa saja dilindas oleh keakraban mereka berdua. Rasyid bisa menelepon Bella setiap jam istirahat kantor. Atau Rasyid bisa mengajak mertuanya tinggal bersama di rumah mereka.


Rasyid mengepal kedua tangannya. Disaat matanya basah, tiba-tiba dokter muncul sambil membenahi kacamatanya. Rasyid buru-buru menghampiri. 

“Alhamdulillah, istri anda sudah mulai siuman.”


Rasyid tersenyum. Bersyukurnya dia, pendarahan istrinya bisa diatasi. Bukan masalah, Bella. Kita bisa memulainya lagi. Rasyid akan memberitahukannnya nanti, saat kondisi Bella sudah mulai stabil. Tentang buah hati mereka. Tentang bayi mungil yang kini telah tiada.

Cerbung Tentang Kita Bag 7; Kepastian

Cerbung Tentang Kita Bag 7; Kepastian


(Raina)



Harapan itu melayang

Serupa daun kering yang berlarian entah ke mana

Seperti mimpi. Lelaki yang sudah hampir mendapatkan sepenuhnya kepercayaanku ternyata berkhianat. Sejak awal aku sudah bilang bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengannya. Lelaki itu terkesan terlalu terburu-buru ketika datang dan memutuskan melamar.


Lihat saja, pagi ini ketika tanpa sengaja kulihat seorang perempuan cantik yang tingginya bahkan melebihiku melenggang ayu dan mendatanginya. Hal yang lebih buruk ketika kutahu ternyata mas Bagas telah memiliki seorang anak. Gadis kecil itu mewarisi kulit putih mas Bagas, begitu juga dengan senyum hangatnya. Tak seorang pun bisa memungkiri betapa miripnya dia denganmu, Mas.


Sayangnya, semua itu terjadi ketika aku memutuskan untuk menyukainya terlalu jauh. Itulah kenapa aku enggan mencintai seseorang. Bukan aku tak pernah suka, sebab aku perempuan normal yang punya perasaan. Tapi, ketika mas Bagas datang dan berniat menikahiku, perasaan sederhana itu menjelma sesuatu yang rumit. Lebih rumit lagi ketika aku mau dilukai seperti saat ini.


Air mataku berhamburan. Ingin sekali berteriak dan memaki. Tapi, lelaki itu terlalu sibuk dengan keterkejutannya. Seorang gadis kecil dan wanita cantik dari masa lalunya muncul dan merenggut semua mimpi yang kemarin sempat kusulam.


Setelah bicara dengan Ibu semalam, aku memutuskan untuk meminta mas Bagas menunjukkan keseriusannya dengan membawa serta keluarga terutama orang tua. Sayangnya, pagi ini sebelum sempat bicara, dia justru mengejutkanku dengan cerita yang luar biasa. Rasanya seperti disengat listrik bertegangan tinggi, aku berlalu sambil mengusap kasar air mata yang semakin deras. Rasanya ingin sekali mengeluarkan isak yang kusembunyikan dan membuat napasku sesak.


Lelaki berhidung mancung itu sempat  menjadi mimpi. Tapi kini, dia telah membenamkannya sendiri.


***

           

Ibu tahu aku kembali dengan wajah sembab dan basah. Tapi beliau tidak berusaha mencegahku naik ke lantas atas dan mengunci kamar. Ibu pastilah khawatir, tapi ini memang bukan saat yang tepat untuk bicara.


Aku begitu menghargai setiap detail dari perkenalan kami. Meski aku dan mas Bagas jarang sekali bicara, tapi banyak hal bisa aku bicarakan tentang dia bersama Ibu. Meski kami tidak pernah saling akrab, tapi kedatagannya ke rumah dan berniat melamar menjadi alasan kenapa kini dia begitu dekat dalam ingatanku.


Entah apa yang dilakukannya barusan. Tidak berusaha mencegahku pergi dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Bukan masalah andai saja dia memang seorang duda beranak satu. Tapi menjadi semakin rumit saat dia menyembunyikan rapat dari aku dan keluarga besarku.


Hidup ini, kadang memang tak selalu seperti yang kita harapkan. Ada saatnya orang yang kita percaya justru berkhianat. Ada waktunya ketika orang yang kita saya justru menikam dari belakang. Dan selalu ada saatnya untuk menangisi sesuatu yang awalnya terlihat sangat manis, seperti perkenalan kami yang tak seberapa lama.


Aku menyibak gorden kamar. Mereka masih bicara, masih di sana, berdiri. Entah apa yang mereka bicarakan. Mungkin tentang gadis kecil berkuncir dua itu? Atau tentang rindu yang telah lama menunggu untuk dituntaskan? Aku menarik napas dalam. Bulir bening bergulir perlahan, satu persatu, hingga isak itu keluar sepenuhnya, tak lagi bisa ditahan.


***

 
Teman-teman bisa membaca cerpen-cerpen atau cerbung lainnya dengan memilih kategori Literasi dan pilih judul yang disuka. Terima kasih sudah berkenan mampir dan menuntaskan kisah Raina. Semoga bermanfaat dan tetap semangat berlatih :)



Thursday, October 19, 2017

Cerbung Tentang Kita Bag 6; Jatuh Cinta

Cerbung Tentang Kita Bag 6; Jatuh Cinta



(Bagas)


Sejatinya setiap lelaki memiliki pasangan

Yang tak akan tertukar apalagi tersesat

Yang dengan mudah terpikat meski sama sekali

Tak dekat

 Allah, ternyata gadis berlesung pipit itu belum juga memercayai apa yang telah saya lakukan. Sebab terlalu terburu-buru, keseriusan itu pun berubah mencurigakan bagi sebagian orang termasuk Raina. Padahal, saya hanya ingin membuktikan saja. Seharusnya saya menyampaikannya terlebih dulu dan mengajak Raina taaruf ketimbang langsung melamarnya.


            Tapi semua sudah terlanjur terjadi. Gadis itu terlanjur bimbang namun saya tangkap masih ada harapan. Saya tidak benar-benar ditolak. Gadis itu memberikan waktu supaya saya bisa menunjukkan bukti atas keseriusan saya ini.


            Kalimat Rio tadi benar-benar mengentak-entak perasaan. Bagaimana tidak, Raina ternyata bertanya tentang keseriusan saya padanya. Insya Allah, minggu depan saya akan menjemput orang tua dan membawanya ke rumah Raina. Menjelaskan bukan hanya tentang keinginan dan perasaan saya, namun juga tentang masa lalu saya yang harus Raina tahu sebelum akhirnya dia memutuskan untuk menerima atau menolak pinangan saya nantinya.


            Saya membuka pintu balkon. Tampaklah langit malam menjelma hamparan permadani berhias gemintang yang berkilauan. Seperti biasa, saya duduk dan menikmati malam dengan membaca buku. Salah satu kegiatan saya hampir setiap hari sebelum akhirnya beranjak tidur.


            Tidak banyak yang tahu jika saya sangat suka membaca dan menggilai kegiatan satu ini. Rumah sudah serupa perpustakaan umum. Penuh dengan buku dan rak yang memenuhi ruang tengah serta ruang tamu. Ketika melihat Raina di Pulo Gadung tadi siang, saya merasa takjub luar biasa ketika gadis itu dengan lincah membacakan dongeng untuk anak-anak. Mimiknya lucu dan kalimatnya mengalir penuh antusias.


            Tidak heran jika anak-anak sangat suka mendengar Raina bercerita. Termasuk saya pun dibuatnya terkesima. Raina, selain galak dan pandai mendongeng, apalagi yang belum saya ketahui tentangnya?


***


(Raina)


            “Rai, jangan ngambek, dong! Abang minta maaf, nih.”


            Aku mengambil bantal dan memukul bang Rio tanpa ampun. Rasanya ingin sekali meremat wajahnya yang oval dengan kulit kecoklatan itu. Geram sekali dengan perbuatannya tadi siang saat kami pulang dari Pulo Gadung. Abangku itu sudah sangat keterlaluan. Aku kesal!


            “Abangkan hanya mau bantuin aja, Rai. Katanya kamu mau tahu seperti apa keseriusan Bagas sama kamu. Cara terbaiknya dengan bertanya langsung padanya.” Bang Rio menarik guling dan balas menimpuk wajahku.


            “Tapi bukan dengan cara seperti itu, Bang! Raina jadi malu sama mas Bagas.” Kataku jengkel.


            Bang Rio menatap usil, “Bukannya kamu senang kalau Bagas tahu yang sebenarnya?” Matanya mengerling jenaka. Membuatku tak bisa lagi menahan tawa.


            “Memangnya yang sebenarnya apa, sih?” Tiba-tiba Ibu masuk dan bergabung dengan kami berdua.


            Aku jadi semakin kesal sama bang Rio. Cara bicaranya yang slengekan itu telah mengacaukan banyak hal. Pertama, mas Bagas jadi tahu kalau aku sebenarnya mulai peduli dengannya. Dan kedua, Ibu jadi ikutan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan-jangan setelah ini mereka akan kompak meledekku habis-habisan. Aku menutup wajah dengan bantal. Menyembunyikan wajahku yang bersemu merah.


            “Ini lho, Bu. Raina kayaknya mulai jatuh hati sama tetangga baru kita.” Bang Rio mencubit lenganku.


            “O, ya? Sama Bagas? bagus, dong! Sebentar lagi Ibu bakalan nimang cucu.” Ibu tertawa dan membuat aku terbelalak seketika.


            Aku punya anak? Membanyangkan menikah saja sudah sangat menakutkan lalu bagaimana jika aku hamil dan melahirkan?


            “Tapi bang Rio katanya mau nikah duluan, Bu.” Aku menimpali sambil tersenyum sinis pada bang Rio.


            “O, ya? Sama siapa Rio? Kok Ibu nggak pernah dikenalin sama calon menantu Ibu itu?”

            Aku semakin cekikikan. Dan jelas saja bang Rio jadi gondok dibuatnya.


            “Sama angin, Bu. Udah ah, Rio ngantuk kalau bahas beginian.” Katanya sambil berlalu dan meninggalkan kami berdua.


            Ah, Ibu. Rasa-rasanya baru kemarin aku di pangkuannya. Kini usiaku sudah sedewasa ini bahkan akan segera menikah. Bagaimana aku bisa meninggalkan Ibu dan menetap bersama suamiku kelak?


            “Bagas itu kayaknya nggak main-main, Rai. Apa kamu benar-benar suka sama dia?” Ibu mendekatiku dan menatap serius.


            “Raina tak mengerti, Bu. Sepertinya Raina suka tapi jujur saja Raina takut jika saja mas Bagas…”


            “Bohong?” Ibu bertanya lalu tertawa setelah melihatku menganggukkan kepala.


            “Lelaki sebaik itu apa bisa berbohong, Rai? Rio bahkan sangat mengenalnya melebihi kamu. Tak pernah abangmu menceritakan sesuatu yang buruk tentang Bagas. Bismillah, Nak. Kalau memang jodoh, semoga bisa segera menikah. Ibu tidak mau lho terlalu lama menunggu.” Ibu menggamit daguku sambil tersenyum.


            Ibu sangat memahamiku. Sejak dulu, hanya Ibu yang selalu jadi teman curhat. Bukan Ayah apalagi bang Rio. Ibu itu bukan hanya orang tua, tapi juga sudah jadi sahabat yang mengerti dan selalu memaafkan ketika aku salah. Dari Ibulah aku belajar tentang apa itu cinta.


            Selama puluhan tahun menikah dengan Ayah, tak pernah terlontar kalimat mengeluh darinya apalagi menjelekkan Ayah. Padahal aku tahu, tidak sekali dua kali mereka bertikai. Katanya itu wajar. Namanya juga rumah tangga.


            Dalam batin aku berkata, tak ingin berumah tangga dalam luka dan nestapa. Jika memang cinta, tentunya tak akan sanggup menyakiti pasangan meskipun hanya dengan sedikit kalimat sinis yang menyinggung perasaan.


            Tapi baik Ayah ataupun Ibu, kutahu sama-sama menjaga. Tidak ingin sampai masalah keluar dari mereka berdua. Jika terpaksa kami tahu, maka dengan besar hati Ayah akan minta maaf di depan kami. Dan Ibu, selalu saja tanpa berat hati memilih memaafkan Ayah.


            “Raina ingin sekali menerima mas Bagas. Tapi, Raina belum yakin seratus persen pada lelaki itu, Bu. Raina takut jika terburu-buru justru ada sesuatu yang disembunyikannya dari Raina.”


            Ibu menaikkan kedua alisnya, “Apa yang Bagas sembunyikan selain  ketampanan dan keshalehannya?” Ibu mengangkat bahu dan tertawa.


            Aku tersenyum hambar, entahlah. Yang jelas meski sedikit demi sedikit aku mulai suka ketika bertemu mas Bagas, tapi ada sesuatu yang membuatku bimbang dan menunda untuk menerima pinangannya.


            Allah, sungguh bukan hal mudah ketika aku memutuskan untuk jatuh hati tapi di lain sisi aku belum berani menerima segala konsekuensinya. Aku ingin menikah, tapi tidak ketika hatiku belum lega sepenuhnya.


***


Ketika akan menikah, aku tak pernah membayangkan betapa beratnya mengayuh sepeda berdua denganmu. Perjalanan yang tak sehalus tepung, kerikil serta batu-batuan yang justru berkali-kali menggoyahkan perjalanan kita, justru menjadi penguat dalam sebuah hubungan pernikahan.

 

            Mustahil hidup tanpa ujian sebab semua itu sejatinya akan menguatkan. Maka dengan penuh keyakinan kutadahkan tangan mengharap Allah mengabulkan, semoga langkah kita dikuatkan meski cobaan membebani dengan begitu beratnya. Semoga Allah tetap menyatukan, meski nyatanya cinta kadang surut dan pasang.

 

            Dalam kebimbangan yang merajai hati, kupanjangkan sujud memohon petunjuk. Sungguh debar hati tidak lagi bisa berbohong. Perasaan yang sungguh mengganggu dan menjadi alasan untukku memutuskan, menerima atau membuang wajahmu jauh-jauh dari pandanganku.

 

            Dan jatuh hati pada orang yang tepat adalah sebuah anugerah. Dan anugerah dalam hidupku adalah kamu. Iya, kamu yang telah datang dengan gagah dan berniat meminangku.

 

***


(Bagas)


            “Ayah!”

           

Gadis kecil berkuncir kuda itu segera menghampiri saya tepat di halaman rumah ketika saya bersiap pergi dan bertugas di rumah sakit. Saya memicingkan kedua mata, memastikan bahwa tidak ada yang salah dengan penglihatan ini.


            Gadis kecil berusia enam tahunan itu berlari dan memeluk saya. Masih dengan perasaan kaget tak terkira, seorang perempuan bertubuh tinggi keluar dari sebuah taksi. Rambutnya tergerai panjang hingga bahu. Sebelum saya sempat mengenali, suaranya yang khas tiba-tiba menyapa.


            “Mas Permadi,” katanya sambil tersenyum.


            Saya yang masih diliputi rasa kaget segera melepaskan pelukan gadis kecil itu. Memori masa lalu berputar begitu cepat. Mengingatkan pada kisah lama, tentang masa lalu dokter Bagas Permadi. Masa lalu saya yang dipenuhi oleh kebohongan dan luka.


            “Apa ini?” Saya masih tak percaya dengan Sherly yang tiba-tiba saja muncul dalam kehidupan saya yang baru.


            “Maafkan aku, Mas.” Katanya memelas. Membuat saya tiba-tiba saja merasa jengah dan mual dibuatnya.


            “O ya, kenalkan ini Rara. Dia adalah…”


            Kalimatnya tersekat di tenggorokan. Saya menatap Sherly sekali lagi, tidak percaya tapi binar di mata gadis manis itu menampakkan rasa rindu yang dalam kepada lelaki yang belum pernah disebutnya ayah.


            “Siapa dia?” Tanya saya lagi. Masih menunggu dengan debar jantung yang tak karuan.


            “Dia anakmu.”


            “Anak?” Tanya saya sambil mengempas jemari kecil gadis bekuncir kuda menjauh.


            DEG!!


            Sebelum Sherly sempat mengangguk, Raina melintas dan menatap nanar ke arah saya. Oh, Allah, sejak kapan gadis berlesung pipit itu ada di sini dan mendengarkan percakapan kami?


***


Wednesday, October 18, 2017

Cerbung Tentang Kita Bag 5; Pertemuan

Cerbung Tentang Kita Bag 5; Pertemuan
Photo by Ian Schneider on Unsplash


(Raina)

Daun itu berguguran dengan gemulai

Gemerisiknya menyentuh permukaan tanah

Sedikit menyembunyikan gemuruh di hati

Entah, apakah ini?


Pagi ini aku harus bergegas pergi mengajar di salah satu wilayah kumuh di daerah Klender. Tepatnya di kawasan pabrik Pulo Gadung. Sekilas kulihat mas Bagas sedang berada di halaman rumahnya. Sebelum berangkat aku sempat menangkap tatapan mas Bagas ke arahku. Sayangnya, ketika aku tersenyum, dia justru melengos dan seolah sibuk sendiri. Apakah dia marah atas perlakuanku kemarin?


Rasanya, seperti sedang disayat sembilu. Hati terasa ngilu dan pikiran berkelana entah kemana membuat aku sedikit banyak sudah mulai berpikir bahwa sebenarnya dia tak pernah benar-benar ingin menikahiku.


Mas Bagas bukan orang biasa. Dia adalah lelaki cerdas dan tentu saja tampan dibandingkan dengan bang Rio-ku. Menurut bang Rio, mas Bagas termasuk salah satu mahasiswa terbaik di kampusnya. Sedangkan bang Rio, bisa ditebaklah ya, dia tentu berada di bawah rata-rata.


Tapi jangan sampai bang Rio mendengarnya, sebab tentu saja dia akan melotot dan kedua bola matanya bisa keluar sebab adik satu-satunya telah meledeknya habis-habisan.


Aku melanjutkan perjalanan dengan sebuah ojek online yang kupesan lima belas menit lalu. Melintasi lalu lalang kendaraan bermotor. Asap knalpot membubung tinggi hingga membuat udara terasa sangat pengap. Perjalananku menuju tempat mengajar lumayan jauh. Di sana, aku tidak sendirian. Ada beberapa orang sahabat dekat yang ternyata setuju untuk meluangkan waktu bersama mengajari anak-anak di sekitar kawasan pabrik ini.


Aku turun dari ojek dan disambut anak-anak yang riuh menanti. Di sana, sudah ada Leni dan Amir. Mereka berdua sudah datang lebih dulu. Hm, sebelum melanjutkan ceritaku di sini, aku ingin mengenalkan mereka berdua. Pasangan yang menikah muda. Mereka menikah segera setelah kuliah selesai setahun lalu. Pernikahan yang bagi kami sebagai teman cukup mengagetkan sebab sebelumnya di antara mereka berdua tidak pernah terlihat saling akrab apalagi sampai jalan berdua. Eh, tiba-tiba saja menikah dan sekarang mereka kelihatan fine dan bahagia menjalani rumah tangga.


Aku jadi ingat mas Bagas. Sebenarnya alasan kemarin tidak cukup masuk akal untuk menolak lamarannya. Sayangnya, aku belum juga merasa klik dengan mas Bagas karena perkenalan kami yang cukup singkat.


Mas Bagas adalah orang yang baru kukenal. Tidak berharap yang muluk-muluk, sebab pacaran pun tidak dibenarkan dalam islam. Aku hanya butuh yakin dengan perasaan, benarkah dia yang pada akhirnya akan menjadi ayah dari anak-anakku? Jangan sampai setelah menerima lamaran yang terkesan buru-buru itu, hati tiba-tiba saja bimbang dan lebih buruknya jika sampai mengharapkan yang lain.


Sayangnya, semakin ke sini, perasaan itu semakin tumbuh subur meski tanpa pupuk dan disiram. Setiap kali lewat di depan rumah mas Bagas, aku selalu berharap bisa melihat dan bertegur sapa dengannya. Meski tak selalu terjadi, harapan seperti itu semakin kuat dan sangat mengganggu.


“Raina! Ngelamun aja!” Leni sudah menepuk bahu dan mengajakku berbaur dengan anak-anak.


Benar kata Leni, aku sudah melamun. Dan sangat berdosa saat aku membayangkan tetangga dekatku yang sebenarnya masih bukan siapa-siapa, astagfirullah.


***


(Bagas)

 

Rio mengajak saya ikut dan melihat langsung kegiatan Raina selama mengajar. Adik Rio itu mungkin akan sangat terkejut saat tiba-tiba saya datang dan menjemputnya pulang. Entahlah, jujur saja saya terlalu senang setiap kali akan bertemu Raina. Perasaan yang aneh dan muncul saat tanpa sengaja sekelebat bayangan Raina mencuri perhatian.


Melamun di UGD saat ramai pasien tentu bukan hal wajar yang selama bertahun-tahun tidak pernah saya lakukan. Tapi kemarin malam saya sempat terjebak oleh kejadian semacam itu dan sungguh sangat memalukan.


Rio menertawakan saya. Berbisik dan meledek. Saya hanya beristigfar. Kenapa begitu sulit membuang wajah Raina dari dalam ingatan sedangkan intensitas pertemuan kami saja sangat jarang.


Saya benar-benar tidak menyangka akan jatuh hati pada gadis manis berlesung pipit itu. Dia benar-benar mengambil separuh dari kehidupan saya. Merusak semua konsentrasi dan lebih parahnya gadis itu juga yang menolak pinangan saya kemarin.


Rio bilang, mungkin hanya butuh sedikit saja perjuangan untuk menaklukkan hati Raina. Adik bungsu Rio itu memang anaknya pendiam dan jarang sekali punya teman lelaki. Bersyukur, mungkin dia tidak jauh berbeda dengan saya.


Tapi, sungguh ada sesuatu yang mengganjal dalam hati saya. Jika saja Raina memutuskan untuk menerima pinangan saya nanti, tentu saja dia harus menyiapkan diri untuk sesuatu yang sama sekali tidak diketahui oleh orang banyak tentang dokter Permadi. Iya, masa lalu dokter Bagas Permadi. Bahkan, kepada teman dekat saja saya tak pernah membuka rahasia ini. Tapi Raina, dia adalah orang kedua yang berhak tahu selain orang tua tentang kehidupan saya dulu. Tentang pahit dan gelapnya. Tentang sesuatu yang mungkin saja membuat Raina pada akhirnya berpaling dan memilih melupakan saya.


***


Saya baru saja turun dari mobil ketika tanpa sengaja melihat Raina sedang tertawa lepas bersama beberapa anak kecil berusia 7 tahunan. Gadis itu memang luar biasa. Bukan gadis biasa yang pernah dan sering saya lihat. Hampir tidak ada yang menyamai bagaimana dia bisa menerjemahkan kebahagiaan bukan hanya dengan materi.


Pemukiman kumuh ini sungguh tidak nyaman. Hanya ada rumah-rumah yang dibangun seadanya dengan dinding triplek dan seng. Banyak orang menatap sinis ke arah kami. Entah apa yang sedang mereka pikirkan.


Dan Raina seperti sama sekali tidak terganggu dengan keadaan seburuk ini. Gadis ini punya rumah mewah dan menjulang. Mustahil sekali melihat dia merasa biasa saja di tempat sekumuh dan kotor ini. Hanya ada tumpukan barang bekas di sisi kanan dan kiri. Gerobak lusuh dengan debu menebal. Jalanan tanpa aspal dan keadaan penduduknya yang jauh dari kesan ramah. Gadis ini benar-benar membuat saya merasa heran.


            Raina, jika saja saya boleh tahu, alasan apa yang membuat dia mau berlama-lama bersama anak-anak itu? Mungkin suatu saat saya bisa menanyakannya langsung. Sekarang, bukan waktu yang tepat untuk bicara padanya.


Rio menyapa Raina dan menarik lengan adiknya. Mereka segera pamit dan meninggalkan anak-anak. Di depan mobil, saya menunggu ekspresi Raina berikutnya ketika bertemu saya. Tapi, dalam gemuruh yang tak karuan, Raina justru berbalik dan kembali meninggalkan Rio yang mematung dan manyun.


Ada gadis kecil menangis. Tangisnya melengking memecah kegaduhan kampung. Gadis dengan rambut dikuncir dua, pakaiannnya tidak rapi dan terlihat lusuh. Dia terlihat kesakitan sambil memegang lutut.


“Ada apa?” Raina mendekati


“Dia jatuh dan kakinya lecet.” Teriak temannya yang lain.


Raina menarik anak itu dan segera memeriksa kedua lututnya yang tampak berdarah. Dengan cekatan dia mengeluarkan obat merah dan segera menutup luka hingga tangis itu reda.


“Rai! Udah tinggal aja, nanti ibunya juga datang. Ayo cepat pulang!” Teriak Rio sekali lagi dengan wajah kesal.


Gadis kecil dengan kulit kecokelatan itu pun akhirnya melambaikan tangan setelah sebelumnya berterima kasih pada gurunya, Raina.


“Kamu itu, ngapain sih sibuk banget ngurusin anak-anak. Mereka juga punya orang tua. Jadi nggak usah dibuat repot.” Rio ngomel.


Saya tersenyum dari jauh dan melihat Raina sedang mencubit lengan abangnya kesal.


“Bang Rio kan dokter, kenapa sih malas banget bantuin orang lain!” Pekiknya dengan wajah lucu. Saya tersenyum, dan ketika itulah, tanpa saya sadari ternyata Raina sedang menatap dan terkesiap melihat kedatangan saya.


“Maaf,” ucap saya kemudian. Segera membuka pintu mobil dan mempersilakannya masuk. Rio hanya tertawa di belakang saya sambil menepuk bahu saya. Senang dan meledek habis-habisan.


Allah, sepertinya saya sudah salah karena telah menerima ajakan Rio.


***


(Raina)

 

            Astagfirullah. Bang Rio tega sekali mengajak mas Bagas ikut menjemputku di daerah Pulo Gadung. Teganya! Ingin sekali rasanya berteriak dan memaki, sayangnya aku bukan orang yang senorak itu apalagi ketika di depan mas Bagas. Aku berusaha tenang dan pura-pura biasa saja ketika tanpa sengaja melihat dia menertawakan aku dan bang Rio barusan.


            Setelah masuk mobil, aku diam mematung meski bang Rio sejak tadi meledek kami berdua. Hatiku tidak bisa diajak kompromi. Dia melompat-lompat seperti seekor kodok yang kegirangan saat menemukan hujan. Tanganku tiba-tiba saja dingin dan nyaris membeku. Semoga saja aku tidak sampai pingsan hanya gara-gara bang Rio mengajak mas Bagas.


            Abangku itu benar-benar keterlaluan. Pantas saja, tumben-tumbenan dia menawariku tumpangan. Katanya kebetulan saja dia lewat daerah itu. Jadi, sekalian saja menjemput supaya adik kesayangannya ini tidak perlu kepanasan dan sampai kering hanya karena menunggu ojek datang.


            Aku menatap gerakan mobil yang melesat cepat membelah jalanan ibu kota yang ramai. Di kota semegah Jakarta, ternyata bukan hanya kemewahan yang ada. Tapi, banyak sekali kemalangan yang menimpa terutama bagi anak-anak. Saat melintasi jalan raya, sempat kulihat beberapa anak kecil menawarkan dagangan di tangannya. Ada yang menawarkan kacang telur, ada juga penjual tisu. Mereka seperti tidak kenal lelah meski kulitnya saja sudah sangat gelap terpanggang matahari. Kira-kira apa ya  mimpi mereka jika saja menjadi anak yang lebih beruntung ketimbang saat ini?


            “Rai!” Suara bang Rio mengagetkan.


            Aku terperanjat dan menjawab seadanya. Kulihat mas Bagas tetap berkonsentrasi mengendarai mobil berwarna merah miliknya. Sama sekali tidak menyapaku apalagi bertanya kabar. Ya, tentu saja dia tahu kalau aku baik-baik saja. Lalu kenapa juga aku mengharapkannya bicara jika sebenarnya aku juga tidak terlalu peduli dengannya. Ingat, Rai. Kamu tidak peduli pada mas Bagas jadi jangan menunggu dia bicara. Aku menekan kalimat itu berkali-kali hingga tanpa kusadari, sebuah tanya terlontar darinya.


            “Apa yang membuatmu betah mengajar di sana, Rai?”


            Aku memasang telinga. Benarkah itu mas Bagas yang bertanya? Bukan bang Rio yang menyebalkan itu? Astagfirullah. Tiba-tiba saja lidah kelu.


            Aku ingin segera menjawab, tapi khawatir suara jadi bergetar karena gugup atau malah sesak napas. Bang Rio sudah menarik napas, siap meledekku untuk kesekian kalinya. Tapi, aku tentu tak mau ditertawakan terus menerus oleh abangku itu.


            “Raina suka dan kasihan karena hampir semua dari mereka tidak bisa sekolah.”


            Mas Bagas mengangguk dan kulihat dari spion tengah dia tersenyum. Pemandangan yang jarang sekali kulihat sejak kenal dengannya. Senyum itu memang tidak sembarangan dia umbar. Meski ramah, tapi bukan senyum sehangat itu yang biasa dia berikan pada orang lain. Ah, aku jadi merasa bersalah karena terlalu melebih-lebihkan. Padahal mas Bagas tentu selalu tersenyum semanis itu pada siapa saja.


            “Kalian berdua ngobrol aja, biar bang Rio jadi obat nyamuk.” Katanya meledek. Ingin sekali kutimpuk wajahnya dengan ranselku. Kalau bukan karena ada mas Bagas, pastilah kami berdua sudah ribut.


            “Raina itu orangnya nggak sekalem yang kamu bayangin, Gas!” Tiba-tiba bang Rio nyeletuk seperti itu.


            Astgafirullah. Aku hanya mengelus dada. Setelah ini aib apalagi yang akan bang Rio buka. Aku memang tidak semanis itu ketika bersama bang Rio. Bang Rio itukan super menyebalkan dan sangat menjengkelkan. Jadi, pantaslah bila setiap hari aku selalu melakukan perlawanan. Lihat saja tingkahnya, selalu berusaha meledek dan membuatku malu. Kadang aku kesal sekali ketika melihat bang Rio seusil itu. Padahal, teman-temanku yang lain punya kakak cowok yang perhatian dan baik sekali. Sayangnya, bang Rio tidak bisa disulap sesempurna itu.


            “Abang ini ganteng dan baik hati. Coba aja, teman-teman kamu banyak yang minta kenalan sama abang!” Katanya suatu kali saat aku bilang kesal sekali dengan sifatnya.


            “Mereka mau kenalan karena memang sudah tidak ada pilihan. Bukan karena bang Rio tampan dan sebaik malaikat.” Aku protes.


            “Raina, Raina. Jadi adik kok tidak pernah bersyukur sama Allah.”


            Kalau sudah begitu aku diam dan malas bicara. Ucapannya meski sedikit slengekan tapi memang ada benarnya juga. Harusnya aku lebih banyak bersyukur karena sudah Allah beri kakak yang manis dan baik hati sampe saking manisnya membuatku jadi diabetes dibuatnya. Ah, kesal sekali setiap kali mengingat bang Rio.


            “Raina itu orangnya galak,” lanjut bang Rio membuat mas Bagas menahan senyum.


            Aku masih diam karena tidak mau dianggap galak oleh mas Bagas. Jangan sampai mahasiswa kedokteran yang sedang mengambil spesialis jantung ini berubah pandangan ketika bertemu denganku. Bisa dibayangkan kalau Raina dalam versi galaknya? Aku ingin menangis dan berharap mobil merah ini segera berhenti di depan rumah atau bang Rio akan semakin banyak lagi membongkar aibku sendiri.


            “O ya, dan satu lagi, Gas! Raina juga nanyain, apa kamu serius mau nikahin dia?”


            DEG!!


            Pertanyaan yang sungguh slengekan dan membuat jantungku terasa berhenti. Aku melihat mas Bagas menatapku dari kaca spion tengah. Dan dengan sedikit anggukan, dia menjawab semuanya.


***