Tuesday, November 19, 2024
Bedah Buku Jangan Jadi Orang Tua Durhaka
Sekitar akhir Oktober lalu, saya berkesempatan mengisi bedah buku ‘Jangan Jadi Orang Tua Durhaka’ bersama penerbit Rene Islam di Pesantren Terpadu Daarul Fikri, Cikarang. Buku ini ditulis oleh Ahmad Rifa’i Rif’an yang kebetulan memang terbit di Rene Islam juga. Penerbit berusaha menggabungkan bedah buku ini dengan buku saya, Building Islamic Habit.
Sejak menjadi orang tua, saya senang membaca buku-buku parenting. Salah satu buku parenting favorit saya adalah buku The Book You Wish Your Parents Had Read yang ditulis oleh Philippa Perry dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Renebook.
Kenapa saya suka membaca buku parenting? Karena buat saya, menjadi orang tua itu butuh ilmu. Dan ilmunya bukan hanya sekadar kita tahu bahwa menjadi anak harus berbakti dan menjadi orang tua harus baik sama anak, tapi lebih dari itu ada banyak cara dan hal yang mesti diusahakan supaya hubungan kita sama anak nggak saling menzalimi.
Alasan lainnya adalah karena saya juga sedang berusaha menyembuhkan luka pengasuhan yang sering bikin gaduh terutama setelah saya menjadi orang tua baru. Baru paham ya kalau luka pengasuhan itu bisa seberisik ini, bukan hanya membingungkan buat kita, tapi juga membuat anak kita jadi korban trauma pengasuhan berikutnya.
Kata orang, anak zaman dulu itu kuat-kuat, lho. Digebukin juga nggak trauma! Eits, saya hanya mau bilang, trauma itu sifatnya pribadi banget, ya. Ada anak yang sering dibentak dan dikasarin, tapi dia gapapa. Namun, ada juga anak yang akhirnya jadi trauma setelah diperlakukan dengan buruk oleh orang tuanya.
Meski saya sudah merasa jauh lebih baik, sudah berdamai, sudah memaafkan, tapi setiap kali menulis atau membahas hal semacam ini bikin mata panas dan akhirnya nangis. Rasanya secapek itu. Hal yang paling membuat saya sakit adalah ketidaktahuan saya tentang trauma itu yang akhirnya membuat saya melakukan hal-hal yang kurang baik kepada anak pertama saya.
Saya sudah membaca banyak buku parenting, saya sudah pernah konsultasi ke psikolog, saya sudah mengusahakan semuanya, tapi saya merasa sudah cukup terlambat. Hanya setelah membaca buku dari Philippa Perry, saya jadi tahu tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki hubungan kita dengan anak-anak. Meski sebenarnya saya sudah melakukannya sejak lama, tetap saja hal itu membuat saya merasa lebih lega. Ternyata saya masih punya kesempatan.
Orang tua kita juga pasti punya trauma. Karena ketidaktahuan mereka, trauma itu akhirnya diwariskan kepada kita. Anak 90an katanya termasuk yang paling aware dengan trauma pengasuhan karena mungkin kita sudah lebih leluasa mencari informasi di internet dan juga bisa membaca buku lebih banyak.
Kita tidak boleh membenci siapa pun. Poinnya, terima, maafkan, dan berdamailah. Dengan begitu, kita bisa menjalani hidup tanpa tekanan lagi. Terlihat mudah? Kita tidak akan pernah tahu kondisinya akan sesulit apa kecuali ketika kita ada di posisi orang tersebut. Jadi, jangan mudah menjudge orang lain karena kita tidak pernah tahu perjuangan sesulit apa yang sudah diusahakannya supaya sembuh dari traumanya.
Memangnya Ada Orang Tua Durhaka?
Sempat ada yang bertanya tentang penggunaan kalimat pada judul buku ini. Selama ini, kita hanya tahu bahwa kebanyakan yang durhaka itu adalah anak kepada orang tuanya. Memangnya orang tua juga bisa durhaka? Bisalah :D
Kalau ada orang tua yang zalim sama anaknya, nggak mau memberi hak mereka, hanya menuntut anak memberi dan menganggap membesarkan anak sebagai investasi yang ketika ia besar nanti bisa menghasilkan uang, yang ketika mendidik lebih banyak toxicnya, suka marah-marah nggak jelas, menganggap anak sebagai beban, padahal mereka juga yang berdoa pengin diberi keturunan, yang selalu mengungkit kebaikan, padahal tugas membesarkan itu kewajiban yang tidak boleh menuntut balas, dan yang sejenisnya, maka sangat mungkin orang tua tersebut bisa disebut durhaka atau zalim.
Memangnya ada orang tua seperti itu? Adaaa! Ada seorang ibu yang selalu menyebut anaknya merepotkan karena sering sakit-sakitan, dianggap nggak tahu apa-apa dan dilarang berpendapat hanya karena menganggap dirinya (orang tua) lebih tahu segalanya, sehingga hubungan mereka menjadi tidak sehat, penuh luka, penuh trauma, bahkan sampai dewasa pun masih diperlakukan dengan sama buruknya.
Di posisi si anak, pasti bisa dibayangkan betapa membingungkannya perasaan yang diterima saat diperlakukan seperti itu.
Perasaan kita akan serba bingung karena sebagai anak rasanya mustahil membenci orang tuanya sendiri. Anak itu sangat pemaaf. Berapa kali kita melakukan kesalahan, tapi mereka memaafkan dan seolah lupa dengan begitu mudahnya. Kalau orang tua nggak peka dan nggak sadar dengan kesalahannya, betapa kasihannya si anak ini :(
Poin-Poin Penting Dalam Bedah Buku Jangan Jadi Orang Tua Durhaka
1. Berikan perhatian serta ciptakan bonding
Kemarin, sempat ada yang bertanya tentang trauma pengasuhan serta ketakutan orang tua akan pergaulan anak, padahal anaknya sudah di pesantren, tapi orang tua tetap merasa khawatir karena anaknya suka berbohong dan memilih teman-teman yang kurang baik.
Saya punya anak yang sekarang sudah kelas 8. Anak segini lagi masya Allah, ya? Kebanyakan teman-teman saya mengeluh karena anaknya yang sudah beranjak remaja suka aneh-aneh dan bikin pusing.
Sejujurnya, saya sedang ada di fase menikmati banget peran saya sebagai seorang ibu. Hubungan kami cukup baik. Meski usia anak pertama saya sudah beranjak remaja, tapi kami tetap nyambung, obrolan kami tetap hidup.
Kami memang sepakat membatasi penggunaan gadget. Jadi, meski dia sudah sebesar itu, dia tidak punya gadget sendiri. Dia punya uang, dia bisa beli, tapi poinnya adalah kami merasa usianya belum cukup untuk punya gadget sendiri. Dia boleh pakai punya kami, dia juga tetap punya sosial media, dia pernah main game, tapi di rumah, tidak ada aplikasi game yang diinstall di gadget mana pun. Kami sepakat karena itu tidak baik, bikin kecanduan, dan bikin malas.
Saya tahu hampir semua teman dekat dia. Bahkan beberapa kali saya biasa membalas chat temannya dan mereka nggak sadar kalau itu saya…kwkwk. Saya berusaha mengapresiasi temannya supaya dia paham bahwa teman dia juga saya terima dengan baik. Semisal, saya belikan novel untuk temannya yang sama-sama suka membaca. Hal sepele, tapi mungkin buat anak-anak nggak sesederhana itu.
Hal yang saya usahakan membuat hubungan kami jadi dekat. Jika kami dekat, semua hal bisa dia ceritakan kepada orang tuanya karena dia merasa aman. Andai dia melakukan kesalahan sekalipun, seharusnya dia bisa tetap jujur kepada orang tuanya karena tahu, seburuk apa pun itu, orang tuanya akan menerima.
Jika ada hubungan yang renggang antara anak dan orang tua, coba pelan-pelan kita evaluasi kembali pola asuh kita selama ini. Anak akan mencari teman yang mau menerimanya. Anak cenderung mudah percaya kepada orang lain karena di rumah, dia tidak mendapatkan perhatian tersebut.
2. Anak-anak akan belajar dari kesalahan
Anak-anak itu juga manusia. Dia akan melakukan kesalahan, tapi gapapa karena mereka juga sedang belajar. Respon yang tepat dari orang tua membuat kesalahan itu benar-benar akan jadi pembelajaran buat anak-anak kita.
Misal, ketika anak mengakui bahwa dirinya telah berbohong, apresiasi keberanian serta kejujurannya dulu dibanding menghakiminya. Terima kasih ya, Nak sudah jujur sama Bunda. Sesimpel itu. Apalagi ini masih anak kecil. Berbohongnya juga tentang apa, sih? Kadang, respon kita suka berlebihan. Merasa sudah jadi malaikat atau apa ya sampai-sampai lupa kalau dulunya kita lebih tengil…kwkwk.
Supaya nggak terulang, jangan bikin anak takut setelah dia berkata jujur. Kalau respon kita sebaliknya, dijamin besok dan seterusnya si anak akan menyimpan rahasianya sendiri dibanding kena omel orang tuanya. Meski nggak selalu begitu juga, ya? kwkwk.
Kita pernah menjadi anak-anak, tapi mereka belum pernah menjadi orang tua. Jadi, apa salahnya jika kita saja yang belajar memahami mereka?
Waktu kecil, kita merasa nggak nyaman dibentak, dicubit ketika ada tamu hanya karena kita mondar mandir di depan mereka, nggak diapresiasi hanya karena nggak dapat peringkat pertama, dan sebagainya. Apa salahnya jika kita berusaha memahami perasaan mereka karena kita pernah menjadi seusia mereka, kan?
3. Semua Anak Itu Pintar
Semua anak itu pintar, tapi beda aja kepintarannya. Anak saya lebih bagus akademiknya, tapi dia nggak jago futsal. Temannya, dari SD sampai di pesantren selalu jadi tim futsal sekolah. Ini lho yang saya maksud. Kepintaraan tiap anak itu beda jenisnya aja. Dan buat saya pribadi, anak-anak nggak harus selalu jadi juara untuk membuktikan bahwa dia hebat.
Jadi, plislah jangan banding-bandingin anak kita dengan anak lain, jangan titipkan impian kita juga kepada mereka. Biarkan mereka hidup sesuai fitrahnya dan berusaha untuk mimpi-mimpinya sendiri.
4. Sembuh dari Trauma Pengasuhan
Tentu kamu tidak sendirian, ternyata ada kok yang mengalami trauma pengasuhan dan itu banyak. Ada anak yang sampai bunuh diri karena merasa dirinya belum bisa mewujudkan keinginan orang tuanya, hanya merasa menjadi beban, merasa nggak berharga, dan sebagainya.
Ardhi Mohamad dalam bukunya yang berjudul What's So Wrong About Your Self Healing mengatakan bahwa kita yang sekarang dibentuk dari bagaimana cara orang tua kita mengasuh dan membesarkan kita. Kita tidak sedang ingin menyalahkan orang tua. Jangan salah paham. Kita juga tidak sedang membandingkan pola asuh orang tua kita dengan kita sekarang, tapi hanya dengan begitu kita bisa belajar dari kesalahan mereka dan diharapkan tidak akan terulang hal yang sama kepada anak-anak kita.
Saya yang penakut, saya yang selalu kurang percaya diri, saya bahkan hampir selalu takut bertemu manusia lain, selalu gugup dan demam panggung, bahkan hampir tidak bisa menerima diri saya, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh bagaimana orang tua saya membesarkan saya dulu. Bahkan mungkin hingga sedewasa ini, kadang orang tua belum bisa memberikan kepercayaan. Merasa bahwa saya tidak pernah mampu melakukan ini dan itu, padahal saya sudah mau berusaha. Rasanya, patah hati banget :(
Waktu kelas 6 SD, saya pernah membuang tahi lalat di wajah karena selalu jadi bahan olok-olokan di keluarga kami. Kayak buat bercandaan gitu. Nggak ada yang bertanya apakah saya nyaman diperlakukan seperti itu? Karena capek dan malu, saya buang sendiri sampai berdarah-darah. Kebayang nggak sih kalau sampai infeksi?
Ketika punya anak dan qadarullah dia punya tahi lalat di pipinya, saya jadi aware banget sama kondisi mentalnya. Benar saja, sejak TK, banyak kakak kelas atau adik kelas yang mengoloknya. Bahkan lebih parah ada wali murid yang melakukannya sambil menunjuk mukanya.
Kebayang nggak sih perasaan dia? Namun, saya berusaha memahami apa yang dirasakannya, membuatnya percaya bahwa punya tahi lalat itu bukan kekurangan yang mesti ditakuti. Ayahmu punya tahi lalat, tapi dia juga hebat. Jadi, gapapa. Manusia punya kekurangan, tapi ketika kamu fokus sama kelebihanmu dan berusaha menunjukkan bahwa kamu orang yang baik, mereka nggak akan peduli lagi dengan kekuranganmu itu. Dan benar, you did it, Nak!
Sembuh dari trauma pengasuhan bisa dimulai dengan menerima dan memaafkan orang tua kita. Meski prosesnya tidak mudah, tapi percayalah kita bisa memutus rantai trauma itu supaya tidak diwariskan kepada anak-anak kita. Jika sangat dibutuhkan, jangan segan untuk berkonsultasi dengan psikolog karena itu akan sangat membantu.
5. Jangan baperan sama Anak!
Maksudnya gimana, nih? Ustadz saya yang kebetulan memang seorang profesor, konselor, serta dosen berulang kali mengatakan, jangan mudah baper sama anak. Ketika kita sudah tua, anak jarang telepon, kita jadi perasa. Ketika anak jarang pulang, kita jadi kesal. Nikmati hidup, jangan suka baperan sama anak. Karena ketika kita kesal, doa kita bisa diijabah sama Allah. kalau anak celaka, kita sendiri yang akan sedih.
Anak-anak kita tidak selalu anteng, suka gerak sana sini, ada juga yang setelah remaja aneh-aneh kelakukannya, plis didoain aja, ya. Jangan baperan sama anak. Doakan yang baik-baik dan banyak-banyak evaluasi diri.
Gengsi banget ya jadi orang tua sampai-sampai malas minta maaf sama anak? Jangan ya dek ya…kwkwk. Egonya orang tua tinggi banget sampai ngalah-ngalahin monas? Jangan ya dek ya...huhu. Dunia terus berkembang. Cobalah menerima jika mungkin anak kita sekarang lebih banyak tahu ini itu dibanding kita. Cobalah lebih legowo ketika bikin salah. Jangan gengsi minta maaf.
Kadang, ada anak yang membenci orang tuanya disebabkan kelakukan orang tuanya sendiri. Orang tua juga manusia, mustahil nggak pernah salah. Jadi, gapapa kalau kita meminta maaf atau membuka ruang diskusi dengan mereka karena komunikasi itu penting banget.
Luar biasa sekali sih ketika kita jadi orang tua. Harus banyak belajar dan legowo. Menjadi orang tua nggak ada sekolahnya, tapi ada bukunya, ada seminarnya, ada video edukasinya, pintar-pintar saja kita mempelajarinya.
Menjadi orang tua juga sama halnya perjalanan pernikahan kita. Belajarnya seumur hidup. Perjalanannya akan memakan waktu sangat lama. Kalau bahan bakarnya nggak cukup, perjalanan kita akan terhambat. Jadi, plis jangan malas menginvestasikan waktu, tenaga, dan uang untuk belajar menjadi orang tua yang baik.
Semoga bermanfaat dan salam hangat,
Thursday, October 17, 2024
Marriage is (not) Scary
Menikah dengan Orang yang Tepat
Menikah Itu Belajarnya Seumur Hidup
Salam hangat,
Monday, July 22, 2024
Perkenalkan Dunia Kuliner Kepada Anak-Anak Lewat Games Culinary Schools
Photo by M. W on Unsplash |
Kata siapa anak cowok nggak boleh kerja di dapur? Lihat saja, hampir semua chef profesional yang kita jumpai ternyata seorang laki-laki. Mereka bukan hanya jago memotong sayuran dan buah, tapi juga pandai mengolah makanan menjadi menu yang lezat.
Sebut saja chef Juna yang sudah sering muncul di layar televisi. Meski jago memasak, tapi dia tetap maco, kan? hehe. Jujur saja, saya kurang setuju dengan budaya patriarki di negara kita. Hampir semua suami dan ayah enggan turun tangan membantu istrinya di dapur atau sekadar mengurus rumah dan anak-anak. Kesannya, pekerjaan rumah tangga hingga mengurus anak hanya tugas seorang perempuan. Padahal, kan nggak begitu.
Saya selalu berpesan kepada anak-anak supaya mereka tidak membedakan pekerjaan rumah. Jangan sampai calon istri mereka harus mengurus 'bayi besar' setelah menikah. Mereka harus bekerja sama. Tidak masalah jika suami sesekali memasak dan membereskan rumah selagi istrinya kerepotan atau sakit. Biasakan mencuci piringnya sendiri dan bantu bereskan meja setelah makan.
Susah, ya? Tapi harus dibiasakan. Budaya yang keliru mesti diluruskan. Makanya, anak-anak wajib mencuci piringnya sendiri setelah makan. Jangan lupa bereskan kamar dan bantu menyapu dan menyiram tanaman setiap pagi. Mereka juga saya ajak membantu di dapur. Mulai dari mengupas bawang hingga memotong sayuran, dan memasak nasi. Jika tidak terbiasa, mereka akan canggung, bahkan sekadar memegang pisau pun ragu.
Orang Tua Kurang Sabar Mengajarkan Pekerjaan Rumah
Ketika anak-anak masih kecil, terkadang kita nggak sabaran ngajarin pekerjaan rumah pada mereka. Contoh kecilnya, karena pengin lekas beres dan bisa istirahat, maka kita menolak bantuan dari anak-anak yang pengin belajar menyapu atau mengepel lantai. Alasannya, karena bantuan mereka tidak akan membereskan masalah…haha. Justru malah makan waktu. Setelah mereka selesai membantu, nyatanya lantainya masih kotor dan kita harus mengulangi pekerjaan itu.
Yes! Saya pernah ada di posisi itu. Jika ditanya sekarang, jujur saya menyesal karena nggak mau sabaran ngajarin anak-anak soal pekerjaan rumah. Karena rasanya sudah sangat capek atau karena buru-buru ingin mengerjakan pekerjaan lainnya, kita jadi menolak bantuan anak-anak yang sebenarnya lagi ada di fase mau belajar.
Sekarang, saya harus ajak mereka dan menarik tangannya ke dapur agar mau melihat dan membantu pekerjaan ibunya. Kakak misalnya, dia kebagian tugas memotong tomat untuk membuat telur tomat kesukaannya. Awalnya terlihat sangat kaku dan lucu, tapi beberapa kali percobaan, dia sudah terlihat senang dan luwes melakukannya.
Kita sering nggak mau ngasih kesempatan pada anak-anak. Maunya kita, anak itu bisa tanpa proses dan belajar. Langsung jago aja pokoknya. Kita lupa, kalau semua orang itu berproses. Mulai dari merangkak, berjalan, hingga berlari. Semuanya butuh latihan. Jika kita nggak mau sabaran, akhirnya kita sendiri yang repot di kemudian hari. Benar, kan?
Ajak Anak-anak Belanja Sayuran
Saya sering meminta anak-anak belanja sayuran. Meski dengan membawa catatan, saya tahu mereka juga memperhatikan apa yang sudah dibeli dan dibawa pulang. Meski kesannya sepele, tapi sebenarnya ini juga nggak kalah pentingnya, bukan?
Mereka akan tahu, untuk membeli bahan makanan mesti diperoleh dengan usaha. Bahan-bahan itu nggak serta merta datang ke rumah, tapi mesti dibeli dulu. Mereka juga harus tahu, kalau petani menanam sayuran dengan susah payah untuk kemudian dijual di pasar dan akhirnya sampai ke tangan kita.
Setelah belanja sayuran, semua bahan mesti diolah dan dimasak agar bisa disantap. Ternyata, prosesnya tidak secepat yang mereka bayangkan. Selain mengajarkan empati supaya mereka senang membantu orang tua, banyak bersyukur dengan tidak membuang-buang makanan, hal ini juga dilakukan agar mereka bisa bertanggung jawab. Mereka harus memastikan semua bahan yang dibelinya sesuai dengan permintaan kita.
Awalnya, anak-anak malas banget kalau disuruh pergi ke tukang sayur, tapi lama-lama jadi terbiasa dan berani. Lumayan juga untuk melatih rasa percaya diri mereka. Adakah yang sudah menerapkannya?
Mengenalkan Dunia Kuliner Lewat Games
Anak mana yang tidak suka bermain? Tak terkecuali bermain games. Jujur saja, saya termasuk orang tua yang membatasi games online untuk anak-anak. Karena tidak semua games cocok dimainkan anak-anak usia SD. Kita harus pilah pilih banget kalau mau ngasih games ke mereka. Selain mencari games yang sesuai usia, saya juga mencari jenis permainan yang positif untuk dimainkan. Salah satunya beberapa jenis games yang bisa teman-teman cek di Culinary Schools.
Sambil main games, kita bisa kenalkan dunia kuliner pada anak-anak. Seru dan asyik sih yang pastinya. Jangan lupa, batasi waktu bermainnya, ya. Jangan sampai kebablasan saking asyiknya!
Nah, di bawah ini ada beberapa permainan yang bisa saya rekomendasikan bersama anak-anak di rumah. Apa saja kira-kira yang menarik, ya?
1. Hidden Food
Hidden Food merupakan permainan pencarian objek tersembunyi berbasis pola sederhana yang terdiri dari 20 level. Pemain harus menemukan sejumlah item berbeda dalam tata letak berpola. Kita harus menemukan semua item sebelum waktunya habis.
Akan muncul beberapa jenis item seperti teko, pemanggang roti, tumpukan mangkuk, dan yang lainnya. Kemudian, kita harus klik item yang sama di antara tumpukan benda yang jumlahnya nggak sedikit. Jadi, mata kita harus benar-benar jeli melihatnya.
Uniknya, kalau kita belum juga berhasil menemukannya, item tersebut akan bergerak sehingga kita bisa dengan mudah melihatnya. Cocok juga buat emak-emak yang nggak sabaran, yah…haha.
Sambil main, kita bisa kenalkan berbagai macam item yang berhubungan sama dunia kuliner. Bendanya sih simpel-simpel, tapi kadang anak-anak juga nggak tahu benda itu apa kalau nggak pernah dikenalkan. Contohnya, ada kol, paprika, bawang, pisau daging, dan masih banyak lagi!
2. Fruit Flip
Fruit Flip merupakan permainan mencocokkan kartu memori yang memiliki 8 tahap dengan batas waktu yang ditentukan. Permainan ini dapat melatih daya ingat serta fokus pada anak. Setiap detik yang tersisa akan memberikan bonus 5 poin pada akhir permainan.
Pada level berikutnya, kita akan mendapatkan lebih banyak kartu memori yang mesti dicocokkan. Kartunya berisi gambar-gambar buah yang bisa sekaligus dikenalkan pada anak. Ada pisang, berry, lemon, delima, dan lain-lain. Makin tinggi levelnya, makin sulit mencocokkan kartu-kartunya…hihi.
3. Fish Salon
Hah, salon ikan? Haha. Permainan Fish Salon membutuhkan mouse untuk mengeluarkan sisik-sisik ikan dengan sendok. Sendok yang tajam akan memudahkan kita melepaskan sisik-sisik ikan. Namun, jangan khawatir, jika sudah tumpul, kita bisa mengasahnya pada batu pengasah yang terdapat pada sebelah kanan.
Sisik-sisik ikan terdiri dari beberapa jenis. Sisik ikan berwarna gelap lebih susah dilepas dan butuh lebih banyak tenaga. Sedangkan sisik ikan yang bersinar bisa memberikan tambahan waktu. Permainan ini terbilang menarik karena berasa jadi tukang ikan di pasar yang mesti membersihkan ikan untuk pembelinya...hihi.
4. Watermelon Game
Games ini merupakan permainan menjatuhkan buah dan menggabungkan buah-buah yang sama agar saling bersentuhan sehingga menghasilkan buah-buah yang lebih besar. Jujur, permainan Watermelon Game ini seru juga meski dimainkan oleh ibu-ibu seperti kita…haha.
Untuk menghasilkan semangka, kita harus menggabungkan 11 buah secara berturut-turut. Hasilnya, ternyata tidak semudah yang dibayangkan di awal. Beberapa kali mencoba dan saya tetap tidak berhasil...kwkwk.
Lucunya, kita bisa saling tebak nama buah bersama anak-anak. Ini buah apa, ya? yang ini apa? Hihi.
Itulah beberapa jenis permainan yang dapat dimainkan bersama anak-anak di Culinary Schools. Bermain sambil mengenalkan dunia kuliner dan perdapuran membuat main jadi nggak sekadar main. Kita bisa mengajarkan anak-anak untuk melatih kesabaran, mengenal jenis sayuran, buah, ikan, dan makanan lainnya, juga mengasah keterampilan berpikir.
Asal tidak dimainkan secara berlebihan, sebenarnya games bisa membawa dampak yang positif. Jadi, pintar-pintar orang tua saja dalam mengatur waktu dan membuat kesepakatan bersama dengan anak-anak. Gimana, mau coba permainan yang mana, nih di weekend nanti?
Salam hangat,
Tuesday, July 2, 2024
Serunya Liburan ke Jakarta Aquarium Safari
Dok pribadi |
Liburan sekolah ngapain aja, nih? Karena waktunya cukup panjang, banyak yang memilih mudik ke kampung halaman atau liburan ke luar kota demi menikmati suasana berbeda. Sebagai orang yang sangat senang rebahan alias sukanya di rumah, tapi bosan juga, tapi keluar rumah capek juga, kayaknya jalan-jalan di Jakarta saja sudah cukup, ya. Ada nggak sih manusia seperti saya, yang kalau mau keluar rumah mikirnya seribu kali, bahkan beberapa kali nggak jadi hanya karena merasa capek? Kwkwk.
Namun, sejak si sulung masuk pesantren, sebisa mungkin saya agendakan liburan di luar meski hanya jalan-jalan dalam kota…kwkwk. Pokoknya harus ganti suasana walau tetap isinya rebahan, ya? Haha.
Kebetulan, kemarin ada yang share tentang Jakarta Aquarium Safari yang letaknya masih di Jakarta. Setelah si sulung melihat beberapa review-nya di Youtube, dia semangat banget nih mau main ke sana. Apalagi letaknya nggak terlalu jauh dari rumah. Perjalanan dari rumah ke Jakarta Aquarium Safari sekitar 40an menit jika tidak macet.
Menariknya lagi, Jakarta Aquarium Safari ini merupakan akuarium indoor. Jadi, kita nggak perlu panas-panasan ketika jalan-jalan. Meski sebenarnya panas-panasan juga nggak masalah, tapi indoor tentu lebih baik buat kami yang malas keluar rumah…huhu.
Tempatnya ada di dalam Kawasan Neo Soho mall. Jadi, kelau sudah keluar dari Jakarta Aquarium, kita bisa lanjut main ke mall dan makan es krim. Benar-benar liburan ala orang yang malas keluar rumah, kan? Haha.
BTW, Jakarta Aquarium Safari ini termasuk akuarium indoor terbesar di Indonesia yang berada di bawah naungan Taman Safari Indonesia bekerja sama dengan Aquaria KLCC, Malaysia. Di Kawasan seluar satu hektar ini, kita bisa melihat lebih dari 3.500 spesies hewan akuatik dan non-akuatik. Menarik dong, ya?
Kalau dibanding main ke kebun binatang, rasanya Jakarta Aquarium ini nggak luas, tapi ternyata nyaman banget terutama ketika kita bawa anak kecil. Apalagi buat mereka yang suka hewan laut. Selain jadi tempat liburan, bisa juga sekaligus tempat edukasi buat anak-anak untuk mengenal hewan laut lebih dekat.
Harga Tiket Jakarta Aquarium Safari
Harga tiket Jakarta Aquarium Safari Weekend
- Adult Reguler Rp. 185.000
- Child Reguler Rp. 150.000
- Adult Premium Rp. 225.000
- Child Premium Rp. 175.000
- Gratis untuk anak di bawah dua tahun
Untuk tiket di hari kerja, teman-teman bisa cek sendiri harganya biasanya lebih murah. Dan ada diskon jika kita beli tiketnya lewat Tiket.com. Lumayan, kan?
Untuk pergi ke Jakarta Aquarium, kita bisa pilih tiket reguler atau premium. Keduanya memiliki sedikit perbedaan, tapi menurut saya, mending pakai reguler saja, deh…haha. Kelebihan tiket premium salah satunya diberi snack ketika baru datang. Snack-nya nggak worth it sih. Untuk empat tiket premium, kami mendapat 2 pcs snack cokelat seperti Momogi, biskuit seperti Tini Wini Biti berbentuk hewan laut yang berukuran sangat mungil, plus es teh tawar.
Kelebihan lainnya terdapat pada pertunjukan yang waktunya sangat sebentar. Waktu itu kami ketinggalan pertunjukan Pinguin yang dijadwalkan mulai pukul 12 siang, tapi ketika jam 12 lewat 10, orang-orang sudah keluar semua alias sudah habis waktunya. pertunjukannya hanya berlangsung beberapa menit. Kalau kami cek di Youtube, Pinguinnya hanya keluar dari kandangnya dan berjalan di depan pengunjung. Pertunjukan lainnya juga nggak berbeda, hanya berlangsung sebentar dan tidak berbeda seperti kita melihatnya langsung di luar jam pertunjukan.
Jadi, mending pilih tiket reguler, sih. Apalagi kalau anak-anaknya sama seperti anak-anak kami yang sukanya keluar rumahnya nggak lama, melihat-lihat sebentar kemudian pengin cepat pulang ke rumah…haha. Kita antre dan masuk sekitar jam 10.30, tapi jam 12an kita sudah pulang, lho…kwkwk. Padahal kita belum menikmati ngasih makan hewan, lihat mermaid, dll. Mestinya kan bisalah ya sampai agak sorean, tapi ngapain juga dipaksa kalau memang nggak suka? Jadi, ya sudahlah memang tipe anaknya seperti itu. Diajak foto pun sudah lesu semua nggak ada semangatnya…kwkwk. Akhirnya kita pulang dan main ke Gramedia Matraman biar nggak rugi karena sudah ganti baju pergi…haha.
Ada Apa Saja di Jakarta Aquarium Safari?
Dengan harga tiket sekitar 180 hingga 200an ribu per orang, sebenarnya sangat worth it jika melihat kondisi tempatnya yang bersih dan nyaman. Ketika saya datang di hari Sabtu, suasana sangat ramai meski baru buka mulai pukul 10 pagi, tapi jam segitu sudah penuh dengan orang antre membeli dan menukar tiket.
Setelah masuk, kita bakalan disuguhi dengan akuarium berbagai ukuran dengan hewan-hewan yang menurut saya lucu-lucu, sih, kecuali ular, ya…kwkwk. Kalau kita mau memperhatikan dengan baik, hewan-hewan lautnya punya detail yang sangat menarik. Bulu babi punya an*s yang sama seperti manik-manik dan bergerak, ubur-ubur bergerak lincah dan menakjubkan, ikan-ikan dan terumbu karangnya gemas, berang-berang berenang dan berlarian, belum lagi hewan daratnya nggak kalah lucu! Saya pribadi sih suka banget sampai pengin menginap *lha…kwkwk.
Di sini juga ada tempat panen mutiara, lho. Bisa dijadikan gelang atau kalung, dan yang lainnya. Harga panen mutiaranya di luar harga tiket masuk, ya. Buat yang punya anak cewek kayaknya bisa deh coba aktivitas satu ini.
Kaget banget ada kodok varian matcha gini...huhu. |
Tempatnya juga cantik banget buat foto-foto. Hasilnya gemas, sih. Apalagi yang datang nggak hanya anak-anak, kayaknya pasangan muda mudi juga suka ke sini, bahkan kemarin sempat ada yang melamar pasangannya...hoho.
Di pintu keluar, kita akan disambut dengan toko souvenir yang gemas-gemas isinya, tapi anak-anak segera menarik saya keluar dan mengatakan, ‘Bahaya, bahaya!’ kwkwk. Emaknya nggak bisaan lihat boneka. Auto mau borong…huhu.
Meski kondisinya cukup ramai, saya merasa tetap bisa melihat dan menikmati tempatnya dengan leluasa. Buat foto-foto pun masih nyaman, kok. Tempatnya memang nggak terlalu luas, ya. Tapi kita bisa bergantian dengan pengunjung lain untuk berfoto dan mengabadikan momen.
Oiya, di lokasi juga banyak penjual makanan, seperti sosis bakar, popcorn, dan lainnya, tapi di sini tidak menerima pembayaran cash alias hanya bisa pakai debit atau Qris. Kalau tidak mau jajan di sini, kita bisa jajan di luar lokasi. Karena ketika keluar dari toko souvenir, kita bisa langsung memilih tempat makan yang ada di dalam mall.
Akhir kata, coba deh main ke Jakarta Aquarium Safari. Insya Allah nggak bakalan nyesel terutama untuk memberikan pengalaman baru buat anak-anak. Pertimbangkan membeli tiket reguler atau premium. Jika merasa waktu kita longgar dan santai, mau main sampai sore, bisa pakai tiket premium karena setiap pertunjukan waktunya berbeda dari pagi sampai sore. Andai ketinggalan di siang harinya, kita masih bisa menyusul di waktu berikutnya, tapi kalau kita hanya mau sekadar datang dan pengin tahu aja, nggak terlalu menikmati atau buru-buru mau pulang, lebih baik beli tiket reguler, ya.
Salam hangat,
Monday, June 24, 2024
Pelajaran dari Drakor High School Return of a Gangster
Adakah orang seperti saya, yang suka aja nonton drakor, tapi sekadar nonton, yang nggak pernah hafal siapa pemeran utamanya, yang nggak kenal siapa aja pemainnya? Saya yang hanya nonton sekadar buat menghilangkan jenuh, yang bahkan sebenarnya nggak tahu drakor terbaru dan yang update itu apa saja?
Nah, kebetulan kemarin saya mengikuti drakor High School Return of a Gangster. Drakor ini menawarkan kombinasi antara aksi dan kehidupan Sekolah Menengah Atas. Dikutip dari laman yoursay.suara.com, drakor yang tayang perdana pada Rabu, 29 Mei 2024 ini merupakan adaptasi dari web novel dan webtoon karya Horol yang berjudul Jokokin Naega Godeunghaksaengyi Dweeotseumnida.
Yoon Chan Young memerankan dua karakter sekaligus, yakni sebagai Kim Deul Pal dan Song Yi Heun. Dua karakter ini benar-benar punya sifat yang sangat berlawanan. Kim Deul Pal merupakan gangster yang sangat ditakuti, dia jago bela diri dan olahraga, sedangkan Yi Heun merupakan seorang siswa SMA yang sangat lemah dan menjadi korban bullying di sekolahnya.
Meski seorang gangster, Kim Deul Pal yang berusia 47 tahun rupanya selalu menjunjung tinggil nilai keadilan dan punya impian besar untuk masuk universitas. Jadi, bisa dibayangkan Kim Deul Pal ini merupakan sosok pria matang yang bijak, jago berkelahi, dan punya impian yang tinggi. Dia nggak begajulan gitu, lho…haha.
Nah, cerita dimulai ketika Kim Deul Pal bertemu dengan Yi Heun. Karena sering dibully dan merasa tidak punya teman, Yi Heun memutuskan bunuh diri dengan melompat dari jembatan penyeberangan. Kim Deul Pal berhasil menyelamatkan Yi Heun, tapi sayang ia sendiri menjadi korban dan meninggal. Uniknya, roh Kim Deul Pal justru masuk ke tubuh Yi Heun. Jadilah Yi Heun kerasukan arwah Kim Deul Pal. Dan, dari sinilah kisah menariknya dimulai.
Kim Deul Pal harus menjadi Yi Heun yang punya banyak sekali masalah. Ia berjanji akan membereskan masalah Yi Heun dan menyerahkan tubuh Yi Heun kembali setelah waktunya tiba. Yi Heun sempat mengatakan bahwa tidak ada yang bisa diubah dari hidupnya. Dia punya banyak sekali masalah, mulai dari bullying di sekolahnya, hingga ibunya yang mengalami gangguan psikologis cukup berat. Namun, Kim Deul Pal yakin bisa mengurus semuanya sehingga Yi Heun bisa kembali hidup normal seperti anak-anak seusianya.
Menariknya…
Tidak seperti drakor kebanyakan, setting drakor High School Return of a Gangster ini didominisi kehidupan sekolah. Topik familiar di kehidupan remaja diangkat dalam drama ini, salah satunya tentang bullying.
Bullying nggak hanya ada di drakor, di kehidupan kita, di dekat kita, di lingkungan sekolah kita pun bisa dengan mudah kita jumpai. Mirisnya, bullying tidak hanya dilakukan oleh para pelajar SMA, anak-anak usia SD pun melakukannya. Bahkan mereka tak segan menghabisi nyawa teman sekelasnya.
Yi Heun merupakan siswa SMA yang sering banget mendapatkan perlakuan kasar dari teman-teman di sekolahnya. Ketika roh Kim Deul Pal masuk dalam tubuh Yi Heun, ia bisa membalas perlakuan kasar teman-temannya. Bagian ini menjadi menarik dan bikin puas. Jujur, sangat sebal dengan anak-anak yang sok jagoan dan senang sekali membully temannya sendiri. Ketika korban bullying bisa membela diri dan melawan, rasanya pengin ngasih 10 jempol.
Hal menarik lainnya, arwah om-om gangster yang masuk ke dalam tubuh seorang remaja menjadi pencetus munculnya kelucuan dalam drakor ini. Bagaimana dia membiasakan diri dengan tubuh Yi Heun, juga dengan teman-teman sekelasnya, dan hal-hal yang baru diketahuinya saat menjadi pelajar SMA.
Yi Heun yang aslinya punya penampilan cupu seperti kebanyakan penggambaran anak sekolah korban bullying kemudian memangkas rambutnya dan mengubah penampilan hingga cara bicara dan postur tubuhnya. Pemainnya jago banget, sih. Semuanya diperankan dengan mulus.
Rasanya happy banget bisa melihat sosok Yi Heun yang dirasuki oleh arwah om-om Gangster…kwkwk. Dia yang awalnya lemah, kini jadi bisa membela dan menjaga dirinya dengan baik. Mana dia jadi bijak banget, lho.
Dalam drama ini, Yi Heun punya seorang teman yang pintar banget bernama Choi Se Kyung yang diperankan oleh Bong Jae Hyun. Se Kyung, meski pintar dan punya ayah seorang jaksa, tapi kehidupannya sangat memprihatinkan. Hidupnya selalu distir dan diatur oleh sang ayah. Ayah Se Kyung pengin anaknya selalu perfect. Dia hanya boleh belajar dan belajar. Bahkan di waktu kecilnya, Se Kyung kehilangan waktu bermainnya.
Melihat Se Kyung, rasanya kasihan banget. Saking takutnya dengan sang ayah, dia jadi sering menggigit kuku hingga jari-jarinya sampai berdarah. Ketika ketakutannya memuncak, ia bisa memukulkan kepalanya ke dinding hingga tak sadarkan diri.
Menariknya, Yi Heun dan Se Kyung akhirnya berteman kembali. Sosok Yi Heun yang dirasuki arwah om-om Gangster rupanya bisa membantu Se Kyung untuk lepas dari kendali ayahnya. Sek Kyung jadi merasa punya teman meski awalnya dia ragu dengan Yi Heun yang berubah sangat drastis.
Pelajaran yang Bisa Diambil
Saya menulis review dari drakor ini bukan hanya karena kisahnya bagus dan menarik, tapi karena banyak banget pelajaran yang bisa dipetik. Saya nggak bisa menjelaskan dengan detail para pemainnya karena memang saya tidak seberat itu mengangumi drakor. Saya harus membaca beberapa ulasan di internet sebelum menulis postingan ini. Namun, poin penting inilah yang pengin saya tuliskan.
Pertama, jika ada temanmu yang butuh dibantu, butuh didengar, tolong beri waktu meski hanya sedikit untuknya. Karena, perhatian kecil kita bisa sangat membantu bahkan dapat menyelamatkan nyawa seseorang.
Yi Heun, sebelum memutuskan bunuh diri, dia mendatangi Se Kyung untuk meminta bantuan. Ia sangat berharap kepada Se Kyung karena ayahnya adalah seorang jaksa. Yi Heun pengin melaporkan teman-teman yang sering membully-nya di sekolah kepada komite kekerasan di sekolahnya, tapi Se Kyung tidak bisa membantu karena hubungan ia dan ayahnya juga sama sulitnya.
Kesalahannya, Se Kyung menanggapi permintaan Yi Heun dengan dingin bahkan mengusirnya. Inilah salah satu penyesalan terbesar Se Kyung saat itu.
Ketika ada orang yang dibully, kita sering mengabaikan mereka. Coba lihat di sekolah-sekolah, berapa banyak guru yang benar-benar peduli dengan laporan muridnya? Beberapa kasus bahkan terasa janggal ketika ada guru malah membela para pembully. Ketika ada yang melapor, orang-orang sering menyepelekan dan menganggap bahwa itu hanya keisengan saja. Dianggap wajar dan minta dimaklumi, padahal korbannya bisa sampai meninggal hingga bunuh diri.
Kita nggak aware sama hal kayak gini. Masih kurang banget empatinya sampai akhirnya kejadian ada yang meninggal. Begitu juga dengan orang tua, coba sering dengarkan anak-anaknya ketika bercerita. Kalau bukan orang tuanya, siapa lagi yang mau mendengarkan mereka?
Jaga dan didik juga anak-anak kita dengan baik. Pasti nggak asing dengan komentar netizen yang seperti ini, "Tolong jaga dan didik anaknya dengan baik supaya nggak menyakiti anak orang apalagi sampai membunuh temannya sendiri."
Karena bagaimanapun, orang tua itu sekolah pertama buat anak-anaknya. Ketika ada yang salah dengan anak kita, coba berkaca pada diri sendiri, kira-kira bagian mana nih yang terlewat? Pasti ada kesalahan dari kita yang bikin anak-anak jadi nggak baik sama teman-temannya.
Sekolah bukan bengkel, begitu juga dengan pesantren. Orang tua yang nggak mau capek mengurus anaknya hingga 15 tahun, maka anak itulah yang nanti akan bikin capek orang tuanya. Kalimat ini yang bikin saya selalu merasa 'dipuk-puk' setiap menghadapi anak-anak. Sabarin prosesnya. Jangan sampai nanti kita malah lebih capek dari ini.
Kedua, anak-anak punya keinginan dan kehidupannya sendiri. Bayangin aja, Se Kyung itu nggak boleh main dan jalan-jalan saking diaturnya sama sang ayah. Ibunya juga nggak tinggal bersama mereka. Jadi, kayak anak broken home gitu.
Se Kyung bahkan nggak bisa naik sepeda sama seperti saya…kwkwk. Ketika bertemu Yi Heun dalam versi om-om gangster, dia senang banget dan merasa punya teman. Ketika diajak jalan-jalan, dia terperangah sampai melongo…kwkwk.
Ayahnya pengin yang terbaik buat Se Kyung, tapi cara dia tidak tepat. Yi Heun pernah bilang, memangnya nggak aneh ada anak yang takut sama ayahnya sendiri? Ya jelas anehlah. Ketemu ayahnya aja sampai bikin dia gemetar dan stres saking traumanya.
Tapi, Yi Heun bilang ke Se Kyung, ayahnya nggak salah. Dia hanya nggak tahu cara memperlakukan anaknya dengan baik karena dia nggak mendapatkan itu dari orang tuanya. Jadi, coba ajari dan beri tahu ayahmu cara lain untuk menyayangi anaknya. So Sweet banget nggak sih? Huhu.
Buat orang yang mungkin punya 'retak' dengan orang tuanya, drakor kayak gini serasa menyayat hati banget. Orang-orang mungkin akan bilang, jangan membenci orang tua, maafin mereka, bla bla, tapi teman-teman harus tahu bahwa yang namanya trauma ya tetap trauma.
Kita bisa dengan mudah memaafkan, tapi proses sembuhnya itu nggak bisa sebentar apalagi mudah. Terutama ketika orang tua kita sampai saat ini masih melakukan hal yang sama. Kita akan memilih menjaga jarak dibanding dekat, tapi malah ribut. Sadar banget, seburuk apa pun orang tua kita, kita tetap wajib berbakti dan berbuat baik. Namun, yang namanya sudah 'retak', akan susah diperbaiki lagi.
Ketiga, jangan takut untuk bicara apa yang kita mau dan inginkan. Se Kyung ini takut banget sama ayahnya sampai-sampai dia nggak bisa memutuskan buat dirinya sendiri. Semua distir oleh ayahnya. Apa-apa nggak boleh, bahkan ketika dia berteman dengan Yi Heun, ayahnya kesal banget sampai-sampai Yi Heun mau dipenjarakan. Ampun, kesel banget sama bapaknya Se Kyung…kwkwk.
Setelah berteman dengan Yi Heun, Se Kyung jadi berani bicara dan mengutarakan keinginannya. Dia memutuskan kerja paruh waktu supaya mandiri, tapi dengan tetap menghargai dan hormat kepada ayahnya. Dia membela Yi Heun dan membantunya supaya tidak masuk penjara. Dia menjadi pemberani tanpa harus durhaka kepada ayahnya. Memang dasar ayahnya aja yang naudzubillah…huhu.
Keempat, pilihlah teman-teman yang tepat. Jangan asal memilih teman. Yi Heun beruntung bisa bertemu kembali dengan Se Kyung. Karena bantuan Se Kyung, kemampuan akademiknya meningkat. Yi Heun versi om-om Gangster ini rajin banget belajarnya. Dia pengin ketika Yi Heun kembali ke tubuhnya, ia bisa hidup normal sebagai manusia yang artinya minimal dia lulus SMA dengan baik dan masuk universitas.
Se Kyung juga beruntung bisa dibantu oleh Yi Heun sehingga ia bisa lepas dari traumanya. Mereka berdua sama-sama beruntungnya karena bertemu teman yang tepat.
Drakor ini hanya terdiri dari 8 episode, tapi endingnya sangat memuaskan. Di akhir, banyak sedih dan meweknya terutama ketika Se Kyung bertemu dengan Yi Heun yang asli. Sedih juga ketika arwah Kim Deul Pal mau bertukar tempat dengan Yi Heun, tapi akhirnya Yi Heun menolak.
Ternyata, nonton drakor dapat hikmah juga, ya? huhu. Nggak berasa nulis sudah 5 halaman…haha. Semoga postingan ini bermanfaat. Jangan lupa untuk menjadi orang tua yang baik buat anak-anak kita.
Salam hangat,
Tuesday, May 28, 2024
Diet Bebas Gula, Mulainya Dari Mana?
Photo by Joanna Kosinska on Unsplash |
Akhir-akhir ini, angka penderita diabetes makin mengerikan. Tak hanya orang dewasa, anak-anak usia sekolah pun banyak yang terkena diabetes serta gagal ginjal akibat kurangnya konsumsi air putih dan seringnya mengonsumsi jajanan kemasan. Kalau dipikir, zaman kita kecil, makanan kemasan juga sudah banyak dan sering dikonsumsi. Namun, sepertinya tidak sebanyak sekarang jumlah dan jenisnya.
Sebenarnya, tubuh kita juga butuh gula, tapi dalam jumlah tertentu. Masalahnya, pola hidup kita yang sekarang sudah cenderung berlebihan mengonsumsi gula, baik gula yang terkandung dalam snack ataupun gula tersembunyi yang ada dalam nasi putih makin meningkatkan risiko penyakit berbahaya di kemudian hari.
Konsumsi gula berlebihan bukan hanya menyebabkan diabetes, tapi juga membuat tubuh kita mudah gemuk atau jauh dari berat badan ideal. Terlebih kita itu dikenal malas sekali bergerak dan berolahraga. Kebayang nggak sih bakalan jadi apa makanan yang kita konsumsi sehari-hari dengan kondisi tubuh jarang bergerak seperti ini? Yes, akan jadi lemak!
Sedikit cerita, saya sudah menjalankan beberapa metode diet sehat dan salah satu yang bikin nyaman ya kembali ke makanan alami serta membatasi jam makan. Saya bukan tipe orang yang suka menghitung kalori karena buat saya itu ribet apalagi saya nggak suka melihat angka…kwkwk. Saya lebih senang mengurangi gula, tepung, nasi putih, minyak, dan makanan kemasan dibanding harus menghitung kalori makanan dalam sehari.
Selain itu, membuat jendela makan seperti yang kita pakai saat intermitten fasting itu berguna banget lho mencegah kita ngemil sembarangan di semua waktu. Saya yang dulunya punya magh lumayan berat, saat ini aman-aman saja ketika tidak sarapan di pagi hari dan hanya konsumsi air putih. Tubuh kita, terutama pencernaan butuh banget istirahat. Kebiasaan di Indonesia yang mesti sarapan berat di pagi hari nggak mesti diikuti apalagi di usia kita yang sudah masuk 30an tahun ke atas. Gapapa kok sarapan buah atau sekadar minum air putih atau bisa juga air kelapa murni. Sinyal lapar di pagi hari tidak selalu menunjukkan bahwa kita lapar. Bisa saja itu sinyal haus yang salah kita terjemahkan. Gampangnya begitu.
Kurangi Konsumsi Makanan Kemasan
Saya sering mengikuti postingan seorang dokter di sosial media yang sharing tentang menu makanan sehat untuk mereka serta anaknya yang masih balita. Beliau ini benar-benar menghindari makanan kemasan serta makanan yang diproses berlebihan atau UPF. Anaknya santai banget ngunyah mentimun dengan saus hati ayam homemade, makan ubi rebus, dan sejenisnya. Mereka nggak pernah konsumsi makanan kemasan walaupun orang akan bilang, kasihan banget anaknya nggak pernah dikasih snack, kasihan banget bla bla bla…Untungnya beliau ini dokter, ya. Coba dulu saya waktu si sulung masih balita dan saya batasi konsumsi gula serta garam, diprotes sekomplek, lho….haha. Mental kalau nggak kuat bisa ambyar…kwkwk.
Itulah sulitnya kita menerapkan pola hidup sehat karena masih sering dianggap aneh. Padahal lebih kasihan lho anak yang harus cuci darah seminggu beberapa kali hanya karena dia malas minum air putih dan lebih sering konsumsi jajan kemasan sama minuman kemasan yang dijual di warung-warung. Dia sampai berhenti sekolah dan kasusnya banyak!
Waktu saya ke dokter untuk memeriksakan si bungsu, dokter berpesan jangan konsumsi makanan kemasan apa pun walaupun itu susu atau yogurt! Waktu itu putra saya kambuh Otitis Media-nya. Selama beberapa tahun sejak usia 6 bulanan dia terkena Otitis Media Akut di mana setiap flu telinganya akan keluar cairan. Jadi, dulu saya sampai capek ya bolak balik ke dokter THT buat bersihin telinga yang terjadinya hampir tiap seminggu sekali. Sampai-sampai dokter mau ambil tindakan karena kondisinya nggak membaik. Qadarullah akhirnya berhenti di usia beberapa tahun berikutnya.
Kemarin sempat kaget juga kenapa anak ini tiba-tiba sakit banget telinganya padahal flu dan batuknya juga nggak parah. Ya penyebabnya memang dari common cold, tapi aneh saja kenapa sampai segitunya? Apalagi tiap sakit kondisinya lumayan parah, muntah-muntah, batuknya berat, dan demamnya juga tinggi.
Mau nggak mau setelah mendengar saran dari dokter akhirnya kami coba untuk stop semua makanan kemasan kecuali sesekali. Oiya, sampai saat ini saya masih memberikan susu UHT plain yang kalau di kemasannya disebut nggak ada pengawet dan hanya dibuat dengan susu sapi murni.
Jadi, setelah membatasi makanan kemasan, sekarang makannya apa? Nah, ini yang sering kita cemaskan, ya. Karena selama ini kita memang tidak terbiasa makan makanan sehat, makanya jadi pusing…kwkwk.
Saya coba sharing beberapa hal yang benar-benar kami hindari saat ini. Mulai dari mi instan, cokelat, jajan chiki bermecin berpenyedap, dan semua jenis makanan kemasan lainnya, tapi memang yang paling terasa parah efeknya di anak saya adalah cokelat sama mi instan. Padahal dia nggak ada alergi karena kami sudah pernah cek alergi lengkap. Namun, beberapa kali konsumsi dua jenis makanan itu terlihat sekali kalau batuk parah bahkan mi instan ini efeknya lumayan instan juga…hahaha.
Anak-anak jarang banget makan mi instan, bahkan putra saya yang di pesantren pun saya batasi meski sudah besar. Kita hanya makan sesekali, misal sebulan sekali buat happy aja, tapi habis makan sudah langsung batuknya rame banget…haha. Saya nggak bisa tiba-tiba melarang si bungsu karena dia juga sudah tahu rasanya mi instan seenak apa…kwkwk. Namun, setelah beberapa kali dia makan dan merasakan sendiri efeknya selalu cepat dan sama, akhirnya dia mau untuk berhenti. Kalau pengin mi, minimal emaknya yang masakin pakai mi telur. Kalau seperti ini, masih aman, insya Allah.
Ke sekolah bawa apa dong? Sampai sejauh ini menunya masih sama dan sederhana…haha. Nggak bisa mikir mau bikinin apa buat dia ke sekolah. Akhirnya hari-hari hanya bawa susu plain, kentang goreng, dan bolu pisang yang saya buat tanpa gula dan tepung. Kami juga konsumsi jus tanpa gula. Kita ganti dengan sedikit madu untuk pemanisnya.
Karena sudah terbiasa, sekarang dia jadi kurang suka makan snack kemasan. Jadi hilang selera saja kecuali sesekali ya okelah masih pengin. Namun, sudah jauh banget bisa dikontrol.
Jangan Malas Olahraga
Saya pernah bilang ke suami, kita memang punya anak dan sudah tugas mereka menjaga kita ketika sudah tua nanti. Tapii, saya nggak mau jadi orang tua yang merepotkan karena mereka akan punya kehidupan sendiri dan jangan sampai orang tuanya membebani. Jadi, sebisa mungkin kita jaga kesehatan dari sekarang supaya nanti nggak merepotkan anak-anak. Kalau sudah berusaha ternyata tetap sakit, ya itu sudah qadarullah. Namun, penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang punya tabungan otot alias suka bergerak dan banyak olahraga punya risiko sakit yang lebih kecil dibanding mereka yang jarang bergerak.
Kebanyakan orang tua yang jatuh akan sulit berjalan kembali entah karena patah atau kena saraf terjepit, dan sejenisnya. Dokter bilang, mereka yang punya tabungan otot alias suka bergerak akan memiliki risiko patah lebih sedikit dan kemungkinan besar bisa sehat kembali atau bisa berjalan ketika dia rajin olarhaga sejak lama.
Jadi, olahraga itu penting banget, pliss. Kasus ibu saya juga jadi pelajaran berharga banget bahwa kurang bergerak bisa menyebabkan kelumpuhan. Ibu saya lumpuh bukan karena struknya, tapi karena beliau sama sekali tidak mau bergerak.
Jadi, setiap diajak berjemur, beliau marah dan katanya silau. Setiap diajak belajar jalan beliau bilang capek padahal baru beberapa langkah. Dokter bahkan tidak mengizinkan beliau dipapah karena beliau sebenarnya bisa berjalan. Hanya saja karena kondisinya terkena demensia alzeimer membuat pikirannya tidak seperti beliau yang normal dulu. Beberapa kali beliau ketahuan jalan kaki ke kamar mandi sendiri tanpa sepengetahuan orang rumah, tapi waktu ada kami, beliau seperti orang tidak bisa jalan. Beliau juga pernah hilang dan ternyata sudah ada di rumah kakak saya di sebelah rumah. Beliau bisa jalan dengan normal setelah kena struk ringan, tapi karena demensianya, beliau tidak punya keinginan untuk sembuh lagi.
Saya ingat betul, dulu setelah saya kembali ke Jakarta, setiap pagi saya akan video call supaya Ibu mau diajak jalan di teras dan berjemur. Namun, ternyata itu nggak cukup buat bikin Ibu semangat dan akhirnya sekarang kondisinya benar-benar sudah lumpuh. Kakinya agak bengkok, begitu juga dengan kedua tangannya. Terapi pun sudah tidak berguna untuk saat ini. Beliau hanya mau tidur sepanjang hari. Seperti orang yang nggak mau mendengar dan nggak mau tahu apa pun. Seolah pengin nutup mata atas semua hal.
Dan, semakin tua kita, semakin memendek otot-otot kita. Meski hanya olahraga ringan, ayo tetap olahraga. Menua itu hal yang pasti begitu juga dengan kematian. Tapi, menikmati masa itu dengan cara seperti apa, kita sendiri yang menentukan.
Diet Bebas Gula, Mulainya dari Mana?
Tadi saya jelaskan tentang anak saya yang mulai membatasi gula dan makanan kemasan. Lalu, bagaimana dengan orang tua seperti kita yang ternyata lebih susah diberi pengertian? Yang paginya bilang mau diet, tapi siangnya minum es teh segelas jumbo, dan malamnya makan mi instan, sini saya jewer…haha.
Lidah yang sudah terbiasa makan makanan manis akan terus meminta jenis makanan yang sama. Sama halnya seperti orang yang kecanduan main games, makin hari makin minta lebih. Dan buat usia kita yang sekarang, rasanya itu nggak bijak sama sekali.
Jadi, kita harus mulai diet bebas gula dari mana? Mulailah dengan intermitten fasting. Dengan membuat jendela makan, kita bisa membatasi camilan, lho. Mulailah sarapan jam 11 atau jam 12 siang hingga jam 6 malam. Antara jam 11 siang hingga jam 6 malam itu kita boleh makan apa pun dalam jumlah wajar, tapi kalau saya pribadi lebih suka makan berat di jam 11 dan kalau mau makan sedikit camilan sekalian saja setelah makan berat dan baru makan lagi di jam 6 sore. Lanjut lagi untuk hari berikutnya dengan cara yang sama.
Selain itu, kita bisa makan makanan yang alami seperti mengganti menu makan dengan sayuran rebus, telur rebus, tahu putih, buah, dan sejenisnya tanpa nasi dan snack kemasan atau minuman manis. Kalau mau tetap pakai karbohidrat, coba ganti nasi putih dengan nasi merah atau kentang kukus. Rasanya gimana? Ya hambarlah kalau nggak biasa…kwkwk. Padahal sebenarnya semua makanan itu punya rasa alaminya masing-masing. Kalau sudah terbiasa, semua akan enak saja, sih.
Jangan lupa untuk tetap minum air putih dan hindari minuman kemasan yang sangat mengerikan jumlah gulanya. Seperti sudah saya sebutkan, saya itu nggak suka ribet kalau diet…kwkwk. Beberapa hal ini saya terapkan sampai sekarang.
Jadi gemuk itu nggak enak. Bukan berarti kita nggak boleh gemuk atau gemuk itu negatif, ya. Namun, dari segi kesehatan itu mengganggu banget buat saya pribadi. Saya bukan tipe orang yang makan apa saja tetap kurus. Sejauh ini, saya memang menjaga pola makan dan berat badan memang naik turun terus. Saya merasa, bernapas saja bisa menaikkan berat badan, kok…haha. Jadi, kalau saya sendiri nggak mau menjaga diri sendiri, bisa bahaya :(
Kalau teman-teman sudah terlanjur gemuk, jangan putus asa. Menurunkan berat badan itu nggak sesulit yang kita bayangkan asalkan konsisten. Nggak perlu hitung kalori sampai berlembar-lembar, asal konsisten…kwkwk. Benar, asal konsisten insya Allah berat badan berlebihan bisa turun terutama dengan diet bebas gula. Semoga mencerahkan sebagaimana krim pencerah wajah yang teman-teman pakai di rumah.
Salam hangat,
Wednesday, February 21, 2024
Menjadi Orang Tua Saklek Atau Melonggar?
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash |
Kita mungkin pernah memberikan aturan kepada anak-anak, tetapi justru kita sendiri yang melanggar atau tidak konsisten dengan aturan tersebut. Teman-teman pernah melakukannya?
Sebagai orang tua, saya selalu berusaha konsisten dengan apa yang saya sampaikan kepada anak-anak, tetapi saya tidak memungkiri jika di lain waktu saya sendirilah yang melanggar aturan tersebut. Saya paham, ketidakkonsistenan kita memberikan aturan justru membuat anak-anak nggak bisa diatur. Seperti saat kita melarang anak-anak membeli mainan saat belanja bulanan ke supermarket, tetapi di lain waktu justru kitalah yang menawarkan mainan lucu kepada mereka saat belanja bulanan. Hah?
Aturan yang tidak konsisten akan membuat anak bingung. Kemarin, kita melarang ini, tetapi besok kita mengizinkannya. Anak-anak jadi kesulitan untuk melakukan hal yang seharusnya, tetapi dalam kasus berbeda, sejujurnya saya suka dengan aturan yang lebih longgar.
Saya membuat aturan bersama di rumah, yakni nonton film kartun di hari libur sekolah dengan jumlah yang kami batasi. Namun, saya pernah mengajak anak-anak nonton film kartun tepat di saat mereka akan ujian.
Saya ingat betul, ketika besoknya mau ujian, mereka harus belajar dengan serius (meski tanpa diminta), sampai capek, sampai kelihatan banget bahwa mereka suntuk. Saya pribadi, andai diminta untuk belajar seperti itu, saya juga akan kelelahan. Jika dipaksa terus menerus menghadapi buku-buku dan mata pelajaran, mereka tidak akan merasa mudah, akan tetapi justru stres dan sulit memahami materi pelajarannya.
Jadi, saya memutuskan bahwa kita harus rehat sebentar sambil nonton kartun pendek yang lucu. Saya melanggar aturan yang kami buat bersama, saya melonggar, tetapi untuk alasan yang masuk akal dan ternyata itu tidak membuat mereka jadi mudah melanggar aturan yang kami sepakati di kemudian hari. Yes, melonggar sesekali menurut saya nggak masalah, asal kita bisa melihat situasinya memang dirasa tepat.
Steril atau Membentuk Imunitas?
Satu lagi yang pengin saya bahas dari aturan-aturan yang sering kita terapkan pada anak-anak. Seperti penggunaan gadget di rumah yang memang tidak dianjurkan terlalu dini diberikan. Nah, ada orang tua yang benar-benar tidak memberikan gadget dan nonton televisi. Sama sekali nggak diberikan sehingga anak-anak hampir tidak tahu film Upin Ipin, dan sebagainya.
Tidak ada yang salah dalam aturan semacam ini, tetapi untuk saya pribadi, saya lebih senang mengedukasi anak-anak soal gadget dan tetap memberikan kelonggaran pada mereka untuk menggunakannnya sesuai kebutuhan, membolehkan mereka nonton film kartun di hari libur dengan aturan film-nya hanya yang aman dan saya edukasi juga mana film kartun yang tidak layak mereka tonton. Sehingga mereka paham kenapa begini boleh, kenapa yang begini nggak boleh. Mereka sudah tahu semua alasannya dan tidak penasaran lagi.
Kenapa saya lebih memilih menumbuhkan imunitas pada mereka dibanding harus benar-benar steril? Karena mereka akan bertemu dengan teman-teman baru di sekolahnya yang mana kita tidak tahu lingkungan mereka seperti apa, apa yang orang tua mereka ajarkan, apa yang mereka dapat dari teman-teman lain di luar. Siapa yang bisa menjamin anak-anak kita akan selalu steril dari hal-hal yang selalu kita sembunyikan karena dianggap tidak aman?
Tema pacarana dan pornografi jangan dianggap tabu. Bahkan meskipun anak-anak kita masih TK dan baru mau masuk SD sekalipun. Jauh-jauh hari, bantu mereka mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilihat. Tentunya sampaikan dengan bahasa yang sesuai usia. Jangan sampai mereka tahu lebih dulu dari teman-temannya.
Pengalaman pribadi, saat anak saya masih kelas 1 SD, ada temannya yang bercerita soal adegan pornografi yang akhirnya informasi ini sampai pada kami saat makan malam. Kaget? Bangetlah. Anak sudah masuk SDIT, tetapi masih dapat informasi yang semenakutkan ini? Apalagi usia mereka masih sangat kecil. Akhirnya saya coba sampaikan pada wali kelas dan dikonfirmasi ke anak yang bersangkutan. Alhamdulillah, orang tuanya jadi tahu apa yang sebelumnya mereka tidak ketahui sehingga mereka bisa mengedukasi putranya dan melindunginya dari hal-hal negatif dari teman-temannya di luar sekolah.
Steril ternyata tidak menjamin anak-anak kita selalu aman. Pada akhirnya, mereka akan tahu, entah dari kita atau dari teman-temannya. Jika anak-anak kita tidak paham, tidak mengerti bahwa pornografi itu yang seperti apa dan dampak negatifnya apa, mungkin mereka tidak akan merasa penting untuk melapor kepada orang tuanya.
Membatasi Penggunaan Gadget
Satu lagi, saya tidak benar-benar steril, tetapi kita bantu anak-anak untuk membatasi penggunaan gadget sehingga mereka tidak merasa seolah sedang puasa gadget karena hampir setiap hari ketika butuh, mereka bisa menggunakannya.
Saya merupakan pekerja kreatif. Saya bekerja menggunakan gadget hampir setiap hari. Kalau kita nggak sepakat sejak awal dengan anak-anak, pasti capek harus melarang mereka atau mereka bisa saja memainkannya diam-diam karena merasa orang tuang pegang terus, kok aku nggak boleh? Karena sudah ada aturan yang jelas sejak awal, juga edukasi sejak dini, maka hal-hal seperti itu tidak pernah saya alami.
Anak-anak terbiasa izin ketika akan menggunakan gadget, kita tidak harus ribut soal waktu karena mereka tahu sejauh mana mereka boleh menggunakannya, tidak ada scroll video-video pendek di sosial media kecuali ketika bersama orang tua, no games juga. Jadi, saya merasa terbantu ketika mereka sudah sama-sama paham. Saya tidak harus ngomel pakai otot lagi.
Melonggar atau saklek? Dalam hal tertentu, ada aturan yang benar-benar harus tegas, tetapi ada yang boleh kita langgar demi kebaikan anak-anak juga. Setiap orang punya aturan masing-masing, tetapi buat saya pribadi, komunikasi yang baik dengan anak-anak akan sangat membantu kita untuk mengontrol mereka.
Anak yang nyaman dengan orang tuanya tidak akan takut ketika mau cerita dan melapor, anak-anak yang terbiasa kita dengarkan tidak akan merasakan jarak sehingga mereka akan merasa aman. Dengan begitu, kita akan lebih mudah membuat aturan bersama dan menjalankannya. Insya Allah.
Salam hangat,
Wednesday, January 31, 2024
Mengajarkan Anak Berbisnis Sejak Dini
Photo by Sigmund on Unsplash |
Dulu, ketika si sulung masih duduk di bangku Sekolah Dasar, ada temannya yang berjualan di sekolah. Dia berjualan pudding dan minuman. Kadang, dia membawa pesanan para guru dan teman-temannya. Entah kenapa, saya begitu senang mengetahui bahwa ada anak yang bisa berjualan di sekolah ketika teman-teman seusianya tidak memikirkan hal yang sama.
Saya pernah menawari si sulung berjualan, tetapi dia menolak karena tidak berani dan kurang percaya diri. Tujuannya memang bukan soal uang, tetapi membangun rasa percaya dirinya.
Anak-anak di rumah sudah terbiasa menabung sejak kecil. Mereka tidak boros, tidak sembarangan membeli barang yang mereka suka dengan uang tabungannya. Saya juga tidak memberikan uang saku untuk mereka, sebab mereka sudah membawa bekal dari rumah. Meski sering disuruh jajan di kantin, mereka tetap menolak. Alasannya, males antre dan berdesak-desakan…kwkwk
Suatu hari, teman saya bercerita. Katanya, salah satu penjual di kantin menanyakan si sulung. Apakah dia anak baru? Kenapa jarang kelihatan? Teman saya tertawa. Si sulung sudah sekolah di tempat yang sama sejak TK sampai SD…huhu. Saking jarangnya jajan di kantin, ibu kantin pun tidak mengenalinya…kwkwk.
Anak-anak membawa uang saku sekitar 5 sampai 10 ribu yang kadang nggak habis dalam satu semester. Uang itu memang sengaja disimpan di tas untuk berjaga-jaga jika mereka butuh membeli air minum.
Setelah si sulung masuk pesantren, saya hampir tak percaya jika dia juga sangat hati-hati dalam mengelola uangnya. Anak kelas 1 SMP dan baru berpisah dari orang tua. Dia tidak pernah pegang uang sendiri. Tidak pernah mengatur kebutuhannya sendiri. Ketika saya menyimpan uang di tabungan santri dengan nominal yang lumayan besar, yang saya harap itu cukup membuatnya tenang selama di sana tanpa harus takut kehabisan uang untuk jajan, terutama di masa-masa awal di pesantren, nyatanya dia hanya mengambil 30 ribu saja dan sisanya masih ada sampai dengan saat ini.
Karena dia malas ambil tabungan santrinya, akhirnya setiap bulan saya beri pegangan uang yang nominalnya terbilang sedikit. Hanya untuk berjaga-jaga jika diperlukan atau ketika dia mau titip beli takjil saat Senin dan Kamis. Sampai kepulangannya di liburan semester pertama kemarin, saya masih belum tahu jika dia harus membayar uang kas kelas dan kamar yang otomatis mengambil uang pegangannya. Jadi, selama ini dia pegang uang lebih sedikit dari yang saya kira. Setiap saya ke pesantren, dia tidak pernah membuka amplopnya. Mau saya kasih berapa pun, dia tidak protes.
Dari sini, saya pikir uang itu hanya dipakai untuk kebutuhannya, bukan untuk membayar kas. Nyatanya saya keliru. Liburan semester pertama kemarin, dia pun masih menyisihkan uangnya untuk ditabung. Masya Allah tabarakallah. Mana nyangka masih nyisa juga? Kwkwk.
Membeli Sesuai Kebutuhan
Waktu kecil, saya membiasakan anak-anak untuk membeli apa yang dibutuhkan, bukan apa yang selalu mereka inginkan. Suatu hari, si sulung pernah hampir gulung-gulung di depan toko mainan hanya karena menginginkan mobil remot. Namun, kami sudah sepakat akan membelinya saat uang tabungannya cukup.
Menepati ucapan kepada anak akan sangat berpengaruh kepada sikapnya juga. Dia yang waktu itu masih kecil, belum juga sekolah, tetapi sebenarnya sudah memahami betul apa itu komitmen. Pada akhirnya, kami pulang ke rumah tanpa drama dan memecahkan celengannya dan menghitungnya. Setelah dihitung, uangnya belum cukup. Jadi, dia menabung kembali sampai keinginannya tercapai.
Ketika pergi ke swalayan, kami juga sepakat membeli hal-hal yang dibutuhkan. Ketika dia meminta sesuatu di luar kesepakatan, tentu saja saya menolak. Nah, hal-hal seperti ini akan mengajarkan anak-anak kita untuk bersikap konsisten dan tidak menjebak emaknya…haha.
Tidak menuruti permintaan anak-anak bukan berarti tidak sayang. Menangis juga bukan hal haram selama ia tidak menyakiti dirinya sendiri, tidak merusak barang, dan sejenisnya. Meski dia laki-laki, jangan pernah melarangnya menangis dan bersedih. Buat saya, semua emosi itu baik asal tidak disampiaskan dengan cara yang keliru.
Balik lagi ke si sulung. Ketika ia masuk pesantren, ternyata dia berhasil mengelola uangnya dengan baik. dia pernah cerita, beberapa temannya sering meminjam uang dengan nominal yang tidak besar untuk jajan. Salah satu temannya juga pernah berkomentar, kenapa uangmu masih ada padahal jumlahnya hampir sama dengan milikku? :D
Jika dilihat, bukan anak saya tidak suka jajan. Dia suka dan mau saja makan camilan seperti susu dan camilan ringan lainnya, tetapi karena dia anaknya agak mageran, males ke mana-mana seperti saya, akhirnya dia memilih tetap di asrama dibanding harus panas-panasan beli makanan di kantin atau swalayan pesantren.
Setiap menjenguk, saya selalu membawakannya makanan ringan secukupnya asal bisa muat di lemari. Sebelum dijenguk lagi, kadang camilannya sudah habis, tetapi ia enggan dikirim via Alfagift misalnya. Alasannya, males kalau ambil paket antre…kwkwk. Benar-benar di luar nurul, kan?
Selama enam bulan pertama di pesantren, kelihatan banget dia kurusan. Selain kurang tidur, dia pasti juga berkurang makan dan ngemilnya. Namun, saya bersyukur dia bisa beradaptasi dengan baik meski saya yakin, itu bukan hal mudah. Makan makanan berat yang mungkin nggak sesuai sama seleranya, tetapi tetap harus dimakan daripada sakit, ketika sakit dia harus mengurus dirinya sendiri, tanpa saya, tanpa minta pulang dan merengek, bahkan selama semester pertama kemarin, meski beberapa kali sakit, dia tidak pernah absen. Tetap masuk sekolah seperti biasa karena takut disuruh tidur di UKS. Benar-benar di luar nurul (yang kedua)…haha.
Berjualan Sesuai Hobi
Awal kembali ke pesantren setelah libur, dia sering telepon. Sepertinya kangen, jadi pengin banyak ngobrol dengan saya. Sampai akhirnya dia cerita kalau di sana, dia berjualan gambar atau nama yang diberi ornamen. Dia kirim beberapa foto. Sejujurnya, saya kaget dan takjub juga, masya Allah. Saya nggak pernah membayangkan dia berjualan gambar dan ada lumayan juga yang beli.
Ketika kami ke pesantren, dia tunjukkan beberapa syarat atau ketentuan jika ada yang mau memesan gambar padanya. Saya dan suami cukup terkejut dengan ketentuan yang dia tulis. Lebih detail dibanding saya yang kerja sebagai illustrator selama beberapa tahun terakhir. Misalnya, jika mau pesan, harga beberapa style dibedakan, kertasnya dari pembeli, revisi hanya boleh saat masih berbentuk sketsa, pembayaran dilakukan setelah gambar selesai, harus sabar menunggu sesuai antrean, mesti digaris bawahi, dilarang keras menagih gambar! Kwkwk.
Kenapa harus begitu? Katanya, si sulung hanya mengerjakan saat jam kosong di kelas. Jadi, bisa dibayangkan butuh waktu banget untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Soal harga, dia mematok harga yang masuk akal, sih. Meski sebagian orang meremehkan pekerjaan tukang gambar, tetapi saya pribadi mengakui bahwa pekerjaan ini tidak mudah dikerjakan oleh semua orang. Capek, susah, belum lagi harus detail. Jadi, harga yang ditawarkan termasuk manusiawi untuk ukuran gambarnya dia.
Dibanding menjual makanan, justru mengerjakan gambar seperti ini bakalan dapat untung yang utuh, sih…kwkwk. Karena kertasnya saja dari pembeli, sedangkan pensil warna dibawa dari rumah….haha.
Saya harus akui, putra saya lebih berani dibanding saya ketika membuat aturan. Saya pribadi, terkadang masih terpaksa merevisi gambar yang sudah diwarnai. Meski perjanjian di awal nggak boleh, tetap saja kadang saya kerjakan. Inilah pentingnya memberikan batasan pada diri sendiri sehingga orang lain bisa lebih menghargai kita. Bagus, Nak!
Manfaat Belajar Berbisnis Sejak Dini
Kira-kira, apa sih manfaat anak-anak berjualan sejak kecil? Apakah semata-mata demi uang? Meski anak-anak cenderung senang dapat menghasilkan uang sendiri, tetapi lebih dari itu, ada beberapa manfaat yang sangat bagus bagi mereka.
1. Menumbuhkan Rasa Tanggung Jawab
Ketika anak kita berani berjualan, maka mereka telah berani mengambil tanggung jawab lebih dibanding yang lainnya. Dia harus menjaga barang dagangannya, menghitung, juga mengerjakan pekerjaannya jika memang ia berjualan gambar seperti putra saya.
Berhasil atau tidaknya bisnis mereka, tergantung pada mereka juga. Jika mereka malas-malasan, otomatis mereka tidak akan bisa menjalankan usahanya dengan baik. Meski kesannya sepele, tetapi ada banyak manfaat yang dapat dipelajari dari berjualan di usia kecil.
2. Menumbuhkan Jiwa Berbisnis atau Wirausaha
Sama seperti kita, pasti di awal-awal, mereka cenderung ragu apakah mereka dapat menjalankan usahanya dengan baik? Apakah bisnis mereka akan sukses atau malah gagal?
Meski sangat pemula, tetapi mereka telah berani mengambil risiko dan akhirnya sukses menjalankan bisnis kecilnya dengan percaya diri. Jiwa wirausahanya telah tumbuh dan semoga bisa membuatnya lebih percaya diri di waktu dewasanya nanti.
3. Anak Akan Lebih Menghargai Uang
Ketika tahu tidak mudahnya mendapatkan uang sendiri, anak-anak akan belajar untuk berhemat. Mereka akan belajar menghargai uang karena paham betapa susahnya mengumpulkan uang sedikit demi sedikit.
Sejak masuk pesantren dan harus memegang uang bulanan sendiri, saya melihat si sulung jadi lebih perhitungan bahkan meski itu menggunakan uang saya. Misalnya, ketika kami ke Gramedia, dia menolak membeli beberapa peralatan sekolah karena dirasa terlalu mahal. Katanya, mending beli di toko dekat rumah…kwkw. Padahal, nggak pakai uang dia juga, lho.
Kalau anak kita sudah paham cara menghasilkan uang, insya Allah mereka tidak akan sembarangan menghabiskannya.
4. Melatih Rasa Percaya Diri
Tidak semua anak berani berjualan di sekolah. Kenapa? Karena hampir seluruhnya akan menjawab, maluuu! Itu juga yang dikatakan oleh putra saya dulu.
Padahal, saya pribadi begitu senang melihat ada anak yang masih sekolah, tetapi mau berjualan. Entah karena hobi atau memang demi membantu ekonomi keluarga.
Namun, tiap anak memang punya waktunya masing-masing, ya. Berawal dari seringnya si sulung disuruh menggambar oleh temannya, dia jadi punya ide untuk menjual sekalian gambarnya…haha. Qadarullah, gambarnya memang laku dan sudah ada beberapa orang yang pesan.
Ketika anak berhasil melakukan sesuatu, jangan lupa untuk mengapresiasi usaha dan kerja kerasnya. Penghargaan dari orang tua pasti akan selalu putra putri kita harapkan. Entah itu dengan memberikan pujian ataupun reward.
Setiap orang tumbuh dan berkembang mulai dari nol. Jangan terburu-buru meminta anak-anak kita berhasil, tetapi bersamailah mereka sampai benar-benar berhasil. Bukankah kita juga tidak serta merta menjadi hebat? Dulunya, kita juga pernah menjadi orang yang tidak tahu dan tidak bisa apa-apa.
Salam hangat,