Wednesday, April 24, 2024

Anak Lelaki vs Perempuan

Anak lelaki vs perempuan
Photo by Hisu lee on Unsplash


Ketika baru menikah dan hamil anak pertama, saya mengalami keguguran pada trimester pertama. Dalam kondisi masih berduka, salah satu keluarga pernah berkomentar, kenapa tidak segera hamil supaya tidak kesepian?


Setelah punya anak pertama, ada saja yang bertanya, kapan nambah adek, nih? Setelah punya dua orang putra, saya kira tidak ada lagi yang berkomentar soal anak. Namun, nyatanya komentar orang-orang semakin heboh…kwkwk.


“Baru dua, masih bisa nambah lagi. Kan, usiamu masih muda.”

“Cowok semua anaknya? Nggak lengkap, tuh. Nambah lagi biar ada anak perempuan.”

“Kalau anaknya cuma dua, nanti kesepian setelah tua. Nambah lagi biar rame!”


Saya paham bahwa semua komentar itu hanya sekadar basa basi. Sambil menyeruput teh dan mengunyah nastar, kita butuh obrolan santai dan lucu. Apalagi setelah lama tidak bertemu. Momen lebaran menjadi waktu yang tepat untuk berkumpul dan bertukar cerita. Tidak ada yang perlu dimasukkan ke hati. Saya dan suami juga selalu menanggapinya dengan santai sambil tertawa. Nambah anak? Kayaknya belum kepikiran lagi, sih sampai sekarang karena sedang ada di fase menikmati hidup...eaaa...haha.


Bagaimana Perasaan Bunda Ketika Tahu Ternyata Aku Lahir Sebagai Anak Lelaki?

Anak Lelaki vs Perempuan
Photo by Omar Lopez on Unsplash


Suatu hari, selesai salat, spontan saya memperlihatkan sajadah yang dipakai oleh si Kakak dan menunjukkan label Syakira yang saya jahit sendiri. Label itu saya buat dengan nama calon anak pertama saya yang kata dokter berjenis kelamin perempuan. Sampai mau melahirkan, dokter masih yakin anak kami perempuan, bukan lelaki.


Saya tidak menyiapkan perlengkapan bayi perempuan, tapi memilih warna-warna netral. Jadi, ketika Kakak lahir, kami tidak kesulitan menukar dan membeli pakaian serta perlengkapan bayi lagi.


Namun, ada yang menarik saat itu. Kakak tiba-tiba bertanya, Gimana perasaan Bunda ketika tahu Kakak ternyata anak lelaki?


Maksud dia, bukannya awalnya Bunda dan Ayah membayangkan dia perempuan? Apa Bunda kecewa ketika ternyata Kakak bukan anak perempuan seperti yang dibayangkan?


Saya mengatakan bahwa kami bahagia meski anak pertama kami ternyata bukan anak perempuan. Pun ketika adeknya lahir dan tahu dia lelaki. Saya hanya khawatir ketika punya anak lelaki harus melewati fase merawat mereka setelah sunat…kwkwk. Asli ini part yang selalu saya takutkan ketika punya anak lelaki…huhu.


Saya dan suami tidak pernah berpikir bahwa punya dua anak lelaki membuat kebahagiaan kami jadi tidak lengkap. Meski saya seorang ibu, saya juga tidak pernah berharap punya anak perempuan hanya supaya saya bisa punya teman di dapur, jalan-jalan bareng, atau supaya bisa mendandani anak perempuan dengan pakaian-pakaian super gemas. Bagi kami, anak perempuan dan lelaki sama saja. Saya mungkin lebih fokus pada bagaimana saya bisa membesarkan mereka dengan baik, menjadi orang tua yang tidak zalim, dan tetap waras meski mereka sering ribut…kwkwk.


Saya juga selalu berpikir bahwa pekerjaan rumah tangga tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab seorang perempuan, baik itu ibu ataupun anak perempuan. Saya selalu menegaskan bahwa pekerjaan rumah merupakan tugas bersama. Seorang ayah harus mau membantu ibu di dapur. Anak lelaki juga harus belajar mencuci piring kotornya dan menyapu halaman rumah. Mereka juga belajar memasak telur mata sapi kesukaannya tanpa berpikir bahwa itu hanya tugas seorang perempuan.


Jadi, ketika kami tidak punya anak perempuan, saya tetap punya anak lelaki yang mau menyapu halaman, menyiram tanaman, mengepel lantai meski hasilnya tidak selalu bersih, mencuci piring kotornya, dan ikut membentuk adonan roti yang saya buat beberapa jam sebelumnya.


Terkadang, pada hari Sabtu saya meminta jatah libur meski tak sepenuhnya libur. Suami turun ke dapur dan mengupas bawang bersama si bungsu. Saya tetap ada di sana dan memasak seperti biasa sambil tertawa, ternyata memang tidak ada tanggal merah bagi seorang ibu, kan? kwkwk.


Saya Dibesarkan Sebagai Anak Lelaki

Anak Lelaki vs Perempuan
Photo by Heike Mintel on Unsplash


Ayah saya selalu menginginkan anak lelaki lahir dari rahim Ibu. Ketika saya lahir, mungkin Ayah sudah putus asa kenapa ketiga anaknya berjenis kelamin perempuan…kwkwk. Saya masih ingat, Ayah selalu mendandani saya layaknya anak lelaki. Membelikan saya pakaian berupa celana dan kaos dibanding membelikan saya dress manis dan bermotif bunga cantik. Saya juga selalu dipakaikan peci, bukan jilbab berwarna cerah.


Sampai saya masuk SD, Ayah selalu memotong rambut saya pendek dan menyisakan sedikit rambut lebih panjang di bagian tengah sehingga teman-teman saya selalu mengejek saya dengan panggilan 'ekor kuda'. Dulu, saya berpikir potongan rambut seperti itu keren (meski sangat tidak wajar) asalkan Ayah saya suka, tetapi setelah dewasa saya mulai berpikir bahwa mungkin itu cara Ayah mendadani saya supaya lebih mirip seperti anak lelaki yang beliau harapkan sejak lama.


Demi memuaskan keinginan orang tua, saya harus menerima ejekan teman-teman hingga bertahun-tahun. Saat itu saya tidak pernah protes apalagi marah. Diterima saja dengan polosnya dan sepertinya saya bangga didandani aneh-aneh karena Ayah bilang itu keren…kwkwk.


Ayah saya sangat bangga dengan keponakan-keponakan lelakinya. Seolah anak lelaki itu lebih baik dibanding anak perempuan. Padahal, kita sudah hidup jauh dari zaman jahiliyah, kan? Namun, masih ada orang tua yang berpikir bahwa anak lelaki lebih baik dibanding anak perempuan. Bahkan sampai saat ini saya yakin, masih banyak orang tua yang berpikiran seperti itu.


Setelah saya dan kedua kakak perempuan menikah, Ayah dikaruniai cucu-cucu lelaki hampir seluruhnya kecuali hanya seorang…kwkwk. Namun, pada akhirnya semua sama saja. Rasanya sama. Tidak ada yang lebih istimewa antara kedua gender tersebut. 


Putra saya, meski seorang anak lelaki, dia sering melakukan hal-hal manis. Diam-diam menyelimuti ketika saya ketiduran, memeluk dan menepuk punggung ketika saya menangis, senang menulis surat, dan mencium ibunya yang sering mengaktifkan mode Singa…haha.


Meski mereka anak lelaki, saya tidak pernah melarang mereka menangis. Hingga suatu hari saya merasa kaget ketika salah seorang dari mereka mengatakan, “Bunda pergi dulu. Aku pengin sendiri dulu.”


Dia pengin sendirian dulu dan menuntaskan rasa sedih dan kecewanya dengan cara yang mereka inginkan. Saya bilang, gapapa nangis dan sedih, itu wajar. Asal jangan menyakiti diri sendiri dan orang lain apalagi sampai merusak barang. Meski anak lelaki, mereka boleh menangis. Karena mereka juga manusia.


Aku Pengin Adek!

Anak Lelaki vs Perempuan
Photo by Minnie Zhou on Unsplash


Anak-anak kami pengin adek lagi. Mereka suka gemas kalau lihat bayi apalagi yang belum bisa apa-apa dan belum senang bikin rusuh…haha. Menarik, ya? Kayaknya harus direalisasikan, nih. Apalagi usia saya masih 30an. Begitu kata mereka yang siap menanggung biaya pendidikan hingga anak kami kuliah...kwkwk.


Kalau boleh jujur, saya sedang ada di fase seneng banget akhirnya bisa kembali menulis setelah berhenti beberapa tahun untuk fokus mengurus si Kakak dan Adek beberapa tahun lalu. Saya tidak pernah menyesali itu karena setiap orang punya waktunya masing-masing. Meski ada yang tetap bekerja ketika punya anak kecil, tetapi saya tidak memaksa memakai ukuran sepatu orang lain hanya supaya saya bisa sama seperti mereka. Saya memilih menakar kemampuan saya dan memilih istirahat dan mendampingi anak-anak. Dalam kondisi rehat saja, mode singa saya sering on, apalagi kalau sambil kerja? Kwkwkwk. Mohon maaf, jangan membayangkan saya itu ibu yang sangat penyabar dan tidak pernah marah. Saya tetaplah ibu-ibu seperti kebanyakan dibanding yang sedikit seperti Nikita Willy…hoho.


Ketika anak-anak menyampaikan keinginan mereka, saya jelaskan bahwa rasanya sudah tidak cukup lagi kesabaran untuk mengurus anak lebih dari dua…kwkwk. Dibanding menambah momongan, saya memilih untuk menikmati waktu bersama dengan mereka dan menambal semua kekurangan serta kekeliruan di masa lalu saya terutama ketika menjadi orang tua baru.


Mereka juga harus paham bahwa adek bayi itu tidak selamanya bayi. Bayi akan tumbuh besar dan menjadi musuh besar yang mesti diwaspadai…haha. Mereka harus siap barangnya diacak-acak dan buku bacaan selemari diberantakin. Mana rela, kan? *Emaknya tertawa mode puas…kwkwk.


Setiap orang punya cara pandangnya masing-masing. Banyak orang tua yang pengin tetap punya anak lelaki setelah punya lima anak perempuan atau sebaliknya. Sah-sah saja dan itu hak mereka. Hanya saja, tidak semua keluarga memiliki keinginan dan pemahaman yang sama. Jadi, jangan paksakan cara pandangmu kepada orang lain karena belum tentu semua orang setuju.


Anak lelaki atau perempuan, bagi saya sama saja. Hal yang lebih penting yakni bagaimana kita bisa membesarkan mereka dengan baik. Karena membesarkan anak-anak bukan hal mudah terutama ketika kita punya inner child yang terluka. Kita tidak pernah tahu, luka sedalam apa yang pernah orang lain alami dan sekuat apa mereka berjuang.


Semoga lebaran tahun depan kita dapat pertanyaan dan komentar yang lebih menarik, ya. Supaya mudah dijawab, saya sarankan pakai pilihan ganda...kwkwk.


Salam,


Wednesday, February 21, 2024

Menjadi Orang Tua Saklek Atau Melonggar?

Menjadi Orang Tua Saklek Atau Melonggar?
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash


Kita mungkin pernah memberikan aturan kepada anak-anak, tetapi justru kita sendiri yang melanggar atau tidak konsisten dengan aturan tersebut. Teman-teman pernah melakukannya?


Sebagai orang tua, saya selalu berusaha konsisten dengan apa yang saya sampaikan kepada anak-anak, tetapi saya tidak memungkiri jika di lain waktu saya sendirilah yang melanggar aturan tersebut. Saya paham, ketidakkonsistenan kita memberikan aturan justru membuat anak-anak nggak bisa diatur. Seperti saat kita melarang anak-anak membeli mainan saat belanja bulanan ke supermarket, tetapi di lain waktu justru kitalah yang menawarkan mainan lucu kepada mereka saat belanja bulanan. Hah?


Aturan yang tidak konsisten akan membuat anak bingung. Kemarin, kita melarang ini, tetapi besok kita mengizinkannya. Anak-anak jadi kesulitan untuk melakukan hal yang seharusnya, tetapi dalam kasus berbeda, sejujurnya saya suka dengan aturan yang lebih longgar.


Saya membuat aturan bersama di rumah, yakni nonton film kartun di hari libur sekolah dengan jumlah yang kami batasi. Namun, saya pernah mengajak anak-anak nonton film kartun tepat di saat mereka akan ujian.


Saya ingat betul, ketika besoknya mau ujian, mereka harus belajar dengan serius (meski tanpa diminta), sampai capek, sampai kelihatan banget bahwa mereka suntuk. Saya pribadi, andai diminta untuk belajar seperti itu, saya juga akan kelelahan. Jika dipaksa terus menerus menghadapi buku-buku dan mata pelajaran, mereka tidak akan merasa mudah, akan tetapi justru stres dan sulit memahami materi pelajarannya.


Jadi, saya memutuskan bahwa kita harus rehat sebentar sambil nonton kartun pendek yang lucu. Saya melanggar aturan yang kami buat bersama, saya melonggar, tetapi untuk alasan yang masuk akal dan ternyata itu tidak membuat mereka jadi mudah melanggar aturan yang kami sepakati di kemudian hari. Yes, melonggar sesekali menurut saya nggak masalah, asal kita bisa melihat situasinya memang dirasa tepat.


Steril atau Membentuk Imunitas?

Satu lagi yang pengin saya bahas dari aturan-aturan yang sering kita terapkan pada anak-anak. Seperti penggunaan gadget di rumah yang memang tidak dianjurkan terlalu dini diberikan. Nah, ada orang tua yang benar-benar tidak memberikan gadget dan nonton televisi. Sama sekali nggak diberikan sehingga anak-anak hampir tidak tahu film Upin Ipin, dan sebagainya.


Tidak ada yang salah dalam aturan semacam ini, tetapi untuk saya pribadi, saya lebih senang mengedukasi anak-anak soal gadget dan tetap memberikan kelonggaran pada mereka untuk menggunakannnya sesuai kebutuhan, membolehkan mereka nonton film kartun di hari libur dengan aturan film-nya hanya yang aman dan saya edukasi juga mana film kartun yang tidak layak mereka tonton. Sehingga mereka paham kenapa begini boleh, kenapa yang begini nggak boleh. Mereka sudah tahu semua alasannya dan tidak penasaran lagi.


Kenapa saya lebih memilih menumbuhkan imunitas pada mereka dibanding harus benar-benar steril? Karena mereka akan bertemu dengan teman-teman baru di sekolahnya yang mana kita tidak tahu lingkungan mereka seperti apa, apa yang orang tua mereka ajarkan, apa yang mereka dapat dari teman-teman lain di luar. Siapa yang bisa menjamin anak-anak kita akan selalu steril dari hal-hal yang selalu kita sembunyikan karena dianggap tidak aman?


Tema pacarana dan pornografi jangan dianggap tabu. Bahkan meskipun anak-anak kita masih TK dan baru mau masuk SD sekalipun. Jauh-jauh hari, bantu mereka mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilihat. Tentunya sampaikan dengan bahasa yang sesuai usia. Jangan sampai mereka tahu lebih dulu dari teman-temannya.


Pengalaman pribadi, saat anak saya masih kelas 1 SD, ada temannya yang bercerita soal adegan pornografi yang akhirnya informasi ini sampai pada kami saat makan malam. Kaget? Bangetlah. Anak sudah masuk SDIT, tetapi masih dapat informasi yang semenakutkan ini? Apalagi usia mereka masih sangat kecil. Akhirnya saya coba sampaikan pada wali kelas dan dikonfirmasi ke anak yang bersangkutan. Alhamdulillah, orang tuanya jadi tahu apa yang sebelumnya mereka tidak ketahui sehingga mereka bisa mengedukasi putranya dan melindunginya dari hal-hal negatif dari teman-temannya di luar sekolah.


Steril ternyata tidak menjamin anak-anak kita selalu aman. Pada akhirnya, mereka akan tahu, entah dari kita atau dari teman-temannya. Jika anak-anak kita tidak paham, tidak mengerti bahwa pornografi itu yang seperti apa dan dampak negatifnya apa, mungkin mereka tidak akan merasa penting untuk melapor kepada orang tuanya.


Membatasi Penggunaan Gadget

Satu lagi, saya tidak benar-benar steril, tetapi kita bantu anak-anak untuk membatasi penggunaan gadget sehingga mereka tidak merasa seolah sedang puasa gadget karena hampir setiap hari ketika butuh, mereka bisa menggunakannya.


Saya merupakan pekerja kreatif. Saya bekerja menggunakan gadget hampir setiap hari. Kalau kita nggak sepakat sejak awal dengan anak-anak, pasti capek harus melarang mereka atau mereka bisa saja memainkannya diam-diam karena merasa orang tuang pegang terus, kok aku nggak boleh? Karena sudah ada aturan yang jelas sejak awal, juga edukasi sejak dini, maka hal-hal seperti itu tidak pernah saya alami.


Anak-anak terbiasa izin ketika akan menggunakan gadget, kita tidak harus ribut soal waktu karena mereka tahu sejauh mana mereka boleh menggunakannya, tidak ada scroll video-video pendek di sosial media kecuali ketika bersama orang tua, no games juga. Jadi, saya merasa terbantu ketika mereka sudah sama-sama paham. Saya tidak harus ngomel pakai otot lagi.


Melonggar atau saklek? Dalam hal tertentu, ada aturan yang benar-benar harus tegas, tetapi ada yang boleh kita langgar demi kebaikan anak-anak juga. Setiap orang punya aturan masing-masing, tetapi buat saya pribadi, komunikasi yang baik dengan anak-anak akan sangat membantu kita untuk mengontrol mereka.


Anak yang nyaman dengan orang tuanya tidak akan takut ketika mau cerita dan melapor, anak-anak yang terbiasa kita dengarkan tidak akan merasakan jarak sehingga mereka akan merasa aman. Dengan begitu, kita akan lebih mudah membuat aturan bersama dan menjalankannya. Insya Allah.


Salam hangat,


Wednesday, January 31, 2024

Mengajarkan Anak Berbisnis Sejak Dini

Mengajarkan Anak Berbisnis Sejak Dini
Photo by Sigmund on Unsplash


Dulu, ketika si sulung masih duduk di bangku Sekolah Dasar, ada temannya yang berjualan di sekolah. Dia berjualan pudding dan minuman. Kadang, dia membawa pesanan para guru dan teman-temannya. Entah kenapa, saya begitu senang mengetahui bahwa ada anak yang bisa berjualan di sekolah ketika teman-teman seusianya tidak memikirkan hal yang sama.


Saya pernah menawari si sulung berjualan, tetapi dia menolak karena tidak berani dan kurang percaya diri. Tujuannya memang bukan soal uang, tetapi membangun rasa percaya dirinya. 


Anak-anak di rumah sudah terbiasa menabung sejak kecil. Mereka tidak boros, tidak sembarangan membeli barang yang mereka suka dengan uang tabungannya. Saya juga tidak memberikan uang saku untuk mereka, sebab mereka sudah membawa bekal dari rumah. Meski sering disuruh jajan di kantin, mereka tetap menolak. Alasannya, males antre dan berdesak-desakan…kwkwk


Suatu hari, teman saya bercerita. Katanya, salah satu penjual di kantin menanyakan si sulung. Apakah dia anak baru? Kenapa jarang kelihatan? Teman saya tertawa. Si sulung sudah sekolah di tempat yang sama sejak TK sampai SD…huhu. Saking jarangnya jajan di kantin, ibu kantin pun tidak mengenalinya…kwkwk.


Anak-anak membawa uang saku sekitar 5 sampai 10 ribu yang kadang nggak habis dalam satu semester. Uang itu memang sengaja disimpan di tas untuk berjaga-jaga jika mereka butuh membeli air minum.


Setelah si sulung masuk pesantren, saya hampir tak percaya jika dia juga sangat hati-hati dalam mengelola uangnya. Anak kelas 1 SMP dan baru berpisah dari orang tua. Dia tidak pernah pegang uang sendiri. Tidak pernah mengatur kebutuhannya sendiri. Ketika saya menyimpan uang di tabungan santri dengan nominal yang lumayan besar, yang saya harap itu cukup membuatnya tenang selama di sana tanpa harus takut kehabisan uang untuk jajan, terutama di masa-masa awal di pesantren, nyatanya dia hanya mengambil 30 ribu saja dan sisanya masih ada sampai dengan saat ini.


Karena dia malas ambil tabungan santrinya, akhirnya setiap bulan saya beri pegangan uang yang nominalnya terbilang sedikit. Hanya untuk berjaga-jaga jika diperlukan atau ketika dia mau titip beli takjil saat Senin dan Kamis. Sampai kepulangannya di liburan semester pertama kemarin, saya masih belum tahu jika dia harus membayar uang kas kelas dan kamar yang otomatis mengambil uang pegangannya. Jadi, selama ini dia pegang uang lebih sedikit dari yang saya kira. Setiap saya ke pesantren, dia tidak pernah membuka amplopnya. Mau saya kasih berapa pun, dia tidak protes.


Dari sini, saya pikir uang itu hanya dipakai untuk kebutuhannya, bukan untuk membayar kas. Nyatanya saya keliru. Liburan semester pertama kemarin, dia pun masih menyisihkan uangnya untuk ditabung. Masya Allah tabarakallah. Mana nyangka masih nyisa juga? Kwkwk.


Membeli Sesuai Kebutuhan

Waktu kecil, saya membiasakan anak-anak untuk membeli apa yang dibutuhkan, bukan apa yang selalu mereka inginkan. Suatu hari, si sulung pernah hampir gulung-gulung di depan toko mainan hanya karena menginginkan mobil remot. Namun, kami sudah sepakat akan membelinya saat uang tabungannya cukup.


Menepati ucapan kepada anak akan sangat berpengaruh kepada sikapnya juga. Dia yang waktu itu masih kecil, belum juga sekolah, tetapi sebenarnya sudah memahami betul apa itu komitmen. Pada akhirnya, kami pulang ke rumah tanpa drama dan memecahkan celengannya dan menghitungnya. Setelah dihitung, uangnya belum cukup. Jadi, dia menabung kembali sampai keinginannya tercapai.


Ketika pergi ke swalayan, kami juga sepakat membeli hal-hal yang dibutuhkan. Ketika dia meminta sesuatu di luar kesepakatan, tentu saja saya menolak. Nah, hal-hal seperti ini akan mengajarkan anak-anak kita untuk bersikap konsisten dan tidak menjebak emaknya…haha.


Tidak menuruti permintaan anak-anak bukan berarti tidak sayang. Menangis juga bukan hal haram selama ia tidak menyakiti dirinya sendiri, tidak merusak barang, dan sejenisnya. Meski dia laki-laki, jangan pernah melarangnya menangis dan bersedih. Buat saya, semua emosi itu baik asal tidak disampiaskan dengan cara yang keliru.


Balik lagi ke si sulung. Ketika ia masuk pesantren, ternyata dia berhasil mengelola uangnya dengan baik. dia pernah cerita, beberapa temannya sering meminjam uang dengan nominal yang tidak besar untuk jajan. Salah satu temannya juga pernah berkomentar, kenapa uangmu masih ada padahal jumlahnya hampir sama dengan milikku? :D


Jika dilihat, bukan anak saya tidak suka jajan. Dia suka dan mau saja makan camilan seperti susu dan camilan ringan lainnya, tetapi karena dia anaknya agak mageran, males ke mana-mana seperti saya, akhirnya dia memilih tetap di asrama dibanding harus panas-panasan beli makanan di kantin atau swalayan pesantren.


Setiap menjenguk, saya selalu membawakannya makanan ringan secukupnya asal bisa muat di lemari. Sebelum dijenguk lagi, kadang camilannya sudah habis, tetapi ia enggan dikirim via Alfagift misalnya. Alasannya, males kalau ambil paket antre…kwkwk. Benar-benar di luar nurul, kan?


Selama enam bulan pertama di pesantren, kelihatan banget dia kurusan. Selain kurang tidur, dia pasti juga berkurang makan dan ngemilnya. Namun, saya bersyukur dia bisa beradaptasi dengan baik meski saya yakin, itu bukan hal mudah. Makan makanan berat yang mungkin nggak sesuai sama seleranya, tetapi tetap harus dimakan daripada sakit, ketika sakit dia harus mengurus dirinya sendiri, tanpa saya, tanpa minta pulang dan merengek, bahkan selama semester pertama kemarin, meski beberapa kali sakit, dia tidak pernah absen. Tetap masuk sekolah seperti biasa karena takut disuruh tidur di UKS. Benar-benar di luar nurul (yang kedua)…haha.


Berjualan Sesuai Hobi

Awal kembali ke pesantren setelah libur, dia sering telepon. Sepertinya kangen, jadi pengin banyak ngobrol dengan saya. Sampai akhirnya dia cerita kalau di sana, dia berjualan gambar atau nama yang diberi ornamen. Dia kirim beberapa foto. Sejujurnya, saya kaget dan takjub juga, masya Allah. Saya nggak pernah membayangkan dia berjualan gambar dan ada lumayan juga yang beli.


Ketika kami ke pesantren, dia tunjukkan beberapa syarat atau ketentuan jika ada yang mau memesan gambar padanya. Saya dan suami cukup terkejut dengan ketentuan yang dia tulis. Lebih detail dibanding saya yang kerja sebagai illustrator selama beberapa tahun terakhir. Misalnya, jika mau pesan, harga beberapa style dibedakan, kertasnya dari pembeli, revisi hanya boleh saat masih berbentuk sketsa, pembayaran dilakukan setelah gambar selesai, harus sabar menunggu sesuai antrean, mesti digaris bawahi, dilarang keras menagih gambar! Kwkwk. 


Kenapa harus begitu? Katanya, si sulung hanya mengerjakan saat jam kosong di kelas. Jadi, bisa dibayangkan butuh waktu banget untuk menyelesaikan pekerjaannya.


Soal harga, dia mematok harga yang masuk akal, sih. Meski sebagian orang meremehkan pekerjaan tukang gambar, tetapi saya pribadi mengakui bahwa pekerjaan ini tidak mudah dikerjakan oleh semua orang. Capek, susah, belum lagi harus detail. Jadi, harga yang ditawarkan termasuk manusiawi untuk ukuran gambarnya dia.


Dibanding menjual makanan, justru mengerjakan gambar seperti ini bakalan dapat untung yang utuh, sih…kwkwk. Karena kertasnya saja dari pembeli, sedangkan pensil warna dibawa dari rumah….haha.


Saya harus akui, putra saya lebih berani dibanding saya ketika membuat aturan. Saya pribadi, terkadang masih terpaksa merevisi gambar yang sudah diwarnai. Meski perjanjian di awal nggak boleh, tetap saja kadang saya kerjakan. Inilah pentingnya memberikan batasan pada diri sendiri sehingga orang lain bisa lebih menghargai kita. Bagus, Nak!


Manfaat Belajar Berbisnis Sejak Dini

Kira-kira, apa sih manfaat anak-anak berjualan sejak kecil? Apakah semata-mata demi uang? Meski anak-anak cenderung senang dapat menghasilkan uang sendiri, tetapi lebih dari itu, ada beberapa manfaat yang sangat bagus bagi mereka.


1. Menumbuhkan Rasa Tanggung Jawab

Ketika anak kita berani berjualan, maka mereka telah berani mengambil tanggung jawab lebih dibanding yang lainnya. Dia harus menjaga barang dagangannya, menghitung, juga mengerjakan pekerjaannya jika memang ia berjualan gambar seperti putra saya. 


Berhasil atau tidaknya bisnis mereka, tergantung pada mereka juga. Jika mereka malas-malasan, otomatis mereka tidak akan bisa menjalankan usahanya dengan baik. Meski kesannya sepele, tetapi ada banyak manfaat yang dapat dipelajari dari berjualan di usia kecil.


2. Menumbuhkan Jiwa Berbisnis atau Wirausaha

Sama seperti kita, pasti di awal-awal, mereka cenderung ragu apakah mereka dapat menjalankan usahanya dengan baik? Apakah bisnis mereka akan sukses atau malah gagal?


Meski sangat pemula, tetapi mereka telah berani mengambil risiko dan akhirnya sukses menjalankan bisnis kecilnya dengan percaya diri. Jiwa wirausahanya telah tumbuh dan semoga bisa membuatnya lebih percaya diri di waktu dewasanya nanti.


3. Anak Akan Lebih Menghargai Uang

Ketika tahu tidak mudahnya mendapatkan uang sendiri, anak-anak akan belajar untuk berhemat. Mereka akan belajar menghargai uang karena paham betapa susahnya mengumpulkan uang sedikit demi sedikit.


Sejak masuk pesantren dan harus memegang uang bulanan sendiri, saya melihat si sulung jadi lebih perhitungan bahkan meski itu menggunakan uang saya. Misalnya, ketika kami ke Gramedia, dia menolak membeli beberapa peralatan sekolah karena dirasa terlalu mahal. Katanya, mending beli di toko dekat rumah…kwkw. Padahal, nggak pakai uang dia juga, lho.


Kalau anak kita sudah paham cara menghasilkan uang, insya Allah mereka tidak akan sembarangan menghabiskannya.


4. Melatih Rasa Percaya Diri

Tidak semua anak berani berjualan di sekolah. Kenapa? Karena hampir seluruhnya akan menjawab, maluuu! Itu juga yang dikatakan oleh putra saya dulu.


Padahal, saya pribadi begitu senang melihat ada anak yang masih sekolah, tetapi mau berjualan. Entah karena hobi atau memang demi membantu ekonomi keluarga.


Namun, tiap anak memang punya waktunya masing-masing, ya. Berawal dari seringnya si sulung disuruh menggambar oleh temannya, dia jadi punya ide untuk menjual sekalian gambarnya…haha. Qadarullah, gambarnya memang laku dan sudah ada beberapa orang yang pesan.


Ketika anak berhasil melakukan sesuatu, jangan lupa untuk mengapresiasi usaha dan kerja kerasnya. Penghargaan dari orang tua pasti akan selalu putra putri kita harapkan. Entah itu dengan memberikan pujian ataupun reward.


Setiap orang tumbuh dan berkembang mulai dari nol. Jangan terburu-buru meminta anak-anak kita berhasil, tetapi bersamailah mereka sampai benar-benar berhasil. Bukankah kita juga tidak serta merta menjadi hebat? Dulunya, kita juga pernah menjadi orang yang tidak tahu dan tidak bisa apa-apa.


Salam hangat,