Tuesday, December 27, 2022

Kenapa Mesti Menyenangkan Semua Orang?

Kenapa Mesti Menyenangkan Semua Orang?
Photo by Paul Garaizar on Unsplash


Sering berusaha membantu dan menyenangkan orang lain, tapi nyatanya ada saja hal-hal yang membuat sebuah hubungan menjadi renggang. Sering berusaha menjadi teman yang baik, saudara yang baik, tapi pada akhirnya ada saja yang mereka anggap kurang. Terkadang, perasaan bersalah muncul karena merasa belum bisa memberikan yang terbaik bagi mereka. Namun, benarkah perasaan bersalah ini perlu, sedangkan selama ini kita sudah berusaha memberikan semua hal yang kita bisa, semampu kita, bahkan sering kali mengorbankan diri sendiri?


Menjadi baik itu memang sebuah keharusan. Kita memang dituntut menjadi baik kepada semua orang, tapi menyenangkan semua orang, benarkah kita mampu melakukannya?


Karena perasaan orang lain merupakan salah satu yang mustahil kita kendalikan, jadi nggak aneh jika mereka sering merasa kecewa dan merasa tidak puas dengan apa yang kita berikan. Padahal, kita mati-matian lho memperjuangkan diri supaya bisa membuat orang lain senang.


Kita harus punya batasan. Sejauh mana kita bisa membantu dan menyenangkan semua orang. Sejauh mana kita bisa memberikan pertolongan dan meringankan beban orang lain. Jangan hanya karena merasa nggak enak, kita jadi mengorbankan diri sendiri apalagi mengambil alih tanggung jawab orang lain.


Nah, batasan ini yang sering kali nggak kita miliki saking pedulinya kita sama orang dan pengin diterima. Akhirnya, setiap disuruh dan diminta, kita selalu mengiyakan meski sebenarnya nggak sanggup mengerjakan semua seorang diri. Hanya karena jadi orang nggak enakan, kita selalu minta maaf, padahal nggak salah juga.


Masalah seperti ini benar-benar menguras pikiran. Jika kita nggak pandai-pandai menempatkan diri dengan baik, memberikan batasan dan merasa cukup dengan apa yang telah kita berikan, sampai kapan pun kita akan selalu merasa bersalah.


Saya pernah membaca sebuah buku yang menjelaskan bahwa, kebahagiaan orang lain bukan tanggung jawab kita. Ini bukan soal hubungan kita dengan orang tua atau melarang diri kita membantu orang lain yang membutuhkan. Ini tentang yang lain. Seperti orang-orang yang telah kita bantu sepenuh hati, semaksimal mungkin, tapi kok masih nggak disapa? Seperti orang-orang yang berusaha kita prioritaskan karena dia saudara atau teman dekat, tapi kok nggak bisa dipercaya?


Ini tentang hal-hal yang berlebihan atau lebih tepatnya bisa dianggap ‘nggak tahu diri’. Pasti kamu pernah punya teman yang sudah sangat akrab, sering kamu bantu, tapi ada satu momen yang membuat kamu merasa bahwa mestinya dia nggak melakukan itu. Jika setelah itu kamu masih belum menarik diri dan menjauh, selamat! Mungkin kamu termasuk salah satu orang yang masih nggak enakan untuk mengambil sikap.


Kemungkinan besar, orang-orang yang memperlakukan kita dengan tidak pantas setelah menerima banyak hal dari kita, entah itu perhatian atau bantuan, merasa bahwa mereka nggak berlebihan, kok. Makanya nggak pernah ada perasaan nggak enak buat minta tolong, padahal itu tugas mereka yang mestinya jadi tanggung jawab mereka.


Mereka juga nggak sungkan minta ini itu, padahal sudah berkali-kali. Itu pun tanpa apresiasi alias sekadar nyuruh!


Dengan alasan menjadi baik itu harus, bukan berarti kita mau dan harus melakukan semua hal demi orang lain. Sepertinya, ada banyak cara untuk menjadi orang baik, tidak melulu mau dimanfaatkan atau menyenangkan semua orang. Karena pada akhirnya, mereka juga harus belajar menghargai orang lain.


Lakukan Sewajarnya

Kenapa Mesti Menyenangkan Semua Orang?
Photo by Elijah Hiett on Unsplash


Sering kali kita berusaha bersikap sebaik mungkin, sampai nggak bisa menolak hal-hal yang di luar kemampuan kita. Berusaha memenuhi keinginan semua orang, meski itu sebenarnya nggak masuk akal dan memberatkan, tapi kita tetap melakukannya.


Awalnya, kita merasa begitu lega jika bisa membantu orang lain, tapi kok ujungnya jadi gini? Lho, kok aku diginiin? 


Jika masih ada yang membuatmu kecewa, artinya kamu mengharapkan sesuatu dari kebaikanmu. Kalau demikian, cobalah memberikan batasan pada diri sendiri, sejauh mana kita bisa membantu tanpa mengharapkan diperlakukan dengan cara yang sama baiknya.


Contohnya, ketika ada teman atau saudara meminjam uang, kamu pasti mau dengan senang hati membantu. Tetapi, nominal yang diminta besar sekali, kamu nggak mampu atau kamu merasa itu berlebihan, maka bantulah sewajarnya, semampumu, jangan sampai kamu memaksakan diri demi orang lain.


Orang-orang yang mengalami hal seperti ini pasti paham apa yang dimaksud. Ini bukan tentang pemberian kita pada orang tua atau pada orang-orang yang benar-benar membutuhkan. 


Ada yang bilang, nggak apa-apa dimanfaatkan, itu akan jadi urusan mereka dengan Tuhan. Namun, beberapa orang mengatakan, ketika dirinya dikecewakan, padahal sudah berusaha sebaik mungkin memperlakukan orang lain, tapi masih dianggap kurang, maka mau nggak mau kita mesti menjauh pelan-pelan. Tandain aja, deh!


Kamu, termasuk yang mana?


Sebab Kita Bukan Malaikat

Kenapa Mesti Menyenangkan Semua Orang?
Photo by Kasia on Unsplash


Penginnya bisa menyenangkan dan menolong semua orang. Terutama orang-orang terdekat, tapi kenapa sering kali kita justru dikecewakan oleh mereka juga, ya?


Orang-orang terdekat merupakan yang paling sering membuat kita kecewa. Masuk akal, karena kita selalu berusaha untuk mereka, tapi pada beberapa kasus, mereka justru sebaliknya. Tidak peduli, egois, seenaknya sendiri, dan nggak mau tahu dengan susahnya kita.


Ketika kita nggak bisa memberikan apa yang mereka inginkan, tiba-tiba nggak disapa, dimusuhin, diomongin di belakang, dianggap nggak peduli. Kebaikan-kebaikan tak terhitung sebelumnya tiba-tiba nggak dianggap. Kayak jahat banget!


Sampai di sini kita harus paham, kita ini bukan malaikat apalagi Tuhan. Sampai kapan pun kita nggak bisa menyenangkan semua orang. Jika ada yang kecewa, maka biarkan dirimu merasa cukup dengan semua yang sudah dikorbankan.


Iyap, merasalah cukup dan buatlah batasan sebab kita nggak sedang mencukupi kebutuhan anak-anak atau orang tua. Terkadang, tanpa disadari kita selalu membuat orang lain bergantung pada kita sampai-sampai membuat mereka nggak mandiri. 


Jika demikian, kita juga jadi salah dan keliru bersikap. Jangan sampai kebaikan kita malah membuat orang nggak mau berjuang untuk dirinya sendiri. Membuat mereka selalu bergantung merupakan hal yang keliru. Dan untuk memutus rantainya, kita butuh keberanian yang besar karena sadar pasti akan dianggap nggak peduli lagi.


Kita harus belajar untuk merasa cukup bukan hanya pada apa yang telah kita terima dan dapatkan, tapi juga pada apa yang telah kita berikan kepada orang lain. Karena di luar sana, ada lebih banyak orang yang benar-benar butuh dibantu dibanding mereka yang hanya memanfaatkan kita.


Salam hangat,


Monday, November 14, 2022

Sup Udang Brokoli, Cocok Untuk Anak Batuk Pilek

Sup Udang Brokoli, Cocok Untuk Anak Batuk Pilek
Sup boleh ditambahkan sayuran lain (Photo by Elena Leya on Unsplash)


Drama batuk pilek belum juga usai. Lebih sering memang dialami oleh si bungsu yang masih 7 tahun. Masih beradaptasi dengan virus setelah sekian lama ada di rumah selama pandemi. Apalagi anak-anak memang jarang main ke luar, jadilah interaksi dengan anak-anak lain memang sebatas hanya di sekolah.


Setelah minggu lalu muntah-muntah hebat seharian dan demam tinggi sampai 39,9 C. Nggak sampai seminggu sudah kena common cold lagi. Alhamdulillah nggak sampai demam dan semoga nggak demam lagi. Rasanya kayak pengin bilang capek banget, tapi takut sama Allah :(


Soal obat-obatan dalam bentuk sirup yang dilarang, nggak terlalu berpengaruh besar bagi saya dan anak-anak. Alhamdulillah, mereka bisa beradaptasi cepat dengan minum tablet paracetamol ketika demam. Tinggal dipotek aja ketika mau diminum disesuaikan dengan berat badan. Untuk anak dengan berat badan 10kg bisa pakai ¼ tablet paracetamol 500 mg. Untuk anak 20kg bisa pakai ½ tablet. Untuk aturan di kemasan obat biasanya disesuaikan dengan usia, tapi setiap anak dengan usia yang sama pasti punya berat badan berbeda. Jadi, memang sudah semestinya takaran obat disesuaikan dengan berat badan.


Informasi dosis paracetamol tablet ini saya dapatkan dari Instagram dr. Piprim Basaroh. Sebelumnya, saya sudah memberikan anak-anak obat penurun panas dalam jumlah yang sama pada si bungsu dan sulung. Alhamdulillah, nggak keliru :D


Soal obat batuk dan pilek, sejujurnya sampai sekarang saya nggak percaya dengan obat-obatan tersebut. Karena yang benar-benar bisa menolong mengencerkan dahak ya cairan. Bukan karena saya anti obat, tapi memang sudah disampaikan juga oleh beberapa dokter yang RUM soal ini. Obat-obatan yang berlebihan meski aman, tetap saja ada efek sampingnya. Kalau diperlukan dan memang jelas bermanfaat, nggak apa-apa, tapi kalau sudah overtreatment demi menenangkan orang tuanya sendiri, gimana dong?


Resep Sup Udang Brokoli

Sup Udang Brokoli, Cocok Untuk Anak Batuk Pilek
Photo by Louis Hansel on Unsplash

Karena nggak tahu mau masak apa, jadilah kepikiran buat masak sup udang ini. Supnya bening, gurih dari udang tanpa MSG, juga menyehatkan karena ditambahkan brokoli. Jika teman-teman punya udang segar, jangan terlalu lama disebus supaya nggak alot. Namun, jika udang yang dipakai nggak segar, boleh direbus bersamaan dengan brokolinya. Sekalian biar keluar kaldu gurihnya juga.


Bahan-bahannya mudah dan ini asli enak seger gitu, lho :D *jadi ngiler sendiri…kwkwk. Kebetulan si adek memang suka udang, jadi nggak masalah makan sup ini dengan nasi hangat. Lahap!


Bahan:

¼ udang segar, kupas bersih

Secukupnya brokoli

1 siung bawang putih ukuran besar, geprek

1 batang selederi, simpulkan

Secukupnya merica, gula, dan garam


Cara membuat:

1. Bersihkan udang, cuci sampai bersih. Jika udangnya berukuran besar, boleh dipotong-potong.

2. Bersihkan brokoli dan rendam dalam air garam. Kemudian cuci bersih.

3. Panaskan panci, tumis bawang putih geprek sampai harum.

4. Tambahkan air. Tunggu sampai mendidih. Boleh juga dimasukkan udangnya di tahap ini, ya.

5. Masukkan udang dan brokoli. Tambahkan daun seledri.

6. Bumbui dengan merica, gula, dan garam.

7. Rebus sebentar sampai semua matang.

8. Sajikan sup udang brokoli dengan nasi hangat. Yummy!


Kebetulan nggak ambil fotonya langsung karena malas foto-foto…kwkwk. Si bungsu lahap banget makannya. Karena dia memang suka dengan udang dan brokoli. Tapi, kalau kakaknya nggak suka udang, jadilah nggak akan disentuh walau kita sebut enaak. Ada yang begini juga anaknya?


Ketika sedang common cold begini, makannya butuh yang hangat-hangat, berkuah biar enak di tenggorokan, dan minim minyak. Jadi, makan sup udah yang paling tepat menurut saya. Jika tidak suka udang, coba bikin sup ayam. Gunakan ayam kampung atau pejantan supaya kaldunya gurih sedap. 


Jika anak tidak mau makan nasi, coba ganti dengan jenis karbohidrat lain seperti kentang, pasta, dan sebagainya. Jangan berharap anak banyak makan ketika sakit, asal masuk cairan yang cukup dan makan cukup, insya Allah aman. Nanti, setelah sehat, dia akan lahap sendiri, kok.


Salam hangat,


Thursday, November 3, 2022

Cara Cerdas Menentukan Uang Saku Anak Sekolah SD

Cara Cerdas Menentukan Uang Saku Anak Sekolah SD
Photo by Annie Spratt on Unsplash


Beberapa waktu lalu, di sekolah si Kakak sempat ada kasus pencurian uang saku. Beberapa hari belum ketemu juga setelah sempat digeledah.  Anak ini mengambil uang sejumlah 2 ribuan, 10 ribuan, hingga 20 ribuan. 


Hal yang membuat saya agak kaget karena jumlah uang saku anak-anak sekarang gede-gede juga, ya? hihi. Maklum si Kakak hampir nggak pernah jajan di sekolah karena selalu bawa bekal dari rumah. Dia hanya saya bawakan uang sekitar 5 sampai 7 ribuan yang disimpan di tasnya dan bisa dipakai jika butuh sewaktu-waktu. 


Uang dengan jumlah tersebut tidak diberikan setiap hari karena sampai berbulan-bulan pun masih utuh. Paling dipakai hanya 3 ribu untuk membeli air putih karena minumnya dia habis. Hemat amat, ya anak saya? :D


Aturan dari sekolah pernah menyebutkan bahwa uang saku anak-anak nggak boleh lebih dari 10 ribu, tapi nyatanya banyak anak membawa uang saku lebih dari itu. Jajanan di kantin sekolah memang agak sultan, ya…kwkwk. Soalnya harganya lumayan gitu. Hal ini juga sempat dikeluhkan oleh wali murid yang lain.


Karena kejadian itu, saya sampai bertanya pada si Kakak, memangnya kamu nggak pengin seperti teman-temanmu yang lain? Bisa jajan indomie seminggu sekali di sekolah atau jajan kebab dan burger? Dia jawab, biasa aja. 


Selama ini, saya membawakan dia susu UHT, roti isi selai cokelat kesukaannya, dan biskuit. Kadang, diselang seling dengan kue buatan emaknya seperti kue cubit. Dia dan adiknya nggak pernah bosan dan nggak pernah mengeluh. Ketika tahu teman-temannya punya uang saku dengan nominal yang menurut saya lumayan besar, agak kaget juga kenapa anak saya nggak pernah minta?


Saya bersyukur anak-anak nggak banyak maunya. Pun dengan menu berat untuk makan siang. Kalau dipikir, menu-menu mereka simpel-simpel banget. Nasi goreng, nasi putih dengan brokoli krispi, omelet bayam keju, ayam goreng, perkedel kentang, dan sejenisnya. Menunya akan berputar itu-itu saja, sih…kwkwk. Dan mereka kayak mau bilang, I’ts okay, Bunda. Nggak apa-apa yang penting dibawain makan…kwkwk. Nggak ada ngeluhnya kecuali dia nggak suka menunya seperti si Kakak yang kurang suka dengan ayam goreng, sedangkan adiknya lebih ke pasrah dengan semua menu :D


Semalam saya ngobrol dengan suami dan sempat bilang, Bunda nggak tahu kenapa anak-anak bisa sampai sebegitu manutnya. Kalau ditanya gimana ngajarinnya, saya juga nggak tahu mau jawab apa karena semua terjadi seperti tanpa sengaja. Ya Allah, gini amat, ya? :D


Suami saya bilang, semua bisa dibiasakan. Yes, betul. Tapi, bagi sebagian orang tua nggak mudah juga menerapkan hal semacam ini. 


Balik lagi dengan jumlah uang saku, sebenarnya bagaimana sih cara menentukan uang saku anak SD? 


Cara Cerdas Menentukan Uang Saku Anak Sekolah SD
Photo by Annie Spratt on Unsplash


Memberi Pemahaman Pada Anak Tentang Konsep Uang

Saya selalu mengajarkan pada anak-anak bahwa memperoleh uang itu nggak bisa dengan berdiam diri. Orang tua mendapatkan uang dari bekerja. Anak-anak melihat saya yang meski di rumah, tapi tetap bekerja dan berpenghasilan. Seperti itulah contohnya.


Karena untuk mendapatkan uang itu butuh usaha, kita nggak bisa seenaknya juga menghabiskan uang. Harus sesuai kebutuhan, tapi sesekali boleh menyenangkan diri sendiri dan orang lain dengan membeli hal-hal yang disenangi.


Jangan lupa, harus menabung dan juga berbagi dengan orang lain. Konsep dasar seperti ini mesti ditanamkan supaya anak-anak tidak berpikir bahwa uang bisa keluar dengan sendirinya dari mesin ATM…hihi.


Memberikan Uang Jajan Sesuai Kebutuhan

Waktu TK, anak-anak tidak diperbolehkan bawa uang saku. Jika ada yang bawa, maka harus dititipkan pada Bu Guru. Kantinnya juga nggak ada, jadi mesti ke kantin SD. Jadi, sepanjang anak-anak TK selaman 2 tahun, saya tidak pernah membawakan mereka uang saku. 


Di SD, jam istirahat ada dua kali. Jam 10an pagi jamnya jajan atau makan snack. Sedangkan jam 12 siang jamnya makan siang. Anak-anak sebagian besar akan membawa 2 bekal berupa snack dan makan siang, tapi ada juga yang hanya membawa makan berat saja.


Bagi si Kakak, tentunya dia nggak butuh banyak uang jajan harian karena setiap hari pasti akan saya bawakan bekal dan bagi dia itu sudah lebih dari cukup. Sehingga uang saku 5 sampai 7 ribu itu hampir selalu ada di tasnya sampai sekarang. Seingat saya, baru 2 kali kakak pakai untuk membeli air mineral di kantin dan baru sekali saya tambahkan selama tahun ajaran baru ini.


Saking jarangnya jajan, dulu sampai saya paksa untuk mencoba jajan di kantin. Dia memang kurang suka, karena antre dan sedikit merepotkan. Sedangkan bagi dia jajanannya mungkin nggak terlalu sesuai sama selera. Jadi, nggak worth it banget, gitu…kwkwk.


Sedangkan bagi anak yang mesti jajan di kantin, bisa dicek juga harga jajanan di kantin berapa saja. Misalnya burger 6 ribu, ditambah jajan lain yang lebih murah sudah mengenyangkan apalagi ini bukan jamnya makan berat. Jadi, jajannya sesuai kebutuhan, bukan keinginan. Jumlah 10 ribu rasanya sudah lumayan besar dan sangat cukup bahkan ada teman Kakak yang bisa menabung dari sisa uang saku 10 ribu tersebut.


Perhatikan juga, apakah anak-anak butuh uang lebih untuk naik angkot ketika pulang dan sebagainya. Tentu saja jumlahnya akan berbeda karena setiap anak punya kebutuhan berbeda.


Jika ada yang bawa lebih dari cukup, benar ini memang sesuai kebiasaan saja. Karena ada anak yang seneng banget jajan dan nggak cukup hanya sedikit. Hanya saja ketika ada perbedaan jumlah uang saku cukup mencolok begini, khawatirnya menimbulkan kesenjangan sosial…kwkwk. Seperti uang saku kita sama Sisca Kohl yang bedanya seperti langit dan bumi :D


Kasus pencurian uang di sekolah bisa terjadi juga karena alasan seperti ini. Makanya, sekolah memberikan aturan supaya semua bisa merasa nyaman dan aman.


Bikin Kesepakatan dengan Anak

Saya dan anak-anak selalu berkomunikasi tentang apa pun, termasuk ketika akan memberikan uang saku. Mereka setuju lebih senang bawa bekal dari rumah, juga bawa uang secukupnya yang nantinya bisa dipakai sesuai kebutuhan.


Apa anak-anak nggak menabung? Mereka menabung di celengan dan di bank. Ketika mendapatkan uang dari kami atau dari orang lain, mereka hampir selalu menabungnya di celengan. Ketika sudah penuh, celengan dipecahkan dan uangnya disimpan di bank.


Tahun ini, Kakak pengin bisa kurban dari uang tabungannya sendiri. Waktu denger itu lumayan kaget juga. Dia bisa pakai uang tabungannya karena jumlahnya sudah lumayan besar, tapi keinginan kurban nggak muncul dari semua anak seusia dia.


Karena anak-anak begitu hati-hati saat menggunakan uang, nggak sembarang minta ini itu, saya dan suami juga harus mengapresiasi untuk lebih sering ngasih reward buat mereka. Tapi, Masya Allah, permintaan mereka nggak pernah berlebihan. Hanya pengin komik, beli mainan nggak lebih dari 50 ribu setelah berprestasi, makan es krim, dan itu-itu saja. 


Inilah yang saya terapkan di rumah. Mungkin sedikit berbeda dengan teman-teman lainnya. Nggak apa-apa beda, setiap orang tua pasti tahu yang terbaik bagi anaknya. 


Jadi, berapa jumlah uang saku yang teman-teman berikan pada anak-anak di rumah? 


Salam hangat,


Sunday, October 30, 2022

Usia Berapa Anak Diberikan HP Sendiri?

Usia Berapa Anak Diberikan HP Sendiri?
Photo by Zhenzhong Liu on Unsplash


Akhir-akhir ini, banyak sekali kasus penusukan oleh orang-orang misterius. Salah satu yang cukup banyak menarik perhatian yakni penusukan anak SD usia 12 tahu sepulang dari mengaji bersama teman-temannya. Motifnya hanya karena ingin mengambil HP korban yang menurut beberapa sumber sebenarnya korban nggak bawa apa-apa.


Belum lagi kasus yang terjadi di depan rumah saya. Ada orang tak dikenal yang merebut atau menjambret HP anak usia SD yang saat itu memang sedang dimainkan sambil berjalan. 


Ada juga anak usia SD yang kecanduan gadget setelah diberikan HP sendiri oleh ibunya. Setiap disuruh belajar, dia menolak. Jika HP miliknya diambil, dia malah menyembunyikan HP ibunya.


Lagi-lagi, ini soal HP.


Banyak kasus lain yang membuat saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya idealnya anak diberikan HP pada usia berapa, sih?


Kebetulan, saya belum memberikan HP sendiri pada anak-anak meskipun di rumah ada beberapa HP nggak dipakai. Statusnya mereka tetap pinjam sesuai kebutuhan. Misalnya untuk komunikasi ketika saya sedang pergi, dipakai murajaah dan hafalan Alquran karena di beberapa HP dipasang aplikasi baca Alquran yang biasa mereka gunakan, searching di Google sesuai kebutuhan, cek jadwal sekolah, dan nonton film kartun pendek setiap akhir pekan sesuai perjanjian. Selama mereka pakai, selalu izin dulu apalagi kalau nggak sebentar butuhnya.


Kenapa saya belum ngasih HP pada anak-anak terutama untuk si sulung yang sudah lumayan besar? Sedangkan hampir semua temannya sudah punya HP masing-masing. 


Tidak Terlalu Butuh

Usia Berapa Anak Diberikan HP Sendiri?
Anak-anak lebih butuh permainan fisik (Photo by Caleb Woods on Unsplash)


Alasan pertama kenapa saya belum memberikan HP sendiri pada anak-anak yakni karena memang mereka belum terlalu butuh. Anak-anak pun sepakat dengan alasan tersebut. Mereka boleh pinjam ketika butuh, tapi bukan untuk dimiliki. Jadi, statusnya masih milik orang tuanya. Dengan begitu, mereka bisa lebih hati-hati dan kami bisa lebih mudah membatasi penggunaan gadget.


Anak usia SD memangnya butuh buat apa sih? Waktu pandemi kemarin pun mereka nggak punya dan semua berjalan baik meski pembelajaran dilakukan secara daring. Meskipun nggak punya, mereka tetap bisa pinjam dan pakai sesuatu kebutuhan. Ketika sudah saatnya, kami sebagai orang tua juga nggak akan melarang.


Dampak Negatif Penggunaan Gadget yang Berlebihan

Usia Berapa Anak Diberikan HP Sendiri?
Photo by Jelleke Vanooteghem on Unsplash


Saya pribadi takut jika anak-anak diberikan HP sendiri justru membuat mereka lupa waktu. Bikin mereka kecanduan main gadget.


Kesepakatan yang sekarang berjalan di rumah memang tidak dipaksakan. Meskipun anak-anak punya tabungan sendiri dan sangat bisa membeli HP, tapi mereka merasa nggak butuh juga. Jadi, kami merasa sangat lega karena nggak perlu adu jotos dengan mereka.


Meski teman-teman si sulung banyak yang sudah punya HP sendiri, dia nggak pernah terlihat pengin. Apalagi selama ini ketika ada chat dari temannya yang masuk ke HP saya, justru saya yang lebih sering balas. Lucunya, teman-temannya nggak ada yang sadar kalau itu emaknya…kwkwk. Saya pakai bahasa anak-anak untuk merespon. Sampai ngobrol agak panjang pun pernah. Saya juga sampaikan ke sulung setiap ada temannya kirim pesan. Tetap saja, kadang saya juga yang mesti balas karena dia malas :D


Pemberian gadget terlalu dini pada anak tanpa edukasi sebelumnya lebih sering menimbulkan dampak negatif ketimbang positif. Hal yang paling ditakutkan tentu saja pornografi dan kecanduan game, ya. Edukasi mestinya diberikan sebelum mereka punya gadget. Namun, yang terjadi sekarang, anak-anak masih kecil sudah punya gadget, tapi nggak paham dampak negatif dan positifnya pakai gadget. Rata-rata mereka juga belum paham mana yang baik dan buruk sehingga sangat mungkin asal meniru video-video yang sedang viral.


Padahala, di dunia maya itu serem banget, kan. Nggak aman sama sekali apalagi tanpa pengawasan orang tua.


Biar Fokus dengan Pendidikan

Usia Berapa Anak Diberikan HP Sendiri?
Photo by Andrew Ibrahim on Unsplash


Kenapa saya dan suami belum mau ngasih gadget ke anak-anak? Salah satu alasan lainnya karena khawatir mereka jadi nggak fokus sama pendidikan. Misalnya, si Kakak sebenarnya senang bikin konten-konten kreatif dan suka share di media sosial. Namun, ketika dia sudah bikin konten itu apalagi rutin, dia jadi lupa untuk lebih fokus pada tugasnya yang lebih penting yakni sekolah.


Hal-hal lainnya bisa dikejar kemudian. Saat ini, mending fokus saja dengan pendidikan. Saya nggak mau dia jadi keteteran karena pelajarannya makin berat. Bukan dia nggak boleh main sama sekali, tapi saya memilih mengizinkan dia main selain yang berhubungan dengan gadget kecuali hari libur.


Jangankan anak kecil, kita saja yang sudah dewasa sering lupa waktu kalau sudah main gadget, apalagi anak-anak.


Poin-poin di atas merupakan pendapat pribadi saya dan suami. Saya juga tidak menyalahkan orang tua yang memberikan gadget pada anaknya terlalu dini. Juga yang mengizinkan anaknya bermain game. Jika tidak berlebihan, mestinya teknologi mendatangkan manfaat, kok. Jadi, sah-sah saja, kan?


Kapan Waktu Ideal Anak Punya HP Sendiri?

Usia Berapa Anak Diberikan HP Sendiri?
Photo by Dirza Van Dijk on Unsplash


Menurut beberapa sumber, sebenarnya nggak ada pedoman baku yang menjelaskan kapan tepatnya orang tua boleh memberikan HP atau gadget pada anaknya. Namun, katanya, semakin lama menunda pemberian gadget pada anak maka akan semakin baik.


Pastinya, ini berhubungan juga dengan kesiapan mereka. Anak-anak memang terlihat sangat lihat bermain gadget, bahkan mengalahkan kita sebagai orang tua, tapi apakah mental mereka siap? Apakah tidak mengganggu perkembangan mereka ke depannya nanti? Inilah yang mesti kita pahami baik-baik sebelum memutuskan memberikan HP pada anak.


Sebagian ahli mengatakan bahwa nggak ada masalah berarti ketika ada anak yang tumbuh tanpa gadget atau HP. Nggak akan mereka jadi kuper dan nggak tahu apa-apa. 


Saya pribadi merasa bahwa pendapat ini memang betul. Meskipun anak-anak nggak punya gadget, tapi mereka tetap bisa mendapatkan informasi dan berbagai macam pengetahuan, terutama karena mereka juga sebenarnya tahu dan pakai gadget hanya saja waktunya terbatas. Juga, senang membaca buku yang bisa membuat mereka tahu segala hal.


Dengan tidak memberikan gadget, apakah saya benar-benar melarang anak-anak nggak main game dan membiarkan mereka nggak tahu apa-apa? Nyatanya nggak begitu juga, kok.


Mereka pernah memainkan beberapa permainan meski hanya sesekali. Mereka tahu beberapa game yang dimainkan temannya dan kami sering membuka diskusi apakah itu cocok buat anak-anak atau nggak.


Game nggak melulu negatif, tapi ketika dimainkan secara berlebihan, apa pun itu akan jadi negatif dan buruk. Anak-anak harus tahu beberapa dampaknya. Juga ketika mereka memainkan permainan yang nggak sesuai sama usia, juga yang menggambarkan adegan kekerasan.


Saya bukan orang tua yang sempurna, saya juga nggak pandai yang namanya ilmu parenting. Saya hanya berusaha menjadi orang tua yang baik buat anak-anak, berusaha berkomunikasi yang baik dengan mereka, sesekali saya juga melakukan kesalahan. Nggak ada orang tua yang sempurna.


Di rumah, kami sepakat nggak ada main game. Anak-anak masih boleh nonton beberapa film kartun pendek di akhir pekan. Di rumah, nggak ada televisi menyala. Bukan kami nggak punya, tapi karena kelamaan nggak dinyalain, tiba-tiba mati sendiri dua-duanya pula. Saya memutuskan nggak mengizinkan suami membeli lagi…kwkwk. Kejam nggak, sih? :D


Kenapa sih saya nggak berani ambil keputusan untuk lebih longgar, misalnya ngasih game biar mereka bisa seperti teman-temannya yang lain? Ngasih nonton televisi?


Saya capek kalau ujungnya malah kecanduan. Saya capek mesti adu debat dengan anak sendiri. Kelihatannya, saya memang main aman, kan? Untungnya, anak-anak memang sudah kecanduan membaca buku. Main-main lebih ke permainan biasa seperti main lego, main sepeda, bikin-bikin mainan sendiri, atau si kakak suka bikin game sendiri di power point. 


Gimana dengan orang tuanya? Saya dan suami biasa saja main HP di rumah. Sesuai kebutuhan. Apa anak-anak nggak protes? Alhamdulillah sejauh ini nggak. Mungkin karena mereka sudah punya kesenangan sendiri juga.


Pernah saya membaca di Instagram tentang anak kecil yang nggak kecanduan gadget, padahal ibunya pegang HP biasa saja. Kok bisa anaknya nggak minta? Dia menjawab, mungkin karena anaknya sudah terlanjur kecanduan baca buku. Masuk akal dan saya merasakannya juga.


Setiap pergi, anak-anak bingung mesti bawa buku yang mana untuk dibaca di jalan atau di tempat tujuan. Ketika anak kita sudah punya kesenangan sendiri seperti ini, sebisa mungkin kita support dengan memberikannya buku-buku yang menarik dan tentunya baik isinya.


Benar, butuh modal besar untuk membeli buku-buku anak karena harganya mahal bingits. Solusinya, cicil beli sedikit demi sedikit sesuai kemampuan dan kebutuhan. Anak-anak di rumah nggak harus selalu baca buku baru, buku lama pun bisa mereka baca berulang-ulang. Ini benar-benar ngebantu berhemat sih…kwkwk. Itulah alasan kenapa sampai sekarang saya belum bisa nge-preloved komik-komik Plant Vs Zombies yang jumlahnya sudah puluhan :D


HP dan Pornografi

Usia Berapa Anak Diberikan HP Sendiri?
Photo by Gilles Lambert on Unsplash


Beberapa bulan lalu saya sempat sangat kaget ketika si sulung cerita tentang teman-temannya yang sering mengisyaratkan beberapa simbol hubungan seksual. Kalau ngacungin jari tengah sepertinya sudah terlalu biasa, ini lebih dari sekadar itu yang akhirnya membuat kami membuka diskusi berdua saja.


Kami akhirnya membahas sebuah buku dari Mba Dian Kristiani yang membahas tentang pubertas. Bukunya bisa teman-teman akses di Ipusnas, ya. Isinya bagus dan sesuai dengan anak-anak yang segera memasuki usia akil balig.


Sungguh menakutkan pergaulan anak zaman sekarang. Ketika di rumah kita merasa mereka aman sepenuhnya, tapi kita nggak pernah bisa mengontrol teman-temannya. Padahal, sekolahnya sudah sekolah Islam. Anak-anaknya sudah belajar Alquran setiap hari bahkan sebagian besar sudah hafal beberapa juz. Namun, tetap saja mereka melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan sebagai bahan bercandaan.


Dikutip dari id.theasianparent.com, Weinberger yang telah meneliti 70.000 anak menemukan fakta bahwa rata-rata anak mulai melakukan sexting di usia 5 SD, sejak usia 8 tahun sudah mulai konsumsi pornografi, dan kecanduan di usia 11 tahun.


BTW, menurut Wikipedia, sexting merupakan aktivitas mengirim atau mengunggah foto yang tidak senonoh ataupun kalimat-kalimat yang menimbulkan birahi.


Menurut study yang dilakukan oleh Common Sense Media menyebutkan bahwa 66 persen orang tua merasa bahwa anak-anak terlalu sering menggunakan HP, 36 persen orang tua berdebat setiap hari dengan anak-anaknya tentang penggunaan HP.


“HP terooooos.”


Mungkin, kira-kira begitu kalimatnya, ya :D


HP memang bisa memberikan dampak positif pada anak-anak kita, tapi ingat juga, dampak negatifnya jauh lebih besar ketika digunakan dengan tidak bijak. Saat anak kecanduan HP, mereka cenderung nggak punya kontrol impuls yang akhirnya justru membuat mereka lebih sering bertindak berdasarkan emosi.


Coba perhatikan anak-anak sekarang, lumayan bar-bar dibanding teman-teman si sulung di zaman kelas 1 SD dulu. Anak sekarang kalau marah bisa langsung main kasar yang menurut saya nggak sesuai sama usia mereka. Memang nggak melulu karena HP, tapi pastinya salah satunya bisa dari HP juga.


Pada akhirnya, kembali lagi pada masing-masing orang tua. Ketika ada orang tua memberikan HP pada anak-anaknya, mereka juga mengambil risiko besar mengenai dampak negatifnya. Kita mesti siap dengan semua kemungkinan, termasuk mesti ribut-ribut mengenai kedisiplinan. 


Salam hangat,


Wednesday, October 19, 2022

Kisah Pippi, Proyek Kolaborasi Bersama Bunda Helvy Tiana Rosa

Kisah Pippi, Proyek Kolaborasi Bersama Bunda Helvy Tiana Rosa


Jadi penulis sekaligus ilustrator ternyata bukan hal mudah, ya? Selain lebih repot membagi waktu, belajar untuk fokus pada dua hal sekaligus juga banyak tantangannya, termasuk mental. Suatu hari saya pernah ngobrol dengan penulis yang senang menggambar seperti saya. Dia pernah menerima proyek pictbook dari salah satu penerbit. Apa yang dirasakan setelah menerima proyek tersebut? Katanya, nangis!


Antara pengin ketawa, tapi takut dosa. Namun, itulah yang saya alami juga setelah menerima proyek-proyek ilustrasi untuk buku-buku anak. Awalnya senang, kemudian pengin menghilang di telan bumi! Kwkwk. Mungkin inilah ujian bagi penulis yang mau jadi ilustrator juga seperti saya…haha.


Beberapa kali saya sempat pengin berhenti mengerjakan ilustrasi untuk buku anak-anak. Bahkan sudah menolak beberapa proyek karena mau fokus mengerjakan naskah, tapi ada saja hal-hal yang tidak dapat saya kendalikan. Termasuk ketika saya akhirnya menerima proyek pictbook dari Bunda Helvy Tiana Rosa. Tepat sebelum ditawari proyek ini, saya benar-benar berniat berhenti mengerjakan ilustrasi buku. Namun, Allah punya rencana lain, saya diberi kesempatan luar biasa sehingga mustahil menolaknya. Akhirnya, saya kembali mengerjakan ilustrasi untuk buku Bunda Helvy.


Meski lumayan capek dan berat, mesti bangun lebih pagi untuk mengerjakan naskah dan siangnya fokus dengan ilustrasi, nyatanya semua pekerjaan bisa diselesaikan tepat waktu. Namun, hari-hari berikutnya terbesit lagi keinginan untuk berhenti menggambar. Padahal nggak ada proyek yang terbengkalai apalagi molor dari DL. Nggak ada kendala berarti karena semua tugas beres, begitu juga dengan tugas rumah tangga.


Saya nggak paham dengan diri sendiri...kwkwk. Nggak paham dengan kegalauan semacam ini kenapa terus menerus hilang timbul. Terkadang, mengerjakan ilustrasi itu butuh lebih banyak sabar memang. Ada klien yang paham dengan capeknya kita, ada yang nggak mau tahu. Sehingga, sering kali saya merasa harus pilih-pilih klien juga supaya nggak merasa terbebani. 


Bekerja sama dengan Bunda Helvy nggak jadi beban, sebab beliau begitu baik. Memberi kebebasan pada saya untuk menuangkan ide dalam gambar. Beliau juga nggak rewel apalagi seenaknya. Beliau berpesan, Muyass harus happy ngerjainnya. Harus nyaman. Biar nggak jadi beban dan hasilnya pun sesuai harapan.


Ikuti Saja Alurnya

Teman saya akhirnya berkomentar, sudahlah, ikuti saja alurnya. Karena dua hal ini memang saya sukai, makanya agak susah juga meninggalkan salah satunya. Meskipun tidak menerima pesanan gambar, nyatanya saya tetap menggambar untuk mengisi feed Instagram. Saya tetap menggambar karena saya memang suka, tapi saya mungkin terlalu lelah kalau mesti mengerjakan semuanya sekaligus.


Sebenarnya, apa pun pekerjaan kita, bahkan meski kita amat menyukainya, tetap saja ada saatnya merasa bosan dan lelah. Apalagi kalau dikerjakan terus menerus. Iya, kan? Menulis pun sama. Terkadang di tengah-tengah menulis naskah saya merasa bosan dan nggak tahu mau mengetik apa. Capek dan mesti ambil jeda.


Begitu juga ketika menggambar. Kadang happy banget ngerjainnya, kadang ngerasa capek banget. Memang semua akan seperti ini, kan?


Tawaran Kolaborasi dari Bunda Helvy Tiana Rosa

Saya nggak pernah kepikiran bakalan dapat tawaran ini. Tiba-tiba beliau mengirimkan pesan di Instagram dan mengajak berkolaborasi mengerjakan pitcbook pertama beliau. Waktu itu saya kaget bukan main. Apa saya bermimpi? 


Kemudian kami lanjut ngobrol dan sempat saya tawarkan ilustrator lain jika ingin membuat komik karena saya pribadi tidak pernah menggarap komik. Namun, beliau berkata, kalau begitu kita bikin pictbook saja!


Waktu pertama kali bertemu di Tamini, saya nggak terlalu canggung karena beliau super ramah terutama untuk saya yang introvert. Beliau selalu mengabari ketika ada perubahan dan hal lainnya. Bukan tipe penulis terkenal yang gengsi mau balas pesan penggemarnya. Benar-benar humble. Rasanya beruntung sekali bisa mendapatkan kesempatan luar biasa ini terutama di saat saya pengin memutuskan berhenti mengerjakan gambar. Seperti ditampar, kenapa mesti berhenti, sih?


Sebenarnya, saya tidak pernah dengan sengaja mengerjakan beberapa proyek sekaligus. Misalnya, ketika mengerjakan ilustrasi untuk buku Pippi, saya nggak sengaja dapat pesanan naskah, pesanan ilustrasi lain dari salah satu penerbit mayor yang waktunya kebetulan selalu bersamaan padahal sudah direncanakan jauh hari sebelumnya.


Ketika kejadian mesti bareng begini, rasanya jadi agak berat dan bikin suntuk, ya? Solusinya, saya mesti pandai-pandai bagi waktu karena saya juga Ibu Rumah Tangga tanpa ART. Ada tugas lain yang mesti diselesaikan. Akhirnya, paling mudah memang dicicil pelan-pelan. Ingat, jangan pernah menumpuk pekerjaan rumah terutama cucian dan setrikaan, asli puyeng kalau sudah menumpuk…kwkwk. *Random banget deh ceritanya...kwkwk.


Buku Pippi Sudah Terbit!

Masya Allah tabarakallah. Saya bersyukur sekali akhirnya buku ini bisa terbit di pertengahan bulan ini. Pas pegang bukunya, rasanya nggak percaya ilustrasi itu sudah jadi buku. Terima kasih untuk Bunda Helvy, juga untuk diri saya yang tidak menyerah. 


Ketika buku sudah terbit, rasanya capek lelahnya hilang semua. Sama halnya seperti seorang ibu yang melahirkan anaknya. Rasa sakitnya hilang seketika. Seajaib itu, ya kalau sudah bahagia?


Buku Pippi berisi kisah nyata masa kecil Bunda Helvy dan Bunda Asma Nadia. Ditulis berima sehingga sangat menarik untuk dibaca. Kata Bunda Helvy, buku anak yang bagus itu yang bisa dinikmati oleh semua usia. Dan buku ini memenuhi kriteria itu. 


Gimana Ceritanya Bisa Dapat Proyek Seperti Ini?

Kok, bisa? Memangnya ngajuin ilustrasi ke penerbit-penerbit gitu? 


Kadang, teman-teman suka bertanya dari mana kita bisa mendapatkan klien dan proyek. Bahkan bisa dari luar negeri. Saya pernah cerita di postingan ini. Rata-rata teman saya juga sama, dapat klien karena tahu di Instagram atau dari mulut ke mulut. Dari klien ke klien yang merekomendasikan jasa kita.


Apa yang paling penting untuk dilakukan? Kerjakan saja semuanya dengan sungguh-sungguh. Share hasil gambar kita ke media sosial dan tunjukkan siapa diri kamu. Orang-orang bisa menilai dari karya kita meskipun nggak pernah kenal. Saya juga yakin, Allah melihat usaha kita sehingga jangan heran kalau ada orang-orang yang dapat proyek-proyek impiannya. Allah nggak tidur, teman. Allah tahu kita berusaha siang malam bahkan sampai begadang.


Yuk, kita nikmati perjalanan ini selagi masih ada kesempatan. Selagi diberi kesehatan dan waktu. Hal yang mesti saya ingat, pekerjaan saya di luar tidak lebih penting daripada tugas saya di rumah mendampingi anak-anak. Saya pernah bilang ke mas suami, saya nggak mau terlalu capek karena nanti jadi ngomel-ngomel mulu…kwkwk. Saya nggak mau terlalu ngoyo karena saya masih punya tanggung jawab mendampingi anak-anak di rumah. Saya mau hidup normal dan wajar sama seperti yang lain.


Ketika semua kewajiban sudah kita selesaikan dengan baik, semoga Allah mudahkan jalan kita. Tetap semangat, yah emak-emak yang menulis dan ngerjain ilustrasi. Semoga usaha kita tidak hanya menyenangkan di dunia, tapi juga berbuah pahala di akhirat. Berkah dan berkah, insya Allah.


BTW, buku Pippi sudah bisa teman-teman dapatkan di toko buku atau di sini! Ada diskon, lho. Selamat membaca kisah Pippi, ya. Semoga teman-teman suka dengan ilustrasi dan ceritanya :)


Salam hangat,


Wednesday, October 5, 2022

Review Buku Episode yang Sempat Hilang

 

Review Buku Episode yang Sempat Hilang

“Jika kelamnya masa lalu bisa menghentikan langkahmu, seharusnya, janji masa depan bisa menggerakkan hatimu.” (Desti Annor)


Kita sering mendengar bahwa yang namanya kesempatan tidak datang dua kali. Maka, manfaatkan peluang serta waktu yang ada dengan maksimal supaya di kemudian hari tidak menyesal.


Namun, ketika kesempatan itu terlewati begitu saja atau sengaja kita lewatkan, apakah mungkin akan datang kesempatan berikutnya? Tidak mungkin kita memutar waktu dan kembali pada masa lalu. Sedangkan sebagai manusia, kita sering salah memperhitungkan sampai-sampai tanpa sengaja melakukan kesalahan.


Saya percaya, Allah akan memberikan kesempatan bukan hanya yang kedua, tapi yang ketiga, dan seterusnya asalkan kita mau benar-benar berusaha. Saat memutuskan berhenti menulis setelah berhasil menyelesaikan buku solo pertama, saya tidak membayangkan ada di posisi sekarang. Saya pikir, akan sulit melakukan hal yang sama di kemudian hari karena saya telah sepenuhnya pergi. Namun, Allah membuat rencana yang jauh lebih baik.


Setelah anak saya tumbuh besar dan lebih mandiri, saya benar-benar punya waktu yang lebih longgar untuk kembali menulis hingga sekarang. Ini bukan kesempatan yang datang kedua kalinya, ini kesempatan berikutnya yang Allah berikan dan saya berhasil mengambil peluang tanpa harus meninggalkan kewajiban saya sebagai seorang ibu. Bukankah waktu yang Allah tentukan selalu tepat?


Seperti disampaikan dalam buku berjudul Episode yang Sempat Hilang karya Desti Annor, kesempatan akan selalu ada selama kita mau berusaha. Tak peduli seburuk apa pun masa lalu kita, asal bisa menyesali yang sudah lalu, juga bersungguh-sungguh memperbaiki di masa sekarang, maka tidak mustahil Allah akan datangkan kesempatan kedua.


Yakin, Kesempatan Bisa Datang Dua Kali!

Selama kita yakin dan percaya, kesempatan itu akan selalu ada. Yakin dulu sama Allah kalau kita masih diberikan kesempatan untuk bertobat dan berbuat baik. Jangan malah menjerumuskan diri dalam lembah kemaksiatan akibat rasa putus asa pada kasih sayang Allah. Sebanyak apa pun dosa yang kita perbuat, bagi Allah tidak sulit mengampuni selama kita mau bertobat. Seburuk apa pun kesalahan di masa lalu, selalu yakinlah bahwa Allah punya ampunan lebih luas dibanding samudera.


Terkadang, kita terjebak dalam perasaan putus asa, merasa sudah terlalu jauh meninggalkan Allah, bermaksiat, dan melakukan dosa. Sampai-sampai tidak yakin dengan luasnya ampunan-Nya. Belum lagi komentar orang yang begitu tajam dan pedasnya, mengatakan bahwa kita sudah menjadi seburuk-buruk manusia, hingga tak mungkin Allah berikan kesempatan kedua.


Hei, Allah bukan manusia dan manusia bukan Tuhan yang bisa menghakimi hidup kita. Tidak ada yang tahu akhir usia seseorang kecuali Tuhannya. Tidak ada yang tahu sedalam apa penyesalan kita kecuali Allah. 


Buku Episode yang Sempat Hilang ditulis dengan bahasa yang indah dan menguatkan. Buku ini bisa teman-teman baca ketika merasa hilang semangat dan butuh motivasi. Bukankah teman paling setia adalah buku?


Di beberapa halamannya disertai juga dengan quotes menarik. Buku setebal 198 halaman ini bisa menjadi renungan yang indah, supaya langkah kaki kita tetap gagah melangkah, agar keyakinan kita tidak goyah akan pengharapan yang besar kepada Allah. 


Selamanya kita memang tidak akan benar-benar selalu kuat menghadapi ujian dan cobaan, tapi tidak selamanya juga kita jadi manusia yang lemah. Ada saatnya kita gagal, tapi di waktu lain kita boleh memutuskan untuk bangkit dan pantang menyerah. Hidup tidak akan berakhir hanya karena kegagalan sekali atau dua kali saja, kan? 


Justru dari kegagalan itu kita bisa belajar tentang perjuangan dan apa arti mempertahankan apa yang telah kita yakini. Yakin saja dulu, sebab Allah bukan manusia yang mudah jenuh dan sulit memaafkan. Karena paham bahwa Allah bukan manusia selemah kita, maka apa sulitnya yakin pada-Nya?


Belajar dari Kisah-Kisah Orang Saleh Terdahulu

Kenapa Allah menceritakan kisah Firaun dalam Alquran? Supaya kita tahu bahwa ada manusia sombong yang pengin disembah sebagai Tuhan, tapi kemudian Allah tenggelamkan dalam lautan. Kenapa Allah ceritakan kisah Qarun dalam Alquran? Supaya kita dapat memetik pelajaran bahwa yang namanya serakah tidak akan pernah mendapatkan tempat dan akan Allah azab.


Kisah-kisah orang terdahulu akan menjadi pelajaran berharga bagi manusia yang mau merenungi kesalahan. Begitu juga dalam buku yang ditulis oleh Desti Annor ini. Ia mengambil kisah-kisah para Nabi serta para sahabat yang bisa dijadikan pelajaran bagi manusia yang mau terus yakin pada ampunan Allah serta datangnya kesempatan kedua.


Atas langkah yang sempat terhenti, karena kelamnya masa lalu.

Atas jalan hidup yang tak seindah orang-orang.

Atas semua mimpi yang gagal menakjubkan pada kesempatan pertama.

(Desti Annor)


Buku ini diterbitkan oleh Quanta, lini buku-buku islami dari Elex Media. Sangat perlu dibaca hingga tuntas supaya hati kita yang patah bisa utuh kembali dengan keyakinan akan adanya kesempatan berikutnya.


Tidak masalah jika dulu sempat ada yang terlewat, tapi berikutnya kita mesti benar-benar menjemput dan memperjuangkan kesempatan itu. 


Salam hangat,


Tuesday, October 4, 2022

Bawa Virus dari Sekolah. Benarkah Anak-Anak Menularkan Penyakit?

Bawa Virus dari Sekolah. Benarkah Anak-Anak Menularkan Penyakit?
Photo by Vitolda Klein on Unsplash


Musim sakit. Hampir semua anak kena common cold. Namanya virus, sudah pasti akan sangat mudah menular terutama pada usia kelas 1 SD. Imunitas mereka masih rendah. Apalagi kalau kelasnya pakai AC dan sirkulasi udaranya nggak bagus. Sudah tentu satu sama lain dapat menularkan virus. Baru sembuh dua hari, eh tahu-tahu sudah meler lagi.


Apalagi setelah pandemi, di mana selama lebih dari dua tahun kita begitu steril dan bersih karena selalu ada di rumah. Ketika sekolah mulai mengadakan tatap muka kembali, interaksi antara murid dan guru nggak bisa dihindari. Kalau akhirnya ada saja yang sakit kena common cold itu memang wajar, sih. Karena kita baru belajar beradaptasi lagi. Kejadian ini pun ada di mana-mana nggak hanya di Jakarta.


Waktu zaman si sulung masih kelas 1 atau 2 SD, kejadian seperti ini juga pernah terjadi, kok. Hanya saja nggak seheboh sekarang karena sebelumnya kita nggak mengalami pandemi. Makin besar usia anak, makin kuat juga imunitas mereka sehingga akan lebih kebal terhadap virus penyakit.


Dulunya, saya termasuk orang tua yang super parno. Bisa dilihat ketika saya bercerita di blog ini saat si bungsu masih TK dan mesti berhadapan dengan pandemi serta masa transisi. Saya termasuk orang tua yang sulit mengizinkan anak untuk tatap muka. Gurunya bilang, nggak masalah kalau mau masuk, anak sakit common cold itu biasa. Lama-lama dia akan kebal. 


Hanya saja waktu itu saya merasa ngeri dengan Covid, sehingga saya masih ragu mengizinkan anak-anak untuk ikut pembelajaran offline seperti teman-temannya di sekolah.


Virus Mudah Menular

Ini perlu dipahami baik-baik, bahwa yang namanya virus itu sangat mudah menular terutama jika daya tahan tubuh kita lemah.


Saya cukup hafal dengan tubuh sendiri, setiap kali saya makan sembarangan, nggak jaga makan sehat, di situ saya mudah sekali tertular common cold. Gampang pilek ataupun batuk. Namun, ketika saya bisa menjaga pola hidup sehat, sejauh ini jarang banget tertular sakit.


Ketika anak-anak mulai masuk sekolah, kita nggak bisa memastikan satu per satu siapa di antara mereka yang sedang membawa virus. Karena gejalanya muncul belakangan. Dia sudah terpapar, sudah bisa menularkan, tapi belum ketahuan kalau sedang sakit sehingga tetap masuk sekolah seperti biasa.


Di sisi lain, anak-anak usia kelas 1 SD belum sepenuhnya paham kalau sakitnya bisa menular ke teman-temannya. Karena itu perlu sekali diedukasi baik oleh orang tua ataupun guru dengan cara tetap rajin pakai masker, tidak batuk sembarangan apalagi di depan wajah temannya, tidak asal comot makanan temannya. Terkadang hal kecil semacam ini belum dipahami oleh mereka sehingga wajar kalau virusnya jadi lebih mudah menular.


Sebelum pandemi, saya sudah membiasakan si sulung memakai masker setiap kali kena common cold. Nggak hanya saat ke sekolah, bahkan saat di rumah pun saya menerapkan hal yang sama. Saya mungkin terlalu parno dan steril…kwkwk. Dulu si kakak sampai sering ditertawakan setiap ke sekolah karena pakai masker, bahkan oleh gurunya sendiri. Namun, siapa sangka pandemi memaksa semua orang mengenakan masker?


Hal serupa saya terapkan pada si bungsu. Sampai-sampai guru TK-nya bingung karena dia sering menolak minum, meniup benda saat belajar di sekolah karena nggak mau buka masker kecuali terpaksa. Mau sih disuruh, tapi benar-benar dengan muka nggak santai :D


Virus memang mudah menular, tapi ternyata terlalu parno juga nggak baik. Nggak mungkin kita terus menerus menghindari virus karena sebenarnya dia ada di mana-mana. Di rumah, di jalan, di pasar, di mana pun. Bukan hanya ada di sekolah yang dibawa oleh anak-anak. Kita pun berpotensi membawa virus dan menularkannya kepada mereka.


Susahnya Sekolah di Zaman Sekarang

Masuk sekolah mesti benar-benar sehat. Itu baik, sih. Hanya saja yang saya pikirkan adalah ketika baru masuk dua hari, tapi kena common cold lagi dua minggu…kwkwk. Bisa dihitung berapa hari anak-anak bisa masuk sekolah? Karena hampir semua anak selalu mengeluhkan hal yang sama. Baru sehat sebentar sudah sakit lagi. Sedangkan yang boleh masuk sekolah hanya yang benar-benar sehat. Ini aturan yang diterapkan dihampir  semua sekolah.


Untuk sembuh dari common cold nggak bisa hanya sehari dua hari atau seminggu. Biasanya butuh waktu dua minggu bahkan kalau batuk masih nyisa di minggu ketiga yang sebenarnya dia udah nggak menular lagi.


Nggak masalah kalau anak nggak diizinkan masuk karena takut membawa virus dan menularkan pada temannya apalagi ke gurunya, tapi perlu dipikirkan kembali bagaimana murid-muridnya bisa tetap mendapatkan haknya untuk belajar. Kalau sakit hanya sehari dua hari atau maksimal sebulan sekali masih oke. Tapi, kalau setiap minggu mesti kena common cold gimana? Sedangkan masa pemulihan itu kan butuh waktu, tapi nggak menularkan juga.


Anak-anak yang dianggap sehat saja yang boleh masuk sekolah nggak menjamin juga mereka nggak sedang membawa virus karena terkadang gejalanya muncul kemudian. Selamanya kita nggak akan bisa mencegah virus datang apalagi di lingkungan sekolah. Dokter Apin yang merupakan dokter spesialis anak pun nggak menyarankan apa pun selain ya banyak bersabar karena usia segini memang rentan tertular dan menularkan virus.


Jaga Daya Tahan Tubuh

Kita nggak bisa menyalahkan siapa pun dalam kasus seperti ini. Anak-anak pun nggak mau bolak balik sakit apalagi dianggap membawa virus. Orang tuanya pun super capek kalau anaknya sakit apalagi jika ada riwayat kejang demam atau Otitis Media akut seperti anak saya.


Apa yang dapat kita usahakan supaya nggak gampang sakit dan tertular? Jaga pola hidup sehat terutama untuk orang dewasa. Anak-anak memang rentan karena imunitasnya beda dengan orang dewasa. Kalau mau diambil sisi positifnya, imunitas mereka jadi lebih baik setelah sakit dan sepertinya ini hal wajar dan alami terjadi pada kita sebagai manusia yang sedang tumbuh.


Kata dokter Apin, kitanya memang kudu sabar aja. Dulu waktu saya konsultasi juga gitu, memangnya mau pisah rumah? Nggak mungkin juga. Nggak mungkin pisah rumah dengan si sulung biar si bungsu nggak ketularan. Sama halnya nggak mungkin juga terus menerus meminta hanya ‘anak sehat’ aja yang sekolah, sedangkan yang sudah pecicilan, tapi masih batuk-batuk dikit nggak diizinkan masuk.


Ini aturan memang sudah diterapkan di sekolah-sekolah. Cuma kecewa sekali kalau nggak ada solusi buat yang masih masa pemulihan, yang sudah pecicilan, dan ngerasa sudah oke badannya, tapi nggak bisa juga benar-benar disebut sembuh.


Salam hangat,


Friday, September 30, 2022

Cara Memulai Bisnis Jual Daging Sapi, Agar Untung dan Laris Manis

Cara Memulai Bisnis Jual Daging Sapi, Agar Untung dan Laris Manis
Photo by Alireza Nikzad on Unsplash


Waktu baru menikah dan mesti pindah ke Jakarta, saya nggak punya banyak kegiatan di rumah. Selain belum punya teman dan sering sendirian saat suami ngantor, saya jadi iseng dan pengin punya kegiatan yang berguna. Akhirnya, saya habiskan waktu untuk merajut, membuat bunga dari kertas krep atau koran, atau membuat tas-tas handamade. Jujur, bosan banget di rumah tanpa kegiatan. Hanya nonton televisi, masak sebentar dan beberes. Kalau terlalu lama begini, pasti bikin stres.


Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya ada kegiatan lain yang bisa kita kerjakan selain hanya merajut dan menyulam. Salah satunya berjualan. Teman-teman mungkin saja belum tahu, namun faktanya bisnis jual daging sapi sekarang ini memang memiliki target pasar yang sangat luas. Pasalnya, hingga kini masyarakat Indonesia diketahui masih begitu menyukai menu yang berbahan dasar daging sapi. Kan enak bisa jadi juragan daging, ya...hehe.


Apalagi saat bertepatan dengan perayaan hari raya. Konsumsi daging sapi biasanya meningkat tajam. Terutama untuk daging sapi yang permintaannya luar biasa tinggi. Tak jarang, para penjual sampai kehabisan stok daging untuk dijual. Jadi, nggak ada salahnya kalau kita memulai bisnis ini sebagai ladang penghasilan sambil menghabiskan waktu luang. 


Begini Cara Memulai Bisnis Jual Daging Sapi yang Tepat

Cara Memulai Bisnis Jual Daging Sapi, Agar Untung dan Laris Manis
Photo by Vitoria Shes on Unsplash


Untuk cara memulai bisnis tersebut, teman-teman dapat menyimak penjelasan berikut, 


Lihat Pasar dan Persaingan

Untuk memulai bisnis jual daging sapi, paling tidak kita harus perhatikan dulu target market. Selain itu, perhatikan juga orang-orang yang sebelumnya sudah lebih dulu berkecimpung di dunia bisnis tersebut.


Misalnya, ketika kita ingin menjual daging sapi, maka silahkan dilihat seberapa luas pasar dan target market yang bisa dijangkau. Berapa jumlah kompetitor, semua harus dipikirkan. Analisa juga terkait kelebihan dan kekurangan para kompetitor tersebut. Hal ini berguna untuk memperkirakan apakah bisnis kita ke depan bisa bertahan atau tidak.


Memilih Supplier yang Tepat

Berikutnya, silahkan memilih supplier yang tepat. Pastikan supplier tersebut bisa menyediakan daging dengan jaminan kualitas tinggi dan harganya murah. Sebab, bagaimanapun juga, kita akan menjualnya kembali sehingga butuh harga murah untuk mendapatkan keuntungan tinggi.


Beberapa cara yang bisa dilakukan yaitu mendatangi peternak sapi atau rumah pemotongan hewan. Selain itu, tidak ada salahnya juga kita mencari supplier yang menyediakan daging sapi impor. Biasanya daging seperti ini berasal dari luar negeri. Namun jangan khawatir karena kualitasnya cukup baik dan harganya cenderung lebih murah dari daging lokal.


Mencari Tempat Usaha

Langkah berikutnya untuk memilih bisnis jual daging sapi adalah mencari tempat usaha. Umumnya, tempat menjual daging adalah pasar. Namun, kita bisa pilih lapak-lapak pasar yang lebih sering dilewati orang.


Hal ini sangat penting, karena semakin sering lapak jualan kita dilewati orang maka peluang daging dibeli juga makin tinggi. Perlu diingat, kita harus jual daging sapi secepat mungkin karena merupakan komoditas yang tidak bertahan lama. Kecuali kita melakukan langkah-langkah pengawetan khusus.


Mengutamakan Kualitas dan Kejujuran

Saat ini, banyak ditemukan kasus penjual daging sapi yang ternyata tidak jujur. Seperti menjual daging sapi gelonggongan atau daging yang diberi air supaya bobotnya jadi lebih berat saat ditimbang.


Bukan hanya itu saja, ada juga yang justru mengoplos daging sapi dengan daging babi yang cukup meresahkan. Terutama bagi kaum muslim yang memang tak mengonsumsi daging babi. Oleh sebab itu, awali dengan niat berjualan dengan berlandaskan kejujuran.


Ingat, berbohong dan ketahuan dapat menyebabkan risiko besar seperti terkena pasal pidana dalam undang-undang perlindungan konsumen. Bahkan, jika tidak ada yang tahu pun, kita harus ingat jika setiap perbuatan di dunia kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Serem juga, kan?


Melakukan Pemasaran dengan Baik

Biasanya, penjual daging sapi memang hanya mengandalkan pembeli yang lewat lapak saja. Dengan cara ini, mungkin bisnis kita nggak akan berkembang. Maka, cobalah strategi lain seperti jemput bola. Misalnya, dengan mendatangi tempat-tempat yang berpotensi membutuhkan stok daging sapi seperti warung makan, catering, restoran, dan lainnya.


Tawarkan harga lebih murah dengan yang biasa mereka beli. Namun tetap jangan pernah turunkan kualitas daging kita. Caranya, kembali lagi kita harus jeli mencari supplier yang tepat. Supaya dapat harga lebih murah dan mendapatkan keuntungan tinggi.


Cara memulai bisnis jual daging sapi sudah dijelaskan di atas. Dari semua penjelasan tersebut, hal paling penting adalah mencari daging dengan kualitas terbaik. Jika teman-teman masih bingung, Sayurbox bisa jadi rekomendasi yang tepat. Produk daging dijamin fresh dan banyak promo menarik yang bisa membuat kita lebih hemat saat berbelanja. Yuk, mulai belanja daging untuk dijual kembali di Sayurbox dengan kunjungi aplikasi atau websitenya di https://www.sayurbox.com/category/anekadaging-1-0d447988 sekarang, 


Salam hangat,


Monday, September 19, 2022

Belajar Konsisten Menulis Setiap Hari, Sulitkah?

Belajar Konsisten Menulis Setiap Hari, Sulitkah?
Photo by Kaitlyn Baker on Unsplash


Menulis merupakan kegiatan yang saya lakukan hampir setiap hari. Iya, kalau memang sedang tidak ada hal mendesak, saya memang merutinkan menulis setiap hari terutama setelah pandemi mulai reda. Saat masih pandemi, saya banyak berkutat dengan ilustrasi sampai-sampai nggak ada waktu untuk menulis buku lagi. Sedih? Banget. 


Makannya awal tahun ini saya mulai mengurangi mengerjakan ilustrasi. Hanya menerima beberapa pekerjaan yang memang saya mau kerjakan supaya ada waktu lagi untuk menulis.


Namun, terkadang saya harus mengerjakan naskah sekaligus membuat ilustrasi buku. Misalnya seperti beberapa bulan lalu saat saya harus mengerjakan ilustrasi untuk buku Bunda Helvy Tiana Rosa, di sisi lain saya sudah ada kerjaan menggarap naskah. Awalnya saya kira nggak akan bisa mengerjakan semuanya tepat waktu, qadarallah dengan lebih disiplin dan banyak berdoa akhirnya pekerjaan itu selesai tepat waktu juga. Masya Allah, legaaa.


Beberapa orang bertanya, memangnya nggak capek menulis setiap hari? Penulis lain juga melakukan hal yang sama, kok. Saya bukan orang yang paling rajin, yang lebih rajin masih lebih banyak lagi. Kalau ditanya capek atau nggak, yang jelas pasti lebih capek karena kita mesti melakukan hal lain selain pekerjaan rumah. Saya seorang Ibu Rumah Tangga yang punya tanggung jawab di rumah. Mencuci, menyetrika, memasak, beres-beres rumah, mendampingi anak belajar dan mengaji, dan banyak lainnya. Sama seperti ibu lain di luar sana yang memilih mengurus semua sendiri tanpa asisten rumah tangga.


Ketika saya memutuskan tetap berkarya di usia saya yang segini, yang sudah nggak 17 tahun ini, otomatis saya sudah harus siap lebih capek. Apalagi kalau ada kerjaan yang tiba-tiba datang sekaligus. Benar-benar harus membagi waktu dan disiplin dengan jadwal yang telah dibuat.


Namun, capeknya tetap menyenangkan karena saya mengerjakan hal yang benar-benar saya sukai. Kalau ditanya bosan atau nggak, pasti ada bosan dan pengin berhentinya. Nggak masalah, ambil jeda dan istirahat. Nggak udah dibawa pusing. Nanti juga bisa balik lagi ke laptop :D


Jangan Kerjakan Sekaligus

Belajar Konsisten Menulis Setiap Hari, Sulitkah?
Photo by Richa Sharma on Unsplash


Adakah orang-orang seperti saya, yang kalau ngerjain apa-apa maunya sekaligus beres? Mulai dari menggambar, menulis, beres-beres rumah, dan yang lainnya?


Ternyata ini nggak terlalu berguna ketika kita mesti mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus. Bikin saya capek dan stres. Saya harus menyadari bahwa tidak semua pekerjaan bisa dikerjakan sekaligus dan mestinya saya belajar mencicil pekerjaan supaya semua bisa dibereskan dalam waktu yang tepat.


Contohnya begini, saya dari dulu nggak terbiasa menulis buku sekaligus mengerjakan gambar. Kalau sudah menerima orderan ilustrasi, saya akan fokus di pekerjaan ini sampai beres. Memang benar, kalau fokus jadi cepat selesai. Namun, cara ini nggak bisa saya lakukan kalau saya punya lebih dari satu pekerjaan.


Waktu saya mesti merampungkan naskah dan membuat ilustrasi untuk buku lain, saya belajar mencicil pekerjaan. Pagi-pagi sebelum Subuh saya menulis beberapa halaman untuk naskah saya, sedangkan siangnya saya mencicil ilustrasi. Sebulan itu saya melakukan hal yang sama setiap hari dan Alhamdulillah, dua-duanya rampung.


Andai saya hanya fokus mengerjakan satu hal dulu, saya nggak yakin target saya bakalan selesai tepat waktu. Mungkin agak molor-molor dikit...hehe.


Nah, cara ini bisa kita terapkan. Di sela-sela kesibukan mengurus rumah, sempakant menulis meski hanya sedikit. Mencicil setiap hari lama-lama akan jadi bukit, lho. Nggak berat, kok asal kita senang mengerjakannya. Makannya pastikan kamu benar-benar suka menulis sebelum memutuskan jadi penulis.


Membuat Target

Belajar Konsisten Menulis Setiap Hari, Sulitkah?
Photo by Hannah Grace on Unsplash


Berapa lama kamu akan menyelesaikan naskahmu? Sebulan? Dua bulan? Buatlah target sesuai kemampuan dan kerjakan dengan konsisten. Jika ditanya apakah sibuk dan capek? Semua orang juga sibuk dan capek, sih. Tinggal bagaimana kita mau melakukannya atau tidak.


Target dibuat supaya memudahkan kita supaya mau disiplin waktu. Kalau sehari mesti mengerjakan dua halaman, kerjakan dua halaman atau lebih. Lakukan secara terus menerus sampai naskahmu selesai.


Bukankah buku yang bagus adalah yang sudah selesai ditulis? Bukan hanya yang selesai diangankan apalagi hanya dibayangkan. Nggak ada kriteria naskah bagus atau nggak. Ini soal proses. Makin hari akan semakin bagus. Bertambah hari, bulan, hingga tahun, yakin deh tulisan kita akan ada peningkatan kualitas asal tetap mau menulis, membaca, dan terus belajar. Seperti itulah kata bang Tere Liye :D


Menjadi penulis merupakan hal yang membahagiakan, tapi jangan hanya jadi gaya-gayaan. Kalau kita bisa menikmatinya, insya Allah ada banyak hal yang bisa jadi pembelajaran. Memang butuh sabar, apalagi kalau masuk jalur penerbit mayor. Menunggu buku terbit hingga bertahun-tahun itu lumrah dialami semua penulis. Jangan takut, jika sudah jadi rezekimu, insya Allah bukumu akan terbit juga. Banyak-banyak sabar, ya :)


Salam hangat,


Monday, September 12, 2022

Haruskah Orang Tua Menekankan Nilai Akademik Terbaik pada Anak?

Haruskah Orang Tua Menekankan Nilai Akademik Terbaik pada Anak?
Photo by Annie Spratt on Unsplash


Mengharapkan anak berhasil meraih nilai akademik terbaik di kelasnya merupakan hal yang wajar. Sebagai orang tua, siapa sih yang nggak pengin anaknya menjadi juara? 


Waktu saya sekolah dulu, orang terdekat pernah bilang, “Masa kamu nggak bisa seperti si A yang dapat peringkat pertama?”


Padahal, peringkat saya nggak buruk-buruk amat. Masih tiga besar. Entah alasan apa tepatnya, saya jadi lebih serius belajar dan bisa dikatakan mati-matian. Belajar sampai tengah malam, sampai sarapan pun di kamar karena sambil menghafal materi pelajaran.


Tahun-tahun berikutnya, waktu masih SMP, saya berhasil mendapatkan nilai terbaik, bahkan sampai kelulusan. Sampai-sampai kepala sekolah ngasih saya uang karena nilai UN saya terbaik di antara dua sekolah dalam satu yayasan. Namun, jangan kira saya tetap jadi orang yang pintar dengan nilai akademik terbaik. Waktu SMA, saya sudah nggak sesakti itu…kwkwk.


Setelah punya anak, saya juga senang ketika anak saya dapat juara. Saya senang dia mau belajar tanpa harus capek-capek diminta. Namun, makin ke sini saya makin santai. Apalagi sudah banyak yang bilang, nilai akademik bukan segalanya. Nggak pandai Matematika bukan berarti bodoh. Setiap anak punya potensinya masing-masing. Jika si A pandai Matematika, bisa jadi anak kita justru lemah dalam berhitung, tapi bagus di bidang seni. Ada juga yang unggul justru di bidang olahraga. 


Anak saya juga begitu. Saya memaklumi kalau dia harus bekerja lebih keras untuk menghafalkan perkalian karena dia nggak terlalu unggul dalam berhitung. Tapi, saya bersyukur dia mau berusaha. Ketika ada orang yang bilang, "Anakmu enak bisa Matematika." Dia nggak tahu, anak saya pernah sampai bolak balik video call sama walasnya, sampai mau nangis karena belum paham, dia juga pernah belajar Matematika sama ayahnya sampai larut malam karena merasa belum bisa-bisa. Saya suruh tidur nggak mau. Orang-orang nggak lihat yang begini kecuali kita orang tuanya.


Tapi, si sulung ini senang kalau ada kelas IT. Di rumah, dia suka bikin game sendiri sampai ada level-levelnya. Anak-anak saya nggak ada yang main games di handphone. Mereka bukan pecandu game, tapi karena dibatasi itu, karena kata Bunda main game nggak baik apalagi kalau keseringan, mereka jadi bikin permainan sendiri, entah itu dibikin di laptop atau di buku yang digambar dengan begitu detailnya.


Sampai di sini mestinya kita sudah paham, setiap anak itu cerdas dan pintar sesuai bidang yang dikuasainya. Nggak perlu membandingkan anak kita dengan anak orang. Apalagi memaksanya berkompetisi mati-matian dengan teman-temannya. Hingga ada anak yang kecewa berat ketika nilainya tidak sempurna. Sampai-sampai ada yang mendoakan nilai si sulung jelek, bukan dengan nada bercanda, diucapkan beberapa kali, di depan putra saya langsung. Agak kaget, tapi saya jadi tahu, ada anak yang seambis itu pada nilai. 


Biarkan Mereka Menikmati Prosesnya

Haruskah Orang Tua Menekankan Nilai Akademik Terbaik pada Anak?
Photo by Ismail Salad Osman on Unsplash


Dikutip dari id.quora.com, ada satu artikel menarik yang ditulis oleh Zhaza Afililla yang merupakan dokter hewan, dia membahas tentang banyaknya orang tua yang selalu terpaku pada nilai akademik. Masih banyak orang tua yang nggak paham dengan proses belajar putra-putrinya. Mereka selalu berorientasi pada hasil. Pokoknya kamu harus juara. Pokoknya nilai kamu harus sempurna kalau mau berhasil. Kira-kira seperti itu gambarannya.


Ada cerita dari teman saya tentang teman anaknya yang selalu dimarahi ketika tidak mendapatkan nilai sempurna. Makannya dia suka nangis kalau dapat nilai 90. Anaknya masih kelas 4 SD. Masih kecil, tapi mesti dapat tuntutan seberat itu dari orang tuanya.


Usia sekolah apalagi masih usia SD mestinya adalah masa belajar yang menyenangkan, santai-santai. Meskipun tuntutan dari sekolah cukup berat, tapi jangan sampai orang tua menambahkan tuntutan yang lebih berat lagi pada anak.


Seorang dosen psikologi pernah mengatakan, anak usia segitu jangan ditambah les macam-macam. Capek. Apalagi yang sekolahnya full day seperti anak saya. Pagi berangkat, sore sampai rumah. Dia hanya punya waktu sedikit untuk istirahat, belum lagi kalau diberi PR banyak dari gurunya. Bukannya pintar, malah stres.


Kita tahu banget kalau semua hal itu nggak bisa tercapai dengan sekali kedipan mata. Semua itu butuh proses. Sedikit saya ceritakan tentang anak saya yang paling kecil. Semua anak saya memang belajar mengaji di rumah bersama saya.


Namun, si bungsu nggak sama seperti si sulung. Dia butuh waktu lebih banyak supaya bisa menamatkan buku Iqro'. Satu halaman kadang diulang sampai seminggu lebih. Karena dia masih terbata-bata, kadang juga lupa materi sebelumnya. Setiap pindah halaman baru, dia selalu suntuk karena merasa itu sulit dan nggak mampu. Saya nggak pernah maksa dia harus bisa. Nggak pernah marah juga. Saya ikuti maunya apa. Kalau hari ini dia hanya mau baca setengah halaman, itu nggak masalah. Kadang satu baris juga sudah cukup. Kadang juga nggak jadi ngaji. Besoknya ketika merasa sudah lebih mengerti, lebih tenang, dia akan minta membaca sampai selesai.


Ketika dia harus mengaji dengan metode berbeda seperti saat di TK ataupun SD, tidak banyak perubahan yang mesti dibenahi karena mungkin dasarnya sudah benar.  


Orang-orang melihat hasilnya. Dia sudah cepat bisa. Dia sudah hafal dan lulus banyak surat. Sekali lagi, kebanyakan orang hanya mau melihat hasilnya tanpa melihat prosesnya. Padahal, dia kadang sampai nangis waktu belajar ngaji karena merasa kesulitan mengikuti, tapi dia mau belajar dan tekun. Dia rela nggak main dulu biar bisa menghafal surat-surat pendek. Tanpa harus saya temani, dia mengulang-ulang hafalannya sendiri. Saya nggak pernah memaksa. Saya pikir, mungkin karena sudah ada contoh dari kakaknya yang setiap hari menambah hafalan, dia jadi punya semangat buat menghafal juga.


Apakah saya memberi anak-anak reward besar ketika mereka berhasil mencapai suatu target? Nggak sama sekali. Tapi, untuk menghargai usaha mereka, saya selalu ngasih sesuatu. Misalnya buku bacaan kesukaan mereka setelah ujian meskipun mereka nggak dapat nilai terbaik di kelas. Saya bilang, ini hadiah karena kalian sudah berusaha dan mau belajar. Dan memang saya juga tidak pernah menanyakan peringkat anak-anak selama ambil rapot. Lucunya, kadang mereka malah tahu dari temannya di kelas :D


Ambisi Akademik Tak Sejalan dengan Kebutuhan Anak

Haruskah Orang Tua Menekankan Nilai Akademik Terbaik pada Anak?
Photo by Volodymyr Hryshchenko on Unsplash


Kenapa sih tiba-tiba saya bahas tema ini? Sebenarnya ide ini muncul waktu parenting kelas atas kemarin. Walas si kakak bilang, nilai akademik itu bukan segalanya, bukan yang utama. Jangan bebani mereka dengan belajar di bimbel khususnya di kelas 6 karena mereka sudah sangat capek. Kecuali memang anaknya mau, ya.


Jadilah saya pengin cerita lebih banyak soal ini. Tentang ambisi akademik, memberikan tekanan pada anak, tapi orang tua menikmatinya sebagai kompetisi. 


Namun, terkadang ambisi akademik tidak sejalan dengan kebutuhan anak seperti ditulis oleh Zhaza Afililla. Iya, kita mau anak pintar, tapi kita nggak pernah mendampingi dia belajar. Kita mau dia jadi anak hebat, tapi kita nggak ngasih kasih sayang sama mereka.


Kepala sekolah di sekolah si kakak pernah bilang, ketika orang tua menyerahkan anak-anaknya di sekolah, jangan serahkan tanggung jawab mendidik seluruhnya kepada sekolah. Orang tua juga masih punya tanggung jawab dan kewajiban untuk mendampingi anak-anaknya di rumah. Bahkan, sudah jelas, anak-anak yang di rumahnya jarang diperhatikan dan didampingi, dia cenderung ketinggalan. Kasihan, katanya.


Jika kita mau nilai anak-anak bagus, pelan-pelan kita juga mesti usaha supaya anak-anak mau belajar dengan happy, tanpa mesti dipaksa. Diberikan pendampingan, dibantu, jangan hanya dituntut. Kita juga mesti ngasih lebih banyak waktu buat mereka. Terutama anak yang masih usia kelas 1 SD. Benar-benar harus didampingi pake banget.


Suasana Rumah yang Kondusif

Haruskah Orang Tua Menekankan Nilai Akademik Terbaik pada Anak?
Photo by Ben White on Unsplash


Masalah terbesar bagi orang tua dan anak-anak di zaman sekarang adalah gadget, nonton televisi, dan main games. Siapa sih yang nggak punya masalah soal ini? Anak kecanduan gadget sejak usia dini, kencanduan main games, sampai lebih parah sudah terpapar pornografi.


Anak-anak yang kesulitan belajar di rumah mungkin disebabkan oleh kecanduan main gadget atau nonton kartun di televisi dan kurangnya pendampingan dari orang tua. Sedikit cerita, si sulung dulu pernah sangat senang nonton kartun di televisi sampai-sampai ketika dimatikan kita mesti ribut dulu…kwkwk. Saya nggak mau ini terulang karena capek banget mengatasinya.


Tahun-tahun pandemi ketika semua anak hampir seluruhnya malah jadi senang main gadget, anak saya malah nggak terpapar itu. Televisi di rumah tiba-tiba mati saking lamanya nggak dinyalain. Ya Allah, pengin ngakak sih kok bisa sampai rusak begini? Beberapa tahun kemudian saya belum mengizinkan suami membeli televisi lagi. Alhamdulillah, semua menurut...kwkwk.


Anak-anak pegang hp sekadar buat zoom, cek jadwal, dan sebagainya. Anak-anak boleh kok nonton, tapi saya batasi ketika hari libur dan kami sepakat nontonnya juga hanya 2 atau 3 kartun pendek. Benar, ini kesepakatan kami bersama. Ketika mereka melanggar aturan di rumah, misalnya bertengkar antara kakak adek, hari libur nggak boleh nonton. Alhamdulillah mereka sadar diri kalau salah. 


Di rumah, handphone, laptop, ataupun tablet nggak pernah disembunyikan. Mereka tahu tempatnya di mana. Apalagi pekerjaan saya memang membutuhkan gadget. Letaknya di atas meja, kadang di kamar. Mereka bisa ambil dan pakai ketika mau, tapi saya bersyukur mereka selalu minta izin dulu dan memakainya sesuai kebutuhan.


Anak-anak yang nggak kecanduan Hp biasanya cenderung lebih kreatif. Ketika anak-anak saya nyandu nonton mulu seperti dulu, mereka selalu ngeluh bosan, mau ngapain lagi, nih? Keponakan saya juga begitu.


Ketika mereka sudah nggak kecanduan gadget, mereka bisa melakukan banyak hal. Idenya jadi banyak. Main lego jadi nggak membosankan. Baca buku jadi menyenangkan. Hari-harinya penuh semangat. Mulai dari bikin game sendiri di laptop sampai bikin permainan di buku semacam ular tangga. Ada aja idenya :D


Supaya anak belajarnya nyaman, kita juga mesti menciptakan suasana yang baik buat mereka. Ngasih perhatian, ngasih waktu, ngasih apresiasi dan menghargai usaha mereka. Paling penting, jangan membandingkan anak kita dengan anak orang lain. Saya sudah tahu rasanya dan itu nggak enak, bestie :D


Dear Ayah dan Bunda, yuk nikmati peran kita mumpung anak-anak masih di dekat kita. Mereka masih mau curhat ke kita, mereka masih senang kita cium dan peluk, mereka masih menjadikan kita sebagai tempat bertanya itu hal luar biasa, lho. Jangan bikin mereka benci sama temannya hanya karena nilai akademik :) 


Salam hangat,