Thursday, December 31, 2020

Tahun yang Penuh Kejutan

Kejutan



Kita sudah ada di akhir tahun 2020. Rasanya baru kemarin kita menghirup awal Januari. Kemudian pandemi tiba di Indonesia dan mengubah segalanya. Jadi, nggak salah kalau saya sebut tahun ini sebagai tahun penuh kejutan. Penuh rasa kaget atas perubahan yang serba tiba-tiba, kekhawatiran yang begitu berlebih, hingga kehilangan yang tak bisa dihindari.

Qadarallah, kita merasakannya. Masa pandemi yang entah akan berakhir kapan. Nggak ada yang tahu, bahkan hingga detik ini, kasus positif semakin tinggi di mana-mana. Bukan hanya di Indonesia.

Memikirkan hal mengerikan begini benar-benar bikin parno. Akhirnya, nggak habis-habis menangis setiap hari. Belum lagi buat yang kehilangan keluarga, nggak bisa pulang, dan bertemu orang yang disayang, hingga kehilangan pekerjaan. Benar-benar tahun penuh dengan kejutan, kan?

Namun, saya ingat bahwa Allah tidak akan membebani seorang hamba dengan masalah dan ujian yang melebihi kemampuannya. Jadi, ujian ini mungkin terasa berat, tapi Allah sudah menakar dan mengetahui bahwa kita mampu melewatinya. So, please, jangan nyerah *berbisik pada diri sendiri.

Baca Juga:

Tiba-tiba Jadi Ibu Guru


Pandemi ini menakutkan, tapi sungguh penuh dengan hikmah. Anak-anak jadi sekolah di rumah dan bertemu orang tuanya sepanjang hari, selama 24 jam dalam sehari, hingga hampir setahun lamanya.

Tugas mendidik tidak lagi dipegang ibu guru, tapi juga orang tua. Kalau kita nggak ikut membantu di rumah, akan jadi lebih sulit buat anak-anak. Andai anaknya sudah punya rasa tanggung jawab, bisa menyelesaikan tugas tanpa diminta apalagi dipaksa, insyaallah nggak ada masalah. Namun, bagaimana dengan anak yang mesti didorong terus? Tugas menumpuk hingga berbulan-bulan?

Saya benar-benar bisa melihat perbedaan itu sejak pandemi. Setiap anak itu unik. Kemampuan mereka pun nggak bisa disamakan. Bersyukurnya, si sulung nggak harus drama kalau ngerjain tugas. Itu benar-benar memudahkan saya sebagai orang tua. Selama bisa dilakukan sendiri, dia nggak akan minta tolong. Sangat bersyukur dengan kamu, Mas. Masyaallah tabarakallah.

Berbeda dengan Masnya, si bungsu yang mestinya masuk TK A, akhirnya batal sekolah tahun ini. Karena nggak memungkinkan buat masuk sekolah dan sekolah online sepertinya kurang efektif buat dia, jadi kami memutuskan di rumah dulu belajarnya.

Kenyataannya, apakah dia belajar di rumah? Nggak dong…kwkwk. Dia nggak suka belajar menulis dan sebagainya. Sehari-hari dia menggambar dan belajar mengaji bersama saya, seperti kebiasaan sebelumnya, anak-anak belajar membaca Alquran selalu dengan saya. Itu juga yang saya ingat saat kecil dulu.

Meskipun di depan rumah ada musholla dan anak-anak tetangga ngaji di sana, Ibu tetap mengajari anak-anaknya sendiri di rumah. Dan itu yang ingin saya lakukan juga ketika punya anak. Alhamdulillah, saya bisa melakukannya :)

Tetap Produktif di Rumah


Pandemi ataupun nggak, sebenarnya nggak terlalu banyak mengubah aktivitas sehari-hari saya. Karena selama ini memang kerjaannya di rumah aja. Jarang banget pergi atau jalan-jalan kecuali sesekali.

Ketika pandemi, saya sempat bingung mau ngapain, nih? Karena menulis pun bakalan susah nerbitin di mana-mana. Sedangkan beberapa bulan terakhir, fokus saya menulis buku. Awal pandemi rasanya masih nggak pasti mau ngapain, apalagi anak dan suami di rumah semua…kwkwk.

Qadarallah, saya berani memulai hal baru. Ya, menggambar. Kayak anak kecil menemukan mainan baru. Senang dan bersemangat. Ketika orang lain berlatih seminggu 3x, saya lakukan hampir setiap hari. Sampai akhirnya, saya bisa mendapatkan pekerjaan dari hobi baru ini. Allah baik banget.

Dan yang nggak saya sangka, akhir tahun ini justru banyak jalan Allah buka. Bersyukur banget. Awalnya, yang saya rasa mustahil, tiba-tiba Allah datangkan dengan begitu mudahnya.
Udah, deh. Kalau hitung-hitungan pakai logika manusia, nggak akan pernah sampai.

Satu hal yang saya yakin, apa pun yang kita inginkan, asalkan baik, dilakukan dengan sungguh-sungguh serta cara yang benar, insyaallah akan dimudahkan. Baik-baikin diri sendiri dengan  berbuat baik sama orang lain. Banyak-banyakin berbagi (nggak harus materi). Bikin bahagia orang, nanti Allah yang bahagiain kita. Matematikanya Allah itu beda pokoknya. Kamu harus yakin itu.

Belajar Berprasangka Baik


Orang dengan kategori highly sensitive person atau HSP itu memang peka, tapi ya buruknya jadi suka mikir berlebihan. Saya baru tahu bahwa HSP itu memang ada dan bukan hanya saya. Ketika orang lain sebut kita ini lebay banget dan baperan, ternyata ada sebutan yang lebih tepat dari itu, kok :D

Saya tahu rasanya dimaki-maki orang karena saya HSP sehingga mudah sekali berpikir berlebihan sampai berburuk sangka. Namun, semakin saya belajar, saya semakin paham bagaimana mengendalikan perasaan dan pikiran sendiri. Saya begitu sensitif, pengalaman yang kurang menyenangkan pun ikut memperburuk keadaan saya.

Apa saya nggak bisa berubah? Drama terjadi berulang-ulang, bukan hanya karena saya yang HSP, tapi juga dari lingkungan yang membuat saya akhirnya menarik diri. Selama saya masih ada di situ, ceritanya bakalan sama dan berulang. Itulah yang dikatakan oleh mentor saya.

Gimana sekarang? Semua jauh lebih baik, insyaallah. Saya belajar menerima yang sudah terjadi, saya belajar memaafkan diri sendiri dan juga orang lain. Saya belajar mengikhlaskan yang sudah-sudah. Meskipun memaafkan nggak bisa disebut melupakan juga, ya :D

Saya sangat percaya, pikiran positif akan membawa hal baik dalam hidup kita. Jangan gampang berburuk sangka atas setiap keadaan. Apalagi sama Allah. Ketika kita mendapatkan musibah, akan lebih baik kalau kita fokus dengan hal baik yang mungkin terjadi setelahnya. Atau, daripada sibuk membenci keadaan, mending lihat lagi ke bawah, ada orang yang jauh lebih susah.

Sambil sujud sambil bilang, ‘Allah, saya sangat bersyukur atas semua kehendak-Mu. Nggak habis-habis nikmat yang sudah Engkau beri.’

Karena memang sebanyak itu nikmat Allah dalam hidup kita. Semakin disyukuri, semakin ringan beban yang kemarin terasa berat banget. Semakin disyukuri, semakin bahagia hidup meskipun sederhana sekali.

Bukan saya nggak terdampak karena pandemi, saya pun merasakannya. Namun, rasanya yang Allah kasih jauh lebih banyak daripada yang telah hilang. Dan saya percaya, rencana Allah itu nggak pernah salah. Kalau kita sebagai manusia bisa aja salah ketika merencanakan sesuatu, tapi, Allah bukan manusia. Jadi, percaya sama Allah, ya :)

Selamat Tinggal 2020 yang Penuh Pelajaran


Jangan terlalu membenci diri sendiri karena banyak hal nggak tercapai atau karena pernah melakukan kesalahan. Saya pun sama. Namun, hidup ini terus berjalan. Yang kemarin adalah pelajaran, asal jangan kita masuk ke dalam lubang yang sama untuk ke sekian kalinya.

Kalau kita dianjurkan bisa memaafkan kesalahan orang lain, maka jangan enggan memaafkan diri sendiri. Kalau kita bisa mencintai diri sendiri, insyaallah kita pun mampu membahagiakan orang lain.

Tahun ini penuh pelajaran berharga, ya? Belajar ikhlas, belajar berbaik sangka, belajar sabar, belajar tetap berusaha di tengah keterbatasan, dan banyak hal lainnya. Satu hal yang nggak pernah berubah, selama kita dekat dengan Allah, berharap hanya pada-Nya, nggak akan kecewa kita. Beda ketika kita berharap sama makhluk.

So, mari kita tutup tahun 2020 dengan penuh rasa syukur, berharap tahun 2021 akan jauh lebih baik. Tetap semangat ya jadi versi diri kita yang paling baik. Nggak masalah belajarnya pelan-pelan asalkan tetap melangkah dan nggak diam di tempat.

Salam hangat,

Featured image: Photo by Soyoung Han on Unsplash

 

Friday, December 18, 2020

Review Jujur Bikin Roti Antigagal Pakai Re-Bread

Review Re-Bread



Harusnya, sih, bikin review seminggu atau sebulan setelah pemakaian. Karena nggak cepat-cepat ditulis, akhirnya baru kesampaian sekarang setelah berbulan-bulan memakai Re-Bread. Lupa tepatnya kapan beli mesin roti ini. Kalau nggak salah awal pandemi.

Kenapa tertarik beli Re-Bread? sejak lama memang pengin beli mesin roti atau mixer roti. Tapi, setelah cek, mixer roti harganya juga lumayan kalau mau yang bagus dengan kapasitas adonan yang lumayan juga. Mikir dua kali untuk membelinya.

Pernah direkomendasikan sama teman, katanya Re-Bread ini sangat membantu. Kita bisa menyiapkan bahan sebelum tidur, besoknya kita dapat menyantap hangat-hangat roti yang baru matang sesuai waktu yang diinginkan. Wah, sangat menggoda, ya? :D

Setelah pandemi, saya jadi lebih rajin di dapur. Iya, semua masakan hampir selalu dibuat sendiri. Pernahlah jajan, tapi ya nggak sering. Anak-anak termasuk yang doyan banget makan roti. Biasanya saya memang membuatnya sendiri. Namun, sejak pandemi, mulai parno kalau sering-sering beli. Kalau nggak salah ingat, baru bulan-bulan kemarin berani beli lagi di depan rumah.

Kalau sering bikin roti, jujur waktu saya habis untuk memegang mixer. Selama ini saya hanya pakai hand mixer. Untuk membuat adonan roti yang kalis, saya butuh waktu sekitar 2 jam. Itu baru ngulen adonannya saja. Belum menunggu proofing dan memanggang. Bisa habis waktu setengah hari hanya demi membuat roti yang habisnya hanya dalam sekejap.

Akhirnya, kepikiran lagi buat beli mixer roti atau bread maker. Setelah menimbang berkali-kali, akhirnya saya memutuskan membeli Re-Bread via online. Bagi yang pengin membeli, harga Re-Bread ini sekitar 2 jutaan. Dibandingkan mixer roti dengan kapasitas jumlah yang sama, apalagi Re-Bread punya banyak pilihan menu selain ngulen adonan dan memanggang, jelas Re-Bread masih juara.

Baca juga:


Benarkah Bikin Roti Pakai Re-Bread Antigagal?


Re-bread


Beberapa kali saya membuat roti dengan resep dari buku resep Re-Bread. Saya pilih menu ngulen hingga memanggang, tapi, saya masih kurang puas dengan hasilnya. Sampai dengan resep roti lembut sekalipun, saya masih merasa kalau itu nggak maksimal.

Foto di atas adalah contoh roti yang saya buat dengan Re-Bread. Hasilnya bagus, hanya saja roti yang dihasilkan cenderung berat dan bikin cepat kenyang saking beratnya. Dan setelah dingin, rotinya jadi kurang enak. Nggak lembut maksimal pokoknya.

Saya sudah bertahun-tahun membuat roti sendiri. Dengan berbagai macam resep, hasilnya selalu bagus. Setelah dingin masih sangat enak disantap. Kenapa pakai Re-Bread nggak bisa sebaik itu hasilnya?

Saya pikir, karena proses mengulennya terlalu sebentar. Untuk membuat roti dengan resep dari Re-Bread, diproses mulai dari adonan hingga memanggang, proses mengulennya hanya satu kali. Saya lihat, adonan belum kalis maksimal.

Selain itu, proses memanggang dengan panas yang kurang cenderung membutuhkan waktu yang cukup lama. Ketika memanggang roti pakai oven listrik, saya butuh waktu maksimal 15 menit saja dengan suhu hampir 200’C. Saya pikir, ini sangat berpengaruh terhadap tekstur roti.

Setelah berkali-kali mencoba resep dari Re-Bread dan hasilnya masih sama, saya pun menyerah dan beralih menggunakan resep sendiri. Iya, Re-Bread hanya saya pakai untuk mengulen saja. Itu pun saya butuh 3x ngulen. Nggak bisa sekali ngulen langsung kalis, lho :D

Minimal saya nggak harus capek-capek pegang mixer lagi. Dengan Re-Bread, pekerjaan saya jadi lebih mudah. Sambil mengulen, saya bisa mengerjakan pekerjaan lain semisal menghitung uang *lha…kwkwk.

Jadi, beneran antigagal? Jelas ini benar dong. Bikin roti pakai Re-Bread memang antigagal. Namun, soal hasilnya, saya belum puas.

Re-Bread Bisa Apa Saja?


Re-bread


Re-Bread ini nggak hanya pinter ngulen adonan, tapi juga punya banyak menu yang bisa kita coba. Misalnya, bisa bikin yogurt, brownies, selai, bubur kacang hijau, dll. Saya lupa Re-Bread ini bisa bikin apa saja…kwkwk. Sejauh ini, saya belum pernah pakai menu lain, hanya menggunakan tombol ngulen hingga memanggang.

Penasaran pengin juga nyoba bikin yogurt atau selai buah untuk olesan roti. Dengan buku resep yang sangat tebal, kita bisa nyobain berbagai macam resep dengan panduan yang sangat lengkap. Nggak bisa review hasil resep lainnya karena saya juga belum nyoba…kwkwk.

Apalagi yang bisa dilakukan oleh Re-Bread? Berhemat. Iya, walaupun dipakai hingga memanggang, listrik di rumah masih aman, lho. Benar-benar hemat listrik, sih.

Dengan membuat roti sendiri, kita juga bisa menyajikan roti yang lebih sehat kepada keluarga *padahal ya kayaknya sama aja…kwkwk. Saya selalu memakai resep sendiri, tapi bukan berarti roti saya nggak sesehat yang dibuat dengan resep dari Re-Bread. Bahan dasar membuat roti itu standar saja, kok. Misalnya tepung, telur, susu, gula, margarin, air, dan ragi instan. Nggak perlu menambahkan pelembut apalagi pengawet, karena dalam satu atau dua hari juga sudah habis….kwkwk.

Maksimal Jumlah Adonan 


Di dalam buku resep dari Re-Bread, jumlah adonan kering maksimal nggak boleh sampai 500 gram. Jadi, beberapa kali saya hanya membuat adonan maksimal sekitar 400an gram saja. Untuk diproses hingga dipanggang, rasanya memang wajar. Karena roti akan mengembang ke atas, kan?

Tapi, khusus buat ngulen adonannya saja seperti yang saya lakukan, kita bisa membuat hingga 500 gram adonan kering. Insyaallah masih aman, kok. Dan hasilnya tetap kalis elastis dengan 3x ngulen (tiga kali klik menu ngulen).

500 gram adonan kering ini bisa menghasilkan banyak roti. Bisa 3-4 loyang, lho. Sangat cukup untuk dimakan sekeluarga sampai besoknya :D

Worth It Nggak Punya Re-Bread?


Re-bread



Buat saya sangat worth it. Kenapa? Meskipun hanya saya pakai untuk mengulen adonan, tapi ini jelas sangat membantu. Dengan banyak pilihan menu, hemat listrik, dan harga yang lumayan terjangkau dibandingkan mixer roti, jelas ini lebih oke buat saya. Kebutuhan saya hanya sebatas untuk konsumsi sendiri, bukan dijual. Jadi, ya, oke banget daripada harus beli mixer roti yang ukuran kecil dan nggak tahu sekokoh apa juga barangnya.

Sebelum membeli, saya juga membaca beberapa review yang sama. Ada yang bilang, bikin roti dengan buku resep dari Re-Bread hasilnya memang nggak selembut kalau pakai resep sendiri. Jadi, dia pun memakai resep sendiri untuk menghasilkan roti selembut yang diinginkan. Nggak berbeda dengan saya, kan?

Sejauh ini, setelah berbulan-bulan pakai re-Bread nggak ada masalah. Kecuali satu. Mangkuk untuk mengulen yang dilapisi keramik tergores gara-gara suami saya sembarangan ngaduk adonan pakai sendok...huhu. Auto nyari baru lagi saking kagetnya :D

Kalau baru mencampur adonan, otomatis masih lembek dan menempel ke mana-mana. Biasanya saya bersihkan bagian sisi-sisinya dengan spatula karet. Namun, suami salah paham, pakai sendok dong bersihinnya saat mesin roti nyala dan berputar. Sendok tersentak dan masuk dalam putaran. Klotak klotak. Langsung tergores :D


Roti Re-bread



Teman-teman bisa lihat hasilnya. Mulai dari adonan yang sudah proofing hingga selesai dipanggang dengan oven listrik. Sejauh ini saya suka pakai Re-Bread untuk ngulen dan hasilnya nggak bohong memang kalis banget.


Gimana, kamu jadi beli atau nggak, nih?

Salam hangat,

 

Thursday, December 3, 2020

Edukasi Keluarga Tentang Pentingnya Bijak Konsumsi Obat

RUM



Sebagai orang tua, siapa, sih, yang tega melihat anaknya sakit? Ketika pertama kali bayi kita demam, buru-buru kita bawa ke dokter saking paniknya. Apalagi jika itu anak pertama. Jangan sampai terlambat ditangani. Kekhawatiran semacam itu memang pasti terjadi, tapi, benarkah kita sebagai orang tua boleh terburu-buru membawa anak ke dokter ketika sakit?

Saat menjadi orang tua, saya percaya, tanggung jawab lebih besar menanti bukan hanya soal bagaimana cara kita mendidik mereka dan mendampingi tumbuh kembangnya dengan tepat, tapi juga soal menjaga kesehatan mereka terutama di usia balita.

Ketika anak-anak masih balita, ada saja kepanikan yang saya alami terutama ketika mereka sakit. Misalnya saat si sulung berusia dua tahun, dia mulai alami demam tinggi dan kejang demam pertama kali. Panik? Tentu saja. Bahkan hampir pingsan saking paniknya. Tapi, saya bersyukur bisa mengontrol kepanikan itu dan tahu harus apa ketika kejang demam itu muncul.

Begitu juga ketika si bungsu lahir. Drama bolak balik sakit itu masih terjadi, bahkan mungkin lebih heboh. Hampir sebulan dia alami demam dengan diagnosa tidak jelas di usianya yang masih enam bulan. Bolak balik ambil darah untuk diperiksa sampai hampir putus asa saya memeriksakannya ke dokter. Hasilnya, masih nihil. Nggak tahu penyebab demamnya apa saat itu.

Saya memang panik, tapi kepanikan itu bisa diatasi karena sejak hamil anak pertama, saya memutuskan untuk menjadi calon ibu yang ‘lebih pintar’ daripada saya yang sebelumnya. Iya, keputusan untuk bergabung dalam sebuah milis kesehatan mengubah hidup saya.

Dulu, buat saya, belajar tentang kesehatan harusnya hanya buat dokter dan kalangan medis. Namun, sejak hamil anak pertama, saya memahami bahwa konsumen kesehatan pun mestinya juga mengerti dan turut belajar minimal hal-hal sederhana saja seperti tentang penyakit yang sering terjadi pada balita.

Karena banyak mendengar sharing dan penjelasan dari para dokter baik di milis, website, hingga dari buku, saya pun punya bekal menghadapi hari esok. Saat anak kejang pertama kali, saya panik, tapi saya tahu tidak semestinya meletakkan sendok ke dalam mulutnya karena itu bisa menggangu pernapasannya. Saat dia kejang pertama kali dan berulang hingga usia enam tahun, saya tidak gegabah melakukan banyak tindakan apalagi gampang rawat inap.

Sebab kejang demam sebenarnya tidak memengaruhi otak anak. Kejang demam pun tidak bisa dicegah dengan obat kejang. Obat kejang yang saya sediakan di rumah hanya dipakai saat anak mengalami kejang demam.

Pengetahuan sederhana seperti ini benar-benar sangat membantu ketika saya harus menjaga anak sendirian saat suami sedang dinas ke luar negeri selama beberapa minggu. Saya bersyukur dan sangat beryukur, tinggal jauh dari orang tua membuat saya merasa sendirian. Namun, saya bisa hidup mandiri di usia yang masih sangat muda. Menikah di usia 19 tahun dan memiliki seorang putra di usia 21 tahun. Jika dulunya saya enggan belajar, bisa jadi saya salah mengambil tindakan ketika anak sakit.

Kebanyakan dari kita sering terlalu panik ketika anak sedang sakit. Buru-buru membawanya ke dokter dengan alasan supaya lekas sehat. Padahal, lebih tepat jika dikatakan supaya orang tua lebih tenang meskipun entah apakah tindakannya sudah tepat atau tidak. Sebab, tidak semua penyakit membutuhkan obat. Tidak setiap sakit, kita mesti ke dokter.

Ada saatnya ketika anak demam cukup dirawat di rumah dengan obat penurun panas. Tapi, ada saatnya kita tidak boleh menunda sedetik pun untuk pergi ke dokter ketika terjadi tanda gawat darurat.

Kekompakan dari Orang Tua

Saya bukan orang berpendidikan tinggi. Lahir di sebuah desa kecil dan hanya mengenyam pendidikan pesantren. Ketika saya menikah dan pindah ke Jakarta, kehidupan berubah drastis. Hal paling berat terjadi ketika saya dan suami berbeda pendapat mengenai cara yang tepat menangani anak yang sedang sakit.

Dia bukan orang yang rational use of medicine (RUM). Sedikit-sedikit konsumsi obat. Padahal hanya flu. Sedikit-sedikit minum antibiotik, padahal hanya common cold. Dan itu benar-benar bertolak belakang dengan prinsip yang telah saya pelajari selama masa kehamilan anak pertama.

Saat anak kejang demam pertama kali, saya memutuskan membawanya ke dokter untuk memastikan kondisinya baik-baik saja. Sesampainya di UGD, dokter jaga meminta si sulung dirawat inap dengan alasan mau observasi.

Saat itu, saya tahu anak saya baik-baik saja. Dia bangun dan menangis. Dia mau minum dan tidak sedang hilang kesadaran. Saya menolak rawat inap. Namun, dokter sedikit mengancam dan menakut-nakuti. Gimana kalau penyakitnya berbahaya?

Okay, saya terima. Anak saya boleh rawat inap, tapi tanpa diinfus. Saya tidak mau dia trauma dengan rumah sakit. Dengan membolehkannya rawat inap saja, saya sudah membuka kemungkinan anak tertular sakit lebih parah selama di rumah sakit. Di sana, tempatnya virus dan bakteri, lho. Jika tidak dibutuhkan, saya tidak mau ke rumah sakit.

Dokter menertawakan penolakan saya. Karena merasa dokter kurang jelas memberikan alasannya dan berbekal pengetahuan saya selama belajar di milis kesehatan, sampai-sampai saya membawa sebuah buku yang ditulis langsung oleh seorang dokter spesialis anak, saya memutuskan batal rawat inap. Saya benar-benar mempertimbangkan, tidak asal ambil keputusan.

Saya ingat betul, suami mengatakan bahwa dia tidak bisa membantu ketika terjadi sesuatu karena besoknya harus ke luar kota. Dia melimpahkan semua keputusan besar itu kepada saya seorang diri.

Setelah menimbang dan melihat klinis anak, saya memutuskan menolak saran dari dokter dan mengatakan bertanggung jawab kepada suami saya jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan nantinya.

Saya hanya minta diresepkan obat kejang untuk jaga-jaga. Karena obat ini memang wajib dimiliki jika ada riwayat kejang demam pada anak. Setelahnya, kami pulang. Apa yang terjadi? Anak saya yang selama beberapa hari demam, saat itu juga demamnya mulai reda. Dia hanya kena common cold. Hidungnya meler. Dia mau makan dan minum. Dia mulai aktif dan bermain lagi. Dia baik-baik saja!

Perbedaan pendapat antara saya dan suami terjadi hingga beberapa tahun berikutnya. Buat saya, ini berat sekali. Memang, pasti sulit buat dia menerima pendapat saya, karena saya memang bukan ahlinya. Tapi, bukan berarti semua orang tua nggak bisa mempelajari ini.

Perjalanan kami bertemu banyak dokter, baik yang RUM dan tidak, membuat pikiran suami pelan-pelan terbuka. Saya sangat berterima kasih kepada beberapa dokter spesialis anak yang RUM, menjelaskan dengan baik, sehingga kami sebagai orang tua merasa tercerahkan sekali. Kami pun bisa menangani dengan tepat saat anak sakit.

Salah satu dokter spesialis anak di Jakarta Timur pernah mengatakan kepada saya,

“Dokter kadang hanya mengikuti permintaan orang tua. Ada orang tua yang meminta obat macam-macam hingga antibiotik meskipun itu tidak diperlukan. Apa yang ibu lakukan sudah tepat. Obat demam di rumah sudah cukup.”

So, kita sebenarnya punya peran juga membantu dokter supaya tetap RUM. Saat kita memutuskan membawa anak ke dokter, tidak selalu tujuannya untuk mendapatkan obat. Bisa jadi hanya untuk konsultasi dan memastikan diagnosa.

Saat si bungsu demam hampir sebulan dengan begitu banyak tindakan yang kurang tepat dari beberapa dokter berbeda, saya merasa harus segera bertemu dengan dokter yang RUM. Selama ini, kami hanya mendatangi dokter terdekat. Menerima berbagai tindakan medis yang kurang tepat, karena saya sendiri pun kurang memahami penyebab demam si bungsu saat itu.

Setiap selesai periksa darah dan dokter menerima hasilnya, tidak ada diagnosa yang jelas. Hanya virus katanya, hasil cek darah baik. Tapi, saya mendapatkan resep antibiotik. Padahal, virus, kan nggak mempan juga sama antibiotik, ya?

Dokter lain malah meminta anak kami segera rawat inap. Celakanya, suami sependapat. Akhirnya, saya memutuskan mengajak suami pergi ke rumah sakit yang jaraknya lumayan lebih jauh dari rumah, hanya demi berkonsultasi dengan dr. Apin. Do you know who dr. Apin? Dr. Arifianto, Sp.A atau akrab disapa dr. Apin ini merupakan salah satu dokter yang ada di milis kesehatan yang saya ikuti. Saya sering berkonsultasi juga via grup waktu itu. Dan saya tahu, beliau pasti RUM.

Saat sampai di sana, beliau membaca semua hasil dari tes darah hingga urin yang dilakukan sebelumnya. Beliau menimang anak saya. Katanya, semua baik-baik aja, kok. Kami pun ngobrol hingga beliau berkata,

“Kayaknya ibu ke sini hanya demi menunjukkan pada Bapak, ya?”

Yess, dokter benar. Saya pengen suami saya sepaham dengan saya. Kalau saya yang bilang, dia pasti menolak. Karena saya memang bukan ahlinya. Tapi, saat dr. Apin yang bicara, setidaknya dia akan sulit menyangkal. Masa iya dokter salah? :D

Dan kami pun pulang dengan perasaan lega. Tanpa obat, tanpa antibiotik.

Panjang sekali perjalanan ini buat saya. Siapa yang mau anak sakit? Mestinya lekas kasih obat dong biar sehat. Logikanya seperti itu, ya? Tapi, kalau nggak tepat dan nggak bijak, itu hanya bisa melegakan kita sebagai orang tua, tapi justru memperburuk kondisi anak.

Karena Tidak Semua Penyakit Butuh Obat


Makanya, tidak setiap sakit kita mesti ke dokter dan menelan antibiotik. Orang bilang saya penganut herbal dan antidokter, padahal, saya hanya berusaha bijak menggunakan obat. Karena, meskipun namanya ‘obat’, pasti ada efek sampingnya ketika diminum. Apalagi kalau dipakai tidak sesuai kebutuhan. Benar, kan?

Saat anak sedang demam misalnya, jangan panik dan buru-buru menurunkan demamnya saja, tapi pikirkan juga penyebabnya. Demam bukan penyakit. Demam adalah alarm tubuh, menandakan sedang terjadi infeksi baik karena virus atau bakteri.

Selama ini, kita sering salah mengartikan demam. Kayaknya, demam ini musuh besar buat kita. Padahal, ia pahlawan, lho. Demam terjadi sebagai bentuk perlawanan tubuh terhadap kuman. Dalam kondisi suhu tubuh tinggi, kuman akan mudah mati.

Kesalahan lainnya, kita sering nggak RUM menangani anak demam. Karena demam terjadi selama lebih dari tiga hari, kita memberikannya antibiotik. Padahal, demam disebabkan virus bisa terjadi lebih dari 3 hari juga, tergantung imunitas anak.

Belum lagi kita hanya mengukur suhu dengan perasaan, memakaikan baju tebal, lupa memerhatikan kebutuhan cairan, hingga salah memberikan kompres dingin saat anak sedang sakit. Hmm, coba koreksi kesalahan kita dengan membaca 5 Pertolongan Pertama Saat Anak Demam.

Ada saatnya anak memang tidak membutuhkan obat sama sekali ketika sakit. Misalnya saat sedang common cold. Apalagi jika tidak disertai demam, masih aktif, mau makan dan minum seperti biasa.

Saya pikir, hal-hal mendasar seputar kesehatan anak sangat perlu dipelajari untuk kita sebagai orang tua. Dan pengetahuan ini benar-benar bisa meredam kepanikan kita saat anak sedang sakit. Panik itu boleh, tapi setidaknya kita tahu harus apa dan kapan mesti membawa anak ke dokter.

Beruntung, kita bisa belajar banyak tentang kesehatan anak, mulai dari hal sederhana seperti penanganan yang tepat saat anak demam hingga penyakit lainnya di theAsianparent Indonesia. Artikel kesehatan anak hingga pengetahuan seputar parenting bisa kita dapatkan di sini. Artikelnya persis pula dengan apa yang telah saya pelajari dan jalankan selama ini. Bahagia ada situs sebaik ini. Menjadikan kita sebagai orang tua lebih 'pintar' menghadapi kondisi-kondisi sulit dan tak terduga.

Di zaman secanggih sekarang, rasanya tidak ada alasan lagi untuk malas belajar, minimal dengan membaca artikel kesehatan yang tepat sebelum memutuskan berkunjung ke dokter. Karena menjadi orang tua belajarnya bukan hanya tentang pola asuh saja, pengetahuan dasar tentang kesehatan anak pun menjadi hal yang tidak bisa dinomorduakan.

Anak Belajar dari Orang Tua

Teladan orang tua


Saat kita berusaha bijak menggunakan obat, saat itu anak-anak juga belajar hal yang sama dari kita. Ketika sedang demam, mereka tidak buru-buru minta minum obat. Lebih baik banyak minum air hangat. Konsumsi banyak cairan saat sedang demam tidak perlu dipaksa. Mereka tahu apa yang harus dilakukan saat sedang sakit.

Saya pun merasa bersyukur, karena mereka lebih banyak mengerti. Mereka juga membantu saya supaya lebih bijak menggunakan obat. Kalau anak-anak rewel dan tidak bisa ditenangkan, otomatis orang tua pun akan lebih mudah panik.

Anak-anak melihat bagaimana kita bertindak dan bersikap. Sakit memang tidak nyaman, tapi di sisi lain bisa meningkatkan imunitas mereka. Anak-anak terutama yang sudah masuk sekolah akan lebih sering mengalami episode mudah sakit. Sebab, sekolah memiliki risiko lumayan tinggi menularkan penyakit terutama common cold.

Bolak balik batuk pilek itu biasa. Apalagi, hanya sedikit dari mereka yang memedulikan kebersihan. Ketika anak-anak lain cuek bersin sembarangan saat sedang common cold, saya mengedukasi si kecil supaya selalu pakai masker saat sedang tidak enak badan. Bukan hanya di sekolah, tapi juga di rumah.

Ia harus lebih rajin cuci tangan supaya tidak menularkan sakitnya kepada orang lain. Dan ajaibnya, anak-anak menurut tanpa perlu dipaksa. Dia tahu, sakitnya bisa berpindah jika tidak menjaga kebersihan. Pakai masker bukan hal sulit buat mereka. Teman-temannya pun harus sehat supaya ia tidak tertular sakit kembali.

Edukasi tentang kesehatan baik tentang menjaga kebersihan dan bijak menggunakan obat perlu dilakukan sejak dini. Seharusnya ini bukan hal aneh dan langka. Seharusnya ini lebih familiar buat mereka. Jangan menunggu pandemi untuk memakai masker, sebab yang menular bukan hanya covid-19 saja. Iya, kan? :)

Sayangnya, tidak banyak orang peduli. Ketika pandemi, kita kelabakan mengedukasi. Butuh waktu untuk membiasakan diri. Bagaimana kalau anak-anak mesti masuk sekolah? Bisakah mereka tetap menjaga jarak dan menjaga kebersihan? Rasa tidak percaya pun muncul.

Betapa kita telah abai tentang ini. Padahal, menjaga kesehatan juga merupakan hal penting. Ini juga menjadi investasi jangka panjang. Anak-anak yang pintar juga butuh fisik yang tangguh. Mereka tidak hanya butuh otak cerdas untuk menyelesaikan soal-soal, tapi juga butuh sehat supaya bisa tumbuh dengan baik. Dan, edukasi mengenai kesehatan serta kebersihan mestinya dimulai dari lingkungan terkecil, yakni keluarga.

Salam hangat,

Featured image: Photo by Kelly Sikkema on Unsplash