Wednesday, July 26, 2023

Kok, Bisa Anak Kecil Suka Membaca?

Kok, Bisa Anak Kecil Suka Membaca?
Photo by Josh Applegate on Unsplash


Pertanyaan itulah yang kerap dilemparkan pada saya sebagai orang tua. Kok, bisa anaknya suka baca begitu? Bacanya sudah lancar, ya?


Bisa jadi karena sebagian besar menganggap si bungsu masih TK kali, ya disebabkan tubuhnya yang mungil? Ketika melihat dia membaca buku, orang-orang pada heran, masih segitu kok, bisa senang sekali membaca buku? Memang bacanya sudah lancar? hehe.


BTW, si adek ini sudah bisa membaca sejak mau masuk SD. Bukan termasuk anak yang diburu-buru supaya bisa lekas baca karena mau SD, tapi memang telah diedukasi sejak dini supaya bisa menyukai dan mencintai buku bahkan sejak dia belum pandai membaca. Proses dia belajar membaca tidak terlalu sulit. Berjalan saja mengikuti kemauannya. Saya mengalami hal yang sama juga pada si Kakak ketika masih kecil. Jika dilihat lagi ke belakang, semua itu bisa jadi disebabkan karena seringnya saya membacakan buku untuk mereka.


Mereka sama-sama suka banget membaca buku. Buku apa saja yang mereka baca di rumah? Saya pribadi selalu berhati-hati ketika memilihkan buku untuk mereka. Ada buku yang kelihatannya cocok buat anak-anak karena bergambar, tapi terkadang bahasanya terlalu kasar dan tidak sesuai dengan usia mereka.


Si Kakak yang sekarang baru masuk SMP misalnya, dia sudah lebih pandai memilih buku mana yang layak untuk dia baca dan adiknya baca. Dia akan bilang buku X nggak sesuai buat adek karena ceritanya bukan untuk anak kecil, semisal dia pernah baca novel anak yang bercerita sedikit tentang perceraian. Buat dia itu nggak sesuai untuk adiknya. So, sampai sekarang adek masih menunggu waktu untuk membaca buku-buku kakaknya yang lain…kwkwk.


Contoh paling mudah dari buku-buku komik pendidikan yang mungkin kurang cocok untuk anak-anak baca semisal ada olokan ‘bodoh’. Untungnya, anak-anak sudah paham kata-kata seperti itu tidak boleh ditiru, tapi mereka juga tahu ada kata-kata itu di muka bumi yang ditinggalinya.


Sama halnya seperti pemberian gadget, memilih buku juga mesti hati-hati. Sesuaikan buku sesuai jenjang usia, supaya anak-anak tidak mudah bosan karena isinya yang terlalu mudah, jangan sampai anak frustasi karena isinya terlalu sulit. Jadi, penting banget memilihkan buku sesuai usia dan kemampuan baca anak, ya. Ada anak yang masih kecil, tapi bacanya sudah lancar. Begitu juga sebaliknya. Ibaratnya kita nggak akan cocok dengan ukuran sepatu orang lain. Sebab, ukuran kaki kita memang berbeda-beda. Mesti menyusuaikan.


Semua Butuh Berlatih

Kok, Bisa Anak Kecil Suka Membaca?
Photo by Picsea on Unsplash


Anak kecil yang selalu bermain gadget, mustahil tiba-tiba suka membaca ketika disodorin buku. Semua butuh berlatih, termasuk kita sebagai orang tua. Kebanyakan orang tua mengeluhkan anaknya yang terlalu sering main gadget. Solusinya, kurangi dan batasi mereka saat memegang gadget. Buatlah kesepakatan bersama dan belajarlah untuk konsisten dalam memberikan aturan pada anak-anak.


Anak-anak yang sudah disiplin, insya Allah tidak akan kesulitan untuk diarahkan. Jika belum waktunya main gadget, dia tidak akan serta merta mengambil diam-diam juga. Jangan lupa berikan kegiatan pengganti, salah satunya bermain bersama orang tua atau teman-temannya.


Jangan sampai kita mengambil ‘barang kesayangannya’ dengan paksa, tapi nggak mau ngasih solusi juga buat mereka. Mereka bisa kesal dan bosan ketika gadget tiba-tiba diambil.


Orang tua butuh berlatih supaya lebih sabar dalam proses yang satu ini, sedangkan anak-anak juga butuh berlatih supaya disiplin dengan aturan yang telah disepakati bersama. Ujiannya, kita kadang nggak sabar ketika anak-anak mulai merengek dan merusuh…kwkwk. Kesabaran emak-emak yang sudah lelah kadang hanya setebal tisu, itu pun dibagi sepuluh…huhu. 


Itulah kenapa saya nggak mau cari masalah dalam hidup *eaaa. Nggak mau coba-coba kasih anak kebebasan pakai gadget karena takut seperti mereka yang malah kesulitan mengendalikan anaknya sendiri. Meskipun ada beberapa smartphone dan tablet yang bisa mereka ambil sesuka hati, tapi mereka tetap akan izin pada saya sebagai kepala suku...kwkwk. Apakah mau membaca buku di ipusnas? Apakah mau googling dan mencari referensi gambar? Apakah mau membuat video? Meski saya bukan ibu yang sempurna apalagi baik, tapi saya bersyukur mereka izin dulu setiap mau meminjam gadget, tidak sembunyi-sembunyi, pun saya tidak pernah menyembunyikannya.


Satu lagi, tidak ada gadget atas nama anak di rumah. Meski si Kakak sudah besar dan kebanyakan temannya punya gadget sendiri, dia tetap hanya boleh pinjam. Titik tanpa koma! Tidak ada batas jika digunakan untuk menghafal Alquran dan murajaah. Karena kebetulan mereka menghafalnya menggunakan aplikasi, ya.


Gimana, agak sulit, ya? Tapi jika kita mau memulainya, satu pesan saya, jangan mau kalah sama anak…kwkwk.


Buku Adalah Benda Istimewa

Kok, Bisa Anak Kecil Suka Membaca?
Photo by Annie Spratt on Unsplash


Apa yang membuat anak suka banget membaca buku? Ke wisuda Kakaknya mesti bawa buku, ambil rapot bawa buku juga, jalan-jalan pun tetap bawa buku. Setiap pergi ke mall, yang dicari toko buku, yang dibeli juga buku. Buku saya jadikan benda istimewa secara tidak langsung dan sepertinya dulu saya tidak menyadarinya juga, ya.


Setiap mereka berhasil melakukan sesuatu atau setelah berusaha, saya menghadiahkan buku. Setiap punya rezeki lebih, saya menawarkan buku, bukan yang lain. Setiap menjelang tidur, saya membiasakan membacakan mereka buku. Setiap hari selama bertahun-tahun sampai akhirnya mereka merasa lebih nyaman membaca sendiri menjelang tidur.


Capek? Mungkin, kebanyakan dari kita sudah terlalu lelah untuk membacakan buku menjelang tidur pada anak-anak. Apalagi setelah aktivitas seharian, tapi percayalah, manfaatnya besar sekali bagi kebiasaan mereka di masa yang akan datang.


Sebelum ramainya read aload, ternyata saya sudah sering membacakan buku secara nyaring sambil ngelawak…kwkwk. Saya nggak tahu bagaimana saya bisa menjadi seperti ini, tapi saya senang melakukannya setiap malam untuk mereka. Bahkan saya ingat betul, si Kakak yang sebenarnya sudah besar dan lancar membaca masih suka mendengarkannya juga.


Saya juga ingat hari Jumat lalu, ketika saya pergi kajian dan si adek menyusul sepulang sekolah. Biasanya, saya membawakan beberapa buku, tapi kali ini saya benar-benar lupa! Alhasil, saya didiamkan…kwkwk. Sampai kajian selesai, dia masih kesal kenapa emaknya lupa? Huhu.


Malamnya saya ajak ngobrol, dia bilang kesal, bukan marah pada saya. Dia bosan karena nggak ada buku yang bisa dibaca. Saya paham, karena buat anak-anak di rumah, membaca buku itu hiburan banget. Nggak peduli buku itu masih baru atau tidak. Anak saya tipe pembaca yang suka mengulang lagi bacaannya meski sebenarnya sudah hafal jalan ceritanya. 


Makanya, setiap mau pergi lama, saya selalu membawakan beberapa buku sekaligus. Seperti ketika mengantre ke dokter gigi, jangan lupa bawa banyak buku ketimbang bawa banyak makanan…hehe.


Teman-teman akan tahu betapa lucunya anak-anak yang sedang cekikikan hanya karena bukunya lucu, mereka yang serius nggak mau pindah tempat hanya karena buku itu baru dibeli dan pengin dibaca sampai habis. Teman-teman bisa membayangkan kegiatan seperti ini menarik sekali untuk diajarkan pada anak-anak.


Buku bukan sembarang benda. Berbeda dengan gadget. Dengan banyak membaca, pengetahuan serta kosa kata anak-anak menjadi luas, imajinasi serta kreativitas mereka makin bagus. Jangan takut, meski nggak sering main gadget, anak-anak saya termasuk yang pandai-pandai saja menggunakan gadget, bikin games sendiri, membantu saya mengedit video animasi, menggambar digital, dan yang lainnya. Asal tetap dibatasi dan dijelaskan alasan kenapa tidak boleh lama-lama main gadget, insya Allah pegang gadget tetap ada nilai positifnya.


Bagaimana buku bisa menjadi benda yang istimewa buat anak-anak kita? Selalu menarik ketika dilihat dan bikin penasaran? Teman-teman bisa share juga pengalamannya, ya!


Anak-Anak Bisa Membaca Buku Apa Saja?

Kok, Bisa Anak Kecil Suka Membaca?
Photo by Michał Parzuchowski on Unsplash


Di awal usianya, kita bisa membacakan picture book pada mereka. Ada banyak penulis buku anak yang bisa saya rekomendasikan, termasuk Mbak Dian Kristiani, Mbak Watiek Ideo, dan Mbak Lia Herliana.


Setelah anak-anak cukup besar, kami mulai memperkenalkan komik. Eits, ini bukan sembarang komik, ya. Ini komik pendidikan. Hanya saja, kebanyakan komik pendidikan terkesan berat bahasanya, juga agak kasar kata-katanya. Sampai akhirnya kami menemukan komik Plant Vs Zombies.


Sejak saat itu, dunia saya berubah…kwkwk. Setiap mau memberikan reward buat anak-anak, saya selalu ditodong mesti membelikan komik Plant…haha. Sampai saat ini sudah ada lebih dari 25 komik Plant tok. Belum yang lain :D


Kebanyakan orang mengira jika anak-anak saya tertarik dengan komik Plant karena menyukai games-nya, tapi itu keliru. Anak-anak hampir tidak pernah bermain games. Saya pikir, jangankan anak-anak, saya saja sebagai orang dewasa sangat menyukai komik satu ini. Dari gaya bahasanya yang ringan, tapi tetap dapat poinnya. Anak-anak jadi tahu banyak hal berkat komik ini. Mana ceritanya kocak, suka bikin ngikik di pojokan…kwkwk.


Untuk usia si Kakak, dia sudah bisa membaca novel anak-anak, termasuk novel Tere Liye, A Fuadi, dan J. K. Rowling. Hanya saja, saat ini dia mesti bersabar dulu karena aturan di pesantren yang melarang membawa buku bacaan sejenis itu. 


Selain buku fiksi, sesekali mereka membaca buku nonfiksi seperti bukunya Jerome Polin dan buku-buku dari Ustadz Felix. Meski untuk usia remaja ke atas, tapi bukunya aman, kok untuk anak-anak. 


Setelah mereka lebih besar, banyak buku yang bisa dibaca di rumah. Memang mesti investasi lumayan untuk membeli buku. Ketika orang-orang membeli perkakas rumah yang glowing atau perhiasan, saya malah membeli buku melulu…hoho. Apalagi ketika anak-anak baca buku barunya nggak sampai sehari, rasanya cepat sekali ya ngabisin uangnya? Haha. Beruntung mereka nggak mudah bosan, sehingga buku-buku lama masih sering dibaca ulang.


Itulah alasan kenapa saya belum menjual komik Plant bekas, ya. Please, yang mau antre jangan berharap dulu…kwkwk.


Semoga postingan sepanjang ini ada manfaatnya selain curhatan semata. Tetap semangat menjadi orang tua yang baik untuk anak-anak kita.


Salam hangat,


Thursday, July 20, 2023

Mempersiapkan Anak Masuk Pesantren

Mempersiapkan Anak Masuk Pesantren
Photo by Madrosah Sunnah on Unsplash


Postingan kali ini masih berhubungan dengan postingan sebelumnya yang membahas tentang pendidikan di pesantren. Saya yakin, setiap orang tua ingin memberikan yang terbaik untuk buah hatinya. Termasuk juga soal pendidikan. Saya tidak sedang ingin berdebat mengenai mana yang lebih antara sekolah di pesantren atau tidak, ya. Saya hanya mau membahas persiapan, juga sisi positif dari pendidikan di pesantren.


Ditinggal anak ke pesantren itu nggak enak. Kangen sudah pasti, tapi ternyata setelah menghabiskan beberapa hari, melihat kegiatan positif di pesantren yang nggak semua bisa didapat di rumah, ada perasaan lega dan terharu juga.


Waktu masih di rumah, nggak banyak yang disiapkan oleh si Kakak sebelum dia berangkat. Bahasa Arabnya masih standar anak SD, hafalannya nggak dikebut juga, malah cenderung santai karena dia sedang libur sekolah.


Namun, hari-hari sebelumnya saya banyak bercerita tentang kegiatan dan kondisi yang akan dia jalani selama di pesantren. Saya juga membelikan beberapa buku komik tentang kehidupan di pesantren, salah duanya berjudul Pesantren Kereeen! Yang ditulis oleh Mbak Dian K dan Tethy Ezokanzo. Dua penulis favorit saya dan anak-anak, nih.


Dari sini, anak-anak jadi ada bayangan bagaimana kehidupan di pesantren nantinya. Mereka mesti belajar sabar untuk antre kamar mandi, antre ketika mau makan, nggak malas-malasan apalagi buang waktu karena bakal dapat antrean yang lebih banyak dan ujungnya jadi telat ketika mau ke masjid, belajar berbagi dengan banyak teman, mengendalikan diri dan bertanggung jawab dengan dirinya setelah jauh dari orang tua. Kalau dipikir, banyak banget sih pelajaran berharganya dibanding dia ada di rumah terus dan nempel sama emaknya…kwkwk. 


Hanya saja, memang ada banyak hal yang mesti dikorbankan juga, ya. Salah satunya rela nggak baca komik pendidikan dulu, nggak bisa banyak bawa buku bacaan termasuk novel Tere Liye dan Ahmad Fuadi yang jadi favoritnya. Ini paling berasa, sih. Karena selama di rumah, anak-anak sukaa banget baca buku. Ketika bukunya terbatas, otomatis saya harus putar otak dan berusaha mencari gantinya.


Sebelum ke pesantren, si Kakak sempat membawa salah satu buku saya yang berisi kumpulan kisah pilihan dalam Alquran yang super tebal…haha. Karena, dia lebih suka membaca buku-buku yang isinya cerita dibanding nonfiksi.

 

Karena kesulitan mencari buku yang sesuai juga dengan aturan di pesantren dan sesuai dengan usianya, akhirnya beberapa hari lalu saya coba keliling ke toko buku di Senen. Nggak banyak yang didapat, tapi ada beberapa yang bisa dibeli meski lebih cocok buat adeknya…haha.


Mandiri Itu Hal Pasti yang Mesti Dipelajari

Mempersiapkan Anak Masuk Pesantren
Photo by Attareza Naufal on Unsplash


Karena Kakak adalah anak pertama, saya merasa sangat kurang mengajarkan kemandirian untuk dia. Dia juga jarang main dengan anak-anak di luar rumah yang akhirnya membuat dia lebih nyaman jadi anak rumahan…kwkwk. Positifnya, pergaulannya terjaga, tapi jadi kurang mandiri dan lebih nyaman ditemani ketika harus pergi.


Kemandirian ini merupakan hal pasti yang mesti dimiliki oleh anak-anak. Saya berkaca pada diri sendiri yang sampai usia segini masih nggak mau pergi ke mana-mana sendirian…huhu. Dulunya dilarang ke mana-mana tanpa orang tua, gedenya jadi takut mau pergi bahkan meski itu sekadar healing sambil main ke toko buku. Ngga lucu, sih memang, tapi saya tumbuh jadi orang yang lebih nyaman di rumah. Untungnya sekarang bisa belanja online, ya…kwkwk *lega banget :D


Setelah masuk pesantren, ternyata kekhawatiran saya pada si Kakak nggak terbukti juga. Banyak hal yang berubah dengan tiba-tiba. Adaptasinya kayak terlalu kilat. Termasuk urusan makan di mana kalau di rumah, dia senang banget pilih-pilih makan. Ternyata, ketika masuk pesantren, dia bahkan tidak meminta dikirimin kremes ayam atau yang lainnya. Kaget juga dia mau belajar makan menu yang ada di sana. 


Hal lain yang saya lihat, dia bisa lebih santai mengendalikan emosinya, termasuk ketika dia kehilangan barang. Mungkin memang benar, ya. Ketika anak kita lepas, dia jadi bisa hidup serba mandiri, tapi ketika kembali pada kita, dia balik lagi jadi anak-anak yang butuh dibantu semuanya.


Inilah yang memang diinginkan oleh si Kakak ketika masuk pesantren. Supaya bisa jadi anak mandiri. Nggak melulu Buuun, Buuun aja…kwkwk. Kayaknya nangkep kecoa juga jadi jago di sana…haha.


Mempersiapkan Anak Masuk Pesantren

Mempersiapkan Anak Masuk Pesantren
Photo by Madrosah Sunnah on Unsplash


Apa saja yang harus kita siapkan supaya anak-anak siap masuk pesantren?


Hal pertama yang mesti ditanyakan adalah, kenapa anak mau ke pesantren? Apakah karena paksaan orang tua atau kemauan sendiri? Kebanyakan anak yang dipaksa memang nggak akan betah, tapi nggak semua begitu juga. Contohnya saya.


Dulu, saya mau masuk ke MAN, tapi orang tua nggak mengizinkan dan meminta saya masuk pesantren. Agak terpaksa, tapi malah betah. Sesekali bosan ya wajarlah, ya. Nakal sedikit, it’s okay asal jangan banyak-banyak…haha.


Jika anak terpaksa ke pesantren karena kita yang minta, maka cobalah berikan lebih banyak alasan kenapa masuk pesantren itu worth it buat mereka. Saya pun sering berdiskusi soal ini. Si Kakak bukannya sangat suka ke pesantren, tapi dia juga nggak sekeras apa buat nolak. Pelan-pelan, banyak teman sekelasnya yang katanya mau ke pesantren juga. Hal ini yang membuat dia makin mantap dan yakin. Apalagi ada teman sekelas, meski akhirnya nggak bisa satu kelas dan satu asrama, tapi setidaknya dia nggak terlalu asing di sana karena ada orang yang sudah dikenalnya dengan baik.


Bagaimana dengan materi pelajarannya? Sungguh akan sangat berbeda meski si Kakak masuk SDIT sekalipun. Namun, saya percaya mereka bisa beradaptasi pelan-pelan. Sebagai permulaan, wali kelas si Kakak menyampaikan akan mengisi dua bulan pertama full dengan materi Bahasa Arab. Karena bahasa yang aktif dipakai di sana memang Bahasa Arab. Mungkin butuh kesabaran lebih, tapi insya Allah anak-anak bisa mengikuti.


Jauh-jauh hari, jangan ragu untuk berdiskusi tentang pesantren dan apa saja yang akan dijalani oleh mereka di sana nanti. Entah itu rutinitasnya yang akan jauh berbeda dengan di rumah, teman-teman baru, akan tinggal jauh dari orang tua dan bakalan jarang ketemu, dan sebagainya.


Karena pernah mengenyam pendidikan di pesantren, saya jadi sering bercerita tentang banyak hal pada anak-anak. Entah itu kejadian lucu atau yang nggak mau saya ulangi di masa sekarang..kwkwk. Anak-anak juga harus mengerti bahwa kehidupan di sana akan sangat berbeda dengan di rumah, tapi jika mau mengambil sisi positifnya, menyibukkan diri dengan kegiatan yang bermanfaat, insya Allah waktu akan lebih cepat berlalu. Bahkan sejauh pengalaman saya, kalau sudah betah jadi malas mau pulang.


Jangan lupa membiasakan hal-hal baik selama di rumah, termasuk salat yang tidak bolong-bolong, membiasakan murajaah dan hafalan, tidur tidak larut, dan jangan banyak-banyak main gadget. Meski sebenarnya ini juga tetap harus dilakukan walaupun anak nggak akan masuk pesantren, ya.


Selebihnya, banyak-banyaklah berdoa untuk anak-anak kita supaya dimudahkan semua kesulitannya. Karena saya yakin, mereka juga sedang berjuang untuk bertahan di sana, dibetah-betahin supaya tidak banyak mengeluh pada orang tua, dikuat-kuatin supaya bisa bertahan sampai selesai minimal 3 tahun pertama.


Tidak bertemu selama hampir 2 minggu, rasanya masih kangen. Apalagi si Kakak memang sudah sering membantu banyak hal di rumah. Ketika dia masuk pesantren, pasti ada hal yang kurang aja.


Namun, dia sudah berusaha di sana, jangan sampai saya membuat dia jadi ragu. Dia harus tahu semua akan baik-baik saja, insya Allah. Tak ada yang perlu dikhawatirkan berlebihan.


Salam hangat,


Saturday, July 15, 2023

Alasan dan Pertimbangan Orang Tua Menyekolahkan Anak ke Pesantren

Alasan dan Pertimbangan Orang Tua Menyekolahkan Anak ke Pesantren
Photo by sam sul on Unsplash


Nggak ada yang benar-benar mengerti rasanya, kecuali kita yang mengalami semuanya sendiri.


Gimana rasanya ketika anak kita masuk pesantren? Sedikit sharing dari saya sebagai orang tua yang baru ditinggal anak sulung belajar ke pesantren. Sebuah curhatan yang sudah terlalu lelah dipendam sendiri. Sudah capek hari-hari nangis diam-diam di pojokan karena kangen banget sama anak. Apalagi mengingat waktu sebulan sama dengan tiga puluh hari itu nggak sebentar, rasanya pengin dipercepat supaya bisa lekas bertemu.


Dulu, kami sebagai orang tua memang menyarankan si Kakak masuk pesantren setelah lulus SD. Setelah dia masuk kelas 6 dan banyak temannya yang masuk pesantren, pelan-pelan dia juga mau belajar mandiri. Jadi, nggak ada yang memaksa dia mau melanjutkan ke mana. Keputusan diambil bersama dan sesuai dengan keinginannya.


Hampir seminggu dia masuk pesantren, antara masih nggak percaya sama selalu kepikiran gimana dia di sana? Apakah dia makan dengan baik atau malah malas-malasan makan ketika lauknya nggak sesuai selera? Apakah dia tidur dengan cukup? Apakah dia happy di sana bersama teman-teman barunya?


Orang tua selalu serba nggak tegaan, terutama saya sebagai seorang ibu. Padahal di rumah, dia juga tidak dimanja seperti anak sultan. Hanya ketika berpisah, pikiran emaknya jadi serba khawatir. Takut begini dan begitu. Dekat sering rame dan ribut, jauh jadi kangen…Huaaa.


Paling berasa rumah jadi sepi. Si Kakak yang biasa rame sama adeknya, tiba-tiba jadi sunyi. Nggak ada lagi keributan kecil. Lihat tempat tidur dan baju-bajunya jadi bikin kangen. Saya jadi kehilangan asisten yang dengan senang hati selalu bantu nge-print soal-soal adeknya, bantu bikin label nama untuk mapel si adek, bantuin saya ngedit video untuk konten di sosmed, sampai kemarin saya sempat kebingungan karena lupa apa yang diajarkan si Kakak...huhu. Bahkan sambil ngetik cerita ini saja malah jadi mewek sendiri.


Si Kakak, anak sulung yang paling tahu salah dan kurangnya kami sebagai orang tua baru. Dia yang sering mengalah hanya karena sudah jadi Kakak, dia yang tidak banyak minta dan menuntut, tapi diam-diam pengin bahagiain orang tuanya. Dia yang stay cool, kayak orang cuek, tapi sebenarnya baik, hanya saja sedikit kaku. Dia yang nggak punya banyak syarat dan lebih banyak mengiyakan ketika mau masuk pesantren. Tetap kalem sampai detik-detik kepergian kami dari sana.


Kadang, hal kayak gini yang bikin orang tua jadi nelangsa mau meninggalkan anak di pesantren. Malam sebelum keberangkatannya, dia sempat nggak bisa tidur. Terjaga sampai jam 10an malam. Padahal, jam 9 aja biasanya dia sudah tidur selepas membaca buku. 


Malam itu berbeda. Katanya nggak ngantuk, tapi juga nggak kepikiran. Katanya, “Kakak, kan hebat.”


Baiklah, saya percaya dia baik-baik saja, meski ini nggak wajar. Mungkin, dia memikirkan banyak hal, tapi bingung menjelaskan apa yang dia rasakan. Gapapa, semua orang pasti pernah ada dalam kondisi nggak baik-baik saja dalam hidupnya. Bukan hanya dia yang akan belajar beradaptasi, saya juga.


Beberapa hari sebelum dia berangkat, saya sempat nggak tahan dan akhirnya nangis sambil meluk dia. Saya tahu ini nggak baik, tapi saya nggak bisa nahan…huhu. Bahkan meski dia buang muka, pura-pura cuek, saya tetap nggak bisa berhenti nangis…hiks. Cengeng banget emaknya :D


Waktu hari keberangkatan, dia cool amat. Setiap ditanya perasaannya, dia jawab dengan cuek, biasa aja. Harusnya saya happy dong dia begitu. Harusnya, ya. Hanya saja, saya nggak bisa sekuat itu melepas dia secepat ini.


Hampir seharian kami mendampingi Kakak di pesantren, nggak ada yang dia minta. Bahkan ketika ditanya, andai minggu depan boleh jenguk, apa kamu mau Bunda dan Ayah datang? Jawabnya, terserah saja. 


Dan ternyata, dianjurkan sebulan setelah diantar baru boleh dijenguk. Bersyukur anaknya nggak berharap banyak dan minta sering ditengok. Bukan kami nggak sayang dan membiarkan dia sendiri di sana, tapi sejauh pengalaman saya dan ayahnya yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren, memang cara ini bisa membuat anak jadi lebih mudah beradaptasi.


Bayangkan ketika dia sudah belajar beradaptasi dan pelan-pelan melupakan rumahnya, tiba-tiba kita samperin, bikin dia kangen rumah lagi, pengin tidur di kamarnya lagi, dan sebagainya. Apa nggak lebih kasihan?


Sebenarnya kangen, sampai sering nangis malam-malam, tapi saya tahu kami berdua juga sedang belajar beradaptasi, jadi mesti dikuatin. Jangan sampai bikin anak lebih sedih. Asal kondisi dia baik, dia happy, dia aman, nggak ada laporan macam-macam, insya Allah saya bisa tahan sampai sebulan ke depan.


Ada momen paling nyesek, sih waktu antar dia ke pesantren. Yup, ketika saya sudah mau pulang ke rumah. Saya sedih bukan karena dia ikut nangis dan merengek atau apa pun. Dia tenang, benar-benar setenang itu ketika kami berpamitan. Ketika saya sudah masuk mobil dan wajahnya mulai terlihat lebih jauh sambil melambaikan tangan, di situ saya sudah nggak berani noleh lagi. Kemudian suami ingatkan, "Dia santai, kok. Gapapa."


Iya, insya Allah gapapa. Ini hanya sementara waktu.


Alasan Menyekolahkan Anak ke Pesantren

Alasan dan Pertimbangan Orang Tua Menyekolahkan Anak ke Pesantren
Photo by Madrosah Sunnah on Unsplash


Masuk pesantren atau tidak, sebenarnya bukan tentang pendidikan mana yang lebih baik atau tidak. Belajar agama itu kewajiban, tapi nggak melulu bisa ditempuh hanya di pesantren. Saya juga bukan orang tua yang mengharuskan anak ke pesantren hanya karena kami pernah di pesantren. Saya lebih senang keputusan mau belajar di pesantren benar-benar datang dari keinginan dan kesadaran anak sendiri.


Seperti halnya si Kakak, dia sadar betul, tinggal di rumah dan selalu bersama orang tua membuat dia jadi kurang mandiri. Meski setahun terakhir dia belajar banyak hal soal kemandirian dan pekerjaan rumah, tapi dia tahu itu nggak cukup.


Dia tahu, belajar di pesantren berarti berpisah sementara waktu dari orang tua, nggak lagi tidur di kamarnya yang nyaman, harus lebih sabar ketika tinggal bersama banyak santri dengan rutinitas yang sama, nggak bisa banyak me time di rumah sambil baca setumpuk buku-buku komik pendidikannya. Dia tahu itu, tapi dia mau mencoba dan saya bangga, masya Allah.


Alasan ke sekian kenapa kami mau menyekolahkan anak ke pesantren, bukan untuk melepaskan tanggung jawab seperti dikatakan oleh sebagian orang tua, biar nggak ruwet di rumah, biar orang tua nggak repot mendidik anak remajanya. Insya Allah, sampai detik ini kami nggak pernah kepikiran hal itu. Mereka tetap amanah yang Allah berikan kepada kami. Sampai kapan pun, anak-anak adalah tanggung jawab kami.


Sama halnya ketika anak-anak masuk SD, kami nggak melepaskan tanggung jawab mendidik sepenuhnya kepada guru-guru mereka. Saya masih membantu anak-anak belajar mengaji di rumah, mendampingi belajar, membantu murajaah, dll. Saya sadar betul, memang sudah jadi kewajiban kami mendidik mereka, meski saya juga sadar, nggak ada orang tua yang sempurna. Pasti dari sisi kami juga banyak salah dan kurangnya.


Anak-anak butuh belajar ilmu agama lebih dalam. Di mana itu belum mereka dapatkan di rumah. Bukan hanya belajar mengaji, belajar bersosialisasi dengan banyak orang juga perlu. Ketika dia di pesantren, dia akan mendapatkan banyak pengalaman berharga.


Saya sering katakan, jalani saja dulu dan nikmati. Ini mungkin akan jadi pengalaman berharga. Sibukkan diri dengan kegiatan positif. Jangan ragu ikut banyak kegiatan yang kamu suka supaya tidak melulu ingat rumah. Saya yakin, semua itu akan jadi pengalaman berharga yang akan selalu diingat.


Anak Adalah Titipan

Alasan dan Pertimbangan Orang Tua Menyekolahkan Anak ke Pesantren
Photo by Masjid MABA on Unsplash


“Ya, Allah… Anak ini adalah milik-Mu. Dia Hanya diditipkan kepada kami. Dia punya-Mu. Maka tolong, jaga dia ketika kami nggak bisa melihat dan menjaganya secara langsung.”


Ketika mau masuk pesantren, pasti ada rasa khawatir terlebih melihat banyak kisah pilu tentang bullying di beberapa pesantren lainnya. Saya juga nggak bisa pura-pura tidak tahu, sebab saya juga mengikuti beritanya. Apalagi di zaman sekarang, anak SD saja bisa parah banget kalau nge-bully temannya. Naudzubillah.


Saya juga mengkhawatirkan hal yang sama, terutama ketika anak jauh dari pengawasan kami. Hanya saja, mau di mana pun, anak-anak kita nggak akan punya lingkungan yang steril. Teman-temannya dilahirkan dan dibesarkan dari lingkungan berbeda. Hal-hal yang kurang dari pergaulan mereka adalah hal wajar, tapi harapannya, di pesantren bisa lebih aman dan disaring dibandingkan di luar, meski nggak ada jaminan soal itu.


Saya berharap, kebiasaan kami di rumah untuk saling cerita mengenai banyak hal bisa membuat anak lebih terbuka ketika ada sesuatu. Kalaupun nggak betah, dia bisa bilang. Kalaupun ada hal-hal yang begitu berat, semisal tentang pelajaran agama, dia bisa cerita dan kami bisa cari solusinya sama-sama.


Nggak sedikit anak yang kabur dari pesantren karena nggak kuat dengan tekanan dari gurunya yang menuntut terlalu tinggi. Setiap anak ini berbeda kemampuannya. Seperti Kakak, dia nggak terbiasa belajar bahasa Arab yang terlalu sulit. Di sekolah dulu, dia hanya belajar materi sederhana. Waktu dia lihat buku mata pelajarannya di pesantren, dia kaget. Kok gini? Hehe. Gapapa, Bunda sama Ayah juga kaget…kwkwk.


Saya berpesan, kalau nggak mengerti, kamu bisa tanya musrifmu. Kamu bisa belajar dari awal dan saya yakin, nggak semua anak siap juga, kok dengan materi-materi baru seperti itu. Jadi, gapapa :)


Saya merasa, masa di pesantren dulu bukan masa yang melulu indah. Saya sering kebagian piket di tempat sampah *apakah karena saya terlalu rajin? Kwkwk. Ketika musim hujan, pijakan kaki empuk, hangat, dan banyak belatung. Dulu saya happy, lho ngejalaninnya, sedangkan sekarang saya bisa menertawakan semuanya :D


Saya juga punya mimpi jadi penulis ketika ada di pesantren. Qadarallah, banyak kegiatan yang membuat saya makin termotivasi, termasuk ketika bisa berjumpa dengan penulis senior dari Malang, sampai akhirnya saya bisa berjumpa dengan Asma Nadia yang bukunya sering saya baca waktu di pesantren, bisa berkolaborasi dengan Bunda Helvy Tiana Rosa untuk membuat buku anak. Saya tahu, semua ini tidak datang tiba-tiba. Ada doa-doa dari orang tua dan guru-guru saya. Saya tidak berhasil sendirian.


Saya pun berharap, Kakak bisa menikmati waktunya di sana dengan baik dan sebanyak-banyaknya mencari pengalaman berharga untuk bekal hidup, baik di dunia dan akhiratnya. Insya Allah.


Semoga sedikit curhatan ini bisa jadi hiburan juga, ya buat orang tua yang sudah dengan ikhlas melepas anak-anaknya masuk pesantren. Insya Allah, kita bisalah, ya menunggu waktu jenguk sampai bulan depan…kwkwk. *nyari teman :D


Salam hangat,