Monday, February 27, 2023
Review Jujur Mineral Botanica Glo It Up Peptide Serum
![]() |
Photo: Dok pribadi |
Sudah sekitar hampir 5 bulan saya menggunakan produk dari Mineral Botanica. Salah duanya adalah serum serta hydrating toner-nya. Awalnya nggak sengaja dan ketemu review serum yang bagus di Google. Kemudian saya masuk ke femaledaily dan membaca beberapa review menarik dari skincare satu ini.
Awalnya nggak mau berekspektasi terlalu banyak juga, sih. Karena saya memang tipe orang yang wajahnya lumayan sensitif sehingga susah mau cocok sama merek-merek skincare di pasaran. Namun, nggak tahu kenapa, untuk kali ini, sejak pemakaian pertama sampai sekarang mau habis botol kedua, kulit tampaknya baik-baik saja dengan produk dari Mineral Botanica.
Saya nggak bisa menjamin kulit kalian langsung cerah dan sejujurnya saya juga nggak bisa bedain kulit saya yang dulu sebelum pakai serum ini dengan yang sesudahnya. Cuma yang bikin nyaman, kulit wajah saya nggak kusam, nggak timbul jerawat kecil yang biasa ada ketika kulit nggak cocok sama produk tertentu, jadi lembab, adem udah kayak ubin masjid…kwkwk.
Sebelumnya saya sudah beberapa kali mencoba serum dari produk kecantikan yang sudah biasa saya pakai krim dan sabun mukanya, hasilnya wajah kayak gelap, berjerawat, dan jadi berminyak. Sejak saat itu saya memutuskan berhenti pakai serum. Ngerasa nggak jodoh aja karena sampai dua jenis dicoba hasilnya selalu sama.
Saya sempat mikir, memang sudah dasarnya malas make up, tapi masa pakai skincare aja nggak bisa…huhu. Pengin juga kayak ciwi-ciwi lain yang kulitnya sehat dan cocok pakai skincare tertentu. Nggak harus glowing sampai mengilat. Cukup sehat an cerah aja udah seneng, kok.
Manfaat Mineral Botanica Glo It Up Peptide Serum
Mineral Botanica Glo It Up Hydrating Facial Toner
Biar lengkap, saya juga mencoba toner dari Mineral Botanica. Pas baru coba, jatuh cinta banget sama wanginya. Asli ini enak banget aromanya…huhu. Kalian mesti coba. Ini review jujur banget dari hati terdalam…kwkwk.
Untuk toner, sejujurnya saya juga agak susah cocok dengan produk lain. Nggak tahu kenapa, kalau sudah nggak cocok, bawaannya kulit jadi beruntusan gitu. Makanya jadi takut mau sering coba-coba produk kecantikan seperti ciwi-ciwi lain. Nggak bisa sembarang review, bisa-bisa wajah saya rusak.
Untuk toner ini, Mineral Botanica mengklaim bahwa produknya dapat membantu melembapkan, mencerahkan, menjaga PH normal kulit, serta bisa membersihkan sisa-sisa kotoran di hati*eh di wajah maksudnya.
Sejauh ini, seger banget setelah pakai toner ini. Terutama seperti yang saya sebutkan sebelumnya, wanginya itu lho enak banget masya Allah :D
Kemasan dan Harga
Kemasan dari Mineral Botanica Glo It Up ini lucuk sih menurut saya. Kemasannya berwarna cokelat gelap transparan, ditambah label berwarna cokelat muda menambah kesan simpel dan natural. Tutupnya yang berwarna hitam bikin enak aja dilihat.
Harga serumnya Rp. 124.900 untuk kemasan 20 ml, sedangkan tonernya Rp. 30.000 untuk kemasan 100 ml. Untuk tonernya sangat terjangkau, tapi serumnya memang lumayan dibanding serum jenis lainnya yang pernah saya pakai. Karena itu, harus pinter-pinter beli ketika sedang sale, yah…hihi.
Sejauh ini, saya jadikan dua produk dari Mineral Botanica ini sebagai salah satu skincare favorit. Semoga setelah pemakaian setahun, hasilnya makin bagus di kulit. Siapa tahu juga bisa mencerahkan masa depan, kan?
Salam,
Wednesday, January 25, 2023
Cara Menghafalkan Alquran Tanpa Menghafal Untuk Anak
![]() |
Photo by Masjid Maba on Unsplash |
Alhamdulillah, akhirnya tergerak kembali mengisi blog ini setelah sekian lama. Karena lebih banyak menulis naskah dan mendampingi anak-anak yang lumayan repot beberapa bulan terakhir, akhirnya blog jadi terbengkalai. Benar-benar nggak diisi berminggu-minggu :(
Kali ini, saya pengin sharing sedikit tentang metode menghafalkan Alquran tanpa menghafal. Nah, lho, gimana caranya, tuh? Hehe.
Sebenarnya, saya bukan penghafal Alquran, tapi di rumah anak-anak memang diwajibkan setor hafalan sejak masuk SD. Benar-benar rutin setiap hari. Hal inilah yang sebenarnya sangat membantu mereka supaya mau berusaha menghafal. Meski nggak dipaksa, akhirnya jadi terbiasa.
Menghafalkan Alquran memang impian semua muslim. Begitu juga ketika punya anak-anak, penginnya mereka juga menghafal Alquran. Namun, kembali lagi, tidak semua anak mau dan enjoy. Ada yang memang tidak tertarik untuk serius menghafal dan itu nggak apa-apa.
Dulu, pengin banget anak bisa menghafal 30 juz. Di bayangan kita, 30 juz itu kan banyak banget, ya? Terlebih kita sebagai orang tua bukan penghafal Alquran atau guru mengaji. Rasanya makin berat lagi.
Namun, jangan dibayangkan 30 juz sekaligus. Kita mulai saja dari juz 30 saja. Pelan-pelan saja naik ke juz berikutnya. Meskipun ingin anak-anak lekas menghafal sebanyak mungkin, tapi saya sadar kalau mereka juga punya keinginan masing-masing. Nggak semua anak mesti menghafal. Kalau mereka nggak enjoy, masih ada banyak pilihan yang bisa ditekuni. Jangan melihat hanya anak-anak penghafal Alquran saja yang bisa dianggap baik, saleh, dan masya Allah, anak lain dengan pilihannya yang berbeda juga sama meskipun dalam agama kita, menghafal Alquran memang sangat spesial.
Nggak perlu membanding-bandingkan juga dengan yang lain. Anak kita mungkin nggak pernah ngomong kalau mereka nggak suka dibandingin, tapi pasti mereka nggak suka. Soalnya saya sendiri nggak suka dibandingin sama orang tua. Begitu juga anak-anak di rumah. Saya sangat hati-hati untuk menyebut seperti Kaka atau seperti Adek yang begini dan begitu. Mending ditahan daripada anak kesal diam-diam.
Hal terberat dalam menghafal Alquran sebenarnya bukan menghafalkan ayat per ayatnya, melainkan murajaahnya. Mengulang-ulang hafalan itu berat banget. Kadang, anak sudah capek dan jenuh. Mereka juga bosan. Kadang, mereka sudah lelah menambah hafalan, tapi masih harus murajaah juga.
Sadar akan beratnya menghafal Alquran, saya jadi lebih longgar pada diri sendiri dan juga anak-anak. Nggak semua hal mesti dikuasai. Ibaratnya, masuk surga itu nggak harus lewat satu cara. Ada banyak cara lainnya yang tentunya dengan tidak melanggar aturannya Allah.
Dengan begini, kita jadi nggak terbebani juga. Anak-anak asal dibiasakan insya Allah bisa enjoy saat menghafal. Seperti menjadi kebutuhan.
![]() |
Photo by Masjid Maba on Unsplash |
Ada beberapa hal yang mesti dilakukan untuk membantu anak menghafalkan Alquran. Saya sharing tentang metode menghafalkan Alquran tanpa menghafal dan beberapa tip yang saya terapkan di rumah.
1. Buatlah suasana rumah selalu lebih dekat dengan Alquran. Contohnya, nyalakan murattal setiap hari. Tak peduli mereka mau mendengarkan atau tidak. Saat mereka bermain, nyalakan saja dengan suara yang cukup jelas, tak harus nyaring-nyaring. Untuk anak audio, hal semacam ini sangat membantu. Mereka akan lebih mudah mengingatnya ketika belajar menghafal.
2. Jangan menyalakan lagu-lagu di rumah. Tantangannya berat juga kalau ada orang rumah yang suka mendengarkan lagu-lagu. Sudah bisa dipastikan, semakin sering dinyalakan, semakin mudah anak-anak menyanyikan lagu-lagu semacam ini. Hal inilah yang jadi pertimbangan saya waktu itu. Karena anak-anak ini mudah sekali mengingat lagu-lagu yang enak didengar, akhirnya saya merasa ini salah dan keliru. Kenapa tidak menyalakan murattal saja? Akhirnya, setiap ada waktu dan tidak mengganggu belajar mereka, saya menyalakan murattal. Seperti saat di sekolah ketika jam istirahat. Dengan begini, kita sudah berusaha selangkah lagi dibanding sebelumnya.
3. Menggunakan aplikasi untuk mendengarkan ayat suci. Sekarang, kita dimudahkan sekali untuk menghafal dan murajaah. Nggak seperti dulu, saya mesti beli speaker murattal yang selalu rusak setiap beberapa bulan sekali. Harganya juga nggak murah, kan? Sedih banget sampai harus beli beberapa kali. Namun, sekarang kita bisa pakai aplikasi untuk membantu anak-anak menghafal Alquran di rumah. Bisa diulang per ayat sampai berkali-kali sehingga anak-anak lebih mudah menghafal.
4. Pilih hanya satu syekh yang akan didengar dan dipelajari nadanya. Anak-anak akan lebih mudah menghafal jika nadanya sama. Maka, jangan ganti-ganti syekh, ya. Cukup pilih satu saja. Di rumah, biasanya anak-anak memilih syekh Misyari Rasyid. Adem banget suaranya, masya Allah.
5. Buatlah jadwal rutin untuk menghafal per harinya. Misalnya, sepulang sekolah setelah istirahat dan main-main. Jika dibuat rutinitas, anak-anak merasa bahwa menghafal ini sebagai sebuah kebutuhan. Menghafalnya nggak perlu banyak-banyak. Kalau ayatnya pendek, bisa dua atau tiga ayat saja per hari. Jika panjang, cukup satu atau setengah ayat per harinya. Kenapa sedikit sekali? Karena anak-anak kita sekolah juga. Bukan anak yang khusus belajar menghafal seperti anak-anak pesantren yang ijazahnya paket. Jadi, pikirkan juga betapa lelahnya mereka sekolah seharian apalagi full day. Mereka juga jenuh dan butuh istirahat.
6. Metode menghafal Alquran tanpa menghafal ini sebenarnya simpel. Cukup anak diminta membaca satu ayat yang kemudian diulang berkali-kali. Awalnya 10 kali. Boleh sambil melihat ayatnya. Jika belum hafal, diulang lagi sampai 20 kali dan seterusnya. Jika anak malas menghafal, cara ini sangat membantu.
7. Anak-anak sebaiknya tidak diberikan gadget sebelum waktunya. Karena hal ini dapat menghambat semangat mereka untuk menghafal. Dan lagi, sudah banyak penelitian membuktikan dampak negatif yang jauh lebih banyak dibanding positifnya ketika anak diberikan gadget sejak dini. Tenang, anak-anak nggak akan gaptek hanya karena nggak punya gadget sendiri kok. Mereka tetap boleh pinjam milik orang tua dengan batasan tertentu sesuai kesepakatan bersama.
8. Orang tua mesti rutin membantu murajaah. Buatlah list surat-surat yang akan dihafal dan yang sudah dihafalkan. Usahakan setiap hari murajaah. Seminggu 1 juz lebih baik. Jika tidak memungkinkan tidak apa asal tetap dibantu murajaah. Supaya lebih seru, kadang saya bikin kuis tebak surat. Juga memilih surat mana yang mau dimurajaah lebih dulu menggunakan website yang dimainkan. Saya lupa sekali namanya…kwkwk. Nanti kita isi nama-nama suratnya kemudian tinggal diputar menggunakan jari. Otomatis akan terpilih 1 nama surat yang nantinya akan dibacakan kembali oleh anak-anak. Seru juga, kan? hehe.
9. Anak nggak mood? Nggak perlu dipaksa. Biarkan mereka istirahat dan melanjutkannya esok hari. Kalau dipaksa, nanti mereka stres dan akhirnya benci menghafal Alquran. Padahal, hal ini tidak harus mereka lakukan jika memang tidak mau, kan?
10. Jangan lupa berikan reward jika mereka berhasil mencapai target. Nggak perlu mahal-mahal. Beli buku, jajan es krim? Karena jika reward-nya terlalu besar, dikhawatirkan mereka menghafal karena pengin hadiah. Tentu ini bukan hal yang kita harapkan.
11. Tetap beri kesempatan anak untuk bermain dan menikmati waktunya. Ingat, masa kecil tak akan terulang. Biarkan mereka tetap bersenang-senang juga. Jangan sampai mereka menjalani impian orang tuanya. Mereka tentu punya pilihan sendiri.
Itulah beberapa cara yang bisa teman-teman terapkan di rumah jika ingin anak-anak belajar menghafal sejak dini. Jauh sebelum mereka besar, mestinya kita juga rajin menyalakan murattal di rumah sebagaimana pernah disampaikan oleh ustadz Adi Hidayat. Saya pribadi merasa agak telat juga, sih...hiks.
Jika Allah izinkan, meski hanya di rumah dan masih sekolah formal juga, anak-anak tetap bisa menghafal meskipun tak secepat yang lainnya. Semoga hafalan mereka bisa jadi cahaya yang menuntun sampai mereka dewasa nanti. Tidak ada harapan yang lebih indah selain mengharap rida Allah. Pengin menghafal biar mereka disayang Allah dan Allah jadikan anak-anak kita pemberi syafaat untuk orang tuanya di akhirat kelak.
Capek? Benar. Sangat melelahkan mendampingi mereka. Kadang, kita pengin istirahat dan selonjoran setelah aktivitas seharian, tapi anak-anak juga butuh didampingi. Maka, semoga lelahnya kita jadi pahala dan pemberat di akhirat. Tetap semangat, ya membantu anak-anak menghafalkan Alquran. Insya Allah ada kebaikan yang didapat dari usaha kita semua.
Salam hangat,
Tuesday, December 27, 2022
Kenapa Mesti Menyenangkan Semua Orang?
![]() |
Photo by Paul Garaizar on Unsplash |
Sering berusaha membantu dan menyenangkan orang lain, tapi nyatanya ada saja hal-hal yang membuat sebuah hubungan menjadi renggang. Sering berusaha menjadi teman yang baik, saudara yang baik, tapi pada akhirnya ada saja yang mereka anggap kurang. Terkadang, perasaan bersalah muncul karena merasa belum bisa memberikan yang terbaik bagi mereka. Namun, benarkah perasaan bersalah ini perlu, sedangkan selama ini kita sudah berusaha memberikan semua hal yang kita bisa, semampu kita, bahkan sering kali mengorbankan diri sendiri?
Menjadi baik itu memang sebuah keharusan. Kita memang dituntut menjadi baik kepada semua orang, tapi menyenangkan semua orang, benarkah kita mampu melakukannya?
Karena perasaan orang lain merupakan salah satu yang mustahil kita kendalikan, jadi nggak aneh jika mereka sering merasa kecewa dan merasa tidak puas dengan apa yang kita berikan. Padahal, kita mati-matian lho memperjuangkan diri supaya bisa membuat orang lain senang.
Kita harus punya batasan. Sejauh mana kita bisa membantu dan menyenangkan semua orang. Sejauh mana kita bisa memberikan pertolongan dan meringankan beban orang lain. Jangan hanya karena merasa nggak enak, kita jadi mengorbankan diri sendiri apalagi mengambil alih tanggung jawab orang lain.
Nah, batasan ini yang sering kali nggak kita miliki saking pedulinya kita sama orang dan pengin diterima. Akhirnya, setiap disuruh dan diminta, kita selalu mengiyakan meski sebenarnya nggak sanggup mengerjakan semua seorang diri. Hanya karena jadi orang nggak enakan, kita selalu minta maaf, padahal nggak salah juga.
Masalah seperti ini benar-benar menguras pikiran. Jika kita nggak pandai-pandai menempatkan diri dengan baik, memberikan batasan dan merasa cukup dengan apa yang telah kita berikan, sampai kapan pun kita akan selalu merasa bersalah.
Saya pernah membaca sebuah buku yang menjelaskan bahwa, kebahagiaan orang lain bukan tanggung jawab kita. Ini bukan soal hubungan kita dengan orang tua atau melarang diri kita membantu orang lain yang membutuhkan. Ini tentang yang lain. Seperti orang-orang yang telah kita bantu sepenuh hati, semaksimal mungkin, tapi kok masih nggak disapa? Seperti orang-orang yang berusaha kita prioritaskan karena dia saudara atau teman dekat, tapi kok nggak bisa dipercaya?
Ini tentang hal-hal yang berlebihan atau lebih tepatnya bisa dianggap ‘nggak tahu diri’. Pasti kamu pernah punya teman yang sudah sangat akrab, sering kamu bantu, tapi ada satu momen yang membuat kamu merasa bahwa mestinya dia nggak melakukan itu. Jika setelah itu kamu masih belum menarik diri dan menjauh, selamat! Mungkin kamu termasuk salah satu orang yang masih nggak enakan untuk mengambil sikap.
Kemungkinan besar, orang-orang yang memperlakukan kita dengan tidak pantas setelah menerima banyak hal dari kita, entah itu perhatian atau bantuan, merasa bahwa mereka nggak berlebihan, kok. Makanya nggak pernah ada perasaan nggak enak buat minta tolong, padahal itu tugas mereka yang mestinya jadi tanggung jawab mereka.
Mereka juga nggak sungkan minta ini itu, padahal sudah berkali-kali. Itu pun tanpa apresiasi alias sekadar nyuruh!
Dengan alasan menjadi baik itu harus, bukan berarti kita mau dan harus melakukan semua hal demi orang lain. Sepertinya, ada banyak cara untuk menjadi orang baik, tidak melulu mau dimanfaatkan atau menyenangkan semua orang. Karena pada akhirnya, mereka juga harus belajar menghargai orang lain.
Lakukan Sewajarnya
Sering kali kita berusaha bersikap sebaik mungkin, sampai nggak bisa menolak hal-hal yang di luar kemampuan kita. Berusaha memenuhi keinginan semua orang, meski itu sebenarnya nggak masuk akal dan memberatkan, tapi kita tetap melakukannya.
Awalnya, kita merasa begitu lega jika bisa membantu orang lain, tapi kok ujungnya jadi gini? Lho, kok aku diginiin?
Jika masih ada yang membuatmu kecewa, artinya kamu mengharapkan sesuatu dari kebaikanmu. Kalau demikian, cobalah memberikan batasan pada diri sendiri, sejauh mana kita bisa membantu tanpa mengharapkan diperlakukan dengan cara yang sama baiknya.
Contohnya, ketika ada teman atau saudara meminjam uang, kamu pasti mau dengan senang hati membantu. Tetapi, nominal yang diminta besar sekali, kamu nggak mampu atau kamu merasa itu berlebihan, maka bantulah sewajarnya, semampumu, jangan sampai kamu memaksakan diri demi orang lain.
Orang-orang yang mengalami hal seperti ini pasti paham apa yang dimaksud. Ini bukan tentang pemberian kita pada orang tua atau pada orang-orang yang benar-benar membutuhkan.
Ada yang bilang, nggak apa-apa dimanfaatkan, itu akan jadi urusan mereka dengan Tuhan. Namun, beberapa orang mengatakan, ketika dirinya dikecewakan, padahal sudah berusaha sebaik mungkin memperlakukan orang lain, tapi masih dianggap kurang, maka mau nggak mau kita mesti menjauh pelan-pelan. Tandain aja, deh!
Kamu, termasuk yang mana?
Sebab Kita Bukan Malaikat
Penginnya bisa menyenangkan dan menolong semua orang. Terutama orang-orang terdekat, tapi kenapa sering kali kita justru dikecewakan oleh mereka juga, ya?
Orang-orang terdekat merupakan yang paling sering membuat kita kecewa. Masuk akal, karena kita selalu berusaha untuk mereka, tapi pada beberapa kasus, mereka justru sebaliknya. Tidak peduli, egois, seenaknya sendiri, dan nggak mau tahu dengan susahnya kita.
Ketika kita nggak bisa memberikan apa yang mereka inginkan, tiba-tiba nggak disapa, dimusuhin, diomongin di belakang, dianggap nggak peduli. Kebaikan-kebaikan tak terhitung sebelumnya tiba-tiba nggak dianggap. Kayak jahat banget!
Sampai di sini kita harus paham, kita ini bukan malaikat apalagi Tuhan. Sampai kapan pun kita nggak bisa menyenangkan semua orang. Jika ada yang kecewa, maka biarkan dirimu merasa cukup dengan semua yang sudah dikorbankan.
Iyap, merasalah cukup dan buatlah batasan sebab kita nggak sedang mencukupi kebutuhan anak-anak atau orang tua. Terkadang, tanpa disadari kita selalu membuat orang lain bergantung pada kita sampai-sampai membuat mereka nggak mandiri.
Jika demikian, kita juga jadi salah dan keliru bersikap. Jangan sampai kebaikan kita malah membuat orang nggak mau berjuang untuk dirinya sendiri. Membuat mereka selalu bergantung merupakan hal yang keliru. Dan untuk memutus rantainya, kita butuh keberanian yang besar karena sadar pasti akan dianggap nggak peduli lagi.
Kita harus belajar untuk merasa cukup bukan hanya pada apa yang telah kita terima dan dapatkan, tapi juga pada apa yang telah kita berikan kepada orang lain. Karena di luar sana, ada lebih banyak orang yang benar-benar butuh dibantu dibanding mereka yang hanya memanfaatkan kita.
Salam hangat,
Monday, November 14, 2022
Sup Udang Brokoli, Cocok Untuk Anak Batuk Pilek
![]() |
Sup boleh ditambahkan sayuran lain (Photo by Elena Leya on Unsplash) |
Drama batuk pilek belum juga usai. Lebih sering memang dialami oleh si bungsu yang masih 7 tahun. Masih beradaptasi dengan virus setelah sekian lama ada di rumah selama pandemi. Apalagi anak-anak memang jarang main ke luar, jadilah interaksi dengan anak-anak lain memang sebatas hanya di sekolah.
Setelah minggu lalu muntah-muntah hebat seharian dan demam tinggi sampai 39,9 C. Nggak sampai seminggu sudah kena common cold lagi. Alhamdulillah nggak sampai demam dan semoga nggak demam lagi. Rasanya kayak pengin bilang capek banget, tapi takut sama Allah :(
Soal obat-obatan dalam bentuk sirup yang dilarang, nggak terlalu berpengaruh besar bagi saya dan anak-anak. Alhamdulillah, mereka bisa beradaptasi cepat dengan minum tablet paracetamol ketika demam. Tinggal dipotek aja ketika mau diminum disesuaikan dengan berat badan. Untuk anak dengan berat badan 10kg bisa pakai ¼ tablet paracetamol 500 mg. Untuk anak 20kg bisa pakai ½ tablet. Untuk aturan di kemasan obat biasanya disesuaikan dengan usia, tapi setiap anak dengan usia yang sama pasti punya berat badan berbeda. Jadi, memang sudah semestinya takaran obat disesuaikan dengan berat badan.
Informasi dosis paracetamol tablet ini saya dapatkan dari Instagram dr. Piprim Basaroh. Sebelumnya, saya sudah memberikan anak-anak obat penurun panas dalam jumlah yang sama pada si bungsu dan sulung. Alhamdulillah, nggak keliru :D
Soal obat batuk dan pilek, sejujurnya sampai sekarang saya nggak percaya dengan obat-obatan tersebut. Karena yang benar-benar bisa menolong mengencerkan dahak ya cairan. Bukan karena saya anti obat, tapi memang sudah disampaikan juga oleh beberapa dokter yang RUM soal ini. Obat-obatan yang berlebihan meski aman, tetap saja ada efek sampingnya. Kalau diperlukan dan memang jelas bermanfaat, nggak apa-apa, tapi kalau sudah overtreatment demi menenangkan orang tuanya sendiri, gimana dong?
Resep Sup Udang Brokoli
![]() |
Photo by Louis Hansel on Unsplash |
Karena nggak tahu mau masak apa, jadilah kepikiran buat masak sup udang ini. Supnya bening, gurih dari udang tanpa MSG, juga menyehatkan karena ditambahkan brokoli. Jika teman-teman punya udang segar, jangan terlalu lama disebus supaya nggak alot. Namun, jika udang yang dipakai nggak segar, boleh direbus bersamaan dengan brokolinya. Sekalian biar keluar kaldu gurihnya juga.
Bahan-bahannya mudah dan ini asli enak seger gitu, lho :D *jadi ngiler sendiri…kwkwk. Kebetulan si adek memang suka udang, jadi nggak masalah makan sup ini dengan nasi hangat. Lahap!
Bahan:
¼ udang segar, kupas bersih
Secukupnya brokoli
1 siung bawang putih ukuran besar, geprek
1 batang selederi, simpulkan
Secukupnya merica, gula, dan garam
Cara membuat:
1. Bersihkan udang, cuci sampai bersih. Jika udangnya berukuran besar, boleh dipotong-potong.
2. Bersihkan brokoli dan rendam dalam air garam. Kemudian cuci bersih.
3. Panaskan panci, tumis bawang putih geprek sampai harum.
4. Tambahkan air. Tunggu sampai mendidih. Boleh juga dimasukkan udangnya di tahap ini, ya.
5. Masukkan udang dan brokoli. Tambahkan daun seledri.
6. Bumbui dengan merica, gula, dan garam.
7. Rebus sebentar sampai semua matang.
8. Sajikan sup udang brokoli dengan nasi hangat. Yummy!
Kebetulan nggak ambil fotonya langsung karena malas foto-foto…kwkwk. Si bungsu lahap banget makannya. Karena dia memang suka dengan udang dan brokoli. Tapi, kalau kakaknya nggak suka udang, jadilah nggak akan disentuh walau kita sebut enaak. Ada yang begini juga anaknya?
Ketika sedang common cold begini, makannya butuh yang hangat-hangat, berkuah biar enak di tenggorokan, dan minim minyak. Jadi, makan sup udah yang paling tepat menurut saya. Jika tidak suka udang, coba bikin sup ayam. Gunakan ayam kampung atau pejantan supaya kaldunya gurih sedap.
Jika anak tidak mau makan nasi, coba ganti dengan jenis karbohidrat lain seperti kentang, pasta, dan sebagainya. Jangan berharap anak banyak makan ketika sakit, asal masuk cairan yang cukup dan makan cukup, insya Allah aman. Nanti, setelah sehat, dia akan lahap sendiri, kok.
Salam hangat,
Thursday, November 3, 2022
Cara Cerdas Menentukan Uang Saku Anak Sekolah SD
![]() |
Photo by Annie Spratt on Unsplash |
Beberapa waktu lalu, di sekolah si Kakak sempat ada kasus pencurian uang saku. Beberapa hari belum ketemu juga setelah sempat digeledah. Anak ini mengambil uang sejumlah 2 ribuan, 10 ribuan, hingga 20 ribuan.
Hal yang membuat saya agak kaget karena jumlah uang saku anak-anak sekarang gede-gede juga, ya? hihi. Maklum si Kakak hampir nggak pernah jajan di sekolah karena selalu bawa bekal dari rumah. Dia hanya saya bawakan uang sekitar 5 sampai 7 ribuan yang disimpan di tasnya dan bisa dipakai jika butuh sewaktu-waktu.
Uang dengan jumlah tersebut tidak diberikan setiap hari karena sampai berbulan-bulan pun masih utuh. Paling dipakai hanya 3 ribu untuk membeli air putih karena minumnya dia habis. Hemat amat, ya anak saya? :D
Aturan dari sekolah pernah menyebutkan bahwa uang saku anak-anak nggak boleh lebih dari 10 ribu, tapi nyatanya banyak anak membawa uang saku lebih dari itu. Jajanan di kantin sekolah memang agak sultan, ya…kwkwk. Soalnya harganya lumayan gitu. Hal ini juga sempat dikeluhkan oleh wali murid yang lain.
Karena kejadian itu, saya sampai bertanya pada si Kakak, memangnya kamu nggak pengin seperti teman-temanmu yang lain? Bisa jajan indomie seminggu sekali di sekolah atau jajan kebab dan burger? Dia jawab, biasa aja.
Selama ini, saya membawakan dia susu UHT, roti isi selai cokelat kesukaannya, dan biskuit. Kadang, diselang seling dengan kue buatan emaknya seperti kue cubit. Dia dan adiknya nggak pernah bosan dan nggak pernah mengeluh. Ketika tahu teman-temannya punya uang saku dengan nominal yang menurut saya lumayan besar, agak kaget juga kenapa anak saya nggak pernah minta?
Saya bersyukur anak-anak nggak banyak maunya. Pun dengan menu berat untuk makan siang. Kalau dipikir, menu-menu mereka simpel-simpel banget. Nasi goreng, nasi putih dengan brokoli krispi, omelet bayam keju, ayam goreng, perkedel kentang, dan sejenisnya. Menunya akan berputar itu-itu saja, sih…kwkwk. Dan mereka kayak mau bilang, I’ts okay, Bunda. Nggak apa-apa yang penting dibawain makan…kwkwk. Nggak ada ngeluhnya kecuali dia nggak suka menunya seperti si Kakak yang kurang suka dengan ayam goreng, sedangkan adiknya lebih ke pasrah dengan semua menu :D
Semalam saya ngobrol dengan suami dan sempat bilang, Bunda nggak tahu kenapa anak-anak bisa sampai sebegitu manutnya. Kalau ditanya gimana ngajarinnya, saya juga nggak tahu mau jawab apa karena semua terjadi seperti tanpa sengaja. Ya Allah, gini amat, ya? :D
Suami saya bilang, semua bisa dibiasakan. Yes, betul. Tapi, bagi sebagian orang tua nggak mudah juga menerapkan hal semacam ini.
Balik lagi dengan jumlah uang saku, sebenarnya bagaimana sih cara menentukan uang saku anak SD?
![]() |
Photo by Annie Spratt on Unsplash |
Memberi Pemahaman Pada Anak Tentang Konsep Uang
Saya selalu mengajarkan pada anak-anak bahwa memperoleh uang itu nggak bisa dengan berdiam diri. Orang tua mendapatkan uang dari bekerja. Anak-anak melihat saya yang meski di rumah, tapi tetap bekerja dan berpenghasilan. Seperti itulah contohnya.
Karena untuk mendapatkan uang itu butuh usaha, kita nggak bisa seenaknya juga menghabiskan uang. Harus sesuai kebutuhan, tapi sesekali boleh menyenangkan diri sendiri dan orang lain dengan membeli hal-hal yang disenangi.
Jangan lupa, harus menabung dan juga berbagi dengan orang lain. Konsep dasar seperti ini mesti ditanamkan supaya anak-anak tidak berpikir bahwa uang bisa keluar dengan sendirinya dari mesin ATM…hihi.
Memberikan Uang Jajan Sesuai Kebutuhan
Waktu TK, anak-anak tidak diperbolehkan bawa uang saku. Jika ada yang bawa, maka harus dititipkan pada Bu Guru. Kantinnya juga nggak ada, jadi mesti ke kantin SD. Jadi, sepanjang anak-anak TK selaman 2 tahun, saya tidak pernah membawakan mereka uang saku.
Di SD, jam istirahat ada dua kali. Jam 10an pagi jamnya jajan atau makan snack. Sedangkan jam 12 siang jamnya makan siang. Anak-anak sebagian besar akan membawa 2 bekal berupa snack dan makan siang, tapi ada juga yang hanya membawa makan berat saja.
Bagi si Kakak, tentunya dia nggak butuh banyak uang jajan harian karena setiap hari pasti akan saya bawakan bekal dan bagi dia itu sudah lebih dari cukup. Sehingga uang saku 5 sampai 7 ribu itu hampir selalu ada di tasnya sampai sekarang. Seingat saya, baru 2 kali kakak pakai untuk membeli air mineral di kantin dan baru sekali saya tambahkan selama tahun ajaran baru ini.
Saking jarangnya jajan, dulu sampai saya paksa untuk mencoba jajan di kantin. Dia memang kurang suka, karena antre dan sedikit merepotkan. Sedangkan bagi dia jajanannya mungkin nggak terlalu sesuai sama selera. Jadi, nggak worth it banget, gitu…kwkwk.
Sedangkan bagi anak yang mesti jajan di kantin, bisa dicek juga harga jajanan di kantin berapa saja. Misalnya burger 6 ribu, ditambah jajan lain yang lebih murah sudah mengenyangkan apalagi ini bukan jamnya makan berat. Jadi, jajannya sesuai kebutuhan, bukan keinginan. Jumlah 10 ribu rasanya sudah lumayan besar dan sangat cukup bahkan ada teman Kakak yang bisa menabung dari sisa uang saku 10 ribu tersebut.
Perhatikan juga, apakah anak-anak butuh uang lebih untuk naik angkot ketika pulang dan sebagainya. Tentu saja jumlahnya akan berbeda karena setiap anak punya kebutuhan berbeda.
Jika ada yang bawa lebih dari cukup, benar ini memang sesuai kebiasaan saja. Karena ada anak yang seneng banget jajan dan nggak cukup hanya sedikit. Hanya saja ketika ada perbedaan jumlah uang saku cukup mencolok begini, khawatirnya menimbulkan kesenjangan sosial…kwkwk. Seperti uang saku kita sama Sisca Kohl yang bedanya seperti langit dan bumi :D
Kasus pencurian uang di sekolah bisa terjadi juga karena alasan seperti ini. Makanya, sekolah memberikan aturan supaya semua bisa merasa nyaman dan aman.
Bikin Kesepakatan dengan Anak
Saya dan anak-anak selalu berkomunikasi tentang apa pun, termasuk ketika akan memberikan uang saku. Mereka setuju lebih senang bawa bekal dari rumah, juga bawa uang secukupnya yang nantinya bisa dipakai sesuai kebutuhan.
Apa anak-anak nggak menabung? Mereka menabung di celengan dan di bank. Ketika mendapatkan uang dari kami atau dari orang lain, mereka hampir selalu menabungnya di celengan. Ketika sudah penuh, celengan dipecahkan dan uangnya disimpan di bank.
Tahun ini, Kakak pengin bisa kurban dari uang tabungannya sendiri. Waktu denger itu lumayan kaget juga. Dia bisa pakai uang tabungannya karena jumlahnya sudah lumayan besar, tapi keinginan kurban nggak muncul dari semua anak seusia dia.
Karena anak-anak begitu hati-hati saat menggunakan uang, nggak sembarang minta ini itu, saya dan suami juga harus mengapresiasi untuk lebih sering ngasih reward buat mereka. Tapi, Masya Allah, permintaan mereka nggak pernah berlebihan. Hanya pengin komik, beli mainan nggak lebih dari 50 ribu setelah berprestasi, makan es krim, dan itu-itu saja.
Inilah yang saya terapkan di rumah. Mungkin sedikit berbeda dengan teman-teman lainnya. Nggak apa-apa beda, setiap orang tua pasti tahu yang terbaik bagi anaknya.
Jadi, berapa jumlah uang saku yang teman-teman berikan pada anak-anak di rumah?
Salam hangat,
Sunday, October 30, 2022
Usia Berapa Anak Diberikan HP Sendiri?
![]() |
Photo by Zhenzhong Liu on Unsplash |
Akhir-akhir ini, banyak sekali kasus penusukan oleh orang-orang misterius. Salah satu yang cukup banyak menarik perhatian yakni penusukan anak SD usia 12 tahu sepulang dari mengaji bersama teman-temannya. Motifnya hanya karena ingin mengambil HP korban yang menurut beberapa sumber sebenarnya korban nggak bawa apa-apa.
Belum lagi kasus yang terjadi di depan rumah saya. Ada orang tak dikenal yang merebut atau menjambret HP anak usia SD yang saat itu memang sedang dimainkan sambil berjalan.
Ada juga anak usia SD yang kecanduan gadget setelah diberikan HP sendiri oleh ibunya. Setiap disuruh belajar, dia menolak. Jika HP miliknya diambil, dia malah menyembunyikan HP ibunya.
Lagi-lagi, ini soal HP.
Banyak kasus lain yang membuat saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya idealnya anak diberikan HP pada usia berapa, sih?
Kebetulan, saya belum memberikan HP sendiri pada anak-anak meskipun di rumah ada beberapa HP nggak dipakai. Statusnya mereka tetap pinjam sesuai kebutuhan. Misalnya untuk komunikasi ketika saya sedang pergi, dipakai murajaah dan hafalan Alquran karena di beberapa HP dipasang aplikasi baca Alquran yang biasa mereka gunakan, searching di Google sesuai kebutuhan, cek jadwal sekolah, dan nonton film kartun pendek setiap akhir pekan sesuai perjanjian. Selama mereka pakai, selalu izin dulu apalagi kalau nggak sebentar butuhnya.
Kenapa saya belum ngasih HP pada anak-anak terutama untuk si sulung yang sudah lumayan besar? Sedangkan hampir semua temannya sudah punya HP masing-masing.
Tidak Terlalu Butuh
Alasan pertama kenapa saya belum memberikan HP sendiri pada anak-anak yakni karena memang mereka belum terlalu butuh. Anak-anak pun sepakat dengan alasan tersebut. Mereka boleh pinjam ketika butuh, tapi bukan untuk dimiliki. Jadi, statusnya masih milik orang tuanya. Dengan begitu, mereka bisa lebih hati-hati dan kami bisa lebih mudah membatasi penggunaan gadget.
Anak usia SD memangnya butuh buat apa sih? Waktu pandemi kemarin pun mereka nggak punya dan semua berjalan baik meski pembelajaran dilakukan secara daring. Meskipun nggak punya, mereka tetap bisa pinjam dan pakai sesuatu kebutuhan. Ketika sudah saatnya, kami sebagai orang tua juga nggak akan melarang.
Dampak Negatif Penggunaan Gadget yang Berlebihan
Saya pribadi takut jika anak-anak diberikan HP sendiri justru membuat mereka lupa waktu. Bikin mereka kecanduan main gadget.
Kesepakatan yang sekarang berjalan di rumah memang tidak dipaksakan. Meskipun anak-anak punya tabungan sendiri dan sangat bisa membeli HP, tapi mereka merasa nggak butuh juga. Jadi, kami merasa sangat lega karena nggak perlu adu jotos dengan mereka.
Meski teman-teman si sulung banyak yang sudah punya HP sendiri, dia nggak pernah terlihat pengin. Apalagi selama ini ketika ada chat dari temannya yang masuk ke HP saya, justru saya yang lebih sering balas. Lucunya, teman-temannya nggak ada yang sadar kalau itu emaknya…kwkwk. Saya pakai bahasa anak-anak untuk merespon. Sampai ngobrol agak panjang pun pernah. Saya juga sampaikan ke sulung setiap ada temannya kirim pesan. Tetap saja, kadang saya juga yang mesti balas karena dia malas :D
Pemberian gadget terlalu dini pada anak tanpa edukasi sebelumnya lebih sering menimbulkan dampak negatif ketimbang positif. Hal yang paling ditakutkan tentu saja pornografi dan kecanduan game, ya. Edukasi mestinya diberikan sebelum mereka punya gadget. Namun, yang terjadi sekarang, anak-anak masih kecil sudah punya gadget, tapi nggak paham dampak negatif dan positifnya pakai gadget. Rata-rata mereka juga belum paham mana yang baik dan buruk sehingga sangat mungkin asal meniru video-video yang sedang viral.
Padahala, di dunia maya itu serem banget, kan. Nggak aman sama sekali apalagi tanpa pengawasan orang tua.
Biar Fokus dengan Pendidikan
Kenapa saya dan suami belum mau ngasih gadget ke anak-anak? Salah satu alasan lainnya karena khawatir mereka jadi nggak fokus sama pendidikan. Misalnya, si Kakak sebenarnya senang bikin konten-konten kreatif dan suka share di media sosial. Namun, ketika dia sudah bikin konten itu apalagi rutin, dia jadi lupa untuk lebih fokus pada tugasnya yang lebih penting yakni sekolah.
Hal-hal lainnya bisa dikejar kemudian. Saat ini, mending fokus saja dengan pendidikan. Saya nggak mau dia jadi keteteran karena pelajarannya makin berat. Bukan dia nggak boleh main sama sekali, tapi saya memilih mengizinkan dia main selain yang berhubungan dengan gadget kecuali hari libur.
Jangankan anak kecil, kita saja yang sudah dewasa sering lupa waktu kalau sudah main gadget, apalagi anak-anak.
Poin-poin di atas merupakan pendapat pribadi saya dan suami. Saya juga tidak menyalahkan orang tua yang memberikan gadget pada anaknya terlalu dini. Juga yang mengizinkan anaknya bermain game. Jika tidak berlebihan, mestinya teknologi mendatangkan manfaat, kok. Jadi, sah-sah saja, kan?
Kapan Waktu Ideal Anak Punya HP Sendiri?
Menurut beberapa sumber, sebenarnya nggak ada pedoman baku yang menjelaskan kapan tepatnya orang tua boleh memberikan HP atau gadget pada anaknya. Namun, katanya, semakin lama menunda pemberian gadget pada anak maka akan semakin baik.
Pastinya, ini berhubungan juga dengan kesiapan mereka. Anak-anak memang terlihat sangat lihat bermain gadget, bahkan mengalahkan kita sebagai orang tua, tapi apakah mental mereka siap? Apakah tidak mengganggu perkembangan mereka ke depannya nanti? Inilah yang mesti kita pahami baik-baik sebelum memutuskan memberikan HP pada anak.
Sebagian ahli mengatakan bahwa nggak ada masalah berarti ketika ada anak yang tumbuh tanpa gadget atau HP. Nggak akan mereka jadi kuper dan nggak tahu apa-apa.
Saya pribadi merasa bahwa pendapat ini memang betul. Meskipun anak-anak nggak punya gadget, tapi mereka tetap bisa mendapatkan informasi dan berbagai macam pengetahuan, terutama karena mereka juga sebenarnya tahu dan pakai gadget hanya saja waktunya terbatas. Juga, senang membaca buku yang bisa membuat mereka tahu segala hal.
Dengan tidak memberikan gadget, apakah saya benar-benar melarang anak-anak nggak main game dan membiarkan mereka nggak tahu apa-apa? Nyatanya nggak begitu juga, kok.
Mereka pernah memainkan beberapa permainan meski hanya sesekali. Mereka tahu beberapa game yang dimainkan temannya dan kami sering membuka diskusi apakah itu cocok buat anak-anak atau nggak.
Game nggak melulu negatif, tapi ketika dimainkan secara berlebihan, apa pun itu akan jadi negatif dan buruk. Anak-anak harus tahu beberapa dampaknya. Juga ketika mereka memainkan permainan yang nggak sesuai sama usia, juga yang menggambarkan adegan kekerasan.
Saya bukan orang tua yang sempurna, saya juga nggak pandai yang namanya ilmu parenting. Saya hanya berusaha menjadi orang tua yang baik buat anak-anak, berusaha berkomunikasi yang baik dengan mereka, sesekali saya juga melakukan kesalahan. Nggak ada orang tua yang sempurna.
Di rumah, kami sepakat nggak ada main game. Anak-anak masih boleh nonton beberapa film kartun pendek di akhir pekan. Di rumah, nggak ada televisi menyala. Bukan kami nggak punya, tapi karena kelamaan nggak dinyalain, tiba-tiba mati sendiri dua-duanya pula. Saya memutuskan nggak mengizinkan suami membeli lagi…kwkwk. Kejam nggak, sih? :D
Kenapa sih saya nggak berani ambil keputusan untuk lebih longgar, misalnya ngasih game biar mereka bisa seperti teman-temannya yang lain? Ngasih nonton televisi?
Saya capek kalau ujungnya malah kecanduan. Saya capek mesti adu debat dengan anak sendiri. Kelihatannya, saya memang main aman, kan? Untungnya, anak-anak memang sudah kecanduan membaca buku. Main-main lebih ke permainan biasa seperti main lego, main sepeda, bikin-bikin mainan sendiri, atau si kakak suka bikin game sendiri di power point.
Gimana dengan orang tuanya? Saya dan suami biasa saja main HP di rumah. Sesuai kebutuhan. Apa anak-anak nggak protes? Alhamdulillah sejauh ini nggak. Mungkin karena mereka sudah punya kesenangan sendiri juga.
Pernah saya membaca di Instagram tentang anak kecil yang nggak kecanduan gadget, padahal ibunya pegang HP biasa saja. Kok bisa anaknya nggak minta? Dia menjawab, mungkin karena anaknya sudah terlanjur kecanduan baca buku. Masuk akal dan saya merasakannya juga.
Setiap pergi, anak-anak bingung mesti bawa buku yang mana untuk dibaca di jalan atau di tempat tujuan. Ketika anak kita sudah punya kesenangan sendiri seperti ini, sebisa mungkin kita support dengan memberikannya buku-buku yang menarik dan tentunya baik isinya.
Benar, butuh modal besar untuk membeli buku-buku anak karena harganya mahal bingits. Solusinya, cicil beli sedikit demi sedikit sesuai kemampuan dan kebutuhan. Anak-anak di rumah nggak harus selalu baca buku baru, buku lama pun bisa mereka baca berulang-ulang. Ini benar-benar ngebantu berhemat sih…kwkwk. Itulah alasan kenapa sampai sekarang saya belum bisa nge-preloved komik-komik Plant Vs Zombies yang jumlahnya sudah puluhan :D
HP dan Pornografi
Beberapa bulan lalu saya sempat sangat kaget ketika si sulung cerita tentang teman-temannya yang sering mengisyaratkan beberapa simbol hubungan seksual. Kalau ngacungin jari tengah sepertinya sudah terlalu biasa, ini lebih dari sekadar itu yang akhirnya membuat kami membuka diskusi berdua saja.
Kami akhirnya membahas sebuah buku dari Mba Dian Kristiani yang membahas tentang pubertas. Bukunya bisa teman-teman akses di Ipusnas, ya. Isinya bagus dan sesuai dengan anak-anak yang segera memasuki usia akil balig.
Sungguh menakutkan pergaulan anak zaman sekarang. Ketika di rumah kita merasa mereka aman sepenuhnya, tapi kita nggak pernah bisa mengontrol teman-temannya. Padahal, sekolahnya sudah sekolah Islam. Anak-anaknya sudah belajar Alquran setiap hari bahkan sebagian besar sudah hafal beberapa juz. Namun, tetap saja mereka melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan sebagai bahan bercandaan.
Dikutip dari id.theasianparent.com, Weinberger yang telah meneliti 70.000 anak menemukan fakta bahwa rata-rata anak mulai melakukan sexting di usia 5 SD, sejak usia 8 tahun sudah mulai konsumsi pornografi, dan kecanduan di usia 11 tahun.
BTW, menurut Wikipedia, sexting merupakan aktivitas mengirim atau mengunggah foto yang tidak senonoh ataupun kalimat-kalimat yang menimbulkan birahi.
Menurut study yang dilakukan oleh Common Sense Media menyebutkan bahwa 66 persen orang tua merasa bahwa anak-anak terlalu sering menggunakan HP, 36 persen orang tua berdebat setiap hari dengan anak-anaknya tentang penggunaan HP.
“HP terooooos.”
Mungkin, kira-kira begitu kalimatnya, ya :D
HP memang bisa memberikan dampak positif pada anak-anak kita, tapi ingat juga, dampak negatifnya jauh lebih besar ketika digunakan dengan tidak bijak. Saat anak kecanduan HP, mereka cenderung nggak punya kontrol impuls yang akhirnya justru membuat mereka lebih sering bertindak berdasarkan emosi.
Coba perhatikan anak-anak sekarang, lumayan bar-bar dibanding teman-teman si sulung di zaman kelas 1 SD dulu. Anak sekarang kalau marah bisa langsung main kasar yang menurut saya nggak sesuai sama usia mereka. Memang nggak melulu karena HP, tapi pastinya salah satunya bisa dari HP juga.
Pada akhirnya, kembali lagi pada masing-masing orang tua. Ketika ada orang tua memberikan HP pada anak-anaknya, mereka juga mengambil risiko besar mengenai dampak negatifnya. Kita mesti siap dengan semua kemungkinan, termasuk mesti ribut-ribut mengenai kedisiplinan.
Salam hangat,
Wednesday, October 19, 2022
Kisah Pippi, Proyek Kolaborasi Bersama Bunda Helvy Tiana Rosa
![]() |
Jadi penulis sekaligus ilustrator ternyata bukan hal mudah, ya? Selain lebih repot membagi waktu, belajar untuk fokus pada dua hal sekaligus juga banyak tantangannya, termasuk mental. Suatu hari saya pernah ngobrol dengan penulis yang senang menggambar seperti saya. Dia pernah menerima proyek pictbook dari salah satu penerbit. Apa yang dirasakan setelah menerima proyek tersebut? Katanya, nangis!
Antara pengin ketawa, tapi takut dosa. Namun, itulah yang saya alami juga setelah menerima proyek-proyek ilustrasi untuk buku-buku anak. Awalnya senang, kemudian pengin menghilang di telan bumi! Kwkwk. Mungkin inilah ujian bagi penulis yang mau jadi ilustrator juga seperti saya…haha.
Beberapa kali saya sempat pengin berhenti mengerjakan ilustrasi untuk buku anak-anak. Bahkan sudah menolak beberapa proyek karena mau fokus mengerjakan naskah, tapi ada saja hal-hal yang tidak dapat saya kendalikan. Termasuk ketika saya akhirnya menerima proyek pictbook dari Bunda Helvy Tiana Rosa. Tepat sebelum ditawari proyek ini, saya benar-benar berniat berhenti mengerjakan ilustrasi buku. Namun, Allah punya rencana lain, saya diberi kesempatan luar biasa sehingga mustahil menolaknya. Akhirnya, saya kembali mengerjakan ilustrasi untuk buku Bunda Helvy.
Meski lumayan capek dan berat, mesti bangun lebih pagi untuk mengerjakan naskah dan siangnya fokus dengan ilustrasi, nyatanya semua pekerjaan bisa diselesaikan tepat waktu. Namun, hari-hari berikutnya terbesit lagi keinginan untuk berhenti menggambar. Padahal nggak ada proyek yang terbengkalai apalagi molor dari DL. Nggak ada kendala berarti karena semua tugas beres, begitu juga dengan tugas rumah tangga.
Saya nggak paham dengan diri sendiri...kwkwk. Nggak paham dengan kegalauan semacam ini kenapa terus menerus hilang timbul. Terkadang, mengerjakan ilustrasi itu butuh lebih banyak sabar memang. Ada klien yang paham dengan capeknya kita, ada yang nggak mau tahu. Sehingga, sering kali saya merasa harus pilih-pilih klien juga supaya nggak merasa terbebani.
Bekerja sama dengan Bunda Helvy nggak jadi beban, sebab beliau begitu baik. Memberi kebebasan pada saya untuk menuangkan ide dalam gambar. Beliau juga nggak rewel apalagi seenaknya. Beliau berpesan, Muyass harus happy ngerjainnya. Harus nyaman. Biar nggak jadi beban dan hasilnya pun sesuai harapan.
Ikuti Saja Alurnya
Teman saya akhirnya berkomentar, sudahlah, ikuti saja alurnya. Karena dua hal ini memang saya sukai, makanya agak susah juga meninggalkan salah satunya. Meskipun tidak menerima pesanan gambar, nyatanya saya tetap menggambar untuk mengisi feed Instagram. Saya tetap menggambar karena saya memang suka, tapi saya mungkin terlalu lelah kalau mesti mengerjakan semuanya sekaligus.
Sebenarnya, apa pun pekerjaan kita, bahkan meski kita amat menyukainya, tetap saja ada saatnya merasa bosan dan lelah. Apalagi kalau dikerjakan terus menerus. Iya, kan? Menulis pun sama. Terkadang di tengah-tengah menulis naskah saya merasa bosan dan nggak tahu mau mengetik apa. Capek dan mesti ambil jeda.
Begitu juga ketika menggambar. Kadang happy banget ngerjainnya, kadang ngerasa capek banget. Memang semua akan seperti ini, kan?
Tawaran Kolaborasi dari Bunda Helvy Tiana Rosa
Saya nggak pernah kepikiran bakalan dapat tawaran ini. Tiba-tiba beliau mengirimkan pesan di Instagram dan mengajak berkolaborasi mengerjakan pitcbook pertama beliau. Waktu itu saya kaget bukan main. Apa saya bermimpi?
Kemudian kami lanjut ngobrol dan sempat saya tawarkan ilustrator lain jika ingin membuat komik karena saya pribadi tidak pernah menggarap komik. Namun, beliau berkata, kalau begitu kita bikin pictbook saja!
Waktu pertama kali bertemu di Tamini, saya nggak terlalu canggung karena beliau super ramah terutama untuk saya yang introvert. Beliau selalu mengabari ketika ada perubahan dan hal lainnya. Bukan tipe penulis terkenal yang gengsi mau balas pesan penggemarnya. Benar-benar humble. Rasanya beruntung sekali bisa mendapatkan kesempatan luar biasa ini terutama di saat saya pengin memutuskan berhenti mengerjakan gambar. Seperti ditampar, kenapa mesti berhenti, sih?
Sebenarnya, saya tidak pernah dengan sengaja mengerjakan beberapa proyek sekaligus. Misalnya, ketika mengerjakan ilustrasi untuk buku Pippi, saya nggak sengaja dapat pesanan naskah, pesanan ilustrasi lain dari salah satu penerbit mayor yang waktunya kebetulan selalu bersamaan padahal sudah direncanakan jauh hari sebelumnya.
Ketika kejadian mesti bareng begini, rasanya jadi agak berat dan bikin suntuk, ya? Solusinya, saya mesti pandai-pandai bagi waktu karena saya juga Ibu Rumah Tangga tanpa ART. Ada tugas lain yang mesti diselesaikan. Akhirnya, paling mudah memang dicicil pelan-pelan. Ingat, jangan pernah menumpuk pekerjaan rumah terutama cucian dan setrikaan, asli puyeng kalau sudah menumpuk…kwkwk. *Random banget deh ceritanya...kwkwk.
Buku Pippi Sudah Terbit!
Masya Allah tabarakallah. Saya bersyukur sekali akhirnya buku ini bisa terbit di pertengahan bulan ini. Pas pegang bukunya, rasanya nggak percaya ilustrasi itu sudah jadi buku. Terima kasih untuk Bunda Helvy, juga untuk diri saya yang tidak menyerah.
Ketika buku sudah terbit, rasanya capek lelahnya hilang semua. Sama halnya seperti seorang ibu yang melahirkan anaknya. Rasa sakitnya hilang seketika. Seajaib itu, ya kalau sudah bahagia?
Buku Pippi berisi kisah nyata masa kecil Bunda Helvy dan Bunda Asma Nadia. Ditulis berima sehingga sangat menarik untuk dibaca. Kata Bunda Helvy, buku anak yang bagus itu yang bisa dinikmati oleh semua usia. Dan buku ini memenuhi kriteria itu.
Gimana Ceritanya Bisa Dapat Proyek Seperti Ini?
Kok, bisa? Memangnya ngajuin ilustrasi ke penerbit-penerbit gitu?
Kadang, teman-teman suka bertanya dari mana kita bisa mendapatkan klien dan proyek. Bahkan bisa dari luar negeri. Saya pernah cerita di postingan ini. Rata-rata teman saya juga sama, dapat klien karena tahu di Instagram atau dari mulut ke mulut. Dari klien ke klien yang merekomendasikan jasa kita.
Apa yang paling penting untuk dilakukan? Kerjakan saja semuanya dengan sungguh-sungguh. Share hasil gambar kita ke media sosial dan tunjukkan siapa diri kamu. Orang-orang bisa menilai dari karya kita meskipun nggak pernah kenal. Saya juga yakin, Allah melihat usaha kita sehingga jangan heran kalau ada orang-orang yang dapat proyek-proyek impiannya. Allah nggak tidur, teman. Allah tahu kita berusaha siang malam bahkan sampai begadang.
Yuk, kita nikmati perjalanan ini selagi masih ada kesempatan. Selagi diberi kesehatan dan waktu. Hal yang mesti saya ingat, pekerjaan saya di luar tidak lebih penting daripada tugas saya di rumah mendampingi anak-anak. Saya pernah bilang ke mas suami, saya nggak mau terlalu capek karena nanti jadi ngomel-ngomel mulu…kwkwk. Saya nggak mau terlalu ngoyo karena saya masih punya tanggung jawab mendampingi anak-anak di rumah. Saya mau hidup normal dan wajar sama seperti yang lain.
Ketika semua kewajiban sudah kita selesaikan dengan baik, semoga Allah mudahkan jalan kita. Tetap semangat, yah emak-emak yang menulis dan ngerjain ilustrasi. Semoga usaha kita tidak hanya menyenangkan di dunia, tapi juga berbuah pahala di akhirat. Berkah dan berkah, insya Allah.
BTW, buku Pippi sudah bisa teman-teman dapatkan di toko buku atau di sini! Ada diskon, lho. Selamat membaca kisah Pippi, ya. Semoga teman-teman suka dengan ilustrasi dan ceritanya :)
Salam hangat,