Friday, January 21, 2022

Pengalaman Mengikuti Sertifikasi Penulis Buku Nonfiksi Dengan Metode Asesmen Portofolio

Pengalaman Mengikuti Sertifikasi Penulis Buku Nonfiksi Dengan Metode Asesmen Portofolio
Photo by Nick Morrison On Unsplash


Setelah sekian purnama, akhirnya saya memberanikan diri mengikuti sertifikasi penulisan buku nonfiksi yang diadakan oleh LSP. Skema sertifikasi ini ada demi memastikan kompetensi tenaga kerja bidang penerbitan, juga sebagai acuan dalam asesmen oleh LSP dan asesor kompetensi. 


Alhamdulillah, saya bisa mengikuti sertifikasi penulis secara online melalui zoom meeting yang berlangsung kurang lebih 30 menit. Metode asesmen portofolio tidak semengerikan seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Perangkat asesmen uji portofolio dilakukan dengan wawancara dan cek portofolio saja. Deg-degan banget, tapi asesor saya begitu baik dan ramah sehingga wawancara berjalan lebih santai.


Saya nggak pernah merasa setakut ini. Pagi hari, saya sudah minum obat magh karena tiba-tiba mual-mual dan eneg saking paniknya. Agak siangan sedikit, kepala mulai pening dan cenut-cenut…kwkwk. Siang sebelum dimulai, saya minum obat magh lagi karena merasa oleng…haha. Jadi, sebelum uji sertifikasi, saya sudah habis 2 obat magh dan 1 tablet paracetamol untuk mengurangi sakit kepala :(


Tujuan Ikut Sertifikasi Penulis

Pengalaman Mengikuti Sertifikasi Penulis Buku Nonfiksi Dengan Metode Asesmen Portofolio
Photo by Max Saeling on Unsplash


Sebelum ikut sertifikasi, kami dibimbing oleh Epigraf dengan materi-materi yang dibutuhkan saat uji sertifikasi nanti. Ada beberapa materi yang benar-benar baru saya ngeh, 'owh, ternyata selama ini saya salah, owh, ternyata seperti itu yang benar'. Jadi, belajarnya memang banyak, ya. Meskipun sudah jadi penulis buku, bukan berarti kita sudah tahu semua hal. Jadi, memang nggak seharusnya kita berhenti belajar meskipun usia sudah di atas kepala tiga. Saking semangatnya belajar, sampai lupa kalau umur sudah bukan remaja lagi…kwkwk.


Salah satu tujuan ikut sertifikasi adalah mendapatkan pengakuan, memberikan apresiasi pada diri sendiri, dan banyak hal. Ada juga buku-buku yang memang hanya bisa ditulis oleh penulis yang sudah memiliki sertifikat. 


Untuk buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit mayor, sampai saat ini belum dibutuhkan sertifikat. Inilah salah satu alasan kenapa sejak dulu saya belum ikut sertifikasi. Namun, makin berjalannya waktu, akhirnya paham juga kenapa seorang penulis butuh sertifikasi.


Metode Asesmen

Pengalaman Mengikuti Sertifikasi Penulis Buku Nonfiksi Dengan Metode Asesmen Portofolio
Photo by jeshoots.com on unsplash


Apakah semua penulis bisa ikut sertfikasi? Tentu. Semua penulis bisa ikut sertifikasi, bahkan bagi yang belum pernah menulis buku antologi ataupun buku solo.


Bagi teman-teman yang baru menulis buku antologi kurang dari tiga atau sama sekali belum menulis buku, biasanya akan mengikuti uji sertifikasi dengan metode uji kompetensi. Teman-teman akan mengerjakan soal, praktik, dan juga wawancara.


Sedangkan bagi penulis yang punya minimal 3 buku solo atau antologi, bisa ikut metode asesmen dengan uji portofolio. Namun, meskipun kita sudah memiliki buku, metode asesmen tetap sepenuhnya ditentukan oleh pihak LSP. 


Materi-materi yang mesti kita pelajari tidak jauh-jauh dari keseharian kita sebagai penulis. Misalnya, membuat kerangka tulisan, menyebutkan anatomi buku, dan banyak hal yang sebenarnya kita sudah banyak tahu, tapi sebagian tiba-tiba hilang ingatan saking paniknya…kwkwk.


Dan yang gugup bukan saya saja…haha. Meskipun orang-orang sudah meyakinkan, insya Allah bisa, insya Allah lancar dan mudah, tetap saja pagi-pagi berasa sedang sakit secara tiba-tiba. Ya, Allah, benar-benar menguji keberanian, sih.


Pendaftaran Sertifikasi Penulis dan Editor

Pengalaman Mengikuti Sertifikasi Penulis Buku Nonfiksi Dengan Metode Asesmen Portofolio
Photo by J. Kelly Brito on Unsplash


Ikut sertifikasi penulis dan editor mesti membayar sejumlah uang yang harganya bisa berubah-ubah. Kemarin, saya ikut melalui Epigraf dengan 2x bimtek seharga Rp. 750.000. Harga ini sudah ada potongan dibanding harga aslinya yang bisa di atas satu juta.


Saya mendaftarkan diri pada Desember 2021. Uji sertifikasi baru dilaksanakan tanggal 18 Januari 2022. Jadi, Epigraf baru dapat jadwal dan antreannya pada tanggal tersebut. Mesti sabar menunggu sampai waktunya tiba…hihi. Deg-degannya disimpan dulu hingga menjelang hari H.


Hanya saja, ikut sertifikasi melalui Epigraf membuat saya jauh lebih siap. Sebab, pihak Epigraf benar-benar membantu penulis dengan memberikan materi dan juga penjelasan mengenai tahapan-tahapan sertifikasi yang mesti dilakukan. Jadi, meskipun ini yang pertama, setidaknya sudah ada bayangan bakalan seperti apa nantinya.


Nggak semua penulis mengerti teknologi. Jadi, yang gaptek itu banyak. Bahkan meski sudah dijelaskan berulang kali, masih ada juga yang kebingungan. Bayangkan kalau kita nggak dikasih materi dan bimbingan dulu, bisa ambyar semua pas uji sertifikasi.


Uji Sertifikasi Melalui Zoom Meeting

Pengalaman Mengikuti Sertifikasi Penulis Buku Nonfiksi Dengan Metode Asesmen Portofolio
Photo by Glenn Carstents Peters on Unsplash


Gimana? Sudah kebayang uji sertifikasi melalui zoom meeting atau online? Jadi, kita diminta menggunakan dua perangkat yang mesti sama-sama dipakai untuk login ke zoom meeting. Satu bisa pakai laptop yang kita pakai di depan dan satunya bisa pakai ponsel dengan tripod yang posisinya ada di samping belakang sehingga bisa memperlihatkan posisi penulis dari beberapa arah sekaligus. Tujuannya supaya ketahuan kalau penulis benar-benar melakukan semuanya sendiri. Nggak dibantu sama orang lain, adek, kakak, nenek, eyang, mbah, dan yang lain…hihi.


Setelah masuk zoom, para peserta akan masuk ke room masing-masing yang nantinya akan diarahkan oleh pihak LSP. Waktu uji sertifikasi kemarin, website LSP sempat bermasalah sampai sore hari. Namun, uji sertifikasi yang saya lakukan tetap berjalan sebagaimana mestinya.


Dalam room, hanya ada saya, asesor, dan juga host dari LSP. Karena saya pakai metode uji portofolio, sertifikasi ini lebih mirip seperti ngobrol ringan saja mengenai dunia perbukuan. Asesor saya memperkenalkan diri, kemudian diikuti oleh saya. Dan dimulailah wawancara yang berisi materi seputar dunia perbukuan dan perjalanan saya sebagai penulis.


Alhamdulillah, semua berjalan baik meski di awal-awal saya grogi sehingga agak kepleset jawabnya dan belibet…kwkwk. Untunglah, asesor saya ini baik sekali, masya Allah. Semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan dan keberkahan dalam hidup beliau. Aamiin.


Waktu ditanya soal pandidikan, saya tidak bisa memberikan gelar tertentu karena saya hanya lulusan D1. Saya tidak kuliah. Saya bukan sarjana. Beliau kemudian berkisah tentang temannya yang dulunya tidak kuliah, tapi sekarang jadi penulis yang buku-bukunya banyak difilmkan. Beliau memotivasi, seolah pengin bilang, nggak masalah. Asal tekun, asal fokus, dan mau berusaha, insya Allah semua bisa sukses.


Beliau juga bilang, nggak masalah jadi IRT. Justru perempuan memang lebih baik di rumah. Biarkan suami di depan. Bukan bermaksud menyalahkan perempuan yang berkarier, ya. Hanya saya menangkap beliau memang sedang ingin memotivasi supaya saya nggak minder dan mampu melambungkan rasa syukur. Apa pun profesi kita sekarang, apa pun pilihan kita, itulah yang terbaik :)


Beliau juga menanyakan bagaimana dengan suami? Apakah saya mendapatkan dukungan dari keluarga? Alhamdulillah, suami sangat mendukung untuk saat ini. Meskipun untuk sampai di sini tidaklah mudah, tapi akhirnya beliau rida dengan pilihan saya.


Di akhir, beliau mendoakan semoga saya bisa menjadi penulis best seller yang kemudian saya aamiinkan sangat dalam. Semoga doa ini menjadi jalan pembuka bagi saya untuk sampai pada impian yang belum terwujud.


Uji sertifikasi selesai dalam waktu yang cukup singkat. Esoknya, hasil uji sertifikasi sudah keluar dan saya dinyatakan kompeten. Alhamdulillah.


Mengutip dari kalimat yang pernah disampaikan oleh Pak Bambang Trim,


Ide adalah perjumpaan bukan pencarian. Menulis adalah perjalanan bukan pelarian. Tak ada kata ‘penat’ dalam menulis, kecuali menulis penat…”


Insya Allah, saya sudah ada di tempat yang tepat. Itulah salah satu kalimat yang sempat diucapkan oleh asesor saya kemarin setelah mengetahui bahwa saya juga sedang ikut pelatihan menulis bersama Pak Bambang Trim.


Sejujurnya, ini bukan hanya tentang pengakuan, pertemuan saya dengan asesor dan juga pak Bambang Trim dalam sebuah kelas banyak sekali membuka mata dan juga hati. Sudah lama saya mengikuti kelas yang hanya sekadar ikut duduk dan belajar layaknya sekolah. Namun, kali ini saya mendapatkan sesuatu yang jauh lebih dalam. Lebih menyentuh. Dan benar, insya Allah saya sudah ada di tempat yang tepat :)


Salam hangat,


Sunday, January 9, 2022

PTM Vs Omicron, Bagaimana Nasib Anak PAUD dan TK?

PTM Vs Omicron, Bagaimana Nasib Anak PAUD dan TK?
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash


Libur telah usai. Minggu ini, anak-anak sudah mulai masuk sekolah kembali setelah sekian lama libur. Sebagian besar sekolah sudah dimulai, tapi anak-anak di rumah masih libur sampai hari ini.


Bagaimana rencana PTM 100% yang katanya bakalan dimulai pada semester dua tahun ini? Untuk si kakak yang sudah kelas 5 SD, kabarnya PTM masih berjalan 50% seperti semester pertama lalu, tapi untuk si adek, memang sejak lama sudah full PTM…kwkwk. Kok malah kebalik? Awalnya memang aneh, karena anak TK waktu itu belum bisa vaksin, belajar mengajar belum se-urgent itu juga dibanding anak SD yang belajarnya sudah super serius, tapi itulah pilihan yang diambil oleh sekolah si adek. 


Saya berharap, varian Omicron ini nggak seheboh Delta kemarin. Menurut banyak sumber, termasuk WHO, varian Omicron lebih ringan dibanding Delta. Namun, semua pihak sebaiknya tetap berhati-hati dan waspada karena sudah ada kasus kematian akibat varian baru ini yang terjadi di beberapa negara.

 

Kabar buruknya, varian Omicron sudah masuk ke Indonesia. Seperti yang kita tahu, kabar terbaru kemarin menyebutkan, salah satu artis yang baru saja pulang dari liburan di luar negeri turut menjadi perhatian karena pulang bawa virus baru ini. Sebelum ini, varian Omicron pun sudah masuk ke Indonesia. Musim liburan, terutama banyaknya orang yang berlibur ke luar negeri turut menyumbangkan banyak kasus jadinya. Hiks :(


Bagaimana Nasib Anak PAUD dan TK?

PTM Vs Omicron, Bagaimana Nasib Anak PAUD dan TK?
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash


Tergelitik menulis postingan ini sebagaimana saya juga telah menuliskan kegelisahan saya beberapa bulan lalu tentang sekolah usia dini yang memilih full PTM di sini. Salah satu pertanyaan dari member Milis Sehat menjadi alasan kenapa saya juga turut mengangkat tema serupa. Mungkin bisa jadi pertimbangan bagi banyak pihak supaya bisa menunda full PTM sampai keadaan benar-benar ‘jelas’ baiknya.


Anak-anak usia dini, seperti anak PAUD dan TK masih banyak yang belum disiplin menggunakan masker, ditambah jika pihak sekolah tidak ketat memberikan aturan, makin riskan saja kalau mau full PTM.


Menurut dr. Windhi dari Milis Sehat, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan jika ada anak usia dini masuk sekolah offline atau PTM,


  1. Lansia yang tinggal serumah mesti sudah vaksin lengkap. Sedangkan kita tahu, nggak semua orang mau vaksin, lho. Masih ada banyak orang yang takut menerima vaksin, bahkan nggak percaya sama Covid-19. Saya tidak mengatakan vaksin bisa menyelamatkan hidup kita, tapi manusia wajib berusaha. Allah tentu yang menentukan segalanya.
  2. Semua guru dan staf sekolah wajib vaksin lengkap. Insya Allah untuk yang satu ini, mestinya semua sekolah sudah melakukannya. 
  3. Orang tua murid wajib sudah vaksin lengkap. Sama halnya seperti poin pertama.
  4. Utamakan PTM hanya bagi sekolah menengah atas yang mesti melakukan praktik seperti SMK misalnya. Jadi, untuk anak-anak usia dini memang belum se-urgent itu untuk masuk setiap hari terutama di tengah berseliwerannya kabar makin meningkatnya kasus varian baru di Indonesia.


Apa yang Mesti Orang Tua Lakukan?

https://www.muyass.com/2021/11/anak-tk-full-ptm-di-masa-transisi.html
Photo by Atoms on Unsplash


So, apa yang mesti kita lakukan sebagai orang tua? Waktu si adek mau masuk TK A, saya batalkan karena memang kondisinya sedang tidak memungkinkan. Anak-anak usia segitu juga masih bermain dan bermain saja. Jadi, keputusan paling baik dia belajar di rumah bersama orang tua.


Namun, saat dia sudah waktunya TK B, mau nggak mau saya mesti memasukkannya ke sekolah terutama untuk persiapan masuk SD. Meski dia sudah bisa baca tulis, tapi ada materi-materi yang nggak akan bisa kita berikan sendiri di rumah kecuali kita memang menguasai bidang tersebut. Ada hal-hal yang mesti dia pelajari dan hanya bisa didapat dengan sekolah. Jadi, saya belajar membuat kelonggaran pada diri sendiri supaya anak bisa tetap sekolah. Jangan parno-parno bangetlah pokoknya. Banyak tenangin diri aja karena pihak sekolah memang memilih full PTM.


Anak-anak saya juga sudah sangat dan sangat disiplin. Bahkan waktu kemarin pulang ke rumah Ibu, hampir semua orang heran dan sebagian menertawakan karena anak-anak disiplin banget pakai masker selama di sana. Sedangkan orang dewasa di sana memang sudah tidak ada yang pakai masker, apalagi anak-anaknya :D


Anak-anak juga sudah bisa menerima vaksin di usia 6 hingga 11 tahun. Insya Allah, semua usaha sudah dilakukan. Semoga mereka bisa belajar dengan tenang, nyaman, dan juga happy. Berharap juga semua orang tua dan guru mengerti dan memahami apa yang mesti dilakukan selama anak-anak PTM, termasuk mesti mengajarkan disiplin pakai masker dan rajin cuci tangan.


Salam hangat,


Monday, January 3, 2022

5 Tip Menulis Buku Sekaligus Membuat Ilustrasi, Ternyata Tidak Ada yang Mustahil Selama Mau Mencoba

5 Tip Menulis Buku Sekaligus Membuat Ilustrasi, Ternyata Tidak Ada yang Mustahil Selama Mau Mencoba
Photo by Helena Lopes on Unsplash


Apa nggak capek mesti nulis buku sekaligus membuat ilustrasinya juga? Atau, gimana rasanya jadi penulis sekaligus ilustrator? Apakah memungkinkan menjalankan dua profesi ini sekaligus?


Awalnya, saya tidak pernah berpikir untuk menekuni kedua profesi ini. Sekadar bisa menulis saja sudah Alhamdulillah. Sekadar bisa menerbitkan buku saja sudah senangnya masya Allah. Namun, seiring berjalannya waktu, Allah menuntun saya ke jalan yang berbeda. Saya keluar dari zona nyaman saya selama ini dan mulai menekuni dunia ilustrasi.


Tahun 2021 merupakan awal mula saya membuat ilustrasi untuk buku anak. Terbilang cukup singkat. Saya mulai berlatih pada awal 2020 lalu. Tidak sampai satu tahun, saya sudah berani mengerjakan ilustrasi untuk buku dan yang lainnya. Sangat bersyukur karena Allah memampukan saya dan memberikan kesempatan ini tanpa harus menunggu terlalu lama.


Tahun 2021 lebih banyak saya habiskan untuk mengilustrasikan buku dibandingkan menulis buku. Benar-benar nggak direncanakan sebelumnya, tapi saya menyukainya. Meskipun sering kali terjadi, di tengah-tengah membuat ilustrasi justru merasa kangen menulis buku.


Sama halnya seperti saat nggak ada job, justru malah kangen pengin ngerjain gambar. Namun, waktu ada job, rasanya pengin cepat kelar dan istirahat. Setelah benar-benar ada waktu untuk istirahat, apakah sanggup bertahan dalam waktu yang cukup? Belum habis tiga hari pasti sudah bingung…kwkwk


Dulu, saya pernah berpikir pengin banget nulis buku sekaligus mengilustrasikannya seperti mbak Stella Ernes. Namun, lama-lama merasa nggak memungkinkan untuk belajar dan menjalankan dua profesi ini sekaligus, ditambah saya memang belum belajar menggambar digital waktu itu. Namun, siapa yang bisa mengingkari jika Allah sudah berkehendak? Akhirnya semua terjadi sealami itu. Berjalan sesuai alurnya. Diikuti saja hingga bisa seperti sekarang.


5 Tip Menulis Buku Sekaligus Membuat Ilustrasi

5 Tip Menulis Buku Sekaligus Membuat Ilustrasi, Ternyata Tidak Ada yang Mustahil Selama Mau Mencoba


Menulis buku sambil membuat ilustrasi pastinya membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Apalagi jika kita jadi IRT tanpa ART yang apa-apa serba dikerjakan sendiri. Benar-benar butuh fokus untuk menyelesaikan semuanya *ceritanya curhat…kwkwk.


Kendala yang saya hadapi ketika mengerjakan dua profesi ini sekaligus, ditambah saya terbilang baru juga di dunia ilustrasi, butuh waktu yang tidak sedikit untuk mengerjakan pekerjaan hingga tuntas. Kecepatan kita pun belum sehebat yang lain. Ibaratnya, kita sedang belajar, tapi sambil dibayar.


Ketika saya mampu mengerjakan banyak ilustrasi untuk buku, di sisi lain justru saya tidak terlalu produktif menulis. Karena waktu saya habis untuk menggambar. Memilih salah satu di antara dua profesi ini belum memungkinkan. Karena saya masih sayang keduanya. Saya bersyukur Allah berikan kesempatan untuk menekuni keduanya dan rasanya belum rela melepaskan salah satu. Akhirnya, saya menerima jika tidak bisa banyak menulis buku karena waktu yang terbagi.


Tahun ini, saya berharap bisa lebih produktif menulis dan mengurangi mengerjakan ilustrasi pesanan buku untuk klien. Lebih memilih untuk mengilustrasikan buku-buku sendiri saja jika memungkinkan.


Namun, baru awal tahun saja masih sibuk ngerjain proyek buku milik orang…kwkwk. Tak mengapa, asalkan masih tetap berkarya, entah nanti akan lebih banyak mengerjakan yang mana, saya akan tetap mensyukurinya, insya Allah.


Beberapa tip ini mungkin bisa berguna bagi teman-teman ilustrator yang pengin sekaligus menulis buku atau sebaliknya bagi penulis yang pengin menggambar juga,


1. Komitmen Itu Perlu

Sekadar ingin saja tidak cukup. Untuk menulis buku saja, kita butuh komitmen supaya buku bisa ditulis hingga rampung. Sebagian besar penulis gagal menulis bukunya hingga tuntas karena kurangnya komitmen. Mereka dikalahkan oleh kesibukan, rasa malas, kurang referensi, dan apa pun yang akhirnya membuat mereka bisa beralasan untuk berhenti.


Apalagi ketika mengerjakan ilustrasi sekaligus menulis ceritanya sendiri, sungguh tidak mudah menaklukkan rasa malas dan menyimpan ide-ide yang berkelebat di kepala. Karena ketika mengerjakan gambar, pasti penulis pengin segera nulis buku baru lagi. Susah ditahan, seperti bisul :(


Namun, jika sejak awal ingin mengerjakan keduanya, kita mesti ikhlas melepaskan keinginan ini itu hingga buku kita selesai dikerjakan. Jangan sampai banyak selingkuhnya, bisa-bisa gambar atau buku kita tidak selesai tepat waktu.


2. Lebih Banyak Belajar

Bagi pemula, pasti tidak mudah mengerjakan dua hal sekaligus. Kita butuh waktu yang cukup panjang untuk menekuni keduanya. Saya tidak memulai dua profesi ini sekaligus. Saya belajar menulis dulu, baru belajar membuat ilustrasi. 


Supaya kita lebih luwes menggambar dan menulis, sudah seharusnya kita belajar lebih serius supaya kemampuan kita tidak hanya sekadar bisa saja. Makin ditekuni dan dilatih, makin cepat juga kemampuan kita mengerjakan keduanya.


Jadi, jangan malas belajar, ya. Ikut saja kelar-kelas menulis atau menggambar online yang saat ini sangat mudah ditemukan. Sisanya, kamu bisa berlatih sendiri di rumah.


3. Bukan Sekadar Gaya-gayaan

Kenapa ada orang yang berpikiran mengerjakan dua hal ini sekaligus? Apakah hanya sekadar supaya bisa terlihat keren atau penulis pelit ketika mau membayar ilustrator?


Tidak semua orang bisa menggambar atau menulis. Kebanyakan hanya memilih salah satu profesi ini untuk ditekuni. Namun, ada orang-orang yang memang cinta keduanya. Seperti saya misalnya, sejak kecil memang senang sekali menggambar. Namun, dari dulu saya tidak tahu mau lewat mana jalannya supaya bisa menjadi ilustrator.


Saat SMA, saya mulai menulis, tapi tidak pernah meninggalkan hobi menggambar. Keduanya adalah hal yang saya sukai. Makanya, ketika sekarang saya diberi kesempatan dan kepercayaan, rasa-rasanya sulit memilih di antara keduanya. Keduanya sama-sama menyenangkannya buat saya kecuali ketika sudah jenuh :(


Bagi kamu yang ingin memulai dua profesi ini sekaligus, tanyakan dulu pada diri sendiri, kira-kira alasan apa yang melatar belakangi? Kenapa pengin nyoba menekuni dua-duanya? Yakin suka menggambar? Yakin suka menulis?


Kita tidak harus menjadi orang lain supaya terlihat hebat, lho. Kalau diri kita tidak benar-benar ingin, jangan memaksakan diri untuk mengerjakannya. Pilihlah profesi yang benar-benar nyaman buat kamu. Karena nanti, kamulah yang bakalan menjalaninya. Kamu yang bakalan ngerasain capek dan lelahnya. Jangan sampai hanya karena supaya bisa terlihat keren, kamu malah mengorbankan kebahagiaanmu sendiri.


4. Butuh Berkorban

Ketika kita pengin memulai suatu hal atau ketika kita menginginkan sesuatu, pasti butuh berkorban waktu, tenaga, dan juga uang. Kita nggak bisa menggapai semuanya tanpa berkorban terlebih dulu.


Untuk belajar menulis misalnya, bahkan sampai saat ini tak terhitung sudah berapa kelas saya ikuti. Mulai dari kelas gratisan hingga berbayar jutaan rupiah. Sampai saat ini, bahkan setelah saya menerbitkan buku, saya masih ngejar kelas-kelas berbayar. Terakhir saya mendaftar di kelas menulis bersama pak Bambang Trim. 


Untuk menggambar pun sama, saya juga ikut beberapa kelas, meski tak sebanyak kelas menulis, tapi saya juga pernah belajar di kelas-kelas online.


Rasanya tidak ada hal-hal yang mudah terjadi begitu saja, terutama bagi teman-teman yang seperti saya, hanya IRT, tidak berpendidikan tinggi, bukan anak DKV, kita butuh menyisihkan waktu, tenaga, dan uang untuk menekuni profesi yang kita inginkan. Tidak kuliah tak masalah, tapi bukan berarti kita tidak belajar.


5. Ketika Jenuh, Menepilah

Dua bulan terakhir, saya mesti mengerjakan 100 ilustrasi yang akhirnya rampung di awal tahun ini. Alhamdulillah. Dalam perjalanannya, sudah bisa dibayangkan, rasanya seperti mabuk kendaraan. Iya, jenuh, capek, bosan, pengin lari, pengin kabur…kwkwk. Manusiawi sekali, lho. It’s okay, Muyass. Kamu sudah berusaha dan akhirnya berhasil menyelesaikannya :)


Ketika merasa jenuh, menepilah untuk istirahat. Jangan berpikir bakalan berhenti atau merasa gagal. Semua orang pasti merasa jenuh dan capeklah ketika mengerjakan hal yang sama dalam waktu yang lama. Namun, apakah mereka berhenti? Palingan rehat sebentar untuk memulihkan tenaga dan kemudian melanjutkan kembali impian yang belum dicapai.


Seperti itulah yang mesti dilakukan. Terutama bagi kita yang mau menekuni dua hal sekaligus. Sangat mungkin pengin lompat menulis ketika sedang menggambar atau sebaliknya. Namun, kembali lagi ke poin pertama, komitmen!


Gimana, gimana? Yakin mau nyoba keduanya sekaligus? Menyenangkan mengerjakan semuanya, tapi bukan berarti kita bakalan kerjain dua-duanya terus menerus. Ketika merasa nggak mampu, capek, atau ketika nggak memungkinkan, serahkan ilustrasinya kepada ilustrator lain. Jangan terlalu kaku sama diri sendiri. Tetap bahagia, tetap belajar, ya :)


Salam hangat,