Thursday, December 21, 2017

Cerbung Tentang Kita Bag 17; Canggung

 
Cerbung Tentang Kita Bag 17; Canggung


 Bagaimana bisa aku merindukan orang lain sementara di sisi berbeda ada seorang perempuan dengan setia menunggu…

Raina bergeming. Sudah hampir satu jam sejak kejadian tadi, tak sepatah kata pun ingin ia utarakan. Padahal, dengan cemas seorang lelaki menanti dia bicara. Marah, menangis atau kecewa, apapun itu. Tetapi lelaki yang tak lain adalah Bagas rupanya gagal mendapatkan apapun selain suara hembusan napas yang semakin keras.

Bagas melirik istrinya. Ingin minta maaf sekali lagi, tetapi sepertinya percuma. Kalimat maaf itu terlanjur tak berharga saat ini. Raina bahkan tak menangis. Kedua bola matanya hanya menatap kosong ke arah jendela kaca yang membentang di sisi ranjang putra sulung mereka.


Ada banyak luka terlanjur tergores, dan tentu saja bukan hal mudah untuk menyembuhkannya. Baik Raina ataupun Bagas, kali ini memilih diam dan bicara banyak hal dalam hati. Bagas tak mendengar apapun selain jarum jam yang merangkak pelan. Entah sampai kapan keadaan seperti itu akan berakhir.


Bau obat-obatan membius keduanya. Ruangan yang didominasi warna putih, selang infus yang membelalai di tangan putra mereka, dan perasaan yang pasi setelah keterkejutan Bagas saat mengetahui kehamilan Raina barusan. Banyak hal menindih hati lelaki berhidung mancung itu, membuatnya jadi sesak. Diam-diam Bagas menitikkan air mata. Satu hal yang jarang sekali terjadi meskipun dalam keadaan sesulit apapun.


Memalukan melihat keadaan keluarga kecilnya yang berantakan bahkan semburat kesedihan terpancar dari segala sisi membuatnya menyesal telah menemui Sherly. Masa lalu sebenarnya tak pernah benar-benar bisa dibuang jauh, tapi menata hati dan menyimpan semua yang tak perlu serta tak seharusnya menjadi sebuah keharusan. Kehidupan rumah tangga mereka sejatinya menjadi hal paling manis meskipun tak selalu mudah, tapi Bagas bersyukur bisa melalui semuanya bersama Raina. Dan gadis berlesung pipit itu, entahlah. Mungkin dia sedang menyesali kali pertama menerima pinangan Bagas. Lihat saja, lelaki yang berulang kali dia beri maaf, rupanya sering mengulangi kesalahan. Sungguh menyedihkan membayangkan bagaimana Raina menyimpan rapat-rapat kondisinya saat ini sedangkan banyak kejadian menyakitkan dia alami. Sendiri, ya , hanya sendiri. Dan di mana lelaki itu saat dia butuh?


“Rai,” Bagas tak tahan. Lelaki itu sudah menunggu cukup lama demi mendengar satu kata saja dari perempuan dengan hijab berwarna pastel yang sedang duduk di hadapannya.


Bagas tak menangkap keinginan Raina untuk sekadar menjawab dan membalas sapaannya. Raina hanya diam dan diam sepanjang hari di dalam bangsal yang semakin menyesakkan.


“Rai, mas ingin bicara banyak hal. Tapi bagaimana mas bisa memulai kalau kamu hanya diam seperti patung?”


Terdengar cukup keras menghentak telinga. Tapi, Raina hanya menoleh dan menatap Bagas, sinis.


“Rai, mas ingin bicara.” Bagas mulai memelas.


Raina beranjak, mendekati sofa yang terbaring lesu di hadapannya. Bagas sudah menangkap air mata dalam tatapan Raina. Bagas mendongak demi melihat wajah Raina dengan sempurna. Apa yang ingin dia katakan selain kemarahan dan kecewa?


“Ada banyak waktu Raina habiskan hanya demi menunggu mas kembali. Ada banyak hal Raina harapkan, termasuk bagaimana kita bisa melanjutkan semuanya tanpa harus menyakiti siapa pun termasuk hati Raina sendiri.,” Raina menarik napas demi melanjutkan kalimatnya.


Sedangkan Bagas hanya menatap tanpa berkedip. Dia berada di antara luka dan kecewa yang sedang menganga.


“Raina tak suka diperlakukan seperti ini!” setengah berteriak terdengar dari mulut Raina. Sisanya hanya sesengguk serta tangisan. Semakin lama semakin menyayat hati. Raina jatuh, meringkuk di lantai kamar di mana putranya sedang dirawat. Dan Raka, menangkap kejadian itu dengan sempurna.

*****

Tuesday, December 19, 2017

Homemade Matcha Green Tea Bread

Homemade Matcha Green Tea Bread


Hujan-hujan begini enaknya makan yang anget-anget, ya. Tapi, kalau lagi hujan, bawaannya juga malas mau mengerjakan sesuatu. Nah, pagi-pagi saya sudah niat banget bikin roti. Pas banget ada Matcha Latte dari Chocolatos juga. Jadilah roti matcha green tea ini.

Kalau teman-teman punya bubuk green tea, boleh banget dimasukin juga supaya rasa green tea-nya lebih nendang, ya! Sayangnya, saya nggak pernah beli bubuk green tea. Lebih sering beli minumannya begini karena memang suka minum juga.


Isiannya bisa diberi apa saja, ya. Saya isi dengan coklat. Resepnya juga nggak jauh beda sih sama sebelumnya. Cuma dimodifikasi sedikit saja dengan jumlah kuning telur dan bubuk matcha latte ini.


Dan, ternyata cuaca dingin kayak gini bikin proofingnya berlangsung sangat salam. Saya mulai proofing dari jam 6 pagi, sampai setengah 9 belum terlalu ngembang. Jadi, proofing ini bukan tergantung 1 jamnya , ya. Tapi sangat tergantung sama suhu ruangan. Kalau cuacanya anget dan panas, roti bakalan cepat sekali ngembang, belum 1 jam juga sudah bisa dibentuk.


Sedangkan kalau hawa dingin sejuk begini, kita sesuaikan saja, kalau sudah terlihat mengembang dua kali lipat, bolehlah segera dibentuk dan diberi isin baru kemudian proses proofing kedua.


Ketika awal ngulen, adonan ini memang lembek, ya. Sangat tidak disarankan menambahkan terigu sampai dia jadi tidak lengket. Jadi, uleni saja terus sampai benar-benar kalis, jika memang setelah ngulen sekitar setengah jam lebih masih lengket banget, boleh tambah terigu itu pun sedikit saja.


Pengalaman, ada teman yang rebake, dan ternyata dari awal ditambahkan terigu banyak sampai akhirnya bantet. Kelembekan ini memang yang pada akhirnya membuat si roti jadi lembut pake banget. Jadi, tidak semua lembek itu nggak baik, ya..he.


Nah, takaran ini sebenarnya sudah pas dan tidak perlu ditambahkan terigu. Kecuali ketika teman-teman mau membentuk, boleh ditepuk sedikit terigu di telapak tangan untuk memudahkan.


Nah, apa sih gunanya mengolesi tangan dengan minyak saat mau proofing pertama? Ini mencegah adonan supaya tidak kering ketika proofing, ya. Dan nanti hasilnya juga tidak akan terlalu lengket.


Bahan:

250gr terigu protein tinggi

2 kuning telur

1sdt ragi instan

40gr gula pasir

1 sachet susu bubuk

2 sachet matcha latte

125ml air hangat

40gr butter atau margarin

Sejumput garam


Cara membuat:


1.      Campur 1 sdm gula pasir bersama 125ml air hangat dan ragi. Aduk rata. Tunggu sampai berbusa. Sambil menunggu, siapkan bahan lainnya.

2.      Campur semua bahan sisa kecuali butter dan garam. Masukkan juga campuran ragi yang sudah berbusa tadi. Uleni sampai kalis atau rata. Masukkan butter dan garam. Uleni sampai kalis elastis.

3.      Olesi tangan dengan sedikit minyak. Bulatkan adonan dan diamkan selama 1 jam atau sampai mengembang 2x lipat. Tutup atasnya dengan plastik wrap atau kain bersih.

4.      Tinju adonan untuk membuang udaranya. Bentuk dan beri isian sesuai selera. Sebelum digunakan, jangan lupa olesi loyang dengan margarin, ya. Tata adonan di loyang dan beri jarak. Diamkan selama 1 jam atau sampai adonan mengembang 2x lipat dan jangan lupa selalu tutup dengan kain bersih saat proofing.

5.      Panaskan oven suhu 180’C selama kurang lebih 10 menit sebelum digunakan. Panggang roti selama 20 menit atau sesuaikan dengan oven masing-masing.

6.      Keluarkan dari oven dan olesi atasnya dengan butter. Sajikan!
 

Memulai membuat roti itu memang malas segalanya. Saya pribadi sampai bosan karena terlalu sering membuat roti. Jadi, pagi-pagi memang diniatkan sekali supaya nggak keburu terpikir malasnya..hehe. Kalau sudah proses manggang dan ambil gambar, suka dan senang melihat hasilnya. Kalau ada yang rebake dan berhasil, lebih bahagia lagi. Semoga resep-resepnya bermanfaat, ya buat teman-teman. Ketika telah berkeluarga dan memiliki anak, ada rasa puas ketika berhasil membuat suatu hidangan dan disukai orang. Benar begitu? Tapi, usaha kadang nggak cukup sekali. Biarlah saya saja yang tahu berapa kali saya gagal membuat roti, baik karena keras, gosong, nggak mateng dan macam-macam.


 
Semoga teman-teman yang pengen banget bikin roti bisa berhasil, ya! Happy baking…

Sunday, December 17, 2017

Yuk, Bikin Nasi Kebuli Mejikom dengan Resep Ini!

Yuk, Bikin Nasi Kebuli Mejikom dengan Resep Ini!


Setelah beberapa bulan jadi member Cookpad, jujur saja kemampuan masak sudah jauh lebih wajar daripada sebelumnya. Ingat, wajar ya, bukannya baik..he. Soalnya dulu benar-benar nggak bisa masak. Selepas dari pesantren, saya langsung menikah dan diboyonglah ke Jakarta. Sedangkan saat di pesantren, saya dan teman-teman memang dilarang memasak karena kegiatan yang terlalu padat. Jadi, khawatir nggak imbang dan akhirnya justru merepotkan.

Dulu, disuruh bikin sayur bening saja panik, lho. Sekarang, sambil merem juga bisa *bisa bobok maksudnya…he. Nah, kebetulan hari ini saya membuat nasi kebuli mejikom dan memakai resepnya mbak Nur Sabatiana dari Cookpad. Sebelumnya saya pernah posting juga nasi kebuli dengan resep berbeda. Nah, kali ini lebih simpel tapi rasanya nggak kalah enak. Bahkan kalau dirasa-rasa sih nggak kalah sama yang beli. Kirian dulu susah bikin nasi kebuli, lho. Secara ini bukan kuliner Indonesia, dan kita nggak biasa makan menu kayak gini di rumah. Tertnyata, cara membuatnya mudah dan gampang banget, Guys. 


Biar gampang, masaknya pakai ricecooker aja. Biasanya sekali tekan tombol cook, ketika sudah kembali, nasinya diaduk dulu. Jika hasilnya belum matang sempurna, boleh tekan cook lagi sampai nasinya matang sempurna. Dan perlu diingat, setiap tombol kembali, aduk dulu nasinya, ya supaya matangnya merata.


Buat dagingnya, boleh pakai daging sapi atau daging kambing. Pakai ayam juga enak apalagi dicampur sama tulang-tulangnya. Asalkan daging ayamnya dipotong kecil-kecil seperti saat akan membuat sup ayam. Supaya nanti matang sempurna dan gurihnya lebih terasa. Lebih oke lagi kalau pakai ayam kampung. Sudah pasti enaak dong...huhu. Gimana, ada yang tertarik buat nyobain makan nasi kebuli simpel ini nggak? Yuk ah cepetan siapin bahan-bahannya, ya!


Untuk pelengkap, boleh pakai apa saja. Bahkan sama sambal dan taburan bawang goreng saja sudah oke banget. Tapi, kalau ingin lebih lengkap, boleh tambahkan lalapan seperti timun, kol, acar juga enak serta emping.


Berikut resep simpelnya, ya..


Bahan:

4 gelas takar beras

¼ sampai ½ kg daging sapi atau kambing, potong-potong

4 siung bawang putih

6 siung bawang merah

1sdt kunyit bubuk atau  ruas kunyit

1/2sdt lada bubuk

1sdt ketumbar bubuk

1 batang kayu manis (saya pakai ukuran kecil)

3sdm margarin

4sdm minyak goreng

Secukupnya air seperti memasak nasi biasa

2 buah pekak

 Buah kapulaga

5 butir cengkeh

sdt kayu manis bubuk (saya skip)

1 sachet bumbu kari instan (sy ganti 4sdm bubuk kari)

Secukupnya garam


Cara membuat:

1.      Haluskan duo bawang kemudian tumis menggunakan margarin dan minyak sampai wangi. Masukkan bumbu lainnya dan aduk rata. Tunggu sampai bumbu layu dan tidak langu.

2.      Masukkan daging, aduk sampai berubah warna. Kemudian tambahkan air dan masak dengan api kecil sampai daging empuk.

3.      Cuci beras kemudian masukkan tumisan daging berbumbu ke dalamnya. Tambahkan air secukupnya. Nasi kebuli itu bentuknya agak ambyar, ya. Jadi coba dikira-kira dan dikenali jenis berasnya. Jangan sampai nanti terlalu lembek.

4.      Masak nasi di mejikom atau ricecooker sampai matang. Jika belum matang, tekan tombol cook lagi sambil diaduk dan biarkan selama 30 menitan.

5.      Sajikan nasi kebuli dengan pelengkap seperti telur dadar, emping serta acar.


Rasanya enak. Yang bikin nasi kebuli ini berasa banget aromanya karena ada bunga pekak sama bubuk karinya itu. Bubuk karinya saya pakai merek koepoe-koepoe. Teman-teman bisa cari yang lainnya juga boleh. Saya pakai yang mudah aja, pas ke supermarket sekalian beli waktu itu.


Selamat mencoba dan happy cooking!

Thursday, December 14, 2017

Menambal Luka Hati Ibu

Menambal Luka Hati Ibu


Rinjani terkejut, untuk pertama kalinya dia mendengar suara sesengguk tangis ibu dari telepon. Biasanya, seminggu dua kali, dia memang selalu menghubungi ibunya demi melepas rindu dan bertanya kabar.

Setelah menikah dan berumah tangga, Rinjani jadi jarang pulang ke rumah karena jaraknya yang tidak mudah ditempuh. Karena itulah, Rinjani selalu berusaha menghubungi ibu meski hanya dengan beberapa kalimat pelepas rindu dan bertanya kabar keluarga.


Tapi, kali ini dia sedikit khawatir sebab tak pernah terjadi sebelumnya. Ibu menangis? Kenapa? Ada apa?


Rinjani sangat paham siapa ibunya. Meskipun bukan orang berada, tapi ibu dan bapak selalu membantu anak-anaknya bahkan yang telah berumah tangga. Beliau juga tidak melepaskan begitu saja ketiga putrinya setelah menikah. Bahkan putri sulungnya dibantu membangun rumah tepat di sebelah rumah ibu. Menutup jendela kamar ibu dari hangatnya sinar mentari pagi, yang selalu Rinjani sesalkan hingga kamar ibu menjadi sangat lembab.


“Apa yang tidak untuk anak?” begitu setiap kali bapak dan ibu bilang.


Tapi, detik ini Rinjani mendengar jika ibu menangis sebab dilukai oleh putri sulungnya sendiri. Bukan hanya kaget, bahkan tak menyangka jika obrolan kemarin siang menjadi petaka di dalam keluarga besar mereka.


Sekar, kakak sulung Rinjani sempat mengeluhkan banyak hal termasuk ekonominya yang begitu sulit. Padahal, Rinjani dan suaminya telah membantu dengan dengan berbagi hasil lewat usaha ternak bebek yang saat itu dipegang langsung oleh suami Sekar. Sayangnya, belakangan Rinjani tahu, mereka tak lagi profesional termasuk tidak lagi mengirimkan laporan keuangan mengenai usaha tersebut. Dan yang lebih manyakitkan, Rinjani tahu bahwa sebagian bebek yang tidak bertelur telah dijual dan diatasnamakan milik Rinjani. Bolehkan melakukannya sedangkan Rinjani saja tidak pernah mendengar rencana itu sebelumnya?


Rinjani, mungkin masih menahan rasa geram dan memaafkan. Bisa saja Sekar sangat tidak paham dengan tindakannya selama ini. Tapi, suara serak ibu di seberang telepon cukup menjelaskan lebih banyak termasuk rasa iri dari saudara kandungnya sendiri.


Sebelum kejadian itu, Sekar pernah menanyakan kenapa Rinjani tidak mau menerima baju baru pemberian bapak? Dengan santai Sekar mengatakan bahwa dia tidak berhak mendapatkannya. Rinjani sudah punya suami, seharusnya dia yang memberikan bapak baju baru. Bukan malah bapak yang membelikan baju baru kepada ketiga putrinya.


Tapi, Sekar ternyata menjadikannya masalah besar. Padahal sebelumnya dia pun ikut menolak ketika Rinjani menolak. Ratih, kakak kedua Rinjani yang saat itu menjadi janda, tentu saja dibelikan baju baru oleh bapak dan ibu. Siapa lagi yang akan membelikannya?


Rinjani merasa semua itu adalah hal wajar termasuk ketika ibu membantu Ratih membeli kebutuhan hidupnya.


Sayangnya, Sekar tidak pernah berpikiran demikian. Entah kerasukan setan dari mana hingga dia akhirnya mengungkit semua hal termasuk biaya rumah sakit bapak yang sempat dia bayarkan beberapa tahun silam. Dan satu hal gila juga terjadi saat itu ketika Sekar tiba-tiba mengatakan akan menyerahkan  anak sulungnya kepada mantan suaminya dulu.


Ibu dan bapak yang sejak dulu mengasuh cucu pertamanya dari Sekar tentu saja tidak rela sebab mereka pun sudah paham bahwa bapak kandungnya memang tak pernah benar-benar menafkahi. Dan hingga detik ini, anak sulung Sekar menjadi tanggungan bapak dan ibu termasuk biaya sekolah dan boardingnya.


Ibu, meskipun sangat baik dan selalu diam diperlakukan seperti apa pun oleh Sekar dan suaminya, namun kali ini beliau sudah cukup memberi kesempatan. Sebelum ibu menangis di telepon, Sekar sempat bicara kasar kepada ibu dan bapak di rumahnya bahkan hingga mengangkat sumpah Quran di kepala.


Seperti tak ada bedanya dengan sinetron hidayah, Sekar gila dalam sekejap. Dia tertawa dan menangis seperti orang tak waras. Dan ibu hanya menangis di pojok kamar tidur Rinjani sambil bicara patah-patah kepada putri bungsunya itu.


Andai semua orang tahu, setiap malam ibu memasak nasi lebih hanya karena Sekar dan suaminya selalu makan di sana, mengantarkan setiap kali Sekar butuh, menjaga anak-anaknya tanpa mengeluh, mungkin orang-orang yang selama ini menuduh mereka bertengkar karena jarak rumah yang terlalu dekat akan bungkam. Apa yang tidak diberikan oleh ibu? Bahkan sebagian biaya pembuatan rumahnya dibantu langsung oleh orang tua sangat berbeda dengan kedua saudara Sekar yang mandiri.


Bukan hanya itu, ketika bapak memberikan uang untuk mengganti biaya rumah sakit yang menurut Sekar dulu telah diberikan, nyatanya gadis tiga puluh tahun itu mengambilnya dengan ringan. Tak merasa berat sedikit pun. Padahal, ibu ingat pernah membayar biaya itu sebelumnya mengingat kehidupan Sekar yang amat sulit setelah membiayai sekolah putra sulungnya.


Bukan hanya itu, ibu juga selalu memberikan hasil panennya kepada Sekar karena pengertian ibu dan belas kasihnya. Sayangnya, Sekar masih saja mengeluhkan tidak pernah diberikan apa-apa oleh ibu dan bapak sedangkan kedua putrinya Rinjani dan Ratih selalu diutamakan. Kalimat yang sungguh tidak berdasar.


Ibu, meskipun tak punya banyak uang, tapi selalu membayar setiap kali meminta tolong kepada suami Sekar. Jika menjadi anak, bagi Rinjani membantu orang tua adalah kewajiban. Bukan sebuah hutang.


Sayangnya, persepsi ini berbeda pada setiap orang. Hingga pada akhirnya, Sekar benar-benar nyata pergi dari rumah tanpa pamit dan menjadi pekerja di negeri orang meninggalkan putra sulunganya serta sang bungsu yang masih kecil.


Mengulang kesalahan di masa lalu. Sungguh tak kurang-kurang ibu merawatnya dari lahir yang selalu sakit-sakitan, sampai dewasa dan berumah tangga tak ada habisnya merepotkan. Jika saat ini ibu menganggapnya bukan anak, itu karena kesalahan besar yang sulit sekali dimaafkan.


Jika sayang anak, tak mungkin meninggalkan darah daging sendiri hanya demi rasa benci, iri dan tertekan yang nyatanya dibuat sendiri. Tak mungkin mengulang masa lalu, sebab dulu dia pernah melakukannya ketika masih bersama suami pertama. Kemudian sejak saat itu, ibulah yang merawat putra sulungnya, mengantarnya sekolah, menemani di sekolah yang tak pernah ibu lakukan saat anak-anaknya masih kecil.


Orang-orang bilang, ibu sangat baik melihat cucu pertamanya selalu tantrum dan meminta mainan di sekolah, jika tidak dituruti, jilbab ibu akan ditarik dan digilas di tanah. Membayangkan saja Rinjani tak sanggup. Kemudian pada saatnya, suami Sekar datang ke rumah, menemui bapak dan ibu bersama ibu kandungnya. Sayangnya, bukan demi meminta maaf karena mereka telah lancang. Tapi  untuk menyerahkan uang dalam amplop sebagai ganti biaya karena ibu telah merawat anak pertama Sekar. Tentu saja bapak membantingnya dalam sekali tatapan tajam menghujam kepada menantunya itu.


Coba, bayangkan, orang tua mana yang tak geram ketika diperlakukan seperti itu? Sekar memang sempat berkata kepada Rinjani bahwa hidup tak berpihak padanya karena dia bukan orang kaya. Dia mengeluhkan banyak hal padahal orang lain bisa jadi memimpikan kehidupan yang dia miliki. Sekar tidak paham, Rinjani dan suaminya pun tidaklah mudah mendapatkan kehidupan sekarang. Apakah ada cara instan di dunia ini? Dan apakah orang miskin tak berhak berbakti kepada orang tua jika hanya yang dipikirkan selalu uang?


Sayangnya, tidak ada bahagia bagi orang yang tak pandai bersyukur. Meski tampilan luar terlihat baik-baik saja, namun tak mungkin Allah berpihak padahnya.


Rinjani tertegun mendengar cerita ibu. Dan lebih tertegun saat pulang ke rumah, suami Sekar sudah membawa truk demi memindahkan semua barangnya. Tanpa pamit, tanpa izin. Mungkin ini cara tersopan seorang menantu setelah dibantu sekian banyak oleh mertuanya. Siapa juga yang mengusirnya meski kenyataanya dia menyebarkan kalimat fitnah bahwa dia telah diusir. Rinjani dan keluarganyalah yang paling tahu, bukan orang lain!


Hal terburuk dalam hidup bukan karena ditinggalkan anak, tapi memendam rasa sakit itu akan jauh lebih sulit. Selama berbulan-bulan ibu begitu kurus karena rasa sakit. Ibu bilang, beliau dulu juga pernah bertengkar dengan orang tua, tapi dengan menyesal beliau meminta maaf dan menunjukkan penyesalannya. Jika saat ini ibu belum bisa memaafkan, mungkin ada yang salah dengan cara Sekar dan suaminya meminta maaf.


Sayangnya, mereka berdua tak sempat mengerti betapa besar rasa cinta bapak dan ibu. Sebelum akhirnya bertengkar, bapak telah mencari sebuah toko di pasar dan akan membayar biayanya selama satu tahun untuk dipergunakan bagi putri sulungnya, Sekar. Bapak tahu Sekar suka sekali berdagang. Tapi, Allah berkehendak lain.


Luka ibu telah menganga. Dan rasa sakit itu sulit sekali ditambal.


Ada banyak orang merasa jauh lebih mengerti masalah di antara keluarga Rinjani. Mereka berkata bahwa pertengkaran ibu dan Sekar disebabkan karena rumah mereka yang saling berdekatan, mereka menuduh bapak dan ibu sangat jahat sampai tak bisa memaafkan, mereka menyuruh ibu dengan mudah melupakan sedangkan mereka sendiri sebenarnya tidak pernah paham masalah yang sebenarnya.


Suami sekar, pernah tidak menegur ibu, meskipun saat masih di rumah, dia menumpang kamar mandi ke rumah ibu. Ibu dan bapak tidak marah.


Sekar dan suaminya pernah menuduh ibu tak adil, padahal setiap panen hanya Sekar yang mendapatkan jatah padi dan uang hasil panen.


Orang-orang tak pernah tahu, bagaimana perilaku suami Sekar, dia bahkan tak pernah meminta maaf ke rumah, padahal dia sering datang ke rumah saudara ibu yang lain.


Orang-orang yang merasa sok tahu dengan kehidupan Rinjani, mungkin belum tahu rasanya disakiti oleh putrinya yang telah hidup di dalam rahim dan ditimang sampai bertahun-tahun.


Orang-orang yang menuduh orang tua Rinjani begitu jahat sampai tak bisa memaafkan, mereka belum tentu bisa sebaik ibu dan bapak saat menghadapi masalah yang sama.


Mereka yang sok tahu dan mendengarkan dari satu pihak, tentu bukanlah orang yang berhak ikut campur dan membuat opini sendiri, sebab mereka bukan orang yang tinggal serumah dengan keluarga Rinjani.


Orang-orang tak akan paham sampai mereka tahu, saat ini ibu dan bapak sedang membiayai sekolah dan boarding putra sulung Sekar seorang diri. Tanpa bantuan dari ibu kandung atau bapak kandungnya yang sebenarnya sangat paham soal agama tapi tak pernah benar menjalankannya.


Jika kalian tak bisa membantu meringankan beban seseorang, janganlah mengusik kehidupan mereka dengan bicara yang tak ada dasarnya. Jika kalian tak tahu apa pun apalagi hanya sekadar mendengar dari mulut ke mulut, coba datangi ibu Rinjani, tanyakan berita apa yang sebenarnya terjadi sehingga beliau begitu sulitnya memaafkan?


Jika kalian tahu, sebenarnya kalian juga punya masalah sendiri yang harus diselesaikan. Orang terpuji dan terpandang, pandai agama dan menjalankan, tentu akan malu ikut campur urusan orang dengan akhlak rendahan.


Rinjani paham, siapa pun yang bicara, ibu pastilah jauh lebih mengerti siapa putri-putrinya. Tanpa mereka bilang pun, ibu tahu karena ibulah yang mengalaminya langsung.


Rinjani menutup telepon. Memeluknya lama, bukan karena khawatir kehilangan saudaranya, tapi khawatir sulit menambal luka hati ibunya.


Selamat hari ibu, semoga luka hati ibu disembuhkan oleh Allah. Mereka yang bicara menyakitkan tentang keluarga kita, sebenarnya hanya tahu seujung kuku tentang masalah di dalam keluarga kita. Semoga ibu selalu sabar, sebab Allah tak akan tinggal diam melihat ibu tersakiti.

Sungguh tidak menyenangkan menjadi duri dalam kehidupan orang lain, begitu juga ketika kita sendiri yang tertusuk duri itu. Kisah Rinjani semoga menjadi pembelajaran, bahwa dunia bisa melenakan, ucapan bisa melukai, rasa sakit tak mudah disembuhkan dan maaf tak bisa dibeli dengan sebongkah emas.



Friday, December 8, 2017

Gadis itu Bernama Kinanthi

Gadis itu Bernama Kinanthi


“Namanya Kinanthi. Orang-orang biasa menyebutnya Kinan. Tapi, ibu memanggilnya dengan sebutan berbeda,

‘anak durhaka’.”

 

Kinanthi punya paras ayu. Senyumnya bahkan lebih manis dari gula jawa. Setiap pagi, dia berangkat mengajar di salah satu Sekolah Dasar yang terletak tidak jauh dari kampungnya. Secantik namanya, Kinanthi juga gadis yang tau tatakrama. Setiap lewat di depan tetangga, dia turun dari sepeda demi menunjukkan rasa hormat serta menyapa sekadar basa basi.

Hampir semua orang menyukainya. Tak terkecuali Ridho, teman sesama pengajar di sekolah yang sama. Ridho, sebenarnya sudah sejak lama ingin meminang Kinan. Sayangnya, Kinan hanya tersenyum sambil menggeleng, menganggap Ridho terlalu berlebihan. Padahal, cinta telah bersemi sejak lama. Bahkan saat mereka sama-sama duduk di bangku SMP.


Diam-diam Ridho berjanji dalam hati, akan memperjuangkan cintanya sampai mati. Sedangkan Kinan, hanya sekadar guyon setiap kali lelaki berwajah tampan itu menanyakan hal yang sama hampir setiap hari.


“Kapan mas boleh datang menemui bapak?” tanya Ridho dengan wajah penasaran.


“Kapan saja. Mas Ridho silakan saja main ke rumah. Kalau cuma main, memangnya siapa mau melarang?”


“Tapi, maksud mas bukan itu, Nan.” Ridho mulai salah tingkah. Sepatu hitam sebelah kiri mengentak lantai berkali-kali. Gadis manis ini sulit sekali diterka hatinya. Bahkan ketika Ridho telah memintanya dengan kalimat yang sama hampir setiap hari, dia masih juga tak bisa menangkap maksud hati Ridho. Atau jangan-jangan itu adalah sebuah penolakan yang dilakukannya secara halus supaya tidak menyinggung perasaan Ridho?


“Tadi dapat salah dari Dewi,” sahut Kinan buru-buru. Kemudian segera berlalu meninggalkan detak tak karuan pada jantung lelaki yang sudah lama memendam rindu.


Dewi? Entah siapa saja gadis di desa itu yang sudah berkali-kali menitipkan salam pada Kinan untuk Ridho. Kemarin Hesti, kemudian Yanti. Dua hari yang lalu bahkan Ridho dapat titipan kue dari Ana, tetangga sebelah Kinan. Gadis-gadis itu mungkin juga menjadi salah satu alasan kenapa Kinan tidak juga mau menerima cintanya. Apakah Kinan Malu atau takut kalau gadis-gadis yang sudah lama menyukai Ridho tiba-tiba tak terima?


Ridho mengangkat bahu. Sulitnya mendapatkan cinta.


***


Ibu sudah mantap akan menjodohkan Kinan dengan kerabat jauh dari kota. Ibu bilang, lelaki itu sudah punya pekerjaan mapan. Bahkan dia juga bukan orang sembarangan, anak tajir dan berpendidikan.


Kinan, meski sebenarnya ingin sekali menolaknya, tapi kalimat yang tiba-tiba muncul dari mulutnya hanyalah sebuah persetujuan. Ada wajah lain yang telah dia selipkan. Bukan lelaki yang ibu maksud. Tapi, lelaki yang hampir setiap hari menanyakan kapan dia bisa berkunjung ke rumahnya untuk segera melamar.


Sayangnya, Kinan terlalu pengecut untuk menjawab. Setiap berhadapan dengan lelaki berhidung mancung itu, hatinya melompat tak karuan. Antara gembira dan gugup. Ingin sekali mengatakan bahwa sebenarnya dia juga memiliki perasaan yang sama. Sayangnya, sejak awal ibu sudah mengatakan bahwa beliau tidak pernah suka dengan Ridho. Katanya dia terlalu ramah pada gadis-gadis. Kalau sudah menikah, bisa makan hati setiap hari.


Tapi, siapa juga yang bisa merubah Ridho menjadi seperti yang ibu mau. Kenyataannya, Ridho memang murah senyum kepada semua orang, tak terkecuali kepada bapak. Tapi, ibu tetap tidak menyukainya. Bagi ibu, dia seperti lelaki gampangan.


Kinan menarik napas. Kedua tangannya tengah asyik memotong pepaya muda yang dipetiknya dari pekarangan belakang rumah. Kinan menekuri setiap gerakan tangannya sendiri. Bagaimana jika dia menikah dengan orang lain yang tidak pernah dia sukai sebelumnya? Apakah cinta bisa tumbuh dengan mudahnya saat sudah dalam ikatan pernikahan?


Rasanya sulit dibayangkan. Tiba-tiba Kinan beranjak dan menghampiri ibu yang tengah sibuk menyalakan tungku api. Entah dari mana keberanian itu datang. Tapi, Kinan juga tidak bisa menolak keinginan hatinya.


“Sepertinya Kinan tidak bisa meneruskan acara pernikahan ini. Kinan suka sama orang lain, Bu.”


Ibu terbeliak. Menjatuhkan daun kelapa kering di tangannya.


“Dia sudah dalam perjalanan dan kamu bilang nggak bisa?”


Kinan merasa keberaniannya menciut. Melihat ibu sangat marah, dia hanya bisa menunduk. Kalau tak ingat putrinya, mungkin ibu sudah menelannya hidup-hidup.


“Tapi, pernikahan tanpa cinta apa bisa bahagia, Bu?” Kinan memohon. Kedua matanya sudah panas.


Ibu diam. Tapi hatinya merutuk, kesal. Bukan karena Kinan yang menolak keinginannya, tapi keputusan yang tiba-tiba tentu bisa merugikan banyak pihak, termasuk merusak hubungan baik kedua keluarga yang sebelumnya baik-baik saja.


Membayangkan rombongan datang, mengatakan penolakan atas keputusan Kinan, apa yang akan mereka katakan? Tiba-tiba jantung ibu terasa berhenti berdetak. Kepalanya pusing dan berputar. Bahkan bayangan Kinan seperti bergerak sangat cepat. Semakin lama semakin samar.


Ibu jatuh pingsan di antara teriakan serta tangisan Kinan. Tak ada yang bisa menolak takdir. Ibu siuman dengan perasaaan benci tak tertahan.


Sejak saat itulah, ibu menamainya dengan sebutan lain. Bukan Kinanthi, bukan juga Kinan seperti yang sering disebut oleh orang-orang di kampungnya.


***


Ibu merasa sangat malu atas keputusan Kinan yang terkesan tiba-tiba. Tapi, bukan ibu jika dia harus memaksa putrinya menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Pihak calon suami Kinan akhirnya pulang dengan rasa geram.


Mereka menyebut ibu munafik, pembohong bahkan sumpah serapah yang sulit dicerna oleh hati. Kinan hanya menangis di ujung ranjang kamar tidurnya. Sedangkan ibu mendiamkannya hingga berhari-hari.


Orang kampung serta tetangga dekat mulai membicarakan Kinan dan keluarganya. Fitnah dan tuduhan dilemparkan. Membuat ibu semakin malu dan sakit hati. Jika bukan karena Kinan, ibu tak akan semalu ini.


Tapi, yang lebih menyakitkan bagi ibu, tuduhan orang-orang seolah tak punya hati. Terbiasa menilai sesuatu dari satu sisi saja. Tidak mencoba mencari tahu dari sisi lainnya. Benci rasanya mendengarkan tuduhan tak karuan dari orang-orang sekitar. Mulai dari menganggap Kinan mempermainkan calon suami hingga menyebutnya hamil di luar nikah.


Ibu menelan ludah. Menatap tajam ke arah Kinan yang sudah meminta maaf berkali-kali. Gadis itu mengusap kedua matanya dengan ujung jilbab. Keberanian yang dipupuknya sejak berhari-hari sebelumnya. Ibu mungkin akan menyebutkan tak tahu diri. Tapi, dia harus meminta maaf.


“Jika bukan karena kamu, anak durhaka, ibu tak akan semalu ini!”


Kinan mengangkat wajah demi menatap wajah ibu ketika mengucapkan kalimat menyakitkan itu. Istighfar berkali-kali bergema di hati. Anak durhaka? Kinan menyelami kesungguhan dari ucapan ibunya. Benarkah ibu bersungguh-sungguh mengucapkannya?


Kinan diam. Dadanya sesak. Ibu pun bergeming. Tak ada yang berubah meski sumpah serapah serta fitnah tersebar di mana-mana. Menusuk hati serta telinga.


Kinan menyeka kedua matanya yang basah. Kali ini, dia sudah lupa tentang cinta yang sejak lama disembunyikannya dalam hati. Dia lupa seperti apa bahagianya ketika bertemu Ridho. Dia lupa banyak hal termasuk mimpi menikah dengan orang yang dicintainya sejak ibu menyebutnya durhaka.


***


Ibu, meski kesal sebenarnya tak pernah berniat menyakiti putrinya. Tuduhan orang-orang tanpa bukti itulah yang membuatnya begitu murka hingga dia harus menyalahkan Kinan atas semuanya.


Belakangan orang-orang tahu, Kinan tak lagi disebut Kinanthi oleh sang ibu. Melainkan anak durhaka. Dan mereka semakin ramai membicarakannya. Tak henti-henti bahkan semakin menjadi-jadi.


Sayangnya, baik Kinan serta ibu mustahil menyumpal mulut orang-orang yang sok tahu itu. Tapi, mereka bisa memperbaiki semuanya dengan tidak mendengarkannya.


 
Andai mereka tahu, seberapa sakitnya diperlakukan seperti itu, mungkin mereka akan menahan luapan kalimat yang nyatanya menyakitkan bagi orang lain. 

 

Ibu dan Kinan tak ingin mati dalam rasa sakit hati. Karenanya, mereka memaafkan semua fitnah yang dituduhkan pada Kinan serta ibu. Kemudian, memulai kehidupan yang jauh lebih baik. Tanpa membawa omongan orang ke dalam rumah mereka.

 

Kinan, sama seperti ibu, tidak pernah saling membenci meski kejadian beberapa hari lalu sempat membuat Kinan tak layak meneruskan hidup. Tapi, Kinan tahu ibu tak benar-benar mengucapkannya.

 

"Maafkan, Nak."

 

Kinan mengangguk. Merengkuh ibunya lama sekali.

 

***

Tuesday, December 5, 2017

Cerbung Tentang Kita Bag 16; Kembali Jatuh Hati

Cerbung Tentang Kita Bag 16; Kembali Jatuh Hati


Kadang, menyenangkan menjadi berharga bagi seseorang

Meskipun dalam waktu singkat, tanpa pembuktian

Sayangnya, ada aku yang jauh lebih menghargai kehadiranmu

Bukan dia yang baru saja datang.

Kadang, menyenangkan merasakan suasana baru bersama orang lain,

Termasuk ketika binar-binar cinta itu menyala

Seperti orang yang baru saja jatuh hati.

Berbunga, hangat dan selalu menyenangkan.

Sayangnya, jatuh cinta cukup sekali,

Merawatnya butuh bertahun-tahun supaya tidak layu

Seperti usia pernikahan kita yang semakin menua

Melewati banyak hal,

Aku tak benar-benar yakin, dia bisa setangguh aku saat kamu benar-benar berada pada titik terendah dalam kehidupanmu

Aku tak benar-benar yakin, dia sebaik malaikat saat menunggui masa kegagalanmu yang tak cukup sekali terjadi

Aku juga tak pernah yakin dengan cinta yang sebenarnya tak layak diperjuangkan,

Termasuk ketika kamu memasukkan orang lain dalam hubungan kita

Kadang menyenangkan, menjadi bagian dari seseorang

Tapi, tidak menyenangkan ketika menjadi bagian dari sepasang suami istri yang telah membina rumah tangga selama bertahun-tahun,

Sebab, sebahagia apa pun, dia tetaplah duri

Merusak, melukai...


****


Bagas membuka pintu kamar di mana Raka dirawat. Putranya sedang tertidur pulas. Di sampingnya, Raina tengah menangis sesenggukan. Bukan kabar baik hari ini. Raina melihatnya sedang bertemu Sherly di rumah sakit yang sama di mana putranya dirawat.


Sebelumnya, bukan maksud Bagas menyakiti istrinya. Dia hanya ingin mengetahui konsisi Sherly yang menurut Rara, sedang dalam keadaan kritis. Kenyataannya, saat berkunjung, Sherly sudah membaik. Dan pertemuan yang diawali rasa iba itu justru berubah jadi canda tawa.


Sherly, meskipun dulu sempat menjadi orang paling Bagas benci, kini justru bisa membuatnya tertawa setelah sekian lama dia hanya murung dan menjadi bagian tersulit di rumahnya sendiri. Tidak menyapa Raina, tidak juga bicara berdua seperti sebelumnya.


Pertemuan singkat membuat suasana hatinya menjadi segar lagi. Ada banyak hal yang baru Bagas tahu, termasuk kalimat maaf yang berulang kali Sherly ucapkan saat pertama mereka bertatap muka. Dia, gadis yang terlihat sayu itu berkali-kali menyesali perbuatannya dulu. Dan bagi Bagas, memaafkan bukanlah hal buruk terutama setelah tahu, ada Rara di antara mereka.


Tidak pernah terbersit ingin menduakan Raina. Tapi, istrinya telah mengetahui lebih dulu sebelum Bagas sempat menjelaskan. Tentu saja, hal semacam itu terdengar sangat menyakitkan. Bahkan Bagas kini sudah mulai bisa merasakannya.


Mungkin, Raina bisa mencari pintu surga lainnya ketimbang harus berbagi hati dan cinta suaminya kepada wanita lain. Bagas mengerti, kepercayaan Raina terlukai untuk kedua kalinya.


Bagas menarik napas, mendekati istrinya yang masih menangis. Wanita ini benar-benar tampak kurus. Bagas entah dari mana, merasa begitu iba ketika melihat kondisi istrinya. Mungkin Bagas cukup bersedih atas kondisi rumah tangganya saat ini, tidak disadarinya, ada orang yang jauh lebih bersedih darinya.


“Rai,”


Suara hangat yang Raina rindu. Ke mana selama beberapa minggu terakhir? Sibuk menjadi bagian dari wanita lain? Raina diam. Hatinya tiba-tiba ngilu.


Bagas menarik tangan Raina. Wanitanya menolak untuk kesekian kali. Bagas menjatuhkan tubuhnya di lantai, memohon. Biarkan dia bicara. Lelaki itu ingin sekali didengar, jangan didiamkan. Sebab itu lebih menyakitkan baginya.


Tapi, Raina yang masih menangis justru terus mempertahankan pendiriannya. Tidak ada yang perlu dibicarakan, termasuk kebersamaan mereka yang telah terlukai. Raina bangkit, menjatuhkan hand bag di pangkuannya. Suara berisik dan barang-barang berceceran. Termasuk sebuah botol obat berukuran kecil.


Bagas dengan gemetar memungutnya.


“Kamu hamil?”


Bagas tahu betul, itu vitamin untuk ibu hamil. Bagas terkesiap, menyadari ada banyak kejanggalan akhir-akhir ini, termasuk suara muntah-muntah di kamar mandi setiap pagi. Istrinya hamil? Benarkah?


Rasanya hampir tak percaya. Raina yang masih kesal justru membereskan tasnya tanpa peduli. Sayangnya, Bagas telah lupa semuanya. Dia lupa bahwa kemarin mereka masih tidak bicara, dia lupa, bahkan tadi Raina masih menatapnya dengan tatapan tajam dan menyakitkan. Yang Bagas tahu, dia bahagia mendapati istrinya sedang mengandung anak kedua mereka.

 
Bagas merengkuh Raina. Dan wanita berlesung pipit itu mematung lama sekali. Perasaan rindu dan entah, bercampur jadi satu. Menyadari, ada banyak hal  hilang akhir-akhir ini. Termasuk perasaannya yang sudah mengering, layu.