Saturday, December 2, 2023

Hai, Nak! Apa Kamu Bahagia Punya Orang Tua Seperti Kami?

Hai, Nak! Apa Kamu Bahagia Punya Orang Tua Seperti Kami?
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash


Kebanyakan orang tua menuntut anak-anaknya supaya menjadi baik, penurut, patuh, dan sopan kepada orang tua. Namun, di sisi lain orang tua justru lupa bersikap sama kepada mereka. Meski masih kecil, mereka juga manusia yang jika dibentak akan merasa sakit dan bahkan traumanya bisa dibawa hingga dewasa.


"Hai, Nak! Apa kamu bahagia punya orang tua seperti kami? Apakah kami sudah cukup baik untuk mendengarkan ceritamu sepanjang hari? Apakah kami sudah cukup layak disebut orang tua yang dapat memanusiakan anaknya?"


Saya pernah bertanya kepada si bungsu yang sekarang baru 8 tahun, "Apa kamu senang punya orang tua seperti Bunda?" Tanpa ragu dia menjawab, "Anak-anak nggak bisa milih orang tuanya." Eits, anak segini jawabnya udah baku banget…kwkwk. Berasa lagi ngobrol sama anak SMA…haha.


Kemudian saya tanya, "Andai kamu bisa milih, mau nggak pilih orang tua yang lain? Mungkin seperti ibunya si A atau si B?"


Dia bilang, "Nggak mau. Tetap pilih Bunda. Sayangnya Adek ke Bunda udah sampai garis." Maksudnya, sudah benar-benar maksimal...kwkwk.


"Kalau nggak sukanya apa dari Bunda?" Dia jawab dengan gaya melucu, "Kalau sudah bla bla bla..." *bergaya seperti sedang menceramahi orang…kwkwk. Maksudnya, emaknya cerewet. Dia nggak suka kalau diomelin…haha. Namun, sayang sekali. Itu sudah bawaan dari lahir ya, Nak…kwkwk.


Sebenarnya, kalau kita mau menyadari, meski telah tumbuh dewasa, orang tua seperti kita juga sangat mungkin melakukan kesalahan. Jadi, bukan berarti setelah jadi orang tua kita tidak pernah salah. Hal paling sulit ketika kita tidak menyadari dan menganggap anaklah yang selalu salah.


Gimana perasaan mereka ketika selalu disalahkan? Sedangkan orang tua juga sebenarnya sedang belajar dan tidak pernah mengenyam pendidikan untuk jadi orang tua? Pada akhirnya, anaklah yang akan menanggung beban hingga dewasanya nanti.


Kepada si bungsu saya tidak merasa banyak berutang, tapi kepada si sulung, saya merasa punya banyak sekali utang di masa kecilnya. Makanya sampai saat ini, saya sering minta maaf jika kami pernah punya salah dan pernah tanpa sengaja menyakitinya. Kenapa bisa begitu?


Karena saat si sulung lahir, kami benar-benar baru belajar jadi orang tua. Kemudian dia punya adik di usianya yang masih balita. Dia sebenarnya masih kebingungan, kenapa Bundanya terlihat terlalu sibuk dengan adiknya, sedangkan dia yang biasanya dibacakan buku setiap malam sekarang justru sedang sendirian?


Saya ingat betul, sepulang dari rumah sakit, dia menunggu saya di tempat tidurnya seperti malam-malam sebelumnya. Menanti untuk dibacakan buku, tapi saya tidak bisa lekas menemani karena harus mengurus adiknya yang baru lahir. 


Setelah mereka agak besar, sering kali saya tidak mau mendengarkan penjelasan si sulung dulu, tapi lebih sering menyalahkan ketika adiknya menangis, memintanya selalu mengalah, padahal dia berhak menolak. Awalnya bagi saya ini hal sepele. Hanya soal mainan dan barang-barang remeh. Hingga suatu hari dia pernah bilang, "Kenapa aku terus yang disalahkan?" 


Kalau ingat, nyeseknya sampai ulu hati. Bahkan kalau mengingat kesalahan saya sebagai orang tua, sampai saat ini saya masih sering menangis. 


Ternyata, jadi orang tua itu tidak mudah, ya? Meski telah berhati-hati, terkadang kita tidak bisa mengendalikan diri dan buru-buru mengambil keputusan, hingga sering kali kita lupa mendengarkan anak-anak.


Meski sudah menjadi kakak, bukan berarti anak kita sudah dewasa. Di usia mereka yang masih balita, tidak seharusnya juga selalu berbagi mainannya dengan si adik. Mereka bisa saja merespon permintaan itu dengan cara mempertahankan apa yang dirasa miliknya. Dan itu nggak salah. Dia tidak harus selalu mengalah hanya karena orang tua meminta. Dan terkadang, meski adiknya menangis, bukan berarti selalu kakaknya yang salah.


Siapa sangka, jadi orang tua seberat ini, kan? Terutama setelah anak kita punya saudara, rasanya sangat sulit mengendalikan emosi, terlebih ketika kita belum sepenuhnya selesai dengan diri sendiri. Bagaimana kita bisa memperbaiki semuanya?


Kita Butuh Jeda

Hai, Nak! Apa Kamu Bahagia Punya Orang Tua Seperti Kami?
Photo by Juliane Liebermann on Unsplash


Setelah si sulung masuk pesantren, terasa sekali kehilangannya. Seberat ini ternyata rasanya harus berpisah dengan anak yang telah kita rawat sejak kecil. Melihat baju-bajunya di lemari, ternyata sudah cukup membuat seorang ibu menangis. Bahkan sampai detik ini, saya masih suka mengusap baju-baju dia kemudian menciumnya. Kangen...


Waktu awal-awal dia masuk pesantren, sedikit pun nggak ada keluhan. Saya lumayan kaget melihat perubahannya. Ketika pertama kali menjenguk, saya bilang,


“Nak, terima kasih sudah berusaha, ya. Bunda bangga sama kamu.”


Enam bulan di pesantren, saya tidak merasa dia membebani kami sama sekali. Tidak pernah minta pulang, diberi uang berapa pun tidak pernah protes, bahkan ketika sakit hingga demam, dia tidak memberi tahu saya. Dia minum obat yang saya bawakan dari rumah, tetap sekolah, dan bersikap seolah tidak ada apa-apa. Masya Allah. Ketika dia menelepon, dia tidak akan segera menutup telepon sampai saya bilang sudah. Dia pastikan dulu apakah emaknya sudah selesai kangennya? haha.


Namun, dua bulan terakhir, setiap saya ke pesantren, dia terlihat gusar menanyakan waktu. Jam berapa? Bunda langsung pulang habis salat Ashar?


Dia merasa waktu kami bertemu terlalu singkat. Dia ingin lebih lama ngobrol. Hingga kali terakhir kami menjenguk, dia sesenggukan di bahu saya. Kami memutuskan menunggu sampai dia pulang halaqah. Kami luangkan waktu untuk ngobrol bertiga. Dia terlihat lega karena bisa lebih lama bersama dan bercerita. Ceritanya nggak berat, hanya hal-hal sehari-hari. Tentang pelajaran, guru, dan teman-temannya. Setelah itu, kami segera pamit karena khawatir terjebak macet di jalan. 


Awal-awal dia masuk pesantren, rasanya pengin saya batalkan saking nggak mau kami berpisah. Namun, saya sadar, waktu seperti sekarang justru memberikan jeda untuk saya dan dia sebagai anak dan orang tua. 


Kesalahan Orang Tua

Hai, Nak! Apa Kamu Bahagia Punya Orang Tua Seperti Kami?
Photo by Juliane Liebermann on Unsplash


Apa, sih yang sering luput kita sadari sebagai orang tua? Kadang, bukan kita tidak mengerti, berkali-kali membaca buku parenting pun ternyata tidak cukup untuk mengontrol sikap kita kepada anak-anak. Ada saja hal-hal yang kelepasan. Bisa sepele, bisa juga besar pengaruhnya buat anak-anak.


1. Orang tua sering tidak mau mendengarkan anak-anaknya. Kita cenderung tidak mau meluangkan waktu meski hanya sebentar, bahkan sekadar untuk mendengarkan klarifikasinya. Jika anak sudah merasa tidak pernah didengar, dia akan lebih banyak diam karena merasa semua yang dia lakukan percuma.


2. Anak-anak tidak butuh banyak hadiah, dia butuh ‘kehadiran’ kita sebagai orang tua. Meski kebanyakan ibu ada di rumah, tapi jika kebersamaan tidak berkualitas, saya rasa ini juga akan percuma. Apalagi jika anak-anak menerima kekerasan, akan semakin membuat mereka trauma dan suntuk.


3. Jika melarang, silakan beri alasannya. Saya pernah menonton video seorang ibu yang galak dan sempat viral. Ibu ini suka menasihati dengan suara tinggi, tapi kali itu dia mengatakan bahwa, "Ketika ibu melarang ya udah dengerin. Nggak usah nanya-nanya alasannya kenapa. Nurut aja.” Buat saya, ini kurang tepat. Anak-anak akan mengikuti aturan jika dia tahu alasannya. Kenapa kita tidak boleh main api? Karena akan terbakar dan membahayakan diri. Kenapa kita tidak boleh main pisau? Kenapa anak-anak sebaiknya tidak main gadget? Jika mereka tidak tahu alasannya, bisa jadi mereka justru jadi penasaran dan malah mencoba ketika orang tua tidak mendampingi.


4. Mengungkapkan rasa sayang dengan memanjakan dan menuruti semua keinginan anak saya rasa bukan sikap yang tepat. Meski kita tahu, siapa, sih yang mau anaknya susah? Namun, untuk beberapa hal kita perlu mengajarkan anak supaya mandiri dan bisa menahan diri. Ketika sudah dewasa, dia siap menerima kenyataan bahwa tidak selamanya ia bisa bersama orang tuanya.


5. Jangan malu untuk meminta maaf kepada anak ketika dirasa ada sikap kita yang keliru. Kebanyakan orang tua tidak merasa bersalah setelah marah-marah. Padahal, sikap kasar kita sangat menyakiti hati mereka. Anak-anak itu pemaaf banget, lho. Nggak seperti kita yang kadang pendendam. Coba ajak diskusi dibanding selalu menghakimi mereka. Kira-kira, sikap apa yang bisa menyakiti hatinya dan sikap mana yang tidak kita sukai dari mereka. Kita bisa sama-sama memperbaiki.


6. Pertengkaran antara suami istri bisa menyebabkan trauma bagi anak-anak. Kita mungkin tidak menyadari itu, sebab kita merasa tidak pernah melibatkan mereka. Namun, mereka melihat, mereka juga mendengar. Memang, tidak sepantasnya kita bertengkar di depan anak-anak. Terkadang, ada yang tidak dapat kita kendalikan. Lekas minta maaf dan jelaskan sesuai usia mereka.


Jika disebutkan semua, rasanya tidak cukup 100 sekian halaman, ya? haha. Banyak kesalahan yang kerap kita lakukan tanpa disadari. Kemudian kita memahami, rupanya jadi orang tua itu berat, ya? Mereka tidak bisa memilih dari siapa dilahirkan. Kitalah yang berharap mereka ada.


Saya rasa, tidak ada orang tua yang sempurna. Meski sedikit, orang tua pasti pernah marah dan berselisih paham dengan anaknya. Namun, saya ingin menekankan bahwa masih ada waktu untuk memperbaiki kekeliruan kita. Jangan gengsi untuk minta maaf dan berhentilah melakukan kesalahan.


Salam hangat,