Friday, May 29, 2020

Resep Bolu Kering, Camilan Mudah Dibuat dan Ekonomis

Resep bolu kering



Hari Raya Idulfitri di rumah gimana tahun ini? Tahun ini, bukan pertama kalinya saya dan keluarga nggak mudik ke Malang. Tahun ini, bukan pertama kalinya ngerasain Idulfitri nggak semeriah di kampung halaman. Kalau lebaran di Jakarta, ya emang se-kesepian ini...hiks. Palingan keliling ke tetangga sebentar setelah shalat Id, kemudian ikutan Bu dhe keliling keluarga di Jakarta dan Bintaro seharian. Abis itu selesai lebarannya.

Makan ketupat di Hari Raya pertama, itu menjadi hal biasa saat berlebaran di Jakarta. Ketika pandemi seperti sekarang, tetap masak ketupat, tapi nggak berani ke pasar. Tetap masak opor, segala kebutuhan seperti biasa hanya titip ke tukang sayur. Dan lebaran berjalan seperti nggak ada beda, kecuali dua hal yang sangat terasa, rencana mudik yang tiba-tiba gagal dan nggak ada shalat Id di masjid.

Sebelum lebaran, sempet drama nangis sendirian di pojokan kamar...kwkwk. Iya, karena sebenarnya pengen banget pulang ke rumah orang tua, tapi akhirnya batal bukan karena direncanakan. Ternyata ini cukup menyedihkan sekali ketika dijalani.

Video call jadi hiburan, bahkan sempet Zoom sama yang lain. Kelihatan tetap happy semua, kok. Kayaknya nggak perlu aja diumbar ya sedihnya, meski siapa pun tahu lebaran tahun ini sangat berbeda, sepi, tapi sejujurnya lebih dekat terasa.

Selepas Idulfitri sampai sekarang, belum belanja juga. Kebiasaan selalu stok bahan makanan lumayan di kulkas dan frezer. Tomat udah sedia 5 kiloan...kwkwk, baru habis hari ini. Kok, banyak banget nimbunnya? Nggak pandemi juga belinya selalu banyak, kok...hehe. Soalnya kebiasaan ngejus tomat dkk tiap hari. Hanya saja saat lebaran, agak khawatir tukang sayur liburnya lama, jadi banyakan dikit nyetoknya.

Nah, karena jarang belanja, camilan pun mulai menipis. Udah bikin puding, tapi pengen banget makan bolu gitu. Mau beli serem banget karena toko kue langganan rame kabarnya. Akhirnya ngidam sejak sebelum lebaran. Kebayang udah lama banget, kan? Haha.

Pas nanya suami, ternyata mau dibuatin bolu. Tapi, bolu kering jadul gitu. Yang bentuknya mirip kura-kura tengkurap...Hihi. Dan nyobalah bikin di hari ketiga lebaran kemarin. Resep ini saya dapatkan di Instagram, katanya ini resepnya Veronica Dhani.

Saya pakai cetakan cup cake. Hasilnya hanya jadi 9 biji aja...kwkwk. rebutan sama anak-anak :D

Kalau mau buat lebih banyak, saran saya bikin dua kali resep, ya. Jika ada cup kecil, boleh pakai itu supaya hasilnya nggak terlalu besar seperti milik saya kemarin. Yuk, intip resepnya!

Bahan:


2 butir kuning telur

1 butir putih telur

70 gram gula pasir (boleh kurangi karena buat saya ini manis banget)

70 gram terigu protein sedang (ex: segitiga)

¼ sdt garam

¼ sdt pasta vanila

70 ml sunflower oil (Saya pakai minyak sayur)

Pasta cokelat/ cokelat bubuk untuk hiasan (optional)

Cara membuat:


  • Mixer telur dan gula hingga kental dan putih. Masukkan gulanya secara bertahap aja, ya. Mixer dengan kecepatan tinggi.

  • Masukkan tepung terigu, garam, pasta vanila, kocok lagi sampai rata dengan kecepatan rendah.

  • Tambahkan minyak sayur dan aduk sampai rata.

  • Jika mau ditambahkan hiasan cokelat, boleh ambil sedikit adonan dan campur dengan pasta cokelat.

  • Tuang adonan ke dalam cetakan atau cup. Beri sedikit adonan cekelat dan bantu tarik garis dengan tusuk gigi bersih.

  • Oven dengan suhu sekitar 140’C hingga matang dan kering. Kalau pakai oven kompor, bisa pakai api kecil saja, ya.

  • Angkat dan dinginkan. Baru disimpan di toples.

Resep bolu kering



Voila!
Bolu kering jadulnya udah jadi dong. Gampang banget, sih, tapi gampang habis juga...haha. Soal rasa enak, wangi, hanya saja bagi saya terlalu manis. Jika kamu kurang suka rasa manis, boleh kurangi saja gulanya, ya.

Saya juga suka resep-resep tanpa tambahan pengembang dan obat-obatan gitu. Berasa nggak terlalu berdosa aja pas makan...kwkwk. Next bakalan share lagi resep bolu-boluan jenis lainnya. Karena kemarin sempat baking beberapa kali. Sekali bikin ludes aja sih nggak bersisa :D

Semoga resep ini bisa jadi ide menarik dan inspirasi buat teman-teman di rumah. Saya yakin, hampir semua orang memilih lebih repot di dapur daripada harus pesan atau beli makanan di luar. Sesekali bolehlah, ya. Tapi, karena pandemi seperti sekarang, saya merasa cukup aja dengan apa yang ada di rumah.

Salam hangat,

 

Monday, May 25, 2020

Baru Nikah dan Nggak Jago Masak? Pakai Yummy App Aja. Bantu Kamu Membuat Menu Favorit di Meja Makan

Yummy Aplikasi



Baru nikah dan nggak jago masak? Kayaknya masalah ini dialami oleh hampir semua wanita yang baru saja melangkah ke jenjang pernikahan. Happy dong bisa menikah dengan orang yang kita cintai, bisa pindah ikut suami merantau ke luar kota, dan pastinya belajar mandiri jauh dari orang tua. Tapi, ternyata kehidupan baru setelah menikah nggak selalu mudah. Begitu juga yang saya alami selama ini.

Menikah di usia 19 tahun membuat saya serba nggak jago dalam mengurus rumah, termasuk mengolah resep di dapur. Sejak SMA harus menyelesaikan pendidikan di pesantren hingga D1. Empat tahun nggak pernah belajar masak, karena kegiatan di pesantren yang cukup padat, semua santri nggak boleh masak sendiri, khawatir mengganggu waktu belajar. Paling-paling kami memasak mi instan dengan teko listrik atau menyetrika roti isi cokelat supaya menjadi roti bakar...hihi. Konyol banget, ya?

Namun, aktivitas yang sama selama bertahun-tahun membuat saya benar-benar nggak jago di dapur. Pas nikah dan pindah ke Jakarta, saya kagok banget mau masak apa untuk suami. Apalagi si Mas ini termasuk orang yang pemilih banget, rasanya stres dan putus asa tiap mau masak. Khawatir nggak dia sentuh, khawatir hanya di-endus doang...haha.

Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, nyobain resep ini itu, supaya kemampuan memasak meningkat, mulai dari nanya resep andalan Ibu, membeli buku-buku resep, sampai nyoba-nyoba resep baru dari internet. Tapi, rata-rata nggak bener hasilnya. Resepnya udah sama persis, tapi kalau Ibu yang bikin, si Mas doyan banget tanpa protes. Pas istrinya yang masak, dilihatin doang, nggak semangat makan. Yasalam, benar-benar bikin patah hati :D

Saya pikir, memang ada banyak hal nggak bisa dilakukan dengan instan, salah satunya memasak. Harus sering-sering nyoba, harus sering gagal kalau mau tahu tip berhasilnya seperti apa, harus sering belajar sambil melihat video masakan dari ahlinya karena banyak resep-resep beredar di internet kebanyakan hanya hasil copy paste saja.

Jangan Takut Gagal



Yups! Nggak usah takut gagal ketika pertama kali mencoba resep-resep baru. Karena dari kegagalan itulah kita bisa belajar untuk membenahi apa yang salah. Misalnya saat pertama kali belajar membuat roti sendiri, nggak kehitung berapa kali adonan roti saya bantat, nggak matang di dalam walaupun bagian luarnya udah keemasan, pas diangkat mimpes ngenes...hiks. Nggak kehitung berapa kali rotinya keras dan nggak layak makan. Padahal udah bikin sesuai aturan resep, lho.

Pernah suatu hari saya memanggang roti hingga tengah malam, sekitar jam 12 malam. Karena harus nunggu bayi tidur dulu. Tapi, pas diangkat ternyata dia nggak matang sempurna. Waktu manggangnya udah pas, suhunya udah benar, entah apa yang salah akhirnya gagal lagi dan lagi. Kebayang capeknya, apalagi dulu masih ngulen pakai tangan dengan kondisi saya masih punya baby.


Tapi, gagal sekali bukan berarti kita akan gagal selamanya. Saya pun belajar lebih tekun untuk membuat roti supaya empuk dan layak dimakan oleh si Mas dan anak-anak. Dan voila! Setelah beberapa kali gagal dan nggak kehitung berapa kali pengen nangis...haha, akhirnya berhasil juga dong membuat roti yang beneran disukai banyak orang. Sampai-sampai ada yang mau order untuk kedai roti bakarnya *auto terharu.

Masaknya Harus Happy!



Hampir semua orang mengatakan bahwa memasak ketika mood baik sangat berpengaruh dengan hasilnya nanti. Masak sambil kesel dan bete bakalan ngerusak menu yang kita buat. Ya, hasilnya nggak akan maksimal. So, buatlah kegiatan memasak sebagai salah satu hiburan dan me time buat kita sebagai seorang istri terutama yang jarang beraktivitas di luar rumah atau bagi seorang Ibu Rumah Tangga seperti saya.

Kalau nggak pintar-pintar mengatur mood, semua aktivitas bakalan ambyar. Mulai dari ngurus kerjaan rumah, ngurus anak, memasak pun sama. Dan koentji dari kebahagiaan rumah tangga seseorang salah satunya ada di tangan kita.

Me time nggak harus ke salon dan belanja ke mall, memasak di dapur pun bisa jadi salah satu hal menyenangkan tergantung bagaimana kita menjalaninya.

Setelah capek ngulen adonan roti dan memangganggnya di oven, saya bahagia ketika anak-anak dan Mas menyukai roti buatan saya. Rasanya nyess banget di hati. Adem mirip ubin masjid...haha. Kebayang dulu saya yang selalu gagal masak, sekarang bisa membuat roti favorit keluarga di rumah :)

Cari Resep-resep Andalan dan Terbukti Antigagal



Nggak semua resep layak dicoba. Karena sebagian nggak diperuntukkan bagi pemula. Dulu, saya sering nyobain resep dari sumber nggak jelas. Kebanyakan gagal karena belum tentu yang nulis resep pernah nyobain juga. Bisa jadi dia memang hanya copy paste, kan? Akhirnya kita ikutan gagal juga :(

Setelah sekian lama bergelut dengan tepung dan rempah di dapur, saya baru sadar bahwa nggak semua resep yang beredar di internet layak kita coba. Hanya resep-resep tertentu saja yang bisa kita praktikkan di rumah.  Misalnya dari penulis yang sudah kita kenal di sosial media, sudah beberapa kali kita coba juga resepnya dan terbukti antigagal terutama buat pemula.

So, nggak ada alasan bermalas-malasan di dapur jika sudah menemukan resep yang terpercaya, cukup ikuti takaran bahan dan aturan membuatnya. Insya Allah, hasilnya memuaskan, tinggal diulang-ulang saja, kok :)

Pakai Yummy App, Aplikasi Memasak yang Resepnya Sudah Jelas Teruji



Pernah nonton video masak dari akun Instagram @yummy.idn? Selain bikin ngiler, ternyata resep-resep yang disajikan nggak asal, lho. Jelas teruji dan pastinya banyak ide menarik yang bisa kita dapatkan di sana. Biar nggak mati gaya waktu masak, supaya belajar memasak jadi lebih menyenangkan karena bisa melihat prosesnya langsung lewat video yang disediakan.

Bagi yang belum tahu, Yummy juga tersedia dalam bentuk aplikasi, lho. Yummy App bisa kamu temukan di Play Store. Apa saja kelebihan dan keunggulan Yummy App?

  • Kita bisa memakai fitur memasak, di mana akan ada rekomendasi resep sesuai dengan bahan-bahan yang tersedia di kulkas. Emejing banget, kan? Solusi saat mati gaya :D

  • Yummy App menyediakan rekomendasi menu khusus yang bisa kamu coba. Misalnya, menu-menu inspirasi selama bulan Ramadhan seperti kue kering untuk menyambut lebaran, menu takjil, menu sahur, resep andalan untuk meningkatkan imunitas di tengah pandemi, dll.

  • Ada juga resep-resep terpercaya dari komunitas Yummy yang telah di-review sebelum diterbitkan. Jadi, nggak ada alasan salah milih resep ketika menggunakan Yummy App, ya!

  • Melihat resep sambil nonton video masaknya? Yups! Buat saya ini merupakan salah satu kelebihan yang belum disediakan oleh aplikasi serupa. Apalagi buat orang-orang di zaman secanggih sekarang, yang lebih suka melihat proses memasaknya secara langsung lewat video ketimbang hanya membaca step by step-nya. Malah kadang nggak teliti baca resep dan akhirnya gagal...hiks. Berbeda ketika kita bisa nonton videonya langsung.

  • Menerbitkan resep dan dapat fee? OMG! Saya pikir ini hanya bercandaan seorang teman. Ternyata beneran, resep-resep yang berhasil diterbitkan di Yummy App dihargai dengan rupiah, lho. Bukankah pekerjaan yang menyenangkan adalah hobi yang dibayar? Hihi. Udah happy bisa masak dan berbagi dengan komunitas Yummy, masih dibayar pula. Siapa bisa nolak?

  • Banyak event memasak berhadiah jutaan rupiah. Auto lari ke dapur dan memasak hingga seharian ya kalau bisa dapat uang jajan dari Yummy App? Hihi.

  • Yummy App menyediakan fitur komunitas dan grup khusus sehingga kita bisa berinteraksi dengan lebih mudah dan mengetahui update event terkini. Belum ada aplikasi yang menyediakan fasilitas selengkap ini.

  • Fitur filter harga pun tersedia di Yummy App. So, kita bisa mencari resep sesuai dengan budget. Memudahkan banget, ya?

  • Kamu bisa mencoba resep-resep andalan dari chef profesional dengan mengikuti akun official mereka, lho. Misalnya ada chef Arnold, dll.


Banyak banget keunggulan dari Yummy App, ya? Mulai sekarang, nggak perlu pusing lagi mencari menu MPASI, menu khusus buat ibu hamil dan menyusui, hingga menu-manu favorit lainnya. Kamu bisa cari langsung di Yummy App dan cobain resepnya.

Saya sudah punya aplikasinya dan merasakan manfaatnya. Giliran kamu, nih yang katanya pengen jago di dapur tanpa harus gagal berkali-kali :)

Salam hangat,

Featured image: Photo by Marta Dzedyshko on Pexels

 

Friday, May 22, 2020

Kangen Makan Mi Ayam Abang-Abang? Ini, lho Resep Super Yummy yang Nggak Kalah Nikmat!

Resep mi ayam abang-abang



Saat pandemi seperti sekarang, mustahil menemukan pedagang makanan keliling di komplek rumah. Mereka yang berjualan pakai gerobak seperti tukang ketoprak, lontong sayur, soto mi, bajigur, dll nggak bisa mengakses jalan. Semua jalan ditutup. Beberapa yang bisa lewat hanyalah warga saja. Masing-masing yang harus beraktivitas di luar punya kunci sendiri.

Sebenarnya, saat seperti sekarang, rasanya nggak nafsu makan macam-macam. Nggak kayak dulu, segala hal pengen dilahap dan di lidah memang enak. Sedangkan saat ini yang terjadi justru sebaliknya. Karena parno, prihatin, dan serba was-was, akhirnya merasa cukup dengan makanan seadanya yang penting bisa mengisi perut dan sehat.

Tapi, sekali waktu pasti kita kangen juga dengan makanan yang mungkin dulunya pernah difavoritkan, tapi sekarang sudah nggak bisa lagi menyantapnya karena adanya wabah covid-19 ini. Misalnya saja mi ayam.

Biasanya, kita senang membeli semangkuk mi ayam abang-abang, kan? Selain potongan ayam yang dibumbui rempah dan kecap manis, ada juga tambahan bakso dan tetelan sapi. Diguyur sambal, disantap panas-panas, wah masya Allah *lupa kalau belum Magrib...kwkwk.

Kalau nggak mungkin beli, kenapa nggak bikin aja daripada ngiler? Selain untuk mengisi perut, masak sendiri juga bisa jadi kegiatan menyenangkan bersama anak-anak yang hampir setiap hari mengeluh bosaaan...bosaaaan :(

So, saya yang gagal mudik memutuskan melakukan banyak aktivitas melibatkan anak-anak. Misalnya saja kemarin, saya membuat stik keju bersama anak-anak. Saya membuat 500 gram adonan stik keju. Ternyata nggak berasa banget bikinnya karena mereka rajin milin itu stik sampai habis...hihi. Saya pun happy karena toples kosong mulai terisi. Rencananya, saat ayahnya libur ngantor, kami mau bikin lidah kucing. Seru banget, kan?

Sambil nunggu ayahnya libur, hari ini saya memutuskan membuat mi ayam homemade. Jadi, bukan hanya topping aja yang bikin sendiri, mi-nya juga. Dan memang menggiling mi-nya ini yang bisa dilakukan bersama anak-anak. Mereka heboh banget rebutan mau memutar alat penggiling meski di awal agak berat, tapi setelah melihat hasilnya, mereka seneng dong...haha.


Resep mi ayam ini saya dapatkan dari dua resep berbeda. Untuk topping mi ayam + minyak ayam saya pakai resepnya ci Xander’s Kitchen. Dagingnya saya pakai daging ayam kampung ditambah cincangan daging sapi berlemak atau tetelan. Meski campur-campur dagingnya, tapi tetap rasa mi ayam, kok...kwkwk.

Sedangkan untuk resep mi-nya saya temukan di akun Instagram @icenguik. Katanya ini resep dari buku masakan yang ditulis oleh akun @restuutamidewi. Mi ini enak banget, kenyal, nggak gampang putus, dan pas digiling juga mudah dan bagus banget hasilnya. Pas nyoba direbus untuk menu berbuka tadi, sempat takjub dengan tekstur mi-nya. Karena sebelumnya pernah bikin juga, tapi susah banget digiling dan hasilnya biasa aja :(

Jadi, nggak nyesel nyoba resep ini. Yuk, cobain.

Bahan mi:


500 gram terigu protein tinggi (ex: cakra)

70 gram tepung sagu

3 butir telur

1 sdm garam

150 ml jus sawi hijau

Cara membuat mi:



  1. Masukkan tepung terigu, tepung sagu, telur, dan garam ke dalam baskom. Kemudian tuang air dari jus sawi yang telah disaring. Saya pakai satu ikat sawi yang dicampur dengan air kemudian dihaluskan dan disaring.

  2. Uleni sampai rata dan nggak lengket di tangan. Jadi, buat nyampur adonan ini butuh waktu beberapa menit dan sabar jangan ditambah air meski awalnya kayak agak kering, ya. Tetap sesuai sama ukuran aja.

  3. Setelah adonan tidak lengket, kita bisa ambil sebagian dan menggilasnya dengan gilingan mi. Harus diulang-ulang sampai adonan menjadi halus dan bagus. Baru dibentuk menjadi mi.

  4. Supaya nggak lengket, jangan lupa sering taburi adonan dengan tepung sagu.

  5. Lakukan hal yang sama sampai adonan habis. Kemudian sisihkan. Karena hasilnya lumayan banyak, sebagian saya bungkus dengan plastik satu per satu dan dimasukkan kotak kemudian disimpan di frezer.


Bahan topping:


1 ekor ayam kampung (saya mix daging ayam+daging sapi)

1 batang serai, memarkan

1 ruas jahe, geprek atau haluskan

3 lembar daun salam

3 sdm kecap (sesuai selera)

1 sdm kecap asin

1 sdt merica

Secukupnya garam dan gula pasir

Haluskan bumbu:


8 butir bawang merah

5 siung bawang putih

2 butir kemiri, sangrai

1 ruas kunyit

Bahan minyak ayam:


100 ml minyak sayur

Kulit dan lemak ayam

3 siung bawang putih, cincang halus


Cara membuat:


  1. Haluskan bumbu kemudian tumis. Masukkan daging ayam yang sudah dipotong-potong sesuai selera. Masukkan kecap. Kemudian tambahkan secukupnya air dan biarkan daging empuk. Sisihkan.

  2. Cara membuat minyak ayam: Panaskan minyak kemudian masukkan kulit ayam dan biarkan sampai kering, angkat. Masukkan cincangan bawang putih, masak dengan api kecil sampai bawang kering. Siap digunakan.


Penyajian:


  1. Rebus mi homemade hingga matang.

  2. Di mangkuk, masukkan 2 sdm kecap asin, merica bubuk secukupnya, dan 1 sdm minyak ayam. Masukkan mi dan aduk-aduk hingga rata.

  3. Tambahkan topping ayam di atasnya, Tambahkan sayuran dan acar. Sajikan

Resep mi ayam abang-abang



Voila! Mi ayam homemade pun siap disantap! Gimana, gampang banget, kan? Mi-nya juara banget, topping ayamnya juga enaaak. Bikinnya lumayan capek, tapi kalau seenak ini, rasanya terobatilah capeknya apalagi kalau serumah pada doyan :)

Membuat menu-menu favorit sendiri memang menjadi pilihan utama saat ini. Jarang banget beli menu matang di luar. Dan nggak tiap hari masak macam-macam begini, sebab lelahnya sangat terasa...kwkwk. Jadi, dibuat senang-senang aja, kapan longgar, bisa ajak anak-anak membantu sekalian.

Apa menu favorit yang pengen banget kamu coba buat di rumah selama pandemi ini? Yang nggak bisa kamu dapatkan karena kondisi sekarang yang serba sulit? Yuk, share ceritamu juga :)

Salam hangat,


Monday, May 18, 2020

Berburu Berkah di Bulan Ramadan dengan Berbagi Kebaikan di Tengah Pandemi Covid-19

Berbagi kebaikan bersama dompet dhuafa



Tahun ini, kita menjalani Ramadan yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Apa saja yang terasa hilang di Ramadan tahun ini dan mungkin sangat kita rindukan?

Mulai dari shalat tarawih berjamaah yang hanya bisa dikerjakan di rumah, tidak ada lagi suara derap langkah kaki kecil anak-anak sekomplek yang biasa lari-larian sambil ngumpetin sendal temannya usai berjamaah di masjid, sambil cekikikan, sambil ngelempar petasan dengan isengnya, suasana sahur yang terasa lebih hening, buka bersama keluarga besar yang nggak bisa dilakukan lagi, dan paling sedih akhirnya para perantau seperti saya harus gagal mudik dan nggak bisa bertemu orang tua. Jujur, kangeen banget dan khawatir sama kondisi mereka di sana :(

Benar, Ramadan tahun ini rasanya ada yang kurang. Harusnya tanggal 20 Mei 2020, saya dan  keluarga bisa mudik ke Malang seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi, setelah semua dipersiapkan lebih awal, mulai dari beli tiket kereta, sampai menyiapkan oleh-oleh untuk orang tua dan keluarga, akhirnya saya harus menerima kenyataan bahwa mudik tahun ini mesti dibatalkan dengan berbagai macam pertimbangan.

Tentunya bukan hanya saya pribadi yang merasa sedih, tapi juga orang tua terutama Ibu yang selalu lebih hapal tanggal kepulangan kami dari Jakarta menuju tanah kelahiran. Subhanallah, ada saat di mana saya harus menangis usai shalat mengingat keadaan saat ini yang sungguh jauh dari bayangan. Nggak pernah kepikiran bakalan terjadi pandemi covid-19 dan menimbulkan banyak dampak buruk di sana sini.

Tapi, cukup sudah sedih dan nangisnya, ya. Karena sedih aja nggak akan membantu dan membawa perubahan apa pun. Ada baiknya kita nggak hanya fokus dengan musibah ini, melainkan juga memikirkan solusinya.

Dampak dari Pandemi Covid-19 di Masyarakat


Baru beberapa bulan terjadi pandemi, kita bisa melihat dengan jelas dampak negatif yang ditimbulkan oleh pandemi covid-19 ini di dalam kehidupan masyarakat. Contoh paling mudah adalah banyaknya karyawan yang di-PHK masal. Kebayang dong berapa banyak orang yang harus kehilangan pekerjaan, sedangkan mencari pekerjaan lain rasanya begitu mustahil di saat seperti ini.

Belum lagi para pedagang kecil yang tiba-tiba kehilangan pembeli karena sulitnya mengakses rumah-rumah warga. Biasanya, banyak sekali pedagang makanan yang lewat di depan rumah, mulai dari penjual bakso Malang, pedagang kue tradisional, abang-abang penjual gorengan, penjual roti, penjual somay, hingga ketoprak dan lontong sayur. Tapi, sejak pandemi, mereka nggak bisa lewat di depan rumah karena akses jalan ditutup demi kebaikan bersama.

Biasanya, semua orang bisa leluasa lewat. Sekarang, hanya warga komplek saja yang punya akses masuk. Lalu, ke mana mereka mencari rezeki?

Belum lagi kebanyakan orang memilih memasak sendiri di rumah dengan banyak pertimbangan. Jadi, meski bisa berjualan, pembelinya pun pasti jauh berkurang. Pernah suatu hari, suami melihat seorang penjual tahu di depan gang, saat malam menjelang Maghrib, hujan lebat pula, menunggu pembeli dengan pasrah. Padahal, dagangannya masih banyak banget.

Suami pulang dari kantor sambil membawa beberapa bungkus tahu dan oleh-oleh cerita yang menyayat hati. Nggak tega. Berapa banyak orang yang harus hidup dalam keadaan seperti ini saat pandemi? Sangat banyak. Bahkan sampai ada yang harus pingsan di jalan karena belum makan selama berhari-hari.

Hidup ini memang berat. Ujian, cobaan, musibah, dan kebahagiaan saling tumpang tindih datang silih berganti. Hari ini kita senang, besok kita menangis. Hari ini kita tertawa, besok kita kecewa dan sedih. Tapi, di balik semua cobaan berat pasti ada hikmahnya. Bisa jadi itu merupakan tanda cinta Allah kepada kita. Bisa juga merupakan teguran karena selama ini kita telah banyak sekali lalainya.

Namun, andai kita ridha dengan ujian ini, insya Allah ridha Allah pun akan bersama kita. Masya Allah.

Dari Anas bin Malik, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ


Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang ridha, maka ia yang akan meraih ridha Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah)

Berbagi Kebaikan Saat Pandemi Covid-19 Meski Hanya #dirumahaja



Seperti saya katakan sebelumnya, sedih aja nggak akan mengubah keadaan. Kita butuh aksi nyata, terutama dari orang-orang baik yang merasa diberi kelebihan rezeki, supaya lebih ‘peka’ dengan saudara di luar sana yang sedang kesulitan dan kesusahan.

Kita nggak bisa mengenyangkan perut sendiri, kemudian pura-pura lupa dengan orang lain. Saat pandemi covid-19 seperti sekarang, banyak sekali orang yang membutuhkan uluran kebaikan kita. Nggak harus membantu hingga milyaran, karena kebaikan tidak diukur dari jumlah seberapa besar, melainkan dari kemauan untuk berbagi meski sejatinya kita pun sedang dalam kesulitan.

Bagi seorang crazy rich, wajarlah berdonasi hingga milyaran, tapi bagi kita yang belum sehebat apa, cukup donasikan harta sesuai kemampuan. Sekecil apa pun kebaikan yang kita berikan, sebenarnya akan kembali kepada kita juga. Dan tentu saja jika dilakukan bersama-sama seperti prinsip gotong royong, yang kecil pun akan terasa begitu besar manfaatnya.

Selama pandemi covid-19 ini, banyak cara bisa kita lakukan demi menebar kabaikan di bulan Ramadan meski hanya dari rumah.


  • Berbagi takjil gratis bagi orang-orang yang membutuhkan


Ramadan tahun lalu, kita masih bisa menjumpai penjual makanan dadakan di sepanjang jalan, ya. Tapi, tahun ini  rasanya sulit menemukan momen khas itu. Jalanan mungkin agak lengang. Tapi, para pekerja yag masih harus keluar rumah demi mencari nafkah tetap ada di luar sana.

Beberapa orang di komplek kami berinisiatif mengadakan bagi-bagi takjil gratis selama bulan Ramadan kepada supir angkot, pedangan keliling, supir ojek, dll. Sebotol air mineral dan beberapa jenis camilan mengenyangkan pun dibagikan hampir setiap harinya. Meski terlihat sederhana, tapi nggak ada kebaikan yang sia-sia, kan?

  • Berbagi makanan untuk sahur dan berbuka


Meski di rumah aja, sejatinya banyak hal positif bisa kita lakukan. Misalnya dengan berbagi makanan untuk sahur dan berbuka. Tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, saya dan teman-teman dari tempat kajian diberi kesempatan untuk berbagi menu sahur dan berbuka bagi anak-anak yatim dan dhuafa dari pondok pesantren tahfidz yang kami kelola yang berlokasi di Bekasi.

Sebagian santri memang dipulangkan, tetapi sebagian menolak karena kondisi yang tidak memungkinkan. Sedih? Pastinya. Nelangsa banget melihat mereka yang masih tersisa di pesantren dan nggak bisa pulang ke rumah masing-masing :(

  • Tengoklah orang terdekat


Lihatlah orang-orang terdekat kita, terutama tetangga. Karena nggak semua orang beruntung, seberuntung kita yang masih punya stok beras di rumah. Di kanan dan kiri saya pun nggak semuanya berpunya, kok. Jadi, kita sebagai tetangga harus ‘peka’ dengan kondisi mereka.

Berbagi sembako seperti beras, minyak, mi instan, dll bisa kita lakukan. Bahkan ada lho warga yang sengaja menaruh beberapa bungkus beras, sayur, hingga telur di pagar rumahnya yang diperuntukkan bagi warga yang kurang mampu. Free, ambil secukupnya.

  • Tunaikan zakat


Zakat merupakan kewajiban yang mesti kita tunaikan sebagai seorang muslim. Nggak harus di tempat kita tinggal, kita bisa menyalurkan kepada orang-orang yang lebih membutuhkan, yang sulit dijangkau, contohnya kalau saya pribadi menyalurkan sebagian zakat mal ke kampung halaman. Meski orangnya nggak mudik, setidaknya kita bisa memberi kebahagiaan bagi orang-orang di sana.

Kondisi orang di kampung tempat saya tinggal nggak semuanya beruntung. Bahkan menurut cerita Ibu kemarin, banyak sekali anak yatim...hiks. Jadi, nelangsa banget dengernya. Ditambah kondisi seburuk saat ini, jangankan untuk baju lebaran, untuk makan pun susah.


  • Berdonasi lewat Dompet Dhuafa meski #dirumahaja


Kalau merasa kesulitan menyalurkan zakat, infak, dan sedekah secara langsung, kita bisa menyalurkannya lewat Dompet Dhuafa. Caranya pun sangat mudah, kok. Klik di sini. Kemudian pilih infak dan sedekah atau pilih sesuai kebutuhan. Kamu juga bisa mengkhususkan donasimu untuk keperluan apa saja, misal untuk dana pendidikan, kesehatan, sosial, dakwah, hingga ekonomi.

Untuk sosial, kita juga bisa memberikan kebahagian bagi para dhuafa supaya bisa merasakan keceriaan saat lebaran. Pilih Parcel Lebaran untuk Dhuafa. Masukkan jumlah nominal, dan isilah data dengan lengkap sebelum memilih metode pembayaran. Dan jangan lupa konfirmasi dengan menyertakan bukti transfer.

Nggak susah, kan? Meski hanya di rumah aja, kita bisa tetap berdonasi dan berbuat baik bagi orang-orang yang membutuhkan. Dalam sebuah buku yang pernah saya baca karya Ustadz Arafat disebutkan, rezeki itu selalu bergerak. Jadi, kalau mau berkah, sebaiknya selalu kita putar untuk kebaikan.

Kita bersedekah dan berdonasi logikanya memang mengurangi harta, tapi kenyataannya hidup nggak bisa pakai logika manusia. Orang-orang yang selalu mementingkan diri sendiri, yang bakhil, dan sibuk memuaskan perutnya sendiri justru selalu tidak puas dengan apa yang dia punya.

Berbeda dengan orang-orang yang senang bersedekah. Hati jadi lapang, selalu merasa cukup, dan paling penting membuat hidup berkah dan hati tenang.

Jangan takut bersedekah, tunaikan juga kewajiban berzakat, karena kebaikan yang kita lakukan akan kembali pada kita sendiri :)

Salam hangat,


“Tulisan ini diikutsertakan dalam Blog Competition ‘Ceritaku Dari rumah’ yang diselenggarakan oleh Ramadan Virtual Festival dari Dompet Dhuafa Sulawesi Selatan.”


 

Thursday, May 14, 2020

Naskah Ditolak Penerbit Bikin Galau dan Patah Hati? Sabar, ya! Semua Naskah Akan Bertemu Jodohnya, Kok

Kalau naskahmu ditolak penerbit



Ngapain ngomongin soal patah hati dan galau segala? Nggak tahu apa rasanya ngejomblo itu nyeseknya gimana? Hiks. Urusan jodoh di tangan Tuhan. Tapi, urusan naskah itu tergantung juga sama kegigihan...*eaa.

Pernah nggak sih ngerasain patah hati ketika naskahmu ditolak oleh penerbit? Terang-terangan ditolak itu masih mending, lho. Tapi, kalau nggak dijawab sampai berabad-abad lamanya, coba gimana nyeseknya? Sebagian penerbit menentukan waktu review naskah maksimal 3 bulan. Ini udah paling wajar menurut saya. Tapi, sebagian ada yang sampai 4 bulan, ada juga yang tak terhingga.

Nah, kalau tak terhingga, kebayang mau nunggu sampai kapan? Ngejomblo setahun aja kamu nggak betah, apalagi nungguin naskah? Kwkwk.

Sebenarnya, kalau kita hanya fokus dengan menunggu jawaban editor, waktu rasanya bakalan berlalu lama banget. Jalannya lamban banget kayak siput, apalagi kalau kita memutuskan menjadi kaum rebahan selama Ramadan, nggak ada aktivitas positif yang dikerjakan, nggak ada hal-hal menarik hati yang bisa dilakukan, ibadah nggak, nulis pun nggak. Percayalah, bahwa seminggu pun bakalan terasa setahun :(

Kata Dilan, rindu itu berat. Kata para penulis, nungguin review naskah dari editor di penerbit jauh lebih berat. Apalagi kitanya selalu sungkan sama editor, meski ngomongnya sedikit, tapi wibawanya selangit...kwkwk. Sampai sekarang saya nggak pernah berani cekakak-cekikik sama editor, kesannya udah horor duluan *semoga mbak editor kesayangan nggak baca ini...kwkwk.

Padahal, mereka baik banget, masya Allah. Pas ketemu juga ketahuan ramah dan humble banget. Tapi, ya gitu deh. Sungkan minta ampun. Jadi, memang menahan diri dengan sangat untuk tidak menanyakan naskah yang telah dikirim, apalagi sampai berkali-kali nanya. Saya yakin, mereka mengerti dan membaca pesan kita, masalahnya, jika memang belum waktunya, terus apa yang mau mereka sampaikan? Paham, ya? hihi.

Naskah Ditolak Bukan Akhir dari Segalanya


Benar, naskah ditolak bukan akhir dari segalanya, kok. Saya? Nggak kehitung berapa kali ditolak dan berapa kali nggak ditanggapi...kwkwk. Sedih? Agak. Tapi, lama-lama terbiasa juga. Karena, ini adalah proses yang harus kita lalui.

Jika ingin tulisan kita bagus, maka harus berlatih. Salah satu cara melatih diri kita supaya lebih luwes nulisnya ya dengan menulis itu sendiri. Bisa di blog, bisa menulis naskah dan segera ajukan ke penerbit.

Kalau nggak mau melalui proses satu ini, ya jangan harap kemampuan menulis kita bisa lebih bagus ke depannya. Karena saya percaya, naskah ditolak memang ada sebabnya. Entah kurang sempurna, kurang cocok dengan penerbit, bisa temanya nggak sesuai walau tulisan udah cakep, bisa karena memang butuh latihan lagi.

Untungnya apa sih kita bisa menyelesaikan naskah? Tentunya kemampuan menulis dan menyelesaikan satu naskah semakin terasah. Karena nggak gampang menulis satu buku sendirian. Iya, nggak mudah menulis buku solo. Dengan menyelesaikannya, kita sudah selangkah lebih hebat, lho.

Direvisi, Ditinggalkan, Atau Ajukan Lagi ke Penerbit Lain?




Setelah naskah jelas ditolak, apa yang bisa kita kerjakan? Merevisi naskah yang sudah dapat review dari editor? Dibuang aja karena bikin patah hati dan nangis bombay sehari semalam? Kwkwk. Atau langsung ajuin aja deh ke penerbit lain?

Kalau saya pribadi lebih senang membaca lagi naskah itu. Biasanya, bakalan terasa nggak enaknya di bagian mana. Bisa kita edit, tapi jarang sekali saya revisi dalam jumlah banyak. Paling edit sedikit saja beberapa bagiannya.

Kemudian apa yang bisa kita lakukan? Ajukan lagi ke penerbit lain dong. Karena kita harus berjuang untuk mendapatkan jodoh dari naskah kita. Peluang masih terbuka, kecuali sudah nggak ada lagi penerbit yang bisa dicoba.

Pilihan terakhir, kita bisa menerbitkan sendiri di penerbit indie. Ini adalah pilihan terakhir yang bisa kita lakukan supaya naskah tetap bisa diabadikan dan jadi portfolio :)

Setiap Naskah yang Kamu Tulis Pasti Ada Jodohnya, Insya Allah



Pernah nggak, sih kamu menulis naskah, kemudian ditolak oleh penerbit? Lantas, kamu ajukan lagi ke penerbit lain, karena nggak ada jawaban sampai empat bulan lebih, akhirnya kamu berniat menarik lagi naskah itu untuk diajukan ke penerbit lain.

Eh, belum sempat kamu tarik, tiba-tiba penerbit pertama yang menolak naskahmu mengirimkan naskah itu ke editor lain karena merasa naskah tersebut lebih cocok dengan penerbit itu.

Dan amazing! Rupanya naskah itu diterima :)

Gimana reaksimu? Kaget! Nggak nyangka! Pengen nyakar-nyakar tembok? Kayaknya kalau bisa...kwkwk. Dan itulah yang saya alami sekitar tahun 2019 lalu. Naskah yang diperjuangkan berbulan-bulan akhirnya dapat jodohnya juga. Hasil yang sangat manis, masya Allah.

Dan, bukannya nggak mungkin hal yang sama bakalan terjadi juga sama kamu. Saya merasa, selama kita mau berusaha, mau bergerak, maka Allah selalu kasih peluang, meskipun jalannya nggak mudah. Tapi, buat saya itu sudah lebih dari cukup, kok.

Menunggu bertahun-tahun, malah gagal terbit? Nggak dikabari pula? Nggak masalah, akhirnya ada jodohnya juga. Allah itu baik, kok. Penting kamu tetap berusaha. Jangan berhenti karena sedih dan kecewa. Jika mau impian terwujud, usahakan lebih gigih tanpa kenal lelah. Suatu saat pasti ada jodohnya.

Gimana, masih merasa patah hati setelah naskahmu ditolak? Anggaplah ini adalah bagian dari proses yang mesti kita lalui sebelum berhasil menjadi penulis hebat dan karya-karya kita laris di pasaran. Kamu harus percaya bahwa Allah itu baik dan akan selalu membantu orang yang mau berusaha dan tentunya berhati baik :)

Jadi, sabar, ya? Tegarkan hatimu dan tulislah naskah baru sambil menunggu naskah direview. Apalagi dalam kondisi seperti sekarang di mana hampir semua penerbit seperti sedang pincang...hiks. Jadi, jangan fokus dengan naskah yang ditolak atau yang belum direview, tetap menulis saja jika kamu memang sungguh-sungguh mau jadi penulis :)

Salam hangat,

Featured image: Photo by Christin Hume on Unsplash

 

Saturday, May 9, 2020

Dakwah Itu: Ngajak Bukan Nyuruh

Dakwah itu ngajak bukan nyuruh



Dakwah itu sebenarnya simpel. Dakwah itu ngajak, bukan nyuruh, atau menghakimi. Karena dakwah itu kaidahnya; “Perbaiki dirimu sebagai pendakwah sembari mengajak orang untuk sama-sama memperbaiki diri sama seperti kamu.”


Jadi, bukan menjadikan standar kita lebih tinggi daripada objek dakwah atau menjadikan standar objek dakwah hina sekali di depan kita. Nggak. Yang harus kita lakukan adalah jalan bareng, saling memperbaiki diri.

Jadi, dakwah itu bukan AKU SUCI DAN KALIAN PENUH DOSA, atau sebaliknya. Bukan kayak gitu. Kita harus sama-sama merasa bahwa kita salah sebagai manusia. Karena kita sama-sama manusia, maka kita butuh dukungan, butuh saling menasihati, untuk sama-sama masuk ke surganya Allah swt.

(Ust. Zaky @prouchannel)

Pagi ini, nggak sengaja jalan-jalan di Instagram dan menemukan akun Pro U dengan postingan seperti bisa kamu baca di atas. Kira-kira, kurang lebihnya seperti itulah yang disampaikan oleh Ustadz Zaky dalam salah satu postingan @prouchannel.

Beliau menjabarkan dengan sangat baik devinisi dakwah yang sebenarnya itu kayak apa. Bukan dakwah jika kita hanya nyuruh orang buat berubah, sedangkan kitanya malah males-malesan. Bukan dakwah kalau kita menjadi selalu sok sempurna, sok beriman, sok paling salehah, sok paling pandai menjaga diri dan kehormatan, sampai-sampai mengatakan objek dakwahnya penuh dosa dan nggak punya malu. Subhanallah.

Bukan dakwah namanya kalau kita merasa ‘paling’ sedangkan orang lain lebih rendah daripada kita. Mungkin itu lebih tepat disebut nyindir kali, ya? Kedengerannya pun sangat nggak enak, bukan malah berubah, orang-orang jadi ilfil parah setelah mendengar ajakan itu.

Manusia Tempatnya Salah, Bukan Dakwah Namanya Jika Senang Menghakimi


Kita itu, senang melihat penampilan orang dari luarnya saja, kemudian menghakimi sesuka hati kita tanpa mau tahu lebih jauh, apalagi di zaman secanggih sekarang, di mana orang bebas saja mengutarakan pendapatnya di sosial media.

Boleh saling mengingatkan, karena itulah hakikat dakwah yang sebenarnya. Nggak harus selalu berdiri di mimbar dan mengajak orang-orang beriman. Dakwah merupakan kewajiban setiap manusia yang memiliki iman, untuk mengajak orang lain lebih dekat dengan Allah, tapi tentu dengan cara yang baik.

Sebab penerimaan setiap orang berbeda-beda. Kita ngomong baik-baik saja, kadang ada orang yang nggak bisa menerima, apalagi jika disampaikan dengan cara yang salah. Niat baik untuk mengingatkan, hal baik yang ingin disampaikan, justru akhirnya nggak pernah ngena karena caranya salah. Malah yang terjadi, justru orang-orang jadi menjauh dan enggan mendengar. Itulah kenapa, kadang kita harus berhati-hati sekali saat hendak mengingatkan seseorang *sambil nunjuk muka sendiri yang masih suka sembarangan :(

Saya pernah mengalami kejadian kurang mengenakkan setelah tinggal dan menetap di Jakarta. Saya nggak menyesali kejadian dulu, karena dengan cara itulah Allah menegur saya. Sedih banget, marah sempat, tapi setelahnya saya paham bahwa memang itulah cara yang Allah pilih untuk mengingatkan saya yang dulu sempat khilaf. Karena apa? Karena saya belum benar menutup aurat, hijab nggak pernah sampai menutup dada, kaki selalu terbuka.

Cara-cara orang terdekat untuk mengingatkan saya terasa sangat menyakitkan...kwkwk. Bukan lebay dan membesar-besarkan, tapi siapa sih yang tahan disindir di depan umum sambil ditertawakan sama-sama? Gue salah nih, tapi nggak gini juga caranya, kan? Kwkwk.

Tapi, saya menerima setelah sekian lama berusaha memahami, iya, Allah itu paham mana yang terbaik buat kita. Tapi, karena saya tahu rasanya sangat sakit, semoga ke depannya saya nggak pernah memperlakukan orang dengan cara yang sama.

Aku Suci dan Kalian Penuh Dosa, Dakwah atau Sombong?



Eh, minggir, ya. Minggir buat kalian yang masih suka main Tiktok dan ikutan challenge. Seharusnya muslimah itu memelihara rasa malu dan berusaha menutupi dirinya, bukan menampakkannya. Beruntung dan bersyukurlah kita yang masih punya rasa malu sehingga nggak mau ikut-ikutan hal kayak gitu.

Cara kita menyampaikan sesuatu kepada orang lain ternyata cukup berpengaruh pada penerimaan seseorang. Sama-sama mengingatkan supaya muslimah menjaga rasa malu, karena hakikat hijab adalah menutupi, bukan menunjukkan apalagi pamer-pamer kecantikan, tapi kalau ditunjukkan dengan cara seperti saya contohkan di atas, kayaknya auto bubar yang mau hijrah...kwkwk.

Kamu dakwah atau sombong? Nggak masalah saling mengingatkan, tapi memang caranya perlu diperhatikan. Karena tidak semua orang punya pemahaman sama seperti kita. Bahkan mungkin ada di antara kita yang sudah lama berhijab, tapi nggak paham hakikat hijab itu sebenarnya buat apa.

Seperti saya misal, meskipun lama banget menjadi santri, nggak berarti saya selalu benar dalam berislam. Ada aja kesalahan yang sering saya lakukan, terutama karena itu sudah membudaya di tempat saya tinggal. Kayak susah banget diubah dan diluruskan meskipun sejatinya itu salah.

Kalau semua pendakwah selalu merasa paling suci dari dosa, merasa paling benar, maka sulit ngajakin anak punk buat beriman dan berislam yang benar. Faktanya, memang nggak semua pendakwah pandai mengajak mereka berubah. Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu melakukannya. Sampai-sampai ada anak punk yang bisa menghapal surat Ar-Rahman. Kalau caranya salah, saya yakin mereka nggak akan mau luluh.

Bayangkan, gimana para pendakwah mendekati mereka? Pastinya dengan cara yang sangat baik, sehingga mereka merasa diterima dan dihargai.

Mengingatkan Jangan Sampai Menyakiti



Niat baik yang disampaikan dengan cara yang salah justru akhirnya membuat hal baik itu nggak pernah sampai tujuan. Kita pengen si A berhijab, tapi setiap hari kita jauhin dia dan merasa risih di dekatnya, kita ingatkan dia sambil disindir dan permalukan di depan umum, kita sebut dia banyak dosa karena setiap hari umbar aurat.

“Mbak, wanita salehah yang masuk surga itu nggak ada yang model kayak mbak, lho. Semoga mbak lekas tobat, ya. Semoga Allah ampuni dosa-dosa mbak.”

Kira-kira si A mau berhijab atau malah ilfil? Bisa aja dia berubah, tapi sambil merasa sangat sakit. Atau justru dia langsung keluar dari hidup kamu. Aih, jangan sampai kita menjadi orang yang merasa diri paling benar dan menganggap orang lain penuh dosa. Naudzubillah.

Saya pernah membaca sebuah kisah menarik, di mana ada seorang alim yang saleh dan rajin sekali beribadah, namun sayangnya dia meninggal dalam keadaan sombong. Sehingga surga bukanlah tempat dia tinggal.

Kemudian, ada orang yang hidupnya nggak baik-baik amat, saleh pun bisa dikatakan nggak, tapi kemudian dia hijrah dan terus memohon ampun kepada Allah. Sadar dia banyak salah. Sehingga di akhir kehidupannya, Allah memasukkannya ke surga.

Kok, bisa? Karena orang alim itu merasa dirinya sudah baik, sudah sempurna sekali imannya, sehingga dia terjerumus dalam sifat sombong yang sangat dibenci oleh Allah. Dia anggap orang lain nggak lebih baik daripada dia. Padahal, dia belum tahu, jika orang lain yang di matanya sangat hina, justru siang malam sedang berusaha memperbaiki diri, berusaha berbenah, dan bertobat kepada Allah.

Allah itu, kan nggak melihat hasil, Allah melihat proses dan usaha kita. Dan siapa sih yang bisa menebak nantinya kita dimatikan dalam keadaan seperti apa? Kalau ada orang yang sudah membunuh banyak jiwa akhirnya mati dalam keadaan bertobat dan tobatnya diterima, maka apa masih bisa kita sebut dia nggak akan masuk surga? Itu hak Allah, bukan kita yang tahu.

Dulu kita pernah salah, itu wajar. Dulu kita penuh dosa, nggak semua suci memang. Tapi, jika kita mau bertobat dan memohon ampun kepada Allah, rahmat dan kasih sayang Allah itu luas. Itulah kenapa kita harus berbaik sangka kepada Allah, karena Allah itu Maha Pengampun.

Belajar lagi, membenahi diri lagi, itulah yang harus saya lakukan. Memang benar, gajah di depan mata nggak kelihatan, kita justru merasa lebih mudah melihat semut di seberang lautan. Artinya, dosa kita nggak pernah kelihatan, padahal kalau dihitung entah gimana ngerinya, tapi kalau melihat orang lain, rasanya mudah sekali menebak salahnya. Eh, padahal kita dekat pun nggak, ya?

Salam hangat,

Featured image: Photo by Rahul Pandit on Pexels

 

Tuesday, May 5, 2020

Pengalaman dan Tip Melahirkan Normal

Pengalaman melahirkan normal



Melahirkan normal? Gimana rasanya dan apa alasan memilih melahirkan normal? Curhat panjang setelah anak-anak sudah besar, ya...hihi. Sejak menikah, saya ikut suami dan pindah ke Jakarta. Saya tinggal di sini sejak 2009 sampai sekarang. Hampir 11 tahun hidup mandiri jauh dari orang tua.

Awalnya, nggak kebayang bisa menetap di Jakarta. Sebagai anak bungsu, maunya tinggal dekat dengan orang tua. Begitu juga kemauan orang tua dulu. Namun, setelah menikah, rasanya mustahil memaksakan keinginan itu. Masa iya suami dibiarin balik sendirian ke Jakarta? Ini nikah apa pacaran? Kwkwk.

Jadi seorang ibu, mengurus bayi, jauh dari orang tua, rasanya nggak pernah kebayang sebelumnya. Tapi, setelah dijalani, sejujurnya kita jadi ‘terpaksa’ membiasakan untuk selalu serba bisa. Nggak mungkin lagi tergantung sama orang lain, bahkan pada suami yang setiap harinya harus pergi bekerja.

Keguguran pada Kehamilan Pertama


Akhir tahun 2009, saya mengalami keguguran. Usia kandungan masih terhitung beberapa minggu. Jadi, lagi happy banget baru tahu hamil dan doyan nyemilin mangga muda...kwkwk. Tapi, saya tahu Allah mengerti keadaan saya, mungkin saat itu belum sepenuhnya siap. Saya nggak menyesali apa pun, karena memang saya nggak ngapa-ngapain, tiba-tiba aja pendarahan.

Sudah coba dipertahankan, tapi akhirnya gagal. Saya pun menjalani kuretase dengan bius total. Jadi, jangan tanya gimana rasanya saat dikuret, ya. Nggak sakit, karena memang nggak sadar...kwkwk.

Ada sebagian calon ibu yang nggak dibius total, katanya sakit. Tapi, pengalaman saya, karena bius total, benar-benar nggak berasa apa-apa bahkan setelahnya juga. Saya setengah sadar menangis sesenggukan. Nggak tahu tiba-tiba nangis aja kenceng, kayak kecewa kenapa harus keguguran... :(

Tapi, setelah berjalannya waktu, saya tahu rencana Allah itu adalah yang terbaik.

Kehamilan Kedua, Heboh Nggak Bisa Makan Apa-apa



Kata orang, kalau habis dikuret, mau hamil lagi bisa makan waktu lama. Kita harus percaya bahwa semua hal terjadi di dunia ini karena izin dan kehendak Allah. Bukan karena abis dikuret, bukan karena makan tauge jadi cepet hamil dan sebagainya. Intinya, kita yakin dulu nih pada Allah.

Saya pun pasrah andai harus menunggu lama setelah proses kuretase tersebut. Tapi, Allah berkehendak lain, nggak lama setelah masa istirahat mengosongkan rahim, saya pun hamil kembali. Kehamilan kedua yang disambut penuh syukur. Alhamdulillah.

Kalau diingat, agak trauma sebenarnya. Karena setiap hamil, saya selalu mengalami mual muntah yang cukup serius. Parah banget pokoknya. Sampai-sampai denger suara tukang gorengan lewat aja saya kesel karena setelahnya saya muntah-muntah...kwkwk. Bukan salah abangnya padahal, ya?

Pagi-pagi suami pasti masak nasi dulu di kompor sebelum berangkat kerja. Karena saya nggak suka bau nasi dari ricecooker*manja banget. Tapi, itu pun nggak akan dimakan karena tiap masuk sesuatu pasti keluar lagi. Subhanallah, perjuangan banget untuk masa kehamilan kedua ini.

Rasanya sampai 'tahu' kalau orang mikir saya lebay banget...haha. Pasti orang bilang nggak wajar ini. Masa apa-apa bau semua...kwkwk. Tapi, itulah kenyataannya. Nggak ada yang dibuat-buat. Mending makan enak daripada harus begini, kan?

Setelah usia kandungan cukup besar, saya baru bisa bernapas lega dan bisa makan dengan normal, meskipun kadang masih muntah. Udah mau lahiran masih muntah-muntah, lho. Benar-benar luar biasa rasanya. Inilah yang kadang bikin trauma tiap mau hamil lagi. Malah horornya di sini, bukan saat proses persalinan.

Persalinan Putra Pertama


Waktu mau melahirkan, saya memutuskan tetap melahirkan di Jakarta ditemani suami. Nggak pengen ngerepotin orang tua. Dan suami pun setuju. Nggak perlu ngasih tahu orang tua dulu kalau mau lahiran. Cukup kita berdua aja yang ngerasain paniknya kayak apa. Nanti setelah lahir, baru telepon orang tua.

Jadi, sebelum melahirkan, saya sudah punya dokter kandungan yang pro normal. Sebisa mungkin melahirkan normal kecuali ada kendala tertentu. Bahkan beliau menyarankan saya melahirkan di bidan aja kalau nggak ada masalah. Hanya saja, mana mau tiba-tiba lahiran di tempat lain, kan?

Mendekati hari H, dokter kandungan selalu menyarankan untuk ‘berhubungan’. Ngomongnya memang sambil ketawa dan bercanda, tapi beliau serius banget, kok. Kalau mau lahiran normal, kalau mau melahirkan tanpa induksi, silakan lakukan dengan rutin meskipun berat. Kalau sayang sama istri, coba dibantu istrinya. Kalau nggak mau istri tersiksa kebangetan saat lahiran, coba usaha sama-sama. Ini bisa dilakukan jika kondisi kandungan aman-aman saja, ya. Nggak ada risiko ini itu.

Pengalaman Pertama Melahirkan Normal


Saat hari H, kontraksi semakin terasa. Tapi, saya tahan dulu untuk tetap di rumah. Sambil nunggu suami pulang ngantor, saya banyakin makan telur rebus, susu, dll. Pokoknya, jangan sampai kelaparan pas mau bersalin.

Pesan ini diulang-ulang oleh Ibu karena pengalaman beliau ketika melahirkan anak pertama begitu sulit akibat kurang tenaga. “Pokoknya nanti kalau mau melahirkan, makan telur rebus dan apa pun supaya kuat waktu mengejan.”

Nasihat itu saya kerjakan betul-betul. Sebelum benar-benar kesakitan, saya makan dulu yang banyak biar berselera. Jangan nunggu kesakitan baru makan, mana bisa nelen...hihi.

Saat tiba di rumah sakit, setelah mendapatkan kamar dan selesai diperiksa, saya dan suami memutuskan jalan-jalan dulu. Biar cepet bukaannya. Nggak tahunya malah bablas sampai dicariin suster...kwkwk.

Saya lupa tepatnya, kalau nggak salah sampai rumah sakit bukaan 3, kemudian saya dan suami jalan-jalan di lorong rumah sakit sampai jam 10 malam (tiba di rumah sakit saat Magrib). Setelah nggak tahan jalan dan dicariin suster, barulah saya masuk ruang bersalin dan ganti pakaian. Nggak lama sudah berasa harus mengejan.

Saking sakitnya, yang ada di kepala waktu udah mau lahiran justru pengen operasi ajalah...kwkwk. Bayangan gila, ya. Nggak bisa teriak, nggak bisa berisik, cuma isi kepala teriak-teriak nggak kuat rasanya...haha.

Mengejan nggak cukup sekali, pinggang rasanya mau patah. Benar-benar, ya. Itulah kenapa surga ada di telapak kaki ibu, karena perjuangan melahirkan memang antara hidup dan mati. Masya Allah.

Proses lahiran ini nggak lama, karena bayi saya juga nggak gede-gede banget beratnya. Dokter sudah bilang, yang wajar aja gedenya. Kasihan nanti waktu mengejan. Alhamdulillah, sebelum jam 12 malam, si sulung lahir ke dunia dengan kondisi sehat dan tidak kekurangan sesuatu apa pun.

Dijahit nggak, Mbak? Diobras malah, ya...haha. Dua kali melahirkan normal, selalu dijahit karena sudah pasti ada robekan. Dan proses sembuhnya ini agak lama karena saya penakut banget :(

Kehamilan Ketiga, Lebih Santai dan Doyan Makan



Alamak, doyan makan? Haha. Saya masih ingat betul, saat kontrol ke rumah sakit, saya pasti mampir ke kantin rumah sakit untuk makan semangkuk mie ayam atau bakso plus es teh manis. Ini benar-benar jadi hobi baru. Mie ayam dan baksonya emang enak banget, tanpa MSG pula. Siapa yang nggak tergoda coba? Kwkwk.

Tapi, bukan itu aja alasannya. Saya beryukur, ketika hamil ketiga, makan tetap berselera, habis makan, barulah muntah-muntah. Itu nggak masalah ketimbang nggak bisa makan sama sekali. Minimal ada yang masuk, walaupun akhirnya keluar lagi...haha.

Waktu hamil anak kedua, banyak tantangannya. Waktu itu, dengan kondisi berbadan dua, suami harus rawat inap karena dehidrasi. Kondisi kehamilan lagi nggak bener, plasenta di bawah, tapi beberapa hari harus bolak balik RS untuk jagain suami.

Tanpa orang tua di dekat saya, rasanya itu berat. Tapi, kalau dilakoni, semua selesai juga, kan? Itulah kenapa kita harus percaya, setiap ujian dan cobaan sudah ditakar sesuai kemampuan masing-masing. Nggak boleh bilang nggak kuat. Jalanin dulu, Allah mudahkan, Insya Allah.

Persalinan anak kedua bukan berarti mudah dan secepat kilat, ya. Malah sakitnya ampun-ampunan...kwkwk. Bukan bermaksud menakuti, setiap orang punya kekuatan berbeda untuk menahan rasa sakit. Buat saya, ketika mau melahirkan anak kedua, jalan-jalan aja udah nggak sanggup. Karena sakitnya datang lebih cepat nggak sesuai sama prediksi. Bayangannya bakalan kayak anak pertama dulu. Nyatanya? Nggak.

Belum lagi saya harus diinfus karena waktu CTG, hasilnya nggak bagus. Nangis dong waktu diinfus saking takutnya kwkwk. Bukaan berjalan lebih cepat. Qadarallah saya nggak pernah induksi. Tapi, karena sakit banget, akhirnya hanya bisa berbaring. Benar-benar nggak kuat jalan.

Untuk anak kedua, ketuban harus dipecah oleh suster. Jadi, ada ya kasus begini. Beda dengan anak pertama yang pecah sebelum mengejan. Alhamdulillah, dua kali melahirkan proses normal. Bersyukur meski ada dramanya masing-masing.

Berdamai dengan Rasa Takut


Bukan saya pemberani sehingga bisa melahirkan secara normal dengan kondisi cukup tenang, tapi keberanian itu memang akhirnya muncul dengan sendirinya. Saya penakut sekali, saat diinfus aja nangis, lho. Tapi, waktu mau melahirkan, rasa senang demi bertemu buah hati mengalahkan segalanya.

Suami saya bilang, wanita memang diciptakan untuk bisa melahirkan. Jadi, nggak usah ngebayangin macam-macam karena nanti semua itu akan terjadi dengan sendirinya. Berdamai dengan rasa takut kayaknya memang jadi salah satu hal yang tepat. Saat mendekati hari H, kita bakalan dag dig dug nggak karuan rasanya. Bayangannya ke mana-mana.

Jangan juga kecewa ketika harus melahirkan sesar. Kalau itu memang jalan terbaik, kenapa mesti menolak? Utamakan keselamatan kita dan si bayi. Melahirkan dengan cara apa pun sama-sama beratnya, sama-sama berjuangnya.

Memang, kondisi mental harus siap dalam keadaan apa pun. Semua kemungkinan bisa saja terjadi. Ada yang sudah mau operasi, malah lahiran normal. Ada yang sudah berjuang berjam-jam, malah akhirnya sesar. Bayi punya cara masing-masing untuk lahir ke dunia.

Tip Melahirkan Normal


  • Pastikan bahwa kondisi kita siap melahirkan normal, artinya nggak ada masalah yang mengharuskan kita melakukan persalinan sesar.

  • Pilihlah rumah sakit dan dokter pro normal. Karena poin kedua ini sangat membantu sekali, lho. Pengalaman waktu keguguran, dokternya nggak pro normal. Waktu periksa di trimester pertama aja beliau sudah bilang, “Kalau mau lahiran normal, bayinya jangan gede-gede.” Mendengar itu, perasaan saya gimana? Ambyar...kwkwk.

  • Rutin berhungan dengan pasangan di usia kandungan siap melahirkan. Konsultasikan dulu dengan dokter dan pastikan nggak ada masalah.

  • Positif thinking. Mikir yang baik-baik dan berdoa yang banyak. Berharap yang baik-baik dan ajak ngobrol janinnya. Dia paham, kok. Dia mengerti dan akan bekerja sama :)

  • Banyak gerak. Meskipun saya nggak serajin apa juga geraknya...kwkwk. Senam hamil aja sering banget ketiduran, lho *gubrak...kwkwk.

  • Pastikan kita punya tenaga saat proses bersalin. Makan dulu sebelum berangkat ke rumah sakit, minum susu, dll. Karena melahirkan itu sangat melelahkan. Jadi, usahakan kita tetap makan biar punya stok energi yang cukup untuk mengejan.

  • Berdamai dengan rasa takut. Percayalah, melahirkan itu pasti sakit. Tapi, kalau kita menerima, insya Allah nggak akan seberapa menyiksa.


Sudah siapkah bertemu buah hati? Semoga tipnya bermanfaat dan persalinanmu lancar, ya.  Jangan lupa tetap berpikir positif, insya Allah semua akan baik-baik saja :)

Salam hangat,

Featured image: Photo by Dominika Roseclay on Pexels

 

Monday, May 4, 2020

Membangun Mindset Positif Selama Masa Karantina

Membangun mindset positif bersama emeron



“Tuhan tidak menjanjikan langit selalu biru, bunga selalu mekar, mentari selalu bersinar. Tapi, kita selalu yakin, akan ada pelangi setelah badai.”


Memasuki bulan kedua masa karantina di rumah aja, gimana perasaan kamu? Saya yang terbiasa melakukan banyak aktivitas di rumah mulai merasakan perbedaan di masa karantina dibanding hari-hari biasa. Mulai jenuh, bosan, sampai nggak tahu mau ngapain. Mau keluar rumah parno, lihat suami bersin aja ngeri.

Padahal, di hari-hari sebelumnya, bersin berkali-kali bukan hal menakutkan. Pergi ke supermarket terdekat nggak perlu seheboh sekarang persiapannya. Tapi, saat ini, kondisinya sangat berbeda. Belum lagi banyak berita mengerikan di laman sosial media berseliweran. Berita kematian tidak diimbangi dengan berita positif lainnya seperti jumlah pasien yang sembuh. Alih-alih mau lebih waspada dengan mengetahui berita terkini soal covid-19, justru mental kita akhirnya diserang rasa panik dan stres berlebihan.

Manusiawi sekali kalau kita merasa khawatir, terutama jika harus beraktivitas di luar rumah karena tuntutan pekerjaan. Tapi, stres dan panik berlebihan justru membuat mental kita tidak sehat bahkan dapat menurunkan daya tahan tubuh.

Membangun Mindset Positif di Tengah Pandemi


Hampir tiga minggu pertama, suami bisa work from home. Saya pun bisa bernapas lega karena sudah tidak ada lagi anggota keluarga yang diharuskan beraktivitas di luar rumah. Namun, sejak ada PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar, suami harus kembali bekerja.

Sempat panik dan takut. Bahkan sempat nangis dua hari pertama saking parnonya. Hati nggak tenang. Gimana kalau begini dan begitu. Bagaimana kalau dia di sana begini dan apa yang mesti dilakukan kalau itu terjadi? Ah, berandai-andai dan mulai berpikiran negatif. Malah membuat hidup kacau dan nggak karuan.

Kalau dipikir, kenapa kita harus takut berlebihan? Padahal, saya dan suami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga kebersihan, tetap waspada dan berhati-hati. Dia pulang kerja langsung mandi dan berganti pakaian. Barang bawaan seperti ransel disemprot disinfectant. Kemeja dan pakaian lainnya pun segera dicuci.

Soal kesehatan, saya pun selalu berusaha memberikan yang terbaik terutama untuk meningkatkan imunitas, misalnya dengan membuatkan jus buah dan sayur secara rutin setiap pagi. Dari kantor, suami juga selalu diberikan vitamin.

Akhirnya, saya berusaha menerima keadaan ini dan berdamai dengan rasa takut yang berlebihan. Bukankah semua hal terjadi atas izin Allah? Ini adalah ujian dan cobaan bagi semua orang. Kita terima, kita ikhlas, kita jalani dengan sabar. Insya Allah, semua kesulitan ini akan berakhir.

Tarik napas dalam dan embuskan, katakan bahwa semua akan baik-baik saja, insya Allah.



5 Aktivitas yang Saya Kerjakan di Masa Karantina


Sebenarnya, tak banyak perbedaan aktivitas antara masa karantina seperti sekarang dengan hari-hari sebelumnya. Tapi, saat pandemi, banyak waktu luang bisa dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan positif ketimbang memikirkan ketakutan berlebihan dan lari ke sosial media.

Yups! Nggak ada yang melarang kita main sosial media, tapi, bagi yang kurang pandai menyaring informasi, justru aktivitas sepele ini bisa membuat kita semakin ketakutan. Bayangkan saja, di sosial media kita bisa melihat banyak berita soal covid-19, mulai dari berita kematian, pasien positif covid-19 yang kabur, hingga orang-orang yang bandel nggak mau pakai masker. Kalau masih banyak orang seperti ini, bisa-bisa pandemi nggak kelar-kelar dong? Bayangan kita jadi ngelantur ke mana-mana, kan?

Daripada melihat berita seperti itu, mending kita melakukan kegiatan positif saja di rumah. Beberapa hal yang saya lakukan,

1. Serunya membuat roti bersama anak-anak



Hobi membuat roti sempat terjeda beberapa bulan karena kesibukan saya menulis buku. Waktu rasanya dipenuhi dengan deadline naskah. Akhirnya, bikin roti jadi jarang. Padahal, anak-anak suka banget dibuatkan roti, katanya lebih wangi terutama saat keluar dari oven, lebih lembut, dan lebih asyiknya lagi, mereka bisa membuat bentuk yang disukai.

Saat pandemi, hampir setiap hari saya membuat roti. Mulai dari roti sobek, roti kopi, hingga roti unyil isi sosis. Waktu bersama anak-anak juga terasa lebih berkualitas. Nggak sibuk sendiri-sendiri. Ternyata, manfaat membuat roti di rumah bukan hanya bisa membuat mereka semakin kreatif, tapi juga meningkatkan bonding antara orang tua dengan buah hati.

2. Update blog lebih sering


Horeey! Karena banyak waktu luang, akhirnya saya bisa maksimal mengisi blog lagi. Kenapa, sih harus update blog? Karena buat saya, menulis di blog bukan hanya gaya-gayaan, tapi juga sebagai salah satu cara untuk menyembuhkan luka hati atau self healing. Di mana mungkin orang introvert seperti saya bakalan susah mengeluarkan unek-unek pada orang lain. Tapi, saat menulis, semua ngalir aja dan bikin lega.

Saat karantina seperti sekarang, menulis menjadi salah satu terapi juga untuk melepas kejenuhan dan stres. Nggak usah takut bilang jenuh dan bosan, karena memang itulah kenyataannya. Tapi, bukan berarti kita akan mati dalam kebosanan apalagi sambil mengeluh nggak penting, kan?

Justru dengan menulis, kita bisa membagikan banyak hal positif kepada yang lain, saling support dan berbagi ide menarik seputar aktivitas menyenangkan selama karantina di rumah.

3. Memulai hobi lama yang sempat dilupakan


Kemarin, saya sempat mengeluarkan mesin jahit portable. Rencananya saya mau menjahit masker kain sendiri. Kangen, sudah lama saya tidak menjahit. Padahal, dulunya saya senang membuat barang-barang handmade bermodal mesin jahit ini.

Saat karantina seperti sekarang, saya jadi punya waktu luang untuk memulai hobi lama yang sempat terlupakan. Yups! Akhirnya saya menjahit beberapa masker, baik untuk saya dan juga untuk anak-anak. Hasilnya? Imut dan menggemaskan *meski itu menurut saya sendiri...hihi.

4. Membaca koleksi buku yang menumpuk di lemari


Ngaku suka baca buku, tapi ternyata banyak buku yang belum saya baca...hihi. Saat pandemi, saya berusaha membangun habits biar suka baca buku lagi. Masa karantina seperti sekarang membuat saya jadi punya banyak waktu untuk mengerjakan aktivitas yang mungkin di hari biasa agak susah dikerjakan.

Saya meluangkan waktu selama minimal satu jam untuk membaca buku per hari. Dan hasilnya? Dalam beberapa hari saya mulai ketagihan dengan jadwal membaca yang saya buat tersebut. Ternyata sangat menghibur dan menginspirasi.

5. Menulis buku


Saat pandemi seperti sekarang, toko-toko buku serta penerbit ikut kena dampaknya. Salah satu penerbit yang biasa menerbitkan buku-buku saya pun mulai menunda jadwal terbit dan fokus menjual buku-buku secara online. Kebayang, gimana nasib penulisnya?

Bersyukurnya, saya sebagai penulis masih bisa mengirimkan naskah meski kemungkinan besar akan diterbitkan online untuk sementara waktu. Tapi, buat saya ini menjadi salah satu kabar baik, setidaknya, kami masih bisa menulis lagi, kan?

Saya berharap, penerbit bisa survive di masa pandemi seperti sekarang. Karena itu, kamu yang ngakunya suka membaca buku, please, belilah buku-buku original, bukan bajakan apalagi versi pdf ilegal. Selain sangat merugikan pihak penerbit dan penulis, kamu juga sudah melanggar hukum, lho.

Ternyata Kesibukan Selama Karantina di Rumah Aja Jadi Lumayan Padat!


Meskipun terlihat pengangguran selama masa karantina di rumah aja, faktanya, banyak banget kegiatan yang kita kerjakan setiap harinya. Terutama yang sudah menikah dan punya anak. Sudah tahu, kan kalau anak sekolah diharuskan belajar di rumah? Yups! Jadi guru dadakan dengan aktivitas rumah tangga lainnya rupanya nggak mudah, lho. Dari pagi kita mesti mendampingi anak-anak, padahal urusan dapur aja belum beres...hihi. Ujung-ujungnya kita jadi stres dan capek. Belum lagi kalau anak-anak lagi nggak mood belajar. Masa kita paksakan?

Akhirnya, putar otak supaya mereka gembira selama mengerjakan tugas sekolah. Urusan anak sekolah selesai, tinggal urusan rumah lainnya. Memasak, mencuci, ngepel, eh belum lagi menulis buku dan ngisi blog. Owh, rupanya padat juga kegiatan selama karantina di rumah...haha.

Biar mood kita tetap baik dan jauh dari rasa tertekan selama pandemi, saya berusaha menyenangkan diri sendiri dengan me time. Me time ala saya nggak harus mahal, kok. Cukup mandi setelah beraktivitas dan keramas dengan shampoo terbaik.

Saya berhijab. Pasti nggak mudah merawat rambut yang hampir setiap hari tertutup hijab. Benar, pengap, gampang lepek, dan berkeringat terutama karena saya tinggal di Jakarta yang suhu udaranya lumayan panas. Belum lagi setelah melahirkan, rambut mudah rontok. Benar-benar masalah pelik yang menambah stres.

Perawatan Rambut Bagi Wanita Berhijab


Buat kamu yang berhijab, nggak perlu khawatir soal perawatan rambut. Memang, merawat rambut berhijab sedikit berbeda. Butuh perawatan khusus, misalnya dengan melakukan beberapa hal berikut,

  • Sisir dulu rambutmu sebelum keramas


Emangnya ngaruh, ya? Meskipun terdengar sepele dan remeh, tapi nyatanya menyisir rambut terutama dengan wide tooth comb bisa mengurangi kerontokan akibat kebiasaan kita menguncir rambut sebelum memakai hijab. Kita biasa mengikat rambut mirip seperti ekor kuda, kan? Nah, tanpa sadar kita telah meremas rambut dan membuatnya gampang rontok...hiks. Dengan menyisirnya terlebih dulu sebelum keramas, rupanya bisa mengurangi jumlah rambut rontok yang bikin parno, lho.

  • Keringkan rambut sebelum menggunakan hijab


Karena buru-buru, kadang kita memaksakan diri memakai hijab saat rambut belum kering sempurna setelah keramas. Selain nantinya akan menimbulkan bau, berhijab saat rambut masih basah juga dapat membuat rambut jadi sensitif dan gampang rusak. Ditambah lagi bikin ketombean. Nggak pengen bermasalah dengan ketombe, kan?

Karena itu, ada baiknya sebelum menggunakan hijab, keringkan rambut dengan pengering rambut suhu paling rendah hingga sedang. Dengan cara ini, kita bisa meminimalisir kerusakan yang terjadi akibat memakai hijab saat rambut masih basah.

  • Istirahatkan rambutmu


Saat berada di rumah, tak perlu selalu mengikat rambut setiap waktu. Gerai saja rambutmu dan biarkan ia bernapas lega. Karena rambut pun butuh istirahat, sama seperti kita.

Mengikat rambut juga tak perlu telalu kencang, cukup ikat supaya tidak lepas dan mencuat keluar dari hijab. Karena ikatan terlalu kencang juga bisa merusak rambut sehatmu, lho. Bisa-bisa rambutmu semakin rontok karena cara mengikat rambut yang salah.

  • Rutin Mencuci Rambut


Jangan malas-malas keramas, deh. Karena saat berhijab, rambut kita bakalan lebih mudah lepek disebabkan terlalu sering tertutup dan diikat. Supaya rambut tetap terawat, kita perlu keramas dengan rutin, terutama saat pandemi seperti sekarang.

Baru pulang dari supermarket, segera mandi dan keramas, meskipun kita berhijab. Saya pribadi melakukan hal serupa demi menjaga kebersihan, biar nggak parno, jadi usahanya yang maksimal sekalian buat merawat rambut juga.

  • Pakai shampoo yang tepat


Yups! Nyari sampo buat perawatan rambut wanita berhijab ibaratnya kayak nyari jodoh, ya? Susah-susah gampang. Dibilang gampang karena mudah saja kita temukan di pasaran. Tapi, susah banget cocoknya.

Saya pribadi menggunakan beberapa produk dari Emeron. Salah satunya Emeron Hijab shampoo untuk perawatan rambut, sebab saya berhijab, karenanya saya butuh shampoo khusus bagi wanita berhijab sekaligus yang bisa mencegah rambut rontok. Dapat dua solusi sekaligus. Mantap, kan?

Emeron Hijab Clean & Fresh


Sama seperti ketika kita mencari skin care, harus nyoba beberapa produk dulu supaya tahu mana yang cocok dan mana yang nggak. Urusan shampoo pun sama, awalnya masih gonta ganti merek, tapi setelah mencoba Emeron Hijab Clean & Fresh, saya pun merasa cocok.

Rambut kita yang ditutupi hijab cenderung mudah sekali lepek, gatal, hingga rontok disebabkan keringat serta suhu udara yang cukup panas. Emeron Hijab Clean & Fresh mengklaim produknya bisa memberikan kesegaran untuk rambut kita yang berhijab sehingga tidak mudah berbau apek.

Emeron Hijab Clean & Fresh ini juga dilengkapi dengan formula cepat kering yang telah disempurnakan dengan teknologi Jepang, dilengkapi juga dengan active profit amino serta diperkaya dengan tea tree oil & mint yang dapat menyegarkan rambut serta melembabkan kulit kepala.

Kenapa mesti Emeron?

Emeron ini sudah ada sejak zaman dulu banget, lho. Diproduksi oleh PT. Lion Wings, Emeron juga telah bersertifikat halal MUI. Setelah Emeron meluncurkan shampoo khusus untuk wanita berhijab, saya pun tertarik mencobanya dan ternyata cocok.

Lebih menarik lagi, harganya sangat terjangkau, mudah kita temukan di supermarket. Nggak salah deh kalau saya pilih Emeron :)

Nggak Cukup Dengan Shampoo? Cobain Perawatan Rambut dengan Emeron Complete Hair Care



Nggak cukup hanya menggunakan shampoo, bagi kita yang berhijab, nggak ada salahnya mencoba perawatan rambut dengan Emeron Complete Hair Care. Biar me time di rumah lebih sempurna seperti saat melakukan perawatan rambut di salon. Eaaa.

Selama di rumah aja, kita pasti bakalan jarang banget pakai hijab. Karena keluar rumah pun jarang, sesekali aja ke tukang sayur dan ke supermarket. Jadi, rambut kita yang biasa tertutup hijab bakalan benar-benar bisa istirahat layaknya bumi kita yang sedang proses memulihkan diri saat pandemi :(

Beberapa produk Emeron Complete Hair Care yang bisa membuatmu lebih happy meski hanya melakukan perawatan di rumah aja,

  • Black & Shine, formula active profit amino dan manfaat urang aring bisa memperbaiki dan menutrisi rambutmu yang kusam dengan maksimal.

  • Soft & Smooth, formula active profit amino dan khasiat bunga matahari bekerja maksimal menutrisi rambut mulai dari akar hingga ujung, serta dapat membuatnya lembut dan berkilau.

  • Damage Care, kandungan nutrisi avocado serta formula active profit amino di dalamnya mampu mengembalikan kesehatan rambut yang rapuh, kering, dan kasar. 


Gimana, komplit banget, kan perawatan rambut dari Emeron ini? Meskipun hanya di rumah aja, kita tetap bisa produktif dan melakukan banyak kegiatan positif, termasuk tetap menjaga ‘kewarasan’ mental saat pandemi. Me time nggak harus dengan yang mahal, kok. Perawatan dengan produk-produk dari Emeron juga menjadi salah satu me time ala saya. Kalau mood kita bagus, aktivitas sehari-hari pun akan menyenangkan. Mindset positif pun akan terbentuk dengan sendirinya.

Salam hangat,

Featured image: Photo on Pexels.com

 

Saturday, May 2, 2020

Bikin Masker Kain Sendiri? Antara Kebutuhan dan Tren

Membuat masker sendiri



Saat ini, kita diwajibkan menggunakan masker kain setiap keluar rumah. Terutama bagi yang sedang kurang fit. Andai kita terpaksa bepergian, sangat disarankan menggunakan masker. Walaupun kita sehat-sehat aja, nih dan nggak ada keluhan apa pun. Kenapa? Karena dengan menggunakan masker, minimal kita bisa melakukan usaha untuk mencegah penularan covid-19 dari orang lain. Artinya kita bisa memutus rantai penularan meskipun bukan ini cara terbaik yang bisa dilakukan.

Kemarin, sempat membeli beberapa jenis masker kain. Sayangnya, kebanyakan bahannya nggak sesuai keinginan. Rata-rata hanya dibuat dari selembar kain saja. Meskipun nyaman, tapi kayaknya kurang aman. Alhasil, setiap pergi harus pakai dua sekaligus plus diselipkan tisu di antara keduanya.

Masker-masker kain zaman sekarang sudah nggak monoton lagi bentuknya. Nggak lempeng gitu...kwkwk. Sekarang, masker kain tampil sangat stylish, lho. Ada yang diberi payet-payet hingga renda. Jadi, pakai masker nggak hanya jadi kebutuhan, tapi sekaligus bergaya. Ah, bisa aja idenya.

Tapi, perlu diperhatikan, poin penting ketika hendak membeli masker adalah aman dan nyaman. Nggak masalah dikasih payet di mana-mana, bahkan sampai mirip kebaya pengantin, tapi, kalau akhirnya bikin nggak nyaman, mending nggak usah terlalu stylish, dong.

Bahan masker juga sebisa mungkin yang adem dan nggak licin biar tetap di tempat waktu digunakan. Karena banyak sekali jenis masker kain di zaman sekarang, saya justru tertarik membuatnya sendiri. Akhirnya, saya pun membeli bahan-bahan di marketplace. Apa saja bahannya?

  • Kain katun jepang aneka motif

  • Tali karet

  • Renda katun


Selain itu, sudah tersedia bahan lainnya di rumah. Seperti benang dan jarum pentul. Kebetulan saya sudah ada mesin jahit portable di rumah. Sudah lama sekali beli sejak zaman di sulung masih bayi. Usianya mungkin sekitar 8 tahunan kali ya mesinnya...haha.

Saya bukan ahli. Hanya sekadar bisa menjahit saja. Bahkan, masih lebih rapi suami jika disuruh menjahit daripada istrinya...kwkwk. Tapi, lumayanlah kalau hanya menjahit masker saya pun bisa *meskipun nggak rapi...kwkwk.

Masker Kain Sekaligus Bisa Diselipkan Tisu di Dalamnya



Kebanyakan masker kain zaman sekarang sudah bisa diselipkan tisu di dalamnya. Biar nggak mengembun ke kacamata gitu, lho. Plus sekalian nambah lapisan juga kali, ya? Nggak paham alasan pastinya. Kayaknya sih di antara keduanya...kwkwk.

Kalau saya pribadi, membuat model bisa dibuka bagian tengahnya dengan pinggiran yang saling tindih. Kebayang nggak maksudnya? Haha. Mirip sarung bantal tanpa tali. Bisa kamu lihat di gambar. Nggak susah bikinnya, kok. Hanya tinggal dijahit lurus-urus aja semua *pokoknya jangan suka belok-belok...kwkwk.

Bahan Masker Kain


Bahan-bahan masker kain ini bermacam-macam. Tapi, kemarin saya memutuskan membeli kain katun jepang karena biasanya lebih adem dan enak dijahitnya. Alasan lainnya karena memang motifnya itu cakep-cakep banget...huhu.

Sebenarnya, di pasar dekat rumah ada toko kain kiloan. Banyak banget kain katun jepang di situ dan dijual murah sekali. Tapi, berhubung ada pandemi begini, saya nggak berani pergi ke pasar. Memilih membeli online saja bahan-bahannya.

Lucunya, di toko tempat saya membeli bahan, ada paket kain polkadot dengan kain motif bunga-bunga senada. Jadi, kita nggak harus milih-milih lagi. Cukup pilih per paket aja mau warna apa, udah lengkap buat bagian depan dan belakang masker.

Cara Melepas Masker yang Benar Setelah Digunakan


Sebelum pandemi, saya sudah biasa pakai masker. Jujur, sampai detik ini bahkan saya masih punya stok sisa zaman sebelum pandemi. Seneng banget beli karena setiap ada yang common cold di rumah, pasti saya wajibkan pakai masker. Tapi, kalau dulu, pakai masker asal aja ya, nggak peduli gimana ngelepasnya. Bahkan biasanya dipakai lagi meskipun lewat dari empat jam.

Setelah pandemi, rasanya lebih banyak edukasi soal pemakaian hingga cara melepaskan masker yang benar seperti apa. Dulu, lepas ya lepas aja, buang ya lempar aja ke tempat sampah. Benar-benar nggak ada cara khususnya...kwkwk.

Tapi, sekarang kita mesti paham gimana cara lepas masker yang benar, ya. Karena, bisa aja kuman-kumannya nempel di bagian depan, kemudian karena kurang hati-hati, jadinya malah kepegang dan kena muka. Percuma dong pakai masker jadinya, kan?

  • Pertama, pastikan kamu sudah cuci tangah sampai bersih menggunakan sabun dan air mengalir.

  • Kedua, lepas masker dengan memegang talinya. Bukan pegang bagian depan. Dan jangan pegang-pegang area wajah sebelum kamu cuci tangan lagi sampai bersih.

  • Ketiga, buang ke tempat sampah dan segera cuci tangan dengan benar. Sebaiknya, selalu mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, bukan dengan hand sanitizer kecuali dalam kondisi tidak ada sabun dan air.


Saat ini, keberadaan wastafel darurat dan sabun sudah banyak di mana-mana. Wastafel darurat itu maksudnya tempat cuci tangan yang disediakan di berbagai tempat, dibuat dari galon kecil dengan keran di bagian depannya, dll. Sederhana, tapi ini benar-benar membantu. Emang namanya apa, sih? Saya sebutnya wastafel darurat aja...kwkwk.

Susah Nggak Sih Bikin Masker Kain?



Nggak susah, kok. Bahkan ada jenis masker yang dibuat tanpa perlu dijahit. Tinggal lipat dan diberi karet rambut. Bahan kainnya dibuat dari kain berukuran kecil yang dilipat menjadi persegi panjang. Ide ini saya temukan di akun Instagram Ideku Handmade.

Tapi, kalau kamu punya mesin jahit, nggak ada salahnya dong menjahit masker sendiri. Ini bisa jadi hiburan buat kita yang sudah sebulan lebih stay di rumah. Masker yang saya buat punya dua lapisan dan bisa diselipkan tisu. Bisa juga diselipin uang belanja di dalamnya...kwkwk.

Senang lihat masker dengan motif imut-imut begini. Saya pun membuat versi mini untuk anak-anak. Mereka happy bisa punya masker nyaman selain motif dan warnanya yang lucu.

Kapan Pandemi Berlalu?


Entah. Nggak usah dijadikan beban, karena pandemi ini, banyak banget pelajaran hidup bisa kita petik. Mesti sabar, mesti jaga omongan jangan sampai membuat orang yang sudah susah jadi tambah susah karena kekurang pekaan kita sama mereka, harus banyak bersyukur buat yang masih bisa makan.

Dan nggak usah membanding-bandingkan hidup kita dengan yang lain, apalagi kalau ngebandinginnya sambil bilang ‘jangan ngeluh bilang miskin, karena aku lebih dari kamu’. Kita nggak pernah tahu hidup orang sesulit apa sampai kita duduk di samping dia dan ngerasain hal yang sama.

Apalagi hidup di kota besar seperti Jakarta, kalau disebut nggak punya, maka buat makan nasi sama garam pun benar-benar nggak ada. Beda kasus kalau kita tinggal di kampung, masih ada beras meskipun nggak bisa beli lauk. Eh, ada sayuran di samping rumah, masih bisa cari kerja ke sawah, dll.

Tapi, di kota, nggak bakalan semudah itu. Pedagang kecil aja sudah nggak bisa lewat di depan rumah, pemulung sama sekali nggak terlihat sekarang. Kalau nggak ada uang, saya percaya mereka benar-benar nggak bisa makan.

Berbeda juga saat pandemi, karena orang kebanyakan jarang keluar rumah, berjualan pun nggak bisa jadi uang karena jarang pembeli. Itulah kenapa, ayo ‘peka’ dan ‘peka’. Kalau nggak bisa bantu, kita doain mereka sama-sama. Ini bukan kondisi mudah. Semoga Allah kasih keajaiban dan angkat wabah ini segera.

Salam hangat,