Sunday, March 27, 2022

Mustahil Menyenangkan Semua Orang, Sedikit Teman Justru Membuat Hidup Lebih Nyaman

Mustahil Menyenangkan Semua Orang, Sedikit Teman Justru Membuat Hidup Lebih Nyaman
Photo by Andrew Moca on Unsplash

 

Selamat! Usiamu sudah semakin dewasa. Kita pun terus bertumbuh di antara luka dan bahagia. Banyak hal telah terjadi, membuat diri semakin menyadari bahwa hidup hanya butuh hal-hal sederhana asal bikin nyaman. Nggak punya banyak teman pun bukan masalah karena nggak semua pertemanan bisa diandalkan.


Ramai bukan berarti nyaman, sepi bukan berarti menyedihkan. Makin dewasa kita makin menyadari bahwa bukan teman-teman yang menghilang, tapi kitalah yang makin peka menilai.


Ada pertemanan yang lebih layak ‘mati’ ketimbang menyulitkan diri. Bukankah memaksakan berada di antara orang-orang yang tak bisa saling menghargai justru hanya dapat melukai? 


Mustahil Menyenangkan Semua Orang

Mustahil Menyenangkan Semua Orang, Sedikit Teman Justru Membuat Hidup Lebih Nyaman
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash


Dulu, kita pernah menjadi orang yang selalu siap sedia ada bagi semua orang. Mendengarkan mereka bercerita, mengulurkan tangan saat mereka butuh, rela melakukan banyak hal asal teman-teman kita bahagia dan kita pun sudah merasa cukup dengan perasaan ‘lega’.


Namun, sampai kapan pun kita tak akan mampu menyenangkan semua orang. Meskipun semua hal telah kita lakukan, bahkan ketika kita kerepotan dengan DL yang menumpuk, kita masih sempat-sempatnya meluangkan waktu demi teman yang butuh dibantu, tapi pada akhirnya banyak lelah kita tak begitu berarti bagi mereka. 


Mungkin mereka kira kamu pengangguran yang tak punya pekerjaan. Sehingga bantuanmu tak bernilai kecuali hanya demi mengisi waktu luang. Apalagi jika kamu orangnya nggak enakan. Rela berbohong meskipun sedang banyak pekerjaan yang akhirnya justru menyulitkan diri sendiri. Selamat! Sepertinya kamu lebih mencintai orang lain ketimbang diri sendiri :)


“Ayolah bantuin. Bentar aja bikinnya. Jelek juga nggak apa-apa, kok,” katanya.


Padahal kamu juga tahu, yang disebut ‘bentaran’ itu juga butuh waktu. Yang ia sebut ‘jelek’ juga sebuah pekerjaan. Dan kejadian itu sering berulang sampai akhirnya kamu sadar, pertemanan ini sudah nggak sehat lagi.


Utang adalah Jalan Pintas Memutus Silaturahmi

Mustahil Menyenangkan Semua Orang, Sedikit Teman Justru Membuat Hidup Lebih Nyaman
Photo by Daniel Tafjord on Unsplash


Entah bagaimana ceritanya, dari pertemanan yang sangat akrab kemudian berubah seperti orang yang tak saling kenal hanya karena uang. Uang merupakan alasan paling sensitif kenapa persabahatan bisa jadi renggang. Uang adalah salah satu alasan kenapa tiba-tiba kita bisa tak saling kenal, seperti orang jauh.


Ustadz Khalid Basalamah dalam salah satu ceramahnya pernah berkata, 


"Orang yang memberikan utang kepadamu telah berbesar hati meminjamkan."


Maka, belajarlah menjadi amanah kecuali kamu memang tak mampu membayarnya. Masalah kemudian menjadi rumit ketika kita menagihnya. Sering kali mereka yang menerima utang merasa terzalimi, padahal bisa jadi kita memang butuh dan itu adalah hak kita. Sering kali justru merekalah yang menjauhi kita padahal kita sudah berbesar hati memberikan pinjaman di saat kondisi kita pun tak berlebih.


Utang merupakan salah satu alasan kenapa silaturahmi bisa terputus dengan begitu mudahnya. Orang-orang di zaman sekarang pun menjadi lebih berani ketika berutang. Bahkan kepada teman-teman yang dikenalnya di sosial media. Sebagian memang benar-benar butuh dan terdesak, tapi sebagian yang lain tak seperlu itu. Sebagian bisa dipercaya, sebagian lagi menjauh setelah menerima bantuan.


Bagi kita yang telah berbesar hati meminjamkan, kemudian terkhianati, semoga Allah lapangkan rezeki dan hati. Mari belajar lebih ikhlas lagi.


Pertemanan Seolah Punya Tanggal Kadaluarsa

Mustahil Menyenangkan Semua Orang, Sedikit Teman Justru Membuat Hidup Lebih Nyaman
Photo by Timothy Eberly on Unsplash


Berhenti berharap lebih kepada manusia, nanti kamu sakit :)


Itulah kalimat yang sering kita dengar dan ucapkan. Begitu juga dalam pertemanan. Jangan berharap berlebihan, apalagi meminta mereka melakukan hal sama baiknya seperti yang telah kamu lakukan.


Pertemanan seindah dan selama apa pun seolah punya tanggal kadaluarsanya. Ia akan berakhir pada waktunya. Ia akan merenggang setelah tiba masanya. Jika bukan karena kita yang saling menjauh, setidaknya kematian cukup jadi alasan pasti kita tak akan saling dekat lagi.


Tak perlu memaksakan diri supaya terus saling dekat. Apalagi sampai mengorbankan diri sendiri seolah jadi tumbal supaya bisa terus diterima. Jangan menyakiti diri sendiri dengan pertemanan yang kurnag ‘waras’. Kamu juga berhak memilih. Kamu juga berhak bahagia dengan pilihanmu.


Hubungan pertemanan kadang juga tak butuh alasan untuk merenggang. Sepertinya kesibukan, hobi yang tak lagi sama, atau bahkan tanpa dimulai dengan pertengkaran sekalipun bisa membuat hubungan merenggang kemudian tak lagi saling kenal.


Tak apa. Mungkin kita sedang bertumbuh menjadi lebih dewasa dan mulai menimbang mana yang akhirnya perlu dipertahankan.


Punya Teman Baik Itu Sulit, Pun Sulit Menjadi Teman yang Baik

Mustahil Menyenangkan Semua Orang, Sedikit Teman Justru Membuat Hidup Lebih Nyaman
Photo by Daiga Ellaby on Unsplash


Banyak orang yang melupakan semua kebaikan yang telah diterimanya hanya karena satu kesalahan. Padahal, selamanya manusia tak akan sempurna. Semua pernah berbuat salah dan khilaf, hanya saja salah satu dari kita masih ditutup aibnya.


Menjadi teman yang baik itu sulit, pun sama juga mencari teman yang baik ternyata tak semudah yang kita bayangkan. Tak cukup hanya dengan berbaik hati pada orang lain, tak cukup hanya dengan menyediakan waktu untuk mereka.


Namun, kebaikan yang telah kita lakukan tak akan sia-sia. Semoga Allah datangkan teman-teman yang baik, yang ketulusannya tak memiliki tanggal kadaluarsa, yang bisa menghargai kita, bukan yang datang hanya karena butuh, bukan yang menetap hanya karena ada maunya :)


Zaman dulu kita senang punya banyak teman. Kalau perlu bikin geng biar seru. Zaman-zaman di sekolah pernah seheboh ini. Sehari-hari ngobrolnya sama mereka. Membahas banyak hal. Bahkan keputusan yang kamu ambil pun tak lepas dari saran mereka. Namun, ternyata semua yang dekat bisa menjauh. Semua yang akrab bisa tak saling kenal. Sampai akhirnya kita tahu, tak apa tak saling kenal jika memang itu diperlukan demi menjaga kewarasan diri.


Salam hangat,


Friday, March 25, 2022

Perjalanan Sebuah Naskah Hingga Terbit Menjadi Buku

Perjalanan Sebuah Naskah Hingga Terbit Menjadi Buku
Photo by Clay Bank on Unsplash


Salah satu tema yang cukup sering dibahas di blog ini, tapi masih banyak banget yang suka dm dan nanyain di Instagram. Buat teman-teman yang baru menulis buku atau malah benar-benar baru mau menulis, mungkin postingan ini cukup berguna.


Saya mulai menulis sejak SMA. Bukan menulis buku kemudian dicetak, tapi benar-benar menulis di buku tulis dan buku harian. Apa saja yang ditulis saat itu? Mulai dari cerpen sampai curhatan. Entah kenapa sejak dulu suka aja nulis di buku harian. Ngerasa lega aja.


Hobi ini berlanjut sampai akhirnya saya bisa benar-benar menjadi penulis seperti sekarang. Kalau dibilang mudah, jawabannya nggak. Kalau dibilang cepat, sekali lagi nggak banget…kwkwk. Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa seperti sekarang. Butuh mengambil jeda beberapa tahun sampai akhirnya yakin bahwa passion saya memang di bidang ini.


Gimana, yakin, masih mau jadi penulis? Kalau sudah mulai goyah, skip aja baca postingan ini, ya :D


Proses Menulis Naskah

Perjalanan Sebuah Naskah Hingga Terbit Menjadi Buku
Photo by Andrew Neel on Unsplash


Menulis naskah ini nggak gampang. Karena sebagai penulis, baik pemula atau bukan, sering kita memikirkan banyak ide untuk dijadikan buku. Masalahnya, kita nggak akan pernah selesai jika semua ide dituangkan dalam tulisan secara bersamaan. Baru menulis outline untuk satu ide, kita tergoda ngerjain outline untuk ide lainnya. Baru separuh kelarin naskah, eh kita tergoda lagi buat ngerjain ide berikutnya. Kalau seperti ini, naskah kita nggak akan pernah kelar.


Sekadar saran, kalau belum terbiasa menulis beberapa buku sekaligus, sebaiknya pilih fokus menulis hanya untuk satu ide saja. Nggak usah dobel-dobel sampai lupa napas…kwkwk. 


Naskah yang bagus memangnya naskah yang seperti apa, sih? Jawabannya adalah naskah yang sudah selesai ditulis sampai halaman akhir. Bukan yang masih di angan-angan. Bukan yang berupa outline aja. Bukan juga yang akhirnya terbit juga. Namun, yang benar-benar telah kamu rampungkan sampai akhir.


Tulislah naskah sampai selesai. Mulai dari outline sampai profil penulis. Lengkapi naskahmu dengan blurb dan sinopsis. Juga target pembaca dan prakata. Saya pribadi lebih suka menulis selengkap mungkin supaya ketika diterima, kita nggak akan bolak balik mesti kirim kekurangannya. Seperti profil penulis, blurb juga. Jadikan saja dalam satu file sehingga editor akan jauh lebih mudah ketika me-review naskah kita dan memprosesnya.


Belajar Self Editing

Perjalanan Sebuah Naskah Hingga Terbit Menjadi Buku
Photo by Cristine Hume on Unsplash


Jangan berharap editor akan memberi tahumu mana tulisan yang typo atau nggak sesuai sama KBBI. Mungkin ada yang berbaik hati menjelaskan kesalahanmu di mana, tapi sebagian besar nggak akan repot-repot menjelaskan tentang itu.


Jadi penulis bukan hanya tentang kita bisa menulis saja, tapi juga mesti tahu kaidah penulisan yang benar. Semua ini bisa kita pelajari sambil jalan. Kita bisa cari di Google bagaimana penulisan ‘di’ yang dipisah dan mana yang mesti disambung. Kita harus belajar self editing tanpa harus diminta oleh siapa pun. Karena editor nggak akan mau capek-capek benerin typo yang jumlahnya banyak, apalagi kalau nggak rapi, mending di-skip saja naskahnya.


Kalau sudah begini, nanti kitanya juga yang rugi, kan? Jadi, pelajari semua hal yang dirasa perlu. Jangan malas-malas mencari tahu. Buka aja di Google, pasti banyak banget informasi yang kamu butuhkan. 


Kebanyakan bertanya kadang bikin gemes, sih. Sejujurnya, saya nggak suka sama orang yang nanya kebanyakan, tapi nggak mau baca kalau dikasih link informasinya. Benar-benar sampai dianterin lho link-nya. Tinggal dibaca. Tapi, katanya pusinglah, bingunglah. Terus mau kamu apa? :(


Ajukan Naskah Lengkap

Perjalanan Sebuah Naskah Hingga Terbit Menjadi Buku
Photo by Rafael Leao on Unsplash


Kebanyakan penerbit hanya menerima ajuan naskah lengkap. Jadi, pastikan naskah kamu benar-benar sudah rampung sampai akhir. Nggak apa capek di depan, nanti tinggal diajukan. Daripada banyak bikin outline, tapi nggak ada satu pun yang kelar?


Kita juga nggak boleh mengajukan satu naskah pada beberapa penerbit sekaligus dalam waktu yang sama. Ini merupakan salah satu hal yang perlu penulis ingat betul-betul. Jangan karena nggak sabar atau mau sekalian beres, kita jadi kena blacklist sama penerbit. Jadi penulis juga mesti tahu tata krama, ya.


Menunggu review dari editor itu memang nggak sebentar. Ada yang maksimal hanya tiga bulan, tapi ada juga yang sampai satu tahun belum dikasih kepastian. Benar-benar belajar sabar, kan?


Jika sampai tiga bulan naskahmu belum direspon, kamu bisa menanyakannya kembali atau menariknya. Menarik naskah harus disampaikan secara langsung kepada editor, jangan dalam hati, ya? kwkwk.


Setelah Naskah di-ACC, Kita Mesti Ngapain?

Perjalanan Sebuah Naskah Hingga Terbit Menjadi Buku
Photo by Markus Spiske on Unsplash


Setelah naskah diterima, kita mesti menunggu antrean naskah terbit. Poin ini mesti benar-benar kamu cerna baik-baik. Menunggu naskah terbit apalagi di penerbit mayor, ternyata nggak bisa dikatakan cepat. Seperti nggak bisa dipastikan waktunya. Ada yang duluan, ada yang belakangan.


Beberapa naskah saya bahkan ada yang belum terbit setelah menunggu sekitar empat tahun. Padahal semuanya sudah lengkap. Kita nggak bisa maksa juga. Nggak bisa seenaknya menarik naskah juga apalagi kalau penerbit nggak bilang batalin terbit. Hanya menunggu antrean yang subhanallah :)


Nah, solusinya gimana biar nggak kepikiran terus? Lanjut menulis naskah baru daripada jadi tim galau…kwkwk.


Yeay! Akhirnya Naskahmu Terbit!

Perjalanan Sebuah Naskah Hingga Terbit Menjadi Buku
Photo by Alice Hampson on Unsplash


Ini adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh semua penulis. Seperti orang melahirkan, rasanya lega banget ketika tahu naskah kita sudah lahir di toko buku Gramedia…kwkwk. Hilang sudah capek lelahnya ngerjain naskah dan lamanya menunggu.


Proses seperti yang telah saya jelaskan dari awal sampai akhir di postingan ini berlaku jika teman-teman menerbitkan buku di penerbit mayor. Kalau mau menerbitkan buku sendiri di penerbit indie, tentu nggak akan serepot ini asal teman-teman mau membayar.


Sebagian orang belum mengerti, mengira terbit buku di penerbit mayor harus mengeluarkan uang. Jawabannya nggak, ya. Justru kitalah yang dibayar. Baik itu berupa royalti setiap enam bulan sekali atau jual putus.


Jadi, proses dari mulai menulis naskah sampai terbit kira-kira butuh berapa lama? Nggak bisa dipastikan karena setiap naskah punya ceritanya sendiri. Mereka punya perjalanannya masing-masing yang nggak bisa disamakan. Ada yang cepat, ada yang luama pake banget.


Salah satu saran yang bisa saya sampaikan, bersabarlah ketika menjadi penulis. Penulis yang konsisten bukan berarti selalu menulis setiap hari, tapi yang terus melakukannya meskipun nggak setiap hari mengetik naskah. Kadang, ada saatnya kita ambil jeda, istirahat bentar. Nggak masalah. Itu menurut saya, ya? Karena saya nggak setiap hari mengetik juga apalagi kalau mesti mengerjakan ilustrasi. Namun, keinginan buat menulis akan muncul terus menerus dan saya akan kembali menulis. Insya Allah.


Jadi, jangan merasa bersalah jika sehari nggak nulis. Setiap orang punya caranya masing-masing. Ada yang bisa setiap hari, ada yang nggak harus setiap hari. Bu Arleen A dalam bukunya juga mengatakan bahwa beliau bukan termasuk penulis yang disiplin, tapi semua orang tahu kalau beliau adalah penulis yang produktif.


Aku sendiri sebenarnya bukan tipe penulis yang disiplin. Namun, aku percaya bahwa jika sebuah cerita memang patut diceritakan, dia tidak akan pernah diam sampai dirinya dituliskan. Pada suatu titik, dorongan menulis itu akan begitu kuat dan menempatkan si cerita di atas segalanya dalam skala prioritas. Sepetri itu yang biasanya terjadi padaku.

(Buku Belajar Menulis Cerita Anak – Arleen A/ hal 29)


Semoga kamu bersabar dengan impianmu, ya. Doakan saya juga :)


Salam hangat,


Wajib Tahu! Ini Perbedaan Shared Hosting dan Cloud Hosting

Wajib Tahu! Ini Perbedaan Shared Hosting dan Cloud Hosting
Photo by Glenn Carsten on Unsplash


Kali ini saya akan membahas tentang shared hosting dan cloud hosting. Apa sih perbedaan di antara keduanya? Adakah yang sudah tahu? Semoga teman-teman nggak mumet duluan, ya? hihi.


Kalau kamu dengar kata ‘hosting’ pasti bayangannya nggak jauh-jauh dari wordpress. Dulu banget, blog ini pernah migrasi ke wordpress sampai akhirnya balik lagi ke blogspot. Benar-benar perjalanan yang menggemaskan karena seneng banget ya pindah-pindah rumah…kwkwk. Daripada mikirin migrasi blog yang benar-benar menyita waktu dan pikiran, mending kita bahas perbedaan antara shared hosting dan cloud hosting.


Web hosting merupakan salah satu komponen penting dalam proses pembuatan website. Di antara sekian banyak layanan web hosting yang tersedia, shared hosting dan cloud hosting menjadi pilihan populer karena bisa diandalkan sekaligus cukup terjangkau dari segi harga. Lantas, kira-kira apa saja sih yang membedakan antara shared hosting dengan cloud hosting? 


Secara umum, kedua layanan tersebut dibedakan dari segi teknologi yang digunakan. Sementara dari segi keandalannya, cloud hosting memiliki nilai jual utama dari segi skalabilitas, fitur, serta sistem keamanannya yang lebih baik. 


Nah, sebelum kamu memilih shared hosting murah bayar tahunan, sebaiknya membaca poin-poin penjelasan yang membedakan antara cloud hosting dan shared hosting di bawah ini.


Perbedaan Shared Hosting dan Cloud Hosting

Wajib Tahu! Ini Perbedaan Shared Hosting dan Cloud Hosting
Photo by Emile Perron on Unsplash


Apa saja perbedaan shared hosting dan cloud hosting? Inilah pembahasan selengkapnya.


1. Skalabilitas

Salah satu perbedaan terbesar antara shared hosting dengan cloud hosting adalah soal skalabilitas. Apa itu skalabilitas? Skalabilitas merupakan kemampuan untuk meningkatkan resource hosting dengan cepat dan fleksibel ketika dibutuhkan.


Sebagai pengguna cloud hosting, kamu akan diberikan kebebasan dalam mengatur resource server seperti RAM, kapasitas penyimpanan, serta bandwidth sesuai keinginan. Dengan kata lain, ketika website sudah tumbuh menjadi lebih besar kamu tidak perlu khawatir terkait kebutuhan resource.


Berlawanan dengan cloud hosting, skalabilitas layanan shared hosting bisa dibilang kurang fleksibel. Seperti kita ketahui, shared hosting pada umumnya masih menggunakan teknologi server konvensional di mana sistem penyimpanan, RAM, dan perangkat lain belum saling terhubung dengan teknologi berbasis cloud.


Dampaknya, jika kita ingin melakukan upgrade maka tidak akan semulus dan secepat seperti ketika menggunakan cloud hosting. Jika sewaktu-waktu ingin upgrade layanan, maka diperlukan proses migrasi atau pindah data dari server lama ke server baru.


2. Performa

Perbedaan selanjutnya antara cloud hosting dan shared hosting bisa dilihat dari segi performa. Perlu kamu ketahui, shared hosting merupakan jenis web hosting di mana seluruh resource yang ada dibagi dan digunakan oleh beberapa pengguna dalam waktu yang sama. Alhasil, performa dari sebuah shared hosting umumnya tidak terlalu bisa diandalkan karena harus berbagi resource secara langsung dengan website lain.


Di sisi lain, layanan cloud hosting bisa dibilang sebagai penyempurna dari shared hosting konvensional, karena seluruh data website beserta resource yang digunakan tidak hanya berada di dalam satu server. 


Cloud hosting memang masih mengadopsi skema berbagi resource, namun pengaturan dan teknologinya sudah jauh lebih unggul dengan memanfaatkan banyak server yang saling terhubung satu sama lain.


3. Kemudahan Pengguna

Tidak bisa dipungkiri, saat ini mayoritas masyarakat di Indonesia masih belum familiar dengan website, apalagi layanan web hosting. Menariknya, baik shared hosting maupun cloud hosting keduanya sama-sama bisa dijalankan tanpa perlu melakukan banyak konfigurasi.


Umumnya, pihak penyedia layanan web hosting paket shared atau cloud hosting sudah termasuk managed service sehingga kita tidak perlu melakukan pemeliharaan dan mengatur operasional server. Sehingga sangat mudah untuk membuat aplikasi apa pun di website.


4. Privasi dan Keamanan Data

Keamanan dan privasi data pengguna tidak hanya dibutuhkan oleh website e-commerce yang menjalankan proses transaksi. Namun, hal ini juga perlu diperhatikan oleh website hiburan yang menyajikan konten berbasis teks, video, atau gambar.


Selain bertujuan melindungi identitas pengguna, keamanan dan privasi dari layanan web hosting mampu meminimalisir potensi website down akibat serangan hacker. Nah, untungnya sistem cloud hosting sudah menggunakan beberapa server yang saling terhubung satu sama lain, sehingga data-data website lebih aman.


Di sisi lain, untuk layanan shared hosting saat ini masih memakai server fisik yang disimpan dalam satu lokasi. Meskipun soal keamanan sudah bisa diandalkan, tapi masih jauh lebih aman jika menggunakan cloud hosting. 


5. Perbedaan Harga

Ingat dengan slogan “Ada harga, ada rupa”? Rupanya hal ini berlaku juga ketika membandingkan antara shared hosting dengan cloud hosting. Sebagai produk paling terjangkau di antara paket web hosting lainnya, shared hosting memang memiliki harga yang sangat ramah untuk kantong pengguna.


Bayangkan saja, saat ini kamu sudah bisa mendapatkan layanan shared hosting mulai dari Rp14 ribuan saja per bulan. Jauh lebih murah dari biaya langganan paket data. 


Adapun untuk harga paket cloud hosting sendiri memang relatif lebih mahal dengan biaya sewa berkisar antara Rp100 ribu sampai Rp200 ribuan per bulan. Akan tetapi, di balik selisih harga tersebut nantinya kamu juga akan mendapatkan banyak benefit menarik. Mulai dari garansi up time server up to 99,9%, unlimited bandwidth, fitur Litespeed web server, hingga gratis domain.


Itulah perbedaan antara shared hosting vs cloud hosting dari segi teknologi, fitur, dan harga. Kesimpulannya, untuk saat ini cloud hosting memang lebih unggul dibandingkan shared hosting, jadi untuk para pebisnis yang ingin serius mengembangkan website sebagai aset digital sebaiknya menggunakan cloud hosting sebagai investasi jangka panjang.


Salam hangat,

Sunday, March 20, 2022

Review Buku What’s So Wrong About Your Self Healing

Review Buku What’s So Wrong About Your Self Healing
Foto: Dok pribadi


Jarang-jarang nge-review buku bacaan sendiri di blog kecuali yang benar-benar saya suka. Iya, yang saya suka pake banget. Dan kali ini, saya mau me-review salah satu buku paling menarik rasanya seumur hidup saya…kwkwk. Yeay, ini adalah salah satu buku dari Ardhi Mohamad. Sepertinya ini bukan buku pertama yang ia tulis, tapi ini buku dia yang pertama saya beli dan baca sampai tuntas.


Buku-buku bertema self healing akhir-akhir ini menjamur banget, kan? Beberapa kali saya membeli buku-buku bertema sejenis, tapi sepertinya ini yang terbaik. Waktu baca sampai panas mata karena related banget dengan kehidupan saya selama ini.


Buku berjudul What’s So Wrong About Your Self Healing ini menarik banget dan sejujurnya ada part yang nggak bisa saya tebak. Saya kira buku ini membahas yang begitu-begitu saja, tapi nyatanya makin ke bab-bab akhir, makin serius dan berhubungan soal kita dalam beragama.


Saya mau membahas beberapa bab yang saya rasa related banget dengan kehidupan saya, sampai-sampai bikin mata panas dan beneran nangis!


Kekecewaan Kita pada Orang Tua

Review Buku What’s So Wrong About Your Self Healing
Photo by Liv Bruce on Unsplash


Sebenarnya, semua masih baik-baik saja sampai akhirnya saya menjadi seorang ibu. Memiliki anak ternyata bukan sesuatu yang mudah terutama bagi orang yang punya trauma di masa kecil. Ada banyak hal tiba-tiba muncul di luar kendali yang sebelumnya nggak pernah terjadi. Ada perasaan gagal jadi orang tua, benci sama diri sendiri, sampai menyalahkan masa lalu. Ingatan masa kecil yang kurang menyenangkan berkelebat satu demi satu. Yang dulunya itu bukan masalah, tiba-tiba jadi musibah.


Dan itu berjalan begitu lama sampai mungkin saya pernah merasa kecewa berat pada orang tua karena saya yang sekarang tak lepas dari masa lalu terutama di masa kecil.


Apa yang saya lihat dari orang tua dulu, tiba-tiba saya lakukan tanpa disadari. Dan itu buruk.


Namun, makin menyalahkan orang tua dan menjadikannya kambing hitam ternyata nggak menyelesaikan masalah. Saya pernah ada di titik merasa diri ini nggak normal, lho. Kayak nggak wajar aja. Sakit banget rasanya.


Pelan-pelan saya sadar bahwa masa kecil yang kurang menyenangkan tak seharusnya dibenci dan disesali. Takdir Allah bukannya nggak pernah salah, kan? Saya memutuskan memaafkan semuanya. Iya, semuanya. Sesuatu yang mungkin orang tua lakukan tanpa sengaja karena mereka juga nggak ngerti. Sesuatu yang membuat saya terluka, tapi mereka nggak sadar bahwa itu cukup menyakitkan buat saya. Sebab menjadi orang tua bukanlah hal mudah. Nggak ada sekolahnya. Apalagi orang tua zaman dulu, jangankan mikirin ilmu parenting, buat makan dan bayar SPP aja perjuangan banget, sih.


Pola asuh orang tua terhadap kita berpengaruh besar terhadap diri kita hari ini.

(What’s So Wrong About Your Self Healing, hal 14)

 

Orang tua adalah hubungan pertama kita. Ikatan emosional pertama yang seharusnya berhasil.

(What’s So Wrong About Your Self Healing, hal 15)


Namun, ada poin yang bisa saya simpulkan waktu itu. Bahwa, mungkin orang tua saya yang seperti itu juga korban dari orang tuanya dulu. Kemudian bayangan yang kurang menyenangkan berkelebat lagi. Bagaimana orang tua saya dibesarkan dengan cara yang 'kurang tepat' terutama buat kesehatan mentalnya. Yang pada akhirnya membuat mereka melakukan hal yang hampir sama pada anak-anaknya, termasuk saya. Dan semua itu membuat saya merasa kasihan kepada mereka. Gimana mereka bisa menjalani semuanya hingga hari ini, itu pasti perjuangan banget.


Buku ini pun menjelaskan hal yang hampir serupa. Itulah kenapa saya merasa apa yang dibahas benar-benar related banget dengan saya hari ini dan kemarin. 


Dikutip dari halaman 26, 

Orang tua kita juga kesulitan, tapi mereka sudah berusaha.


Terima kasih sudah membahas part ini. Bagian ini dalem banget sih buat saya meskipun saya sudah melewati semuanya dan benar-benar sudah berdamai dengan semua itu. Tetap saja masih nyesek kalau ingat. Apalagi ingat bagaimana orang tua harus bersusah payah antara mendidik dan memenuhi kebutuhan hidup kami yang waktu itu memang cukup sulit.


Nulis bagian ini aja sambil nangis banget. Ternyata menjadi orang tua itu nggak mudah. Dan saya tahu, orang tua saya sudah berusaha yang terbaik dengan masa kecilnya yang nggak indah.


Merasa Nggak Punya Teman

Review Buku What’s So Wrong About Your Self Healing
Photo by Andrew Moca on Unsplash


Entah kenapa, di usia-usia bahkan sampai sedewasa hari ini, kadang kita merasa ditinggalkan dan nggak diajak…kwkwk. Apalagi saya termasuk orang yang mereka sebut terlalu polos, terlalu baik, sampai-sampai sering banget dimanfaatin…huhu.


Tapi, Ibu saya saja bilang begitu…kwkwk. Dan saya benar-benar mengalami banyak hal menyakitkan soal pertemanan. Karena saya selalu berharap orang-orang juga sebaik saya saat berteman. Kemudian pada suatu hari saya dikecewakan sampai dibohongi. Ini terjadi saat saya mau melanjutkan ke SMA. Pertama kalinya patah hati soal teman baik yang sering kita sebut sahabat.


Saat itu juga saya memutuskan untuk pergi melanjutkan sekolah tanpa seorang teman yang saya kenal. Awalnya saya nggak pernah ngebayangin harus melanjutkan sekolah sendirian saking selalu bergantungnya saya sama orang lain. Saking merasa sepercaya itu saya sama teman. Saya terlalu takut sendirian. Nyatanya, saya punya teman-teman baru yang nggak kalah asyik dan menyenangkan, kok setelahnya.


Di part ini, penulis membahasa tentang loneliness. Menurut penulis, ini adalah fase pembelajaran. Bahwa sebagai manusia, nggak bisa selalu bersama. Akan ada waktunya renggang, menjauh, berpisah (hal. 92)


Bahkan sekarang saya nggak bisa lagi menaruh percaya terlalu besar terutama kepada teman. Pernah kejadian beberapa tahun lalu dan itu benar-benar bikin trauma sih di usia sedewasa hari ini. Bayangkan, udah jadi emak-emak, tapi pernah nangis kejer dan trauma berat sampai takut punya teman gara-gara  satu orang yang dulu disebut sister fillah…kwkwk.


Pada akhirnya saya memahami bahwa, nggak berteman bukan berarti benci banget, mungkin kita memang nggak cocok, sih. Lebih cocok nggak saling kenal aja *lol


Dan sekarang, ya sudah. It’s okay. Itu akan jadi pelajaran yang benar-benar berharga buat saya sampai hari ini :)


Jangan bergantung sama manusia, nanti kamu sakit :(


Catet, ya...kwkwk.


Kok, Sensitif Banget, sih? Ah, Lebay dan Baperan!

Review Buku What’s So Wrong About Your Self Healing
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash


Semua relationship dalam hidup kita adalah hasil dari kita mencoba untuk mencari apa-apa yang hilang dari relationship kita dengan orang tua.

(What’s So Wrong About Your Self Healing, hal 131)


Pernah ada orang yang menyebut saya terlalu sensitif dan baperan. Dia benar. Saya pernah jadi orang sesensitif dan sebaperan itu. Dan saya menerima kekurangan saya. Nggak apa-apa. Ini adalah perjalanan, mustahil saya sempurna dalam satu hari :)


Pada halaman 133, buku ini membahas tema yang sama. Menurut penulis, semua itu ada hubungannya dengan attachment kita pada masa lalu dan dengan orang tua. Apakah waktu kecil kita dihargai? Apakah kita mendapatkan kasih sayang yang cukup?


Saya termasuk orang yang mudah cemas. Saya pernah membahas ini pada postingan lain dalam blog ini. Saya pernah mesti duduk di kereta, tapi beda gerbong dengan suami waktu itu. Tahunya pas udah di stasiun. Itu pun setelah kami menempuh perjalanan dari Jakarta ke Bandung. Kemudian rencana dari Bandung kami lanjut ke Malang. Jadi, ini kondisi udah capek, malah mendengar sesuatu yang nggak saya harapkan.


Di stasiun, isi kepala saya nggak bisa dikendalikan lagi. Takut, cemas, sampai menangis di stasiun. Namun, waktu itu saya memutuskan untuk menarik napas dalam dan mulai mengatakan pada diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Saya nggak serta merta bisa melakukan ini sendiri. Cara ini saya dapatkan dari hasil membaca buku juga waktu itu. Dan beneran berhasil.


Jadi, banyak hal memang muncul begitu saja tanpa bisa kita kendalikan. Iya, nggak semuanya bisa setenang dan nggak sesensitif dirimu, bestie…kwkwk. Semua itu adalah sebab akibat juga. Gimana pengalaman hidupnya, juga masa lalunya terutama dengan orang tuanya. Jadi, lebih baik mungkin kita nggak asal nge-judge seseorang karena kamu nggak pernah tahu seperti apa perjalanan hidupnya.


Coba Lebih Dekat Sama Allah

Review Buku What’s So Wrong About Your Self Healing
Foto: Dok pribadi


Di part akhir memang membahas soal kedekatan kita pada Allah. Karena pada akhirnya, hanya Allah yang nggak akan pernah meninggalkan kita. Ini part yang nggak nyangka bakalan ada dalam buku ini, sih


Tapi, ya semua itu memang akan saling berhubungan dan justru intinya ada di bagian ini.


Kenapa sih kita sering kecewa? Ya, karena kita bergantung sama orang, bukan sama Tuhan.


Ketika kita merasa nggak cukup dengan diri sendiri, ada Allah yang nggak menilai kita dari rupa dan harta kita, melainkan isi hati kita. 

(What’s So Wrong About Your Self Healing, hal 256)


Mungkin itu aja karena postingan ini sudah terlalu panjang...hehe. Waktu baru pertama baca bab-bab awal, saya langsung bilang ke teman, kamu wajib sih beli buku ini. Berasa saya sales, kan? Kwkwk. Tapi, asli buku ini memang worth it banget buat kamu miliki. Mungkin karena penulis punya pendidikan dengan background yang sama seperti apa yang ditulisnya. Bukan orang yang asal bahas. Nggak salah kalau bukunya laris dan sering saya lihat banyak juga yang me-review


Terima kasih sudah menulis buku sebagus ini :)


Salam hangat,


Monday, March 14, 2022

I’ts Okay Jika Kamu Pernah Salah, Kamu Masih Punya Kesempatan Untuk Memperbaikinya

 

I’ts Okay Jika Kamu Pernah Salah, Kamu Masih Punya Kesempatan Untuk Memperbaikinya
Photo by Umit Bulut on Unsplash

Benar, nggak apa-apa kalau kita pernah melakukan salah di masa lalu, semua orang juga mengalaminya. Menyesal sudah semestinya, tapi jangan sampai tidak memaafkan diri sendiri. Semua itu proses. Kadang, kita nggak bisa hanya sekadar dikasih tahu benar atau salah, di lain waktu kita melakukannya, kemudian baru mengetahui salahnya di mana.


Suatu hari, kita melakukan sebuah kesalahan yang akhirnya menyakiti banyak orang. Meskipun telah meminta maaf dan menyesal, nyatanya semua itu tak cukup memperbaiki keadaan. Memang benar, cermin yang sudah retak bisa disatukan, tapi bekasnya akan tetap terlihat.


Ketika kita melakukan sebuah kesalahan, ada orang yang bereaksi berlebihan. Bukan hanya tidak mau memaafkan, tapi sampai memaki kita, merendahkan, sampai mental kita benar-benar down dan akhirnya merasa nggak punya kesempatan untuk memperbaikinya. Bukan salah dia, jelas-jelas itu kesalahan kita. Jadi, terima dan akui saja. Tak perlu menyalahkan orang lain dan mencari pembenaran. Salah ya salah aja :)


Hei, jika kamu ada di posisi ini, sama-sama sedang merasakan sakit karena bukan hanya telah melakukan kesalahan yang seumur hidup telah membuatmu menyesal, tapi juga mendapatkan reaksi yang membuat kesehatan mentalmu terguncang, semoga kamu tetap percaya bahwa semua orang pasti punya kesempatan untuk memperbaikinya.


Kita tidak membenarkan bahwa semua orang boleh seenaknya berbuat salah, seenaknya menyakiti orang lain, dan apa pun itu, tapi ketika kamu telah melakukannya dan tahu bahwa tak akan mungkin mengembalikannya, satu-satunya hal yang bisa kamu lakukan bukan hanya menyesali dan tidak mengulangi, tapi juga menjadikan itu sebagai sebuah pengalaman berharga yang nantinya akan selalu diingat. Supaya kita tidak melakukan hal yang sama di kemudian hari.


Tenang, Semua Akan Baik-Baik Saja

Setelah semua hal yang terjadi, mungkin keputusan terbaik adalah menarik diri. Menjauh sementara waktu sambil menenangkan hati. 


Tak mengapa jika kita sendirian dan tak lagi punya banyak teman. Makin dewasa saya juga makin paham bahwa ramai bukan berarti menyenangkan, sepi tak berarti menyakitkan. Apalagi jika selama ini kita hanya memaksakan diri supaya diterima, memberikan waktu dan semuanya hanya demi dianggap ada, pasti akan sangat melelahkan, ya?


Kenapa tidak belajar menerima diri sendiri daripada memaksa orang lain menerima kita? Sebanyak apa pun yang telah kita berikan kepada orang lain, itu tak akan menjamin mereka akan menetap dalam suka dukamu. Sesuka hati mereka tetap akan pergi, dan kita tak akan pernah bisa mencegahnya.


Tenang, semua akan baik-baik saja. Kita akan belajar dari pengalaman. Kita akan memperbaiki semuanya. Kita masih punya kesempatan, meskipun tak semua orang mau memberikannya. Maka, cobalah bergantung pada Allah. Jangan pada manusia, nanti kamu sakit :)


Tak Usah Membalas

Ada saatnya semua terasa nggak adil. Ketika kita disalahkan seolah tak pernah punya kebaikan sedikit pun. Dimaki-maki di sana sini. Benar-benar dianggap manusia paling hina di dunia. Hei, it’s okay. Jangan bergantung pada penilaian manusia. Sesakit apa pun itu, akan lebih baik jika kita diam dan introspeksi diri. Jika kita membalasnya dengan hal yang sama, atau mungkin dengan hal yang lebih buruk lagi, bisa-bisa kita tak ada bedanya dengan dia.


Diam dan belajarlah mengejar ketertinggalanmu. Fokusmu bukan lagi tentang rasa sakit yang sebenarnya disebabkan oleh kesalahanmu sendiri, tapi fokuslah melihat hal-hal positif yang bisa kamu raih di depan nanti.


Setelah kejadian ini, berjanjilah untuk jadi lebih dewasa menyikapi keadaan. Menyikapi kesensitifan perasaanmu. Tahu nggak, sih? Ternyata orang-orang yang katanya sensitif atau dianggap baperan tidak tiba-tiba menjadi sesensitif itu tanpa sebab. Semua itu muncul bisa dari pengasuhan orang tua yang tidak tepat, juga dari pengalaman hidup yang masing-masing orang akan selalu berbeda.


Jadi, menyalahkan diri sendiri bukan hal yang tepat juga. Apalagi menyalahkan orang tua dan menjadikannya kambing hitam. Ini adalah proses, juga pengalaman hidup yang berharga. Kita akan terus belajar untuk menerimanya. Maafkanlah mereka. Siapa pun yang membuatnya merasa seburuk hari ini.


Lebih Berhati-Hati

Tentu kita jadi lebih berhati-hati, bukan hanya ketika memilih teman, tapi juga saat mengambil keputusan. Jika dirasa masih bisa ditahan, kenapa mesti diluapkan? Jika dirasa akibatnya akan memperburuk keadaan, tentu kita akan memilih tetap ada di antara mereka yang telah membuat kita merasa tak lagi nyaman. Kita bisa menjauh tanpa mesti menimbulkan kegaduhan.


Kadang, kita terperangkap dalam masalah yang sama hampir setiap hari, sepanjang tahun, seumur hidup bahkan mungkin? Saya pernah mendengar, jika kita masih mengalami hal yang tidak menyenangkan, yang itu-itu lagi, ketemu masalah yang hampir selalu sama, kita mesti berani melihat ke sekeliling, jangan-jangan kita memang sedang ada di lingkungan yang tidak tepat?


Dan betapa teman-teman di sekeliling kita sangat berpengaruh bagi kita, dalam mengambil keputusan, dalam berpikir, dan segalanya. Keluar dari lingkungan yang tidak tepat akan sangat membantu kita untuk berbenah. Setelah itu, kemungkinan besar tak akan ada lagi drama yang sama :)


Jika kita pernah melakukan kesalahan, jangan pernah bangga akan hal itu, tapi juga tak berarti kita perlu menjadi rendah diri apalagi sampai menyalahkan diri sendiri. Kita masih punya kesempatan dan semoga Allah akan memaafkan. 


Salam hangat,