Sunday, May 28, 2017

Kisah Secangkir Kopi

Cerpen Kisah secangkir kopi


Aku nyaris meninggalkan kedai kopi di daerah Menteng, andai saja Ririn tak segera muncul. Dia sudah membuatku menunggu terlalu lama. Tiga puluh menit bukan waktu sebentar apalagi saat berada di kedai kopi yang ramai pengunjung. Rata-rata mereka datang bersama sahabat atau bahkan pacar. Sedangkan aku? Bisa dibayangkan, duduk sendirian di dekat jendela demi menatapsunsetdi sore hari, berharap jendela kaca itu cukup jelas menangkap bayangan Ririn yang sudah membuatku kesal. Tapi nyatanya, hingga secangkir espresso pesananku hampir tandas, Ririn belum juga menampakkan batang hidungnya. Entah di mana dia sekarang.


Lima belas menit sebelumnya, dia sempat mengirim pesan singkat. Katanya jalanan ibu kota macet parah. Dia tak bisa berkutik. Berada di dalam taksi, tak bisa belok kanan apalagi kiri. Di sekelilingnya dipenuhi kendaraan bermotor. Di depannya berbaris puluhan kendaraan roda empat yang mulai ribut membunyikan klakson.

Awalnya aku tersenyum membacanya, Ririn pasti jauh lebih jenuh dariku. Tapi, lama-lama aku juga suntuk. Menyapu pandangan ke sekeliling, tak ada seorang pun yang kukenal. Akhirnya, tanpa berpikir panjang, aku pun beranjak.

Beruntung, sebelum aku benar-benar meninggalkan tempat duduk, Ririn segera muncul di ambang pintu, melambaikan tangan dan berlari kecil sambil menjinjing rok berwarna gelap yang menutupi mata kaki.

“Maafin aku, Ta. Jangan marah, ya? Kamu manis, deh!”

Aku kembali duduk dengan wajah terlipat, mengusap pipi yang panas karena cubitan kecilnya.

“Terlambat lima menit wajar, Rin. Kalau setengah jam bukan telat namanya.” Ucapku ketus.

“Aku kan udah minta maaf, Ta,” ucapnya memelas.

Kali ini aku maafkan, “Ya…ya. Kamu boleh traktir aku hari ini.”

Ririn mendelik. Bibirnya manyun persis ikan mas koki. Aku tertawa.

“Lalu, apa yang bisa aku bantu, Ta? Mencarikan jodoh buat kamu?” Ririn terkikik. Puas sudah meledek.

“Aku masih waras, Rin. Nggak mungkin nyuruh orang jomblo mencarikan aku jodoh.” Kali ini gantian aku yang menertawakan. Dia membalas cubitan kecil di lenganku.

Dulu, kami disebut sahabat sehidup semati. Karena selalu bergandengan ke mana pun pergi. Di mana ada aku, di situ ada Ririn. Kami merasa sangat cocok, Ririn yang jahil dan konyol namun bisa serius. Sedangkan aku yang lebih bawel bahkan ketus. Tak jarang kami sering ribut. Tapi, itu bukan masalah besar. Keributan kecil seperti sore ini tentu bukan alasan buat kami saling menjauh.

Mencari teman banyak memang mudah. Bahkan saat SMA hingga masuk perguruan tinggi, aku punya banyak kenalan. Namun, mereka tak lebih dari sekadar teman ketawa ketiwi. Belum pernah ada yang seperti Ririn. Yang mengerti hitam putih dalam diriku. Memahami jatuh bangun serta perjuangan mempertahankan prinsip semisal saat tiba-tiba aku memutuskan untuk berhijab. Orang pertama yang menyetujui tanpa mempertanyakan alasan hanyalah Ririn, sedangkan keluarga justru mencari lebih banyak alasan saat melihatku menutup aurat. Mereka khawatir aku lepas tutup. Lantas khawatir dicibir oleh orang lain. Ah, entahlah. Aku tak mengerti kenapa sebuah kebaikan yang dimulai dengan tulus harus selalu dipertanyakan kenapa dan kenapa? Bukankah lebih baik mendukung dan mengiyakan supaya semangat yang sudah membara tak berubah arang dalam sekejap?

“Kamu berubah ya, Ta?”

Aku mengeryitkan dahi lantas menaikkan sebelah alis dan menanyakan maksud pertanyaannya barusan. Sepertinya tak ada yang berubah dariku. Beberapa bulan dan tak bertemu, Ririn bahkan sudah mulai pangling. Apa karena aku memakai pemerah bibir yang kuoles tipis sebelum berangkat?

“Penampilanmu sudah jauh lebih...” Ririn menghentikan ucapannya lantas menunjukku dengan gaya menilai, “lebih dewasa dan jibabmu itu,” sekali lagi dia diam.

Mataku terbeliak lantas menutup mulut dengan telunjuk, “Sssst…Apa sih, Rin.”

Aku tertawa lantas memesan secangkir kopi yang sama untuknya. Sejak beberapa bulan terakhir, aku mulai merubah tampilan hijab yang awalnya hanya sekadar menutup kepala menjadi serupa sahabat yang sedang duduk di depanku, Ririn.

“Sejak kapan kamu?” Ririn kembali mempertanyakan.

Aku tersenyum lantas menemukan seutas senyum serupa dari kedua bibirnya.

“Aku bahagia banget melihat kamu seperti ini, Ta!” Serunya tanpa ragu lantas menarik pergelangan tanganku.

Aku juga merasa lebih bahagia seperti ini. Sejak awal, aku bahkan tak terlalu paham untuk apa memakai hijab. Hanya sebab kewajiban atau adakah manfaat lainnya? Lama-lama aku merasa penasaran dengan gaya berhijab Ririn yang jauh dari kata populer apalagi fashionable.

Seperti hari ini, ketika mataku tanpa sengaja menemukannya di depan pintu kedai, seorang gadis berhijab lebar dengan gamis longgar berwarna senada, begitu menarik namun tak sedikit pun berlebihan. Ririn melambaikan tangan dan dengan senyum hangatnya segera berlari menemuiku. Meminta maaf dan segera merayu.

Dia belum juga berubah. Sederhana, apa adanya. Sesuatu yang kukira dulu akan segera tergerus waktu. Setelah keluar dari perguruan tinggi, kupikir dia akan berubah jadi wanita dewasa yang modis. Nyatanya dia tetap sama.

Suatu kali aku pernah menanyakan, kenapa kita harus menutup aurat dan memilih berhijab sedangkan di luar sana banyak muslimah bahkan tak sungkan membuka aurat?

Dia menjawab antusias, “Sebab berhijab adalah sebuah kemuliaan yang Allah berikan kepada kita. Dengan hijab, kita terlindungi dari berbagai pandangan buruk. Hijab berfungsi menutupi bukan menarik perhatian.”

Aku sempat terperangah sebab sebelumnya merasa hijab menjadi salah satu cara terbaik untuk eksis. Bukan karena aku ingin populer dengan hijab, namun pemandangan yang terpampang di depan mata mengatakan hal serupa.

“Jadi, alasan apa yang mempertemukan kita sekarang? Kamu kangen?” Ririn terkikik lantas menyesap espresso yang baru diantarkan oleh pramusaji.

“Aku mau menikah.”

“What? Dengan siapa?” Ririn terlonjak kaget lantas tersenyum dengan rona bahagia.

“Dengan mas Arya, senior kita.”

Untuk beberapa saat aku melihatnya tertegun lantas tersenyum pasi.

“Itu kabar bahagia, Ta. Aku senang mendengarnya.”

Suasana beku kembali mencair. Tanpa ragu aku pun mulai menceritakan pertemuanku dengan mas Arya yang terbilang singkat. Lamaran dan menentukan tanggal pernikahan yang berselang tak lebih dari tiga bulan.

“Datang ya, Rin.” Ucapku sungguh-sungguh sambil tersenyum hangat. Benar-benar mengharapkan kedatangannya di acara bahagiaku nanti.

Langit berubah senja. Satu jam berada di kedai kopi bersama Ririn membuatku sedikit lega. Pertemuan pertama setelah sekian lama hanya berbalas pesan singkat lewat handphone dan media sosial. Rasanya rinduku terobati sudah.

***


            Rasanya tak mudah mendengar sahabat akan menikah dengan orang yang dulu sempat mampir dalam kehidupanku. Ya, Tata bukan lagi sekadar teman, dia lebih dari itu. Aku sudah menganggapnya saudara. Dia memang terkesan ketus dan disiplin, namun sebenarnya orangnya baik dan hangat.

Mas Arya sempat berniat meminangku. Hingga penolakan orangtua membuatnya segera mundur. Mungkin apa yang Tata ucapkan benar adanya. Jodoh memang tak bisa dipaksakan. Dia datang tanpa persetujuan dan mencari pelabuhannya tanpa pernah bisa ditebak. Sekarang, aku harus menyiapkan diri dan hati saat tiba di resepsi pernikahan mereka. Menyembunyikan perasaan yang sebenarnya masih sama. Ah, mungkin ada orang yang lebih baik yang sedang Allah siapkan untukku…

***


            Kedua gadis berhijab lebar itu meninggalkan kedai dengan secangkir kopi yang sudah tandas. Membawa perasaan dan cerita berbeda…


Thursday, May 25, 2017

Arini

Cerpen Arini


Belakangan, lelaki tiga puluhan itu mulai bercerita tentang masa lalunya. Seorang gadis kecil yang dua tahun terakhir membuat rasa bersalah semakin dalam menikam. Bukankah penyesalan memang selalu datang terlambat.

***


Arini menatap lekat wajah suaminya. Pukul dua belas malam, Sandi masih saja terbangun dan tampak gelisah di ujung tempat tidur. Bukan kebiasaannya. Setahun tinggal serumah, Arini bahkan tak pernah melihat lelaki berwajah teduh itu tidur lewat pukul sembilan malam. Dan tampaknya, seribu tanya menghampiri Arini ketika tanpa sengaja dia menoleh dan tak menemukan Sandi di sebelahnya.

“Belum tidur, Mas?” Tanya Arini seraya menghampiri.


Sandi bergeming. Tak ada sahutan kecuali tarikan napas panjang. Dia bahkan tak mengerti bagaimana memulai. Baginya, masalah cukup jadi beban sendiri. Tak perlu orang lain tahu apalagi istrinya. Mungkin saja kenyataan yang akan ia tuturkan justru menjadi belati yang pada akhirnya menyayat hati wanita terkasihnya.


“Mas baik-baik saja?” Arini kembali mempertanyakan. Dengan mata setengah terbuka, ia menggamit lengan suaminya, “sebaiknya lekas tidur. Atau mas akan melewatkan shalat malam.”


Terpaksa Sandi mengiyakan meski pada akhirnya tak sedetik pun mampu memejamkan mata.


Baginya, masa lalu tak lebih berharga dari kehidupannya saat ini. Mempersunting Arini membuat semua terasa sempurna meski hingga setahun belakangan, hati kecil mulai merindu kehadiran seorang anak. Arini tak mengidap penyakit serius. Sandi pun tak punya masalah berarti. Hanya saja soal waktu. Ya, waktu yang kadang menjadi sembilu dan lebih menyakitkan ketimbang goresan pedang sekalipun.


Orangtua Sandi mulai mempertanyakan, kapan mereka akan memberikan momongan. Sandi dan Arini hanya membalas dengan seulas senyum tipis. Ini bukan tentang mereka berdua, namun lebih soal waktu. Arini percaya, bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi akan terjadi dan sebaliknya tak pernah terwujud tanpa kehendak Mahakuasa.


“Sudah setahun, rasanya ingin cepat hamil. Teman-teman Arini bahkan sudah punya anak dua, Mas.” Kalimat itu terdengar sederhana namun terlalu sulit menjalaninya.


Sandi tersenyum, “Kalau sudah waktunya, pasti akan dimudahkan.” Kemudian menggenggam jemari istrinya, menguatkan. Sedetik kemudian, kedua mata Arini menggulirkan kristal. Buru-buru Sandi menghapusnya, merengkuh hangat seorang wanita yang sudah berbulan-bulan merindukan seorang malaikat tinggal dan hidup di dalam rahimnya.


Bukan perkara mudah merahasiakan keinginan. Setidaknya untuk enam bulan pertama pernikahan, Arini selalu berpura-pura baik-baik saja. Tidak ada yang salah dengan keluarga kecil mereka. Setelahnya, kerinduan akan malaikat kecil semakin menguat, terlebih ketika sahabat dan beberapa saudara sudah hamil dan melahirkan. Banyak orang tak mengerti bagaimana merindukan sosok mungil yang melengkingkan tangis di tengah malam. Mereka mengira itu bukan mimpi buruk dalam sebuah ikatan suci. Arini tahu betul, saat ini dia bahkan jauh lebih buruk dari sebelumnya.


Sandi menatap istrinya. Masih terisak dalam pelukan. Dia tak menyuruhnya berhenti. Mendiamkan dan membiarkan wanita itu menumpahkan kesedihan yang dipendamnya sendiri. Untuk saat ini, Sandi merasa tak perlu lagi membebankan. Namun, entah esok? Sebuah cerita kecil dalam masa lalunya harus diketahui pula oleh Arini.


Dulu, dia hanya mengatakan pernah menikah dengan seorang perempuan dari tanah Jawa. Arini tak mempermasalahkan. Tapi, tentang gadis kecilnya, seseorang yang saat ini berusia enam tahun dengan dua mata bulatnya yang indah, apakah Arini juga harus tahu? Atau biarlah menjadi rahasia kecil yang selalu disembunyikannya? Sandi menarik napas. Apakah karena kelalaiannya pada mahkluk kecil itu hingga membuat pernikahan mereka saat ini tak juga dikarunia anak? Kesalahan itukah yang pada akhirnya menyakiti istrinya, Arini? Jika benar, maka Sandi akan sangat merasa berdosa. Seharusnya mereka sudah menimang bayi, bukan malah menangis tercekat seperti sekarang.


Ah, ini hanya soal waktu. Sandi berbaik sangka. Allah tentu amat mengerti apa yang terbaik bagi kehidupan mereka. Tak apalah menunggu beberapa bulan lagi. Waktu akan tetap sama menyenangkan dan riang bersama istri tercinta. Wanita itu sungguh telah menjadi pijar dalam hidupnya. Arini sangat berharga, laki-laki mana yang mau menggadaikan kebahagiaan wanita yang siap berkorban bahkan dengan nyawa sekalipun? Arini penuh syukur meski kehidupan mereka sederhana. Tak banyak mengeluh bahkan hampir tak pernah kecuali hari ini, ketika semua bebannya tiba-tiba membuncah.


“Mas nggak marah sama Arini?” Tiba-tiba wajah sembab Arini menyembul dari pelukan Sandi. Marah? Kenapa harus marah?


Sandi menaikkan kedua alisnya. Mempertanyakan, “Tentang apa?”


Arini memperbaiki posisinya, mengusap sisa tangis, “Arini belum bisa memberikan keturunan,” suaranya tercekat. Rasanya kalimat itu begitu sulit diucapkan.


Sandi menggeleng. Dia tak pernah mempermasalahkan. Jodoh dan keturunan sudah ditentukan oleh Allah. Manusia hanya berusaha dan menjalaninya dengan ikhlas, “Untuk apa mempertanyakan itu? Mas sudah bahagia dengan kehidupan sekarang.”


“Setiap pernikahan pasti merindukan tangis bayi.” Arini menatap suaminya nanar.


“Semua merindukan, namun bukan berarti boleh menyalahkan atau bahkan menyesali sesuatu yang di luar kehendak kita.”


Arini tergugu. Meski jawaban itu cukup melegakan, namun rupanya tak juga membuat resahnya hilang. Dia tetap saja rindu dengan kehadiran seorang anak di antara mereka.


“Rin, Mas mau bicara sesuatu.”


“Tentang apa?”


“Tentang pernikahan mas dulu.”


Arini mengangkat wajah, menatap suaminya ragu. Masa lalu itu sudah dikubur dalam sekali. Sandi pernah membukanya sekali, saat mereka akan menikah sebulan sebelumnya. Tak banyak yang dikatakan. Hanya seorang perempuan dari tanah Jawa yang mengisi kehidupan suaminya. Perceraian bahkan sudah bertahun-tahun lalu. Arini merasa tak ada yang salah dengan semua itu.


“Sebenarnya Mas sudah punya anak bersama istri mas yang pertama.”


Bola mata Arini membulat, “Anak?”


Sandi mengangguk. Menunggu reaksi berikutnya. Keberanian itu muncul juga. Tentang seorang gadis kecil yang sekarang tinggal bersama istri pertamanya. Pernikahan yang dipenuhi hujan. Bahagia yang tak kunjung datang. Keributan yang memenuhi pernikahan seusia jagung. Tak banyak yang bisa dikenang kecuali seorang bayi mungil bernama Kala.


“Sekarang di mana dia?”


“Bersama ibunya.”


“Mas, kenapa merahasiakannya dari Arini? Meskipun kita sudah menikah, anak itu tetap punya hak atas kamu, Mas.” Mata Arini basah. Ribuan rintik memenuhi pandangannya. Entah harus merasa kecewa atau bahkan marah. Arini menahan gemuruh di dada. Bagaimana bisa lelaki berkacamata itu menelantarkan putrinya? Sedangkan dalam pernikahan mereka, bahkan tak sekalipun dikarunia seorang anak? Apakah ini karma?


Sandi tak mengelak. Sebab tak diijinkan bertemu oleh mantan istri, dia pun berhenti bertanya dan tak lagi menghubungi. Mungkin putri kecilnya sudah berlarian dan masuk sekolah saat ini. Tiba-tiba saja Sandi merindukannya. Bagaimana rasanya dipanggil ayah oleh darah dagingnya sendiri? Bagaimana rasanya memeluk sosok mungil yang dulu ditinggalkannya?


“Mas harus menemuinya,” ucap Arini ringan.


Sandi menatap lekat wanita bermata lentik di hadapannya. Rasanya dia serupa bidadari yang diturunkan Tuhan dari langit. Penuh ketulusan. Tak banyak yang diminta dan diratapi. Bahkan ketika dia menyibak jelas masa lalu penuh noda. Wanita itu masih sesempurna harapannya. Bahkan melebihi dari apa yang dia inginkan.


“Mas minta maaf, Rin.”


Arini menggeleng. Mengusap sisa tangis. Bukan masalah jika Allah belum juga memberikannya keturunan, bukan persoalan mengapa suaminya begitu kukuh menyimpan rahasia kecil dalam kehidupannya. Yang menjadi persoalan, bagaimana menjalani semuanya tanpa perlu merasa tersakiti, sebab keduanya hanyalah segaris takdir yang dituliskan dalam kehidupannya, jauh-jauh sebelum dia terlahir ke dunia.


***


Bagaimana cara berdamai dengan luka dan masa lalu? Menangisi dan meratapi atau dengan kesatria menghadapi? Tentu saja kehidupan selalu menghadirkan duka dan sukanya. Karenanya, aku bahkan merasa sangat beruntung ketika bisa melewati keduanya bersamamu.


Wednesday, May 24, 2017

CINTA

Luka di Hati Ibu


Ketika menulis cerita, tema paling menarik adalah tentang cinta. Cinta itu tak selalu tentang seorang kekasih pada pasangannya. Bisa juga tentang seorang ibu kepada anaknya. Cinta bisa dimiliki oleh siapa pun. Bahkan oleh orang yang sebenarnya sudah memiliki cinta.

Itulah kenapa, cinta tak pernah habis untuk diceritakan. Benarkah? Tentu saja! Aku pun merasa ketika cinta datang dan menyapa, maka langit biru berubah jingga. Sekumpulan awan bahkan berubah merona. Apa istimewanya cinta? Apakah selama ini aku tak pernah mengenal cinta?

Tentu saja ibu telah mengajarkan tentang cinta jauh sebelum aku lahir. Aku terlahir sebab cinta. Ketika lahir, tanpa kata, ibu mengajarkan cinta. Tapi, cinta kali ini sungguh berbeda dengan sebelumnya.

“Ibu, aku jatuh cinta!”

Ibu terlonjak kaget dan menurunkan kacamata hingga ke hidung.

“Jatuh cinta sama siapa?”

“Tentu saja dengan lelaki, Bu,” aku tertawa lantas melingkarkan lenganku pada ibu. Ibu tentu jarang mendengar ini. Bahkan hampir tidak pernah. Aku jatuh cinta, bukan hal biasa. Bahkan selama ini, ibu merasa aku terlalu aneh sebab tak pernah mengenal cinta.

Bukannya tak mau. Hanya saja, bagiku jatuh cinta itu tak semudah mengedipkan mata. Meskipun ada lelaki yang serius dan datang menemui orang tua, aku masih saja menolak. Sebab aku belum menemukan satu hal. Yaitu, cinta.

Ah, ibu. Bagiku jatuh cinta adalah salah satu dari hal paling membahagiakan dalam hidup. Sebab, senyumku terus merekah ketika mengingatnya. Langkahku jauh lebih ringan ketika melihatnya. Bahkan, semua beban hidupku sekejap sirna karenanya.

“Lelaki yang mana? Memangnya kamu punya teman lelaki?” Canda ibu sambil mengusap rambutku.

“Ibu, Naira serius.”

Ibu masih menggeleng. Tak percaya jika gadis kecilnya sekarang sudah beranjak dewasa. Bahkan sudah waktunya memulai hidup baru. Ibu menarik pergelangan tanganku. Memintaku duduk disebelahnya.

“Nai, sejak kecil, Ibu tak pernah melihatmu sebahagia ini. Apa benar kamu sedang jatuh cinta?”

Aku tersenyum membalas, “Naira jatuh cinta, Bu. Apa ibu bisa percaya ini?”

Ibu menggeleng dan tersenyum. Ah, ibu selalu begitu.

Sore ini, aku sengaja pulang lebih awal. Aku ingin bicara lebih banyak pada ibu. Biasanya, karena sebuah rutinitas, aku tak sempat berlama-lama dengannya. Terkadang waktu libur pun hilang karena alasan pekerjaan.

Tapi, bagaimana aku harus menceritakan semua padanya. Ibu terlalu lelah menanti. Dan sekarang, apa harus kuceritakan kebenaran yang mungkin akan sangat sulit didengar oleh siapa pun. Bahkan aku sendiri. Namun, sebab kata sederhana bernama ‘cinta’ aku bisa memaksa berdamai dengan semuanya.

“Ceritakan pada ibu, siapa lelaki itu?”

Aku tersenyum. Menatap mata letihnya. Gurat lembut di kedua mata, belum lagi rambut hitam legamnya tak lagi sempurna. Bagaimana aku bisa menyampaikan kebenaran ini? Tentu ibu sedih jika aku tak kunjung menikah. Namun, pernikahan seperti ini apakah bisa membuat ibu bahagia?

Bimbang. Ragu dan mulai terbersit rasa takut. Bukan. Ini bukan waktu yang tepat untuk bicara. Bahkan, orang sehat pun bisa sakit jantung karenanya. Aku tak boleh egois! Ibu tetaplah nomer satu. Sebab ibu, aku tahu apa itu cinta.

Tanpa sadar, aku tak memerhatikan ibu bicara. Pikiranku berkata lebih daripada yang aku tahu. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Mengatakan semuanya atau bungkam saja?

“Ibu mau bertemu dengannya,” ucap ibu tiba-tiba.

“Secepat itukah?” Tanyaku sambil menarik tangan ibu.

Tentu saja ibu ingin segera bertatap muka dengan lelaki pilihanku. Lelaki yang senyumnya bisa menghangatkan pagi. Ucapannya menyembulkan kelopak bunga. Dan tatapannya tak habis dalam ingatan. Aku mencintainya, sungguh!

“Namanya siapa?”

Aku menarik napas dalam, “Rendra.”

Aku bertemu Rendra tanpa sengaja. Di suatu siang, ketika mentari terik menyala. Lebay, ya. Tentu saja Jakarta selalu seperti ini. Pohon-pohon yang terlihat jarang di antara megahnya gedung tinggi. Jalanan yang tak lagi hijau sempurna membuat udara semakin panas.

Rendra adalah salah satu pemilik sebuah kafe di seberang kantor tempatku bekerja. Dia lelaki baik. Bahkan dia sangat baik bagiku. Tentu saja bukan karena aku sedang jatuh hati padanya. Namun, keistimewaan itu justru aku lihat sebelum kami saling mengenal.

Keributan kecil terjadi siang itu. Saat tak sengaja seorang pelayan menabrakku. Sempurna sudah hari yang melelahkan. Kemejaku basah terkena orange jus. Hampir saja aku memakinya jika saja Rendra tak datang tepat waktu.

Aku menyesali kenapa siang itu begitu terburu-buru. Wajahku pasti serupa nenek sihir yang jarang tersenyum. Berkerut dan manyun. Kesalnya, walaupun sebenarnya aku juga kurang berhati-hati saat berjalan. Karena sibuk mengangkat panggilan telepon, aku tak memerhatikan siapa yang lewat di depanku.

“Kami minta maaf atas kesalahan ini.” Rendra muncul dengan permintaan maafnya yang sangat tulus. Ya, wajar saja. Dia pasti akan sangat menghormati pelanggannya. Tapi, bukan karena itu. Bukan. Aku mendapatinya berulang kali minta maaf dan segera memberikan ganti rugi atas kesalahan salah seorang pramusaji di kafenya.

Dengan cepat aku menolak. Aku bahkan jadi malu dengan kelakuanku barusan. Bagaimana bisa aku bersikap seburuk itu pada orang yang nyatanya tak sempurna bersalah? Bukankah aku juga ikut ambil bagian dalam kejadian buruk barusan?

Aku menarik napas. Segera mengakhiri keributan. Namun, belum sempat meninggalkan pintu kafe, Rendra berlari dan mengimbangi langkahku. Seulas senyum tipis menyembul dari wajah teduhnya.

Dan di luar dugaan, dia meminta nomor handphone. Mengamati wajahku yang belum mengiyakan. Aku mengangkat bahu, “Baiklah.”

Sederet angka kusebutkan. Rendra berjanji akan menghubungi dan mengganti semua kerugian yang terjadi hari ini. Setelahnya aku bahkan lupa kejadian itu. Sibuk dengan pekerjaan.

Seminggu berselang, sebuah panggilan asing masuk dalam layar handphone. Dengan malas kujawab sapaan di seberang sana. Suara lelaki memperkenalkan diri. Rendra. Mengingatkan kejadian seminggu lalu. Sedikit tertegun mendengarnya bicara. Tak menyangka akan benar-benar dihubungi oleh pemilik kafe itu.

Cinta. Kata sederhana itu pada akhirnya melenakanku. Empat bulan dari perkenalan singkat itu, aku dan Rendra resmi menjalin hubungan spesial. Hari-hariku dipenuhi bunga. Bahagia bukan main.

Belum genap seminggu berselang, sebuah rahasia besar menghantam bahagia. Pijar di mataku sirna begitu saja.

“Aku sudah memiliki istri dan seorang anak perempuan.”

DEG!

Bisakah kalimat itu diulangi? Sebab tiba-tiba telingaku terasa berdengung dan memuntahkan kalimat singkat dari Rendra. Apa yang terjadi? Tidakkah ini hanyalah sebuah lelucon atau semisal kejutan ulang tahun? Tapi, aku bahkan tak ingat hari ini aku berulang tahun. Ini apa?

“Tapi aku sungguh mencintaimu, Nai.”

Belum sempat kujawab, bintang di matanya menarikku paksa. Jatuh cinta itu sah saja. Namun, mencintai orang yang sudah sempurna dicintai orang lain adalah sebuah kesalahan besar. Aku menggeleng cepat. Ini bencana!

“Aku berjanji, semua akan baik-baik saja. Kita akan resmikan hubungan ini secepatnya.”

Lidahku kelu. Kedua kaki tiba-tiba saja lemas. Rendra bahkan terkejut dan menangkap gerakan tubuhku yang seketika melemah. Aku ingin marah dan memuntahkan semua padanya, namun entah apa membuatku menahan dan mengiyakan kalimatnya barusan. Cinta apa yang bisa menyakiti orang lain? Apakah masih disebut cinta jika kebahagiaan orang direnggut paksa?

Setelahnya, aku pura-pura lupa tentang kejadian menyakitkan itu. Rendra yang baik, perhatian dan selalu meluangkan waktu untukku, membuat semua cela itu tertutup sempurna. Kami akan segera menikah. Pernikahan yang indah dan keluarga kecil yang bahagia.

Impian seorang putri bernama Naira akan segera tiba. Tapi, obrolan ringan dengan ibu malam ini membuatku berpikir. Bagaimana aku bisa menjadi bahagia jika dibaliknya ada tangis seorang wanita bahkan gadis kecil yang juga menyayangi Rendra? Wanita mana yang mau diduakan meskipun pada akhirnya dia mengiyakan? Pastilah ada hati yang tersayat dan berserak. Cinta seperti apa yang sedang aku perjuangkan? Bukan! Ini bukan seperti impian seorang putri!

Tiba-tiba saja mataku panas. Kristal bening bergulir cepat. Menekan sebuah nomor. Satu panggilan tak terjawab. Dua kali belum ada sahutan. Ketiganya suara Rendra menderu cepat dan menghantam pertahananku. Suara itu begitu kurindukan. Tapi, bukan seperti ini yang kuinginkan.

“Ada apa, Nai?”

“Aku ingin putus!”

Tak terdengar sahutan lain kecuali suara panggilan terputus. Aku menghela napas. Kebodohan serta nafsu beralaskan cinta membuat mataku buta. Tangisku berjejalan keluar. Aku merasa amat berdosa. Sebab cinta aku merasa melakukan banyak sekali pembenaran atas seribu kesalahan. Bagaimana bisa aku menyukai orang yang sudah mengikat janji suci bersama wanita lain? Jangan-jangan dia pun akan melakukan perbuatan yang sama ketika bersamaku.

Tiba-tiba kebencian menyergap. Seharusnya cinta didapat dengan cara yang halal. Perasaan di luar ikatan pernikahan sejatinya hanyalah nafsu yang merusak kesucian cinta itu sendiri. Bukan cinta jika mengajak pada keburukan, bukan cinta jika menjerumuskan. Dan bukan cinta jika harus mengorbankan!

 

Tuesday, May 9, 2017

Pelan - Pelan Saja

pelan-pelan saja


Langit berwarna cerah ketika Sukardi memanggil anak sulungnya, Lastri. Kursi goyang berderit. Naik turun mengikuti gerakan tubuhnya. Lelaki tujuh puluh tahun itu sesekali menyesap kopi hitam yang mulai dingin. Matanya menyapu ruangan.

Semua masih sama. Lantai marmer yang mulai kusam, kursi-kursi beralas rotan. Beberapa berlubang karena dimakan usia. Di halaman, mawar-mawar merah muda menjatuhkan kelopaknya. Sore kemarin, Lastri sudah menyapunya. Hari ini, ketika matahari beranjak naik, kelopak itu kembali berguguran. Ah, waktu begitu cepat berlalu. Dulu, mawar-mawar itu hanya tumbuh sebagian. Kini sudah tak tehitung berapa kelopak yang bermekaran.

Senyap. Sukardi mengusap rambutnya yang memutih. Matanya menerawang. Terdengar langkah tergesa dari belakang. Tirai tersibak ketika seorang gadis berwajah ayu hampir saja terjerembab tepat di hadapannya.

“Kamu nggak bisa pelan-pelan, Nduk?”

Gadis berusia dua puluhan itu tersenyum sambil menyeka keningnya yang basah. Sejak tadi dia bergumul dengan kayu bakar dan asap yang mengepul di dapur. Bergegas ke teras saat suara bapak menyentuh gendang telinga.

“Ada apa, Pak? Bapak sudah lapar?” Tanya Lastri. Biasanya jam delapan bapak sudah sarapan. Sekarang, Lastri bahkan masih menghaluskan bumbu sayur lodeh nangkanya di dapur. Kelapa tua yang diambilnya dari pekarangan belum juga diparut.

Sukardi menggeleng. Menyuruh puteri sulungnya duduk. Lastri beringsut gugup. Beberapa waktu lalu, kedua adik Lastri yang duduk di bangku SMA berkasak kusuk di belakangnya. Lastri yang penasaran segera mencari tahu. Menginterogasi kedua adiknya, Sekar dan Arya.

Katanya bapak ingin menjodohkan Lastri dengan anak paman Husen, sahabat bapak. Padahal, Lastri sama sekali tak mengenal siapa anak paman Husen kecuali Ali yang masih duduk di bangku SD.

Apakah Ammar yang disebut-sebut akan jadi calon suaminya itu berwajah sama dengan Ali? Setidaknya tak berbeda jauh. Ali bertubuh gempal dan berkulit gelap. Membayangkannya saja Lastri tak sanggup. Sesekali Lastri bergidik ketika tanpa sengaja bertemu dengan Ali. Bocah tujuh tahun itu sesekali datang ke rumah bersama paman Husen. Lastri sempat melihat Ali mengusap ingus di hidungnya dengan lengan baju. Meninggalkan bekas yang amat menjijikkan. Lastri berkali-kali menyesali pikirannya. Kenapa juga harus membayangkan hal seburuk itu. Usia Ammar tentu bukan lagi anak-anak. Sebagai seorang laki-laki dewasa, setidaknya dia lebih terawat. Tapi, apakah tubuhnya akan segempal Ali?

Ah, Lastri bingung dibuatnya. Bulu matanya yang lentik terapit saat terpejam. Menunggu kalimat pertama dari bapak.

“Lastri,”

“Iya, Pak,” jawab Lastri pendek. Hatinya berdebar kencang.

“Bapak akan menikahkanmu dengan Ammar. Anak sahabat karib Bapak, si Husen.”

“Tapi, Pak, Lastri belum siap,” tukas Lastri cepat.

Mata Bapak terbeliak, “Usia kamu sudah dua puluh tahun, Nduk. Bapak juga sudah tua. Kamu mau menunggu apalagi?”

Lastri sungguh tak siap menikah. Tapi bukan karena usianya yang masih terbilang belia, hanya saja perasaannya tiba-tiba mencekam membayangkan wajah Ammar.

Ammar memang jarang pulang. Sesekali lelaki sarjana teknik itu bertandang ke rumah Lastri saat lebaran, sayangnya Lastri tak pernah berjumpa. Sial bagi Lastri harus menerima pinangan orang yang sama sekali tak dikenalnya.

Meskipun Sukardi menjamin keshalihan Ammar, Lastri tetap saja enggan menerima. Apalagi Ammar saat ini tinggal jauh dari kampungnya. Bekerja dan mengadu nasib di Jakarta. Lantas, setelah menikah, pastilah Lastri akan diboyong ke ibu kota. Menjadi orang asing dan bersama laki-laki asing pula?

Lastri bergidik. Bukan itu yang dia inginkan. Bagaimana dia bisa meninggalkan bapak sendirian? Bocah-bocah tengil yang merupakan adik kandungnya tentu tak segesit dia. Lastri terbiasa mengurus semua sendiri sepeninggal ibunya. Lalu sekarang dia akan segera menikah dan meninggalkan rumah? Sungguh itu adalah sebuah musibah.

“Ammar itu anak baik. Insyaallah dia akan jadi suami yang bertanggung jawab, Nduk.”

Lastri ingin memotong kalimat bapak. Namun urung. Gadis berlesung pipit itu bicara sendiri dalam hati. Protes. Yang mau menikah adalah Lastri, kenapa justru bapak yang memahami Ammar? Kenapa dia tak diberi kesempatan untuk mengenal Ammar sebentar saja. Sekadar bertemu dan melihat wajahnya. Sungguh, Lastri tak bisa mengiyakan pernikahan itu begitu saja. Bukan hal mudah menghabiskan masa tua bersama orang yang sama sekali tak dikenalnya.

Dulu, ibu pernah bercerita pada Lastri tentang bapak. Ibu kenal bapak sejak kecil. Keduanya dijodohkan. Bapak dan ibu pun tak sulit untuk jatuh cinta. Bunga-bunga itu bermekaran ketika mereka beranjak dewasa. Pernikahan yang indah. Anak-anak yang lucu. Masa tua yang dihabiskan dengan cinta. Lastri juga ingin jatuh hati terlebih dulu. Dia juga belum terlalu tua. Bahkan gadis ibu kota masih melanjutkan pendidikan ketika seusianya. Hanya gadis di kampungnya yang lekas menikah selepas SMA. Itukan hanya sebuah tradisi. Tidak harus terjadi juga pada dirinya.

“Pak, boleh Lastri memikirkannya dulu?” Tanya gadis bertubuh mungil itu hati-hati. Dia sungguh tak ingin menyakiti hati orang tuanya. Namun alasan demi alasan yang disimpannya dalam hati membuatnya berani bicara.

Suara angin menerbangkan daun kering terdengar mendesis di telinga. Lastri yang tak sabar menunggu bapak mengiyakan, berubah pasi sebab lelaki yang sudah menghabiskan masa tuanya sebagai seorang guru itu justru diam seribu bahasa.

Apa bapak marah pada Lastri? Kenapa bapak tak menjawab permintaannya? Lastri buru-buru meninggalkan teras. Mengusap sudut matanya yang tiba-tiba basah. Apakah dia sudah kurang ajar pada orang tuanya?

Lastri segera melanjutkan pekerjaannya di dapur. Matanya perih sebab menangis dan terkena asap dapur yang mengepul. Sempurna sudah penderitaannya pagi itu.

***

Lastri bersiap menutup pintu depan ketika tanpa sengaja seorang pemuda berkemeja rapi mengucapkan salam. Membuat gerakan tangannya berhenti. Pintu yang terbuka setengah kini sempurna menganga.

“Waalaikum salam,” ucap Lastri sambil mengamati wajah asing di depannya.

“Bapak ada?”

“Oh, bapak baru saja berangkat ke masjid. Disusul saja, Mas.”

Lelaki berwajah teduh itu mengangguk dan meninggalkan Lastri yang masih termangu. Siapa pemuda itu? Sepertinya Lastri tak pernah melihat sebelumnya. Penampilannya pun lebih rapi daripada pemuda di kampungnya. Wajahnya bersih, senyumnya ramah. Ah, kenapa Lastri jadi memuji laki-laki itu berkali-kali.

Buru-buru Lastri masuk dan mengunci pintu. Adzan Maghrib segera berkumandang. Lastri buru-buru shalat dan segera berangkat menuju masjid. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, dia bertugas mengajari anak-anak di kampungnya mengaji. Kesibukan yang sudah ia jalani selama lebih dari dua tahun terakhir. Itu hal yang menyenangkan sekaligus menjadi pelipur sejak kepergian ibu. Setidaknya ia tak lagi melamun di depan pintu ketika senja mulai tumbang. Ada kesibukan lain yang membuatnya lebih bersemangat menghabiskan hari-hari ke depan.

Sukardi mendehem beberapa kali sebelum akhirnya melanjutkan makan malam bersama ketiga anaknya. Lastri mendongak. Mungkin bapak masih marah padanya. Sejak perbincangan kemarin, bapak terlihat lebih pendiam. Tak banyak bicara. Biasanya lelaki berbadan gemuk itu sering bergurau. Kali ini lebih banyak melamun sambil sesekali menyesap kopi hitam di teras.

“Lastri,” suara bapak terdengar sedikit serak.

Lastri menoleh. Segera menelan sisa makanan di mulutnya.

“Kamu tidak akan bapak jodohkan lagi. Bapak sudah bilang sama Ammar kalau kamu belum mau menikah.”

“Ammar? Kapan bapak bertemu dia?” Lastri tersenyum lega lantas bertanya heran. Sepertinya tak ada tamu yang datang ke rumah. Lalu bapak bertemu Ammar di mana?

“Tadi Ammar menyusul bapak ke masjid. Bapak bicara di jalan saat pulang. Katanya tadi sudah ketemu sama kamu.”

DEG!

Hampir saja Lastri memuntahkan air putih di mulutnya. Namun gagal sebab air itu terlanjur meluncur cepat melewati kerongkongan. Membuatnya seketika terbatuk-batuk.

Sekar yang sejak tadi berada di sebelahnya segera menepuk punggung Lastri.

“Kamu kenapa sih, Nduk? Selalu saja terburu-buru melakukan sesuatu,” ucap bapak lirih sambil meninggalkan meja makan.

Lastri menggeleng. Meneguk air putih di gelas yang tersisa separuh. Benar. Dia terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan. Tiba-tiba kepala Lastri pening. Teringat lelaki yang berkali-kali dia puji dalam hati. Ah, Lastri! Kenapa juga terburu-buru memutuskan!

 


Monday, May 1, 2017

Sahabat Dalam Luka

Cerpen sahabat dalam luka


“Kita berbeda arah. Langkah kita tak satu tujuan.”

Ulfah beranjak lantas meninggalkan hening. Tersisa hanya aku. Terpaku sambil melihat punggung sahabat karibku menghilang di ujung jalan. Secepat itukah dia memutuskan? Bukankah selama ini kita berjalan beriringan? Tak sedetik pun aku rela meninggalkannya di belakang. Jika suatu ketika dia terjatuh atau pun sebaliknya, tangan kami saling menarik. Kembali berdiri. Menatap langit yang sama dan berjuang meraih mimpi yang selama bertahun-tahun kami catat dalam ingatan.

Mataku berkabut. Butiran bening meleleh meninggalkan basah di kedua pipi. Ulfah. Gadis berjilbab dengan kemeja birunya datang dengan tergesa. Siang ini, kami biasa bertemu usai kuliah. Di depan fakultas ekonomi, dia menyapa hambar.

Tak pernah terbersit curiga ketika dia menarik napas dan menatapku lekat. Ada apa, teman? Aku tak pernah melihatnya seserius itu. Bola matanya terpejam sebelum akhirnya memutuskan hubungan dengan alasan yang bagiku sangat tak masuk akal.

Gemuruh di dadaku berjejalan. Menciptakan sesak yang tiba-tiba berubah isak. Aku ingin menjelaskan banyak hal. Namun dia, gadis yang sudah kuanggap saudara memilih segera menghilang. Tak memberi kesempatan sedetik pun untukku bicara. Andai dia tahu, sebuah kebenaran tak hanya datang dari satu arah. Namun beberapa menawarkan kebenaran yang sama. Haruskah kami menyelisihinya?

Aku menyesalkan semua sikap diamku selama ini. Karena khawatir menyinggung, maka aku selalu mengalihkan semua pembicaraan. Tak ingin bicara soal aku atau pun perubahan yang sudah kujalani sejak sebulan ini. Dia tak salah, akulah yang menanggung beban sebab merasa dia belum siap menerima kenyataan ini.

Bagaimana bisa dia menikamku dengan rasa sakit yang begitu dalam? Aku kehilangan sahabat sekaligus saudara. Bagaimana esok ketika tatapan kita beradu? Bukankah kita selalu berangkat ke kampus bersama meskipun beda fakultas? Lalu bagaimana aku menegurnya jika detik ini dia memilih menajauhiku?

Aku akan berdosa jika mendiamkan. Tapi, Ulfah pasti belum siap mendengar semua penjelasanku. Lekas kukemas tangis. Beranjak menuju masjid. Adzan ashar sudah berkumandang. Aku harus segera menceritakan kegelisahanku pada-Nya!

***


“Nina, sekarang kamu sudah berubah, ya? “ Tanya Ulfah heran. Matanya terbeliak menatapku dari ujung kepala hingga kaki.

Aku menepis kalimatnya, “nggak ada yang berubah. Aku hanya merasa lebih nyaman dengan pakaian seperti ini, “sanggahku sambil menggamit lengannya. Mengajaknya pergi dan mengalihkan topik.

Rupanya Ulfah masih penasaran dengan perubahan yang terjadi padaku. Beberapa kali dia menanyakan hal yang sama. Berulang kali pula aku menjawabnya dengan maksud sama. Aku ingin dia mengerti, bahwa aku tetaplah sahabatnya yang dulu. Berbeda dalam cara berpakaian tentu bukan halangan dalam persaudaraan kami.

“Kamu nyaman pakai jubah seperti ini? Hijabmu juga jauh dari kesan modern.”

Entah Ulfah berusaha mencari sebuah kebenaran yang aku sembunyikan atau mulai merasa risih dengan penampilan baruku. Tentu aku merasa baik-baik saja dengan pakain menjuntai serta hijab yang terjulur menutupi dada. Bagiku bukan masalah jika cara berpakaianku sedikit berbeda dengan teman-teman kampus lainnya. Aku tidak sedang menanggalkan pakaian, bukan? Justru aku sedang melindungi diriku sebagai sebuah bentuk kepatuhan.

“Aku masih Nina yang dulu. Nggak usah heran begitu,” sahutku kemudian sambil melempar seulas senyum.

Ulfah mengangkat bahu. Tangannya mengikat kedua ujung jilbab hingga menjuntai di atas dada. Aku ingin menegurnya namun keberanianku belum siap sepenuhnya. Aku takut dicap sok alim. Bukankah dulunya kami sama? Aku pun sering memakai kemeja dengan lengan yang dilipat hingga siku. Memakai kaos seukuran tubuh. Hijabku pun jauh dari kata syari. Jika sekarang aku bicara padanya tentang sebuah kesalahan yang mungkin saja tidak dia sadari, bisa jadi Ulfah menerima atau malah lebih buruknya menjauhiku. Dan kemungkinan kedua membuatku enggan bicara.

Aku membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu tumbuh dan subur dalam benak Ulfah. Pertanyaan yang mungkin seketika menganggapku aneh bahkan mulai ikut aliran sesat. Sebenarnya apa yang salah dengan hijab syari? Bukankah menutup aurat adalah sebuah kewajiban? Hijab melindungi seorang wanita dari pandangan buruk dan berbagai fitnah. Sebab berhijablah wanita tidak akan jadi pusat perhatian. Bukan malah sebaliknya.

Sebab alasan itulah aku berubah. Kajian-kajian islam yang aku ikuti bersama kakak sulungku membuatku semakin yakin akan sebuah pilihan yang menurut sebagian orang dianggap aneh dan jauh dari kesan modern. Entah kurang gaul atau sok alim. Begitulah beberapa kalimat yang sering kudengar. Seperti kalimat Ulfah yang diam-diam menyayat.

Siang itu pun Ulfah datang dan mengatakan tak ingin lagi melanjutkan persahabatan. Aku yang tak menduga sebelumnya merasa amat tercekat. Kalimat singkat namun menunjukkan kecewa. Matanya berkaca. Dia pergi karena kami berbeda. Beda dalam sebuah pandangan tentang agama yang sama-sama kami teguhkan sejak lahir.

Jika bisa, aku ingin mengatakan, perbedaan di antara kami bukanlah sebuah alasan untuk bermusuhan. Aku tak membenci orang-orang yang tidak mengenakan hijab. Entah karena mereka tak mengerti soal kewajiban atau pun terlena dengan perubahan zaman. Sama sekali tak terbersit rasa kesal ketika melihat teman-teman yang hijabnya masih setengah-setangah. Buka tutup di waktu yang mereka kehendaki. Apa urusannya denganku?

Aku hanya berkewajiban menyampaikan. Sebab dakwah melekat pada setiap muslim. Mengajak pada kebaikan dan memberikan pilihan sepenuhnya. Dia boleh saja menerima atau pun menolaknya. Masyaallah, begitu sulitnya menyampaikan sebuah kebenaran. Zaman semakin memesona setiap makhluknya. Menariknya dalam pusaran. Sedikit saja salah melangkah, terjerembablah dalam kegelapan.

Ulfah, tidak seharusnya kita memperdebatkan perbedaan. Kita masih sama-sama shalat ketika adzan berkumandang. Birunya langit pun masih bisa kita nikmati bersama. Andai saja kamu memberiku satu kesempatan. Aku hanya ingin mengatakan, kita akan tetap jadi saudara seburuk apa pun aku atau pun dirimu.

Mataku tiba-tiba terasa panas. Segera kukenakan kaus kaki. Bulir bening jatuh membasahi tangan. Seluruh resahku luruh. Berserak dan sulit disatukan. Allah, baru saja aku melangkah ke bibir pantai. Ombak besar sudah menghadang. Namun, perih hari ini tak akan menggoyahkan. Kulangkahkan kaki meninggalkan pelataran masjid sambil menyembunyikan tangis yang luruh bersama gerimis.

Salam hangat,