Sunday, October 30, 2022

Usia Berapa Anak Diberikan HP Sendiri?

Usia Berapa Anak Diberikan HP Sendiri?
Photo by Zhenzhong Liu on Unsplash


Akhir-akhir ini, banyak sekali kasus penusukan oleh orang-orang misterius. Salah satu yang cukup banyak menarik perhatian yakni penusukan anak SD usia 12 tahu sepulang dari mengaji bersama teman-temannya. Motifnya hanya karena ingin mengambil HP korban yang menurut beberapa sumber sebenarnya korban nggak bawa apa-apa.


Belum lagi kasus yang terjadi di depan rumah saya. Ada orang tak dikenal yang merebut atau menjambret HP anak usia SD yang saat itu memang sedang dimainkan sambil berjalan. 


Ada juga anak usia SD yang kecanduan gadget setelah diberikan HP sendiri oleh ibunya. Setiap disuruh belajar, dia menolak. Jika HP miliknya diambil, dia malah menyembunyikan HP ibunya.


Lagi-lagi, ini soal HP.


Banyak kasus lain yang membuat saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya idealnya anak diberikan HP pada usia berapa, sih?


Kebetulan, saya belum memberikan HP sendiri pada anak-anak meskipun di rumah ada beberapa HP nggak dipakai. Statusnya mereka tetap pinjam sesuai kebutuhan. Misalnya untuk komunikasi ketika saya sedang pergi, dipakai murajaah dan hafalan Alquran karena di beberapa HP dipasang aplikasi baca Alquran yang biasa mereka gunakan, searching di Google sesuai kebutuhan, cek jadwal sekolah, dan nonton film kartun pendek setiap akhir pekan sesuai perjanjian. Selama mereka pakai, selalu izin dulu apalagi kalau nggak sebentar butuhnya.


Kenapa saya belum ngasih HP pada anak-anak terutama untuk si sulung yang sudah lumayan besar? Sedangkan hampir semua temannya sudah punya HP masing-masing. 


Tidak Terlalu Butuh

Usia Berapa Anak Diberikan HP Sendiri?
Anak-anak lebih butuh permainan fisik (Photo by Caleb Woods on Unsplash)


Alasan pertama kenapa saya belum memberikan HP sendiri pada anak-anak yakni karena memang mereka belum terlalu butuh. Anak-anak pun sepakat dengan alasan tersebut. Mereka boleh pinjam ketika butuh, tapi bukan untuk dimiliki. Jadi, statusnya masih milik orang tuanya. Dengan begitu, mereka bisa lebih hati-hati dan kami bisa lebih mudah membatasi penggunaan gadget.


Anak usia SD memangnya butuh buat apa sih? Waktu pandemi kemarin pun mereka nggak punya dan semua berjalan baik meski pembelajaran dilakukan secara daring. Meskipun nggak punya, mereka tetap bisa pinjam dan pakai sesuatu kebutuhan. Ketika sudah saatnya, kami sebagai orang tua juga nggak akan melarang.


Dampak Negatif Penggunaan Gadget yang Berlebihan

Usia Berapa Anak Diberikan HP Sendiri?
Photo by Jelleke Vanooteghem on Unsplash


Saya pribadi takut jika anak-anak diberikan HP sendiri justru membuat mereka lupa waktu. Bikin mereka kecanduan main gadget.


Kesepakatan yang sekarang berjalan di rumah memang tidak dipaksakan. Meskipun anak-anak punya tabungan sendiri dan sangat bisa membeli HP, tapi mereka merasa nggak butuh juga. Jadi, kami merasa sangat lega karena nggak perlu adu jotos dengan mereka.


Meski teman-teman si sulung banyak yang sudah punya HP sendiri, dia nggak pernah terlihat pengin. Apalagi selama ini ketika ada chat dari temannya yang masuk ke HP saya, justru saya yang lebih sering balas. Lucunya, teman-temannya nggak ada yang sadar kalau itu emaknya…kwkwk. Saya pakai bahasa anak-anak untuk merespon. Sampai ngobrol agak panjang pun pernah. Saya juga sampaikan ke sulung setiap ada temannya kirim pesan. Tetap saja, kadang saya juga yang mesti balas karena dia malas :D


Pemberian gadget terlalu dini pada anak tanpa edukasi sebelumnya lebih sering menimbulkan dampak negatif ketimbang positif. Hal yang paling ditakutkan tentu saja pornografi dan kecanduan game, ya. Edukasi mestinya diberikan sebelum mereka punya gadget. Namun, yang terjadi sekarang, anak-anak masih kecil sudah punya gadget, tapi nggak paham dampak negatif dan positifnya pakai gadget. Rata-rata mereka juga belum paham mana yang baik dan buruk sehingga sangat mungkin asal meniru video-video yang sedang viral.


Padahala, di dunia maya itu serem banget, kan. Nggak aman sama sekali apalagi tanpa pengawasan orang tua.


Biar Fokus dengan Pendidikan

Usia Berapa Anak Diberikan HP Sendiri?
Photo by Andrew Ibrahim on Unsplash


Kenapa saya dan suami belum mau ngasih gadget ke anak-anak? Salah satu alasan lainnya karena khawatir mereka jadi nggak fokus sama pendidikan. Misalnya, si Kakak sebenarnya senang bikin konten-konten kreatif dan suka share di media sosial. Namun, ketika dia sudah bikin konten itu apalagi rutin, dia jadi lupa untuk lebih fokus pada tugasnya yang lebih penting yakni sekolah.


Hal-hal lainnya bisa dikejar kemudian. Saat ini, mending fokus saja dengan pendidikan. Saya nggak mau dia jadi keteteran karena pelajarannya makin berat. Bukan dia nggak boleh main sama sekali, tapi saya memilih mengizinkan dia main selain yang berhubungan dengan gadget kecuali hari libur.


Jangankan anak kecil, kita saja yang sudah dewasa sering lupa waktu kalau sudah main gadget, apalagi anak-anak.


Poin-poin di atas merupakan pendapat pribadi saya dan suami. Saya juga tidak menyalahkan orang tua yang memberikan gadget pada anaknya terlalu dini. Juga yang mengizinkan anaknya bermain game. Jika tidak berlebihan, mestinya teknologi mendatangkan manfaat, kok. Jadi, sah-sah saja, kan?


Kapan Waktu Ideal Anak Punya HP Sendiri?

Usia Berapa Anak Diberikan HP Sendiri?
Photo by Dirza Van Dijk on Unsplash


Menurut beberapa sumber, sebenarnya nggak ada pedoman baku yang menjelaskan kapan tepatnya orang tua boleh memberikan HP atau gadget pada anaknya. Namun, katanya, semakin lama menunda pemberian gadget pada anak maka akan semakin baik.


Pastinya, ini berhubungan juga dengan kesiapan mereka. Anak-anak memang terlihat sangat lihat bermain gadget, bahkan mengalahkan kita sebagai orang tua, tapi apakah mental mereka siap? Apakah tidak mengganggu perkembangan mereka ke depannya nanti? Inilah yang mesti kita pahami baik-baik sebelum memutuskan memberikan HP pada anak.


Sebagian ahli mengatakan bahwa nggak ada masalah berarti ketika ada anak yang tumbuh tanpa gadget atau HP. Nggak akan mereka jadi kuper dan nggak tahu apa-apa. 


Saya pribadi merasa bahwa pendapat ini memang betul. Meskipun anak-anak nggak punya gadget, tapi mereka tetap bisa mendapatkan informasi dan berbagai macam pengetahuan, terutama karena mereka juga sebenarnya tahu dan pakai gadget hanya saja waktunya terbatas. Juga, senang membaca buku yang bisa membuat mereka tahu segala hal.


Dengan tidak memberikan gadget, apakah saya benar-benar melarang anak-anak nggak main game dan membiarkan mereka nggak tahu apa-apa? Nyatanya nggak begitu juga, kok.


Mereka pernah memainkan beberapa permainan meski hanya sesekali. Mereka tahu beberapa game yang dimainkan temannya dan kami sering membuka diskusi apakah itu cocok buat anak-anak atau nggak.


Game nggak melulu negatif, tapi ketika dimainkan secara berlebihan, apa pun itu akan jadi negatif dan buruk. Anak-anak harus tahu beberapa dampaknya. Juga ketika mereka memainkan permainan yang nggak sesuai sama usia, juga yang menggambarkan adegan kekerasan.


Saya bukan orang tua yang sempurna, saya juga nggak pandai yang namanya ilmu parenting. Saya hanya berusaha menjadi orang tua yang baik buat anak-anak, berusaha berkomunikasi yang baik dengan mereka, sesekali saya juga melakukan kesalahan. Nggak ada orang tua yang sempurna.


Di rumah, kami sepakat nggak ada main game. Anak-anak masih boleh nonton beberapa film kartun pendek di akhir pekan. Di rumah, nggak ada televisi menyala. Bukan kami nggak punya, tapi karena kelamaan nggak dinyalain, tiba-tiba mati sendiri dua-duanya pula. Saya memutuskan nggak mengizinkan suami membeli lagi…kwkwk. Kejam nggak, sih? :D


Kenapa sih saya nggak berani ambil keputusan untuk lebih longgar, misalnya ngasih game biar mereka bisa seperti teman-temannya yang lain? Ngasih nonton televisi?


Saya capek kalau ujungnya malah kecanduan. Saya capek mesti adu debat dengan anak sendiri. Kelihatannya, saya memang main aman, kan? Untungnya, anak-anak memang sudah kecanduan membaca buku. Main-main lebih ke permainan biasa seperti main lego, main sepeda, bikin-bikin mainan sendiri, atau si kakak suka bikin game sendiri di power point. 


Gimana dengan orang tuanya? Saya dan suami biasa saja main HP di rumah. Sesuai kebutuhan. Apa anak-anak nggak protes? Alhamdulillah sejauh ini nggak. Mungkin karena mereka sudah punya kesenangan sendiri juga.


Pernah saya membaca di Instagram tentang anak kecil yang nggak kecanduan gadget, padahal ibunya pegang HP biasa saja. Kok bisa anaknya nggak minta? Dia menjawab, mungkin karena anaknya sudah terlanjur kecanduan baca buku. Masuk akal dan saya merasakannya juga.


Setiap pergi, anak-anak bingung mesti bawa buku yang mana untuk dibaca di jalan atau di tempat tujuan. Ketika anak kita sudah punya kesenangan sendiri seperti ini, sebisa mungkin kita support dengan memberikannya buku-buku yang menarik dan tentunya baik isinya.


Benar, butuh modal besar untuk membeli buku-buku anak karena harganya mahal bingits. Solusinya, cicil beli sedikit demi sedikit sesuai kemampuan dan kebutuhan. Anak-anak di rumah nggak harus selalu baca buku baru, buku lama pun bisa mereka baca berulang-ulang. Ini benar-benar ngebantu berhemat sih…kwkwk. Itulah alasan kenapa sampai sekarang saya belum bisa nge-preloved komik-komik Plant Vs Zombies yang jumlahnya sudah puluhan :D


HP dan Pornografi

Usia Berapa Anak Diberikan HP Sendiri?
Photo by Gilles Lambert on Unsplash


Beberapa bulan lalu saya sempat sangat kaget ketika si sulung cerita tentang teman-temannya yang sering mengisyaratkan beberapa simbol hubungan seksual. Kalau ngacungin jari tengah sepertinya sudah terlalu biasa, ini lebih dari sekadar itu yang akhirnya membuat kami membuka diskusi berdua saja.


Kami akhirnya membahas sebuah buku dari Mba Dian Kristiani yang membahas tentang pubertas. Bukunya bisa teman-teman akses di Ipusnas, ya. Isinya bagus dan sesuai dengan anak-anak yang segera memasuki usia akil balig.


Sungguh menakutkan pergaulan anak zaman sekarang. Ketika di rumah kita merasa mereka aman sepenuhnya, tapi kita nggak pernah bisa mengontrol teman-temannya. Padahal, sekolahnya sudah sekolah Islam. Anak-anaknya sudah belajar Alquran setiap hari bahkan sebagian besar sudah hafal beberapa juz. Namun, tetap saja mereka melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan sebagai bahan bercandaan.


Dikutip dari id.theasianparent.com, Weinberger yang telah meneliti 70.000 anak menemukan fakta bahwa rata-rata anak mulai melakukan sexting di usia 5 SD, sejak usia 8 tahun sudah mulai konsumsi pornografi, dan kecanduan di usia 11 tahun.


BTW, menurut Wikipedia, sexting merupakan aktivitas mengirim atau mengunggah foto yang tidak senonoh ataupun kalimat-kalimat yang menimbulkan birahi.


Menurut study yang dilakukan oleh Common Sense Media menyebutkan bahwa 66 persen orang tua merasa bahwa anak-anak terlalu sering menggunakan HP, 36 persen orang tua berdebat setiap hari dengan anak-anaknya tentang penggunaan HP.


“HP terooooos.”


Mungkin, kira-kira begitu kalimatnya, ya :D


HP memang bisa memberikan dampak positif pada anak-anak kita, tapi ingat juga, dampak negatifnya jauh lebih besar ketika digunakan dengan tidak bijak. Saat anak kecanduan HP, mereka cenderung nggak punya kontrol impuls yang akhirnya justru membuat mereka lebih sering bertindak berdasarkan emosi.


Coba perhatikan anak-anak sekarang, lumayan bar-bar dibanding teman-teman si sulung di zaman kelas 1 SD dulu. Anak sekarang kalau marah bisa langsung main kasar yang menurut saya nggak sesuai sama usia mereka. Memang nggak melulu karena HP, tapi pastinya salah satunya bisa dari HP juga.


Pada akhirnya, kembali lagi pada masing-masing orang tua. Ketika ada orang tua memberikan HP pada anak-anaknya, mereka juga mengambil risiko besar mengenai dampak negatifnya. Kita mesti siap dengan semua kemungkinan, termasuk mesti ribut-ribut mengenai kedisiplinan. 


Salam hangat,


Wednesday, October 19, 2022

Kisah Pippi, Proyek Kolaborasi Bersama Bunda Helvy Tiana Rosa

Kisah Pippi, Proyek Kolaborasi Bersama Bunda Helvy Tiana Rosa


Jadi penulis sekaligus ilustrator ternyata bukan hal mudah, ya? Selain lebih repot membagi waktu, belajar untuk fokus pada dua hal sekaligus juga banyak tantangannya, termasuk mental. Suatu hari saya pernah ngobrol dengan penulis yang senang menggambar seperti saya. Dia pernah menerima proyek pictbook dari salah satu penerbit. Apa yang dirasakan setelah menerima proyek tersebut? Katanya, nangis!


Antara pengin ketawa, tapi takut dosa. Namun, itulah yang saya alami juga setelah menerima proyek-proyek ilustrasi untuk buku-buku anak. Awalnya senang, kemudian pengin menghilang di telan bumi! Kwkwk. Mungkin inilah ujian bagi penulis yang mau jadi ilustrator juga seperti saya…haha.


Beberapa kali saya sempat pengin berhenti mengerjakan ilustrasi untuk buku anak-anak. Bahkan sudah menolak beberapa proyek karena mau fokus mengerjakan naskah, tapi ada saja hal-hal yang tidak dapat saya kendalikan. Termasuk ketika saya akhirnya menerima proyek pictbook dari Bunda Helvy Tiana Rosa. Tepat sebelum ditawari proyek ini, saya benar-benar berniat berhenti mengerjakan ilustrasi buku. Namun, Allah punya rencana lain, saya diberi kesempatan luar biasa sehingga mustahil menolaknya. Akhirnya, saya kembali mengerjakan ilustrasi untuk buku Bunda Helvy.


Meski lumayan capek dan berat, mesti bangun lebih pagi untuk mengerjakan naskah dan siangnya fokus dengan ilustrasi, nyatanya semua pekerjaan bisa diselesaikan tepat waktu. Namun, hari-hari berikutnya terbesit lagi keinginan untuk berhenti menggambar. Padahal nggak ada proyek yang terbengkalai apalagi molor dari DL. Nggak ada kendala berarti karena semua tugas beres, begitu juga dengan tugas rumah tangga.


Saya nggak paham dengan diri sendiri...kwkwk. Nggak paham dengan kegalauan semacam ini kenapa terus menerus hilang timbul. Terkadang, mengerjakan ilustrasi itu butuh lebih banyak sabar memang. Ada klien yang paham dengan capeknya kita, ada yang nggak mau tahu. Sehingga, sering kali saya merasa harus pilih-pilih klien juga supaya nggak merasa terbebani. 


Bekerja sama dengan Bunda Helvy nggak jadi beban, sebab beliau begitu baik. Memberi kebebasan pada saya untuk menuangkan ide dalam gambar. Beliau juga nggak rewel apalagi seenaknya. Beliau berpesan, Muyass harus happy ngerjainnya. Harus nyaman. Biar nggak jadi beban dan hasilnya pun sesuai harapan.


Ikuti Saja Alurnya

Teman saya akhirnya berkomentar, sudahlah, ikuti saja alurnya. Karena dua hal ini memang saya sukai, makanya agak susah juga meninggalkan salah satunya. Meskipun tidak menerima pesanan gambar, nyatanya saya tetap menggambar untuk mengisi feed Instagram. Saya tetap menggambar karena saya memang suka, tapi saya mungkin terlalu lelah kalau mesti mengerjakan semuanya sekaligus.


Sebenarnya, apa pun pekerjaan kita, bahkan meski kita amat menyukainya, tetap saja ada saatnya merasa bosan dan lelah. Apalagi kalau dikerjakan terus menerus. Iya, kan? Menulis pun sama. Terkadang di tengah-tengah menulis naskah saya merasa bosan dan nggak tahu mau mengetik apa. Capek dan mesti ambil jeda.


Begitu juga ketika menggambar. Kadang happy banget ngerjainnya, kadang ngerasa capek banget. Memang semua akan seperti ini, kan?


Tawaran Kolaborasi dari Bunda Helvy Tiana Rosa

Saya nggak pernah kepikiran bakalan dapat tawaran ini. Tiba-tiba beliau mengirimkan pesan di Instagram dan mengajak berkolaborasi mengerjakan pitcbook pertama beliau. Waktu itu saya kaget bukan main. Apa saya bermimpi? 


Kemudian kami lanjut ngobrol dan sempat saya tawarkan ilustrator lain jika ingin membuat komik karena saya pribadi tidak pernah menggarap komik. Namun, beliau berkata, kalau begitu kita bikin pictbook saja!


Waktu pertama kali bertemu di Tamini, saya nggak terlalu canggung karena beliau super ramah terutama untuk saya yang introvert. Beliau selalu mengabari ketika ada perubahan dan hal lainnya. Bukan tipe penulis terkenal yang gengsi mau balas pesan penggemarnya. Benar-benar humble. Rasanya beruntung sekali bisa mendapatkan kesempatan luar biasa ini terutama di saat saya pengin memutuskan berhenti mengerjakan gambar. Seperti ditampar, kenapa mesti berhenti, sih?


Sebenarnya, saya tidak pernah dengan sengaja mengerjakan beberapa proyek sekaligus. Misalnya, ketika mengerjakan ilustrasi untuk buku Pippi, saya nggak sengaja dapat pesanan naskah, pesanan ilustrasi lain dari salah satu penerbit mayor yang waktunya kebetulan selalu bersamaan padahal sudah direncanakan jauh hari sebelumnya.


Ketika kejadian mesti bareng begini, rasanya jadi agak berat dan bikin suntuk, ya? Solusinya, saya mesti pandai-pandai bagi waktu karena saya juga Ibu Rumah Tangga tanpa ART. Ada tugas lain yang mesti diselesaikan. Akhirnya, paling mudah memang dicicil pelan-pelan. Ingat, jangan pernah menumpuk pekerjaan rumah terutama cucian dan setrikaan, asli puyeng kalau sudah menumpuk…kwkwk. *Random banget deh ceritanya...kwkwk.


Buku Pippi Sudah Terbit!

Masya Allah tabarakallah. Saya bersyukur sekali akhirnya buku ini bisa terbit di pertengahan bulan ini. Pas pegang bukunya, rasanya nggak percaya ilustrasi itu sudah jadi buku. Terima kasih untuk Bunda Helvy, juga untuk diri saya yang tidak menyerah. 


Ketika buku sudah terbit, rasanya capek lelahnya hilang semua. Sama halnya seperti seorang ibu yang melahirkan anaknya. Rasa sakitnya hilang seketika. Seajaib itu, ya kalau sudah bahagia?


Buku Pippi berisi kisah nyata masa kecil Bunda Helvy dan Bunda Asma Nadia. Ditulis berima sehingga sangat menarik untuk dibaca. Kata Bunda Helvy, buku anak yang bagus itu yang bisa dinikmati oleh semua usia. Dan buku ini memenuhi kriteria itu. 


Gimana Ceritanya Bisa Dapat Proyek Seperti Ini?

Kok, bisa? Memangnya ngajuin ilustrasi ke penerbit-penerbit gitu? 


Kadang, teman-teman suka bertanya dari mana kita bisa mendapatkan klien dan proyek. Bahkan bisa dari luar negeri. Saya pernah cerita di postingan ini. Rata-rata teman saya juga sama, dapat klien karena tahu di Instagram atau dari mulut ke mulut. Dari klien ke klien yang merekomendasikan jasa kita.


Apa yang paling penting untuk dilakukan? Kerjakan saja semuanya dengan sungguh-sungguh. Share hasil gambar kita ke media sosial dan tunjukkan siapa diri kamu. Orang-orang bisa menilai dari karya kita meskipun nggak pernah kenal. Saya juga yakin, Allah melihat usaha kita sehingga jangan heran kalau ada orang-orang yang dapat proyek-proyek impiannya. Allah nggak tidur, teman. Allah tahu kita berusaha siang malam bahkan sampai begadang.


Yuk, kita nikmati perjalanan ini selagi masih ada kesempatan. Selagi diberi kesehatan dan waktu. Hal yang mesti saya ingat, pekerjaan saya di luar tidak lebih penting daripada tugas saya di rumah mendampingi anak-anak. Saya pernah bilang ke mas suami, saya nggak mau terlalu capek karena nanti jadi ngomel-ngomel mulu…kwkwk. Saya nggak mau terlalu ngoyo karena saya masih punya tanggung jawab mendampingi anak-anak di rumah. Saya mau hidup normal dan wajar sama seperti yang lain.


Ketika semua kewajiban sudah kita selesaikan dengan baik, semoga Allah mudahkan jalan kita. Tetap semangat, yah emak-emak yang menulis dan ngerjain ilustrasi. Semoga usaha kita tidak hanya menyenangkan di dunia, tapi juga berbuah pahala di akhirat. Berkah dan berkah, insya Allah.


BTW, buku Pippi sudah bisa teman-teman dapatkan di toko buku atau di sini! Ada diskon, lho. Selamat membaca kisah Pippi, ya. Semoga teman-teman suka dengan ilustrasi dan ceritanya :)


Salam hangat,


Wednesday, October 5, 2022

Review Buku Episode yang Sempat Hilang

 

Review Buku Episode yang Sempat Hilang

“Jika kelamnya masa lalu bisa menghentikan langkahmu, seharusnya, janji masa depan bisa menggerakkan hatimu.” (Desti Annor)


Kita sering mendengar bahwa yang namanya kesempatan tidak datang dua kali. Maka, manfaatkan peluang serta waktu yang ada dengan maksimal supaya di kemudian hari tidak menyesal.


Namun, ketika kesempatan itu terlewati begitu saja atau sengaja kita lewatkan, apakah mungkin akan datang kesempatan berikutnya? Tidak mungkin kita memutar waktu dan kembali pada masa lalu. Sedangkan sebagai manusia, kita sering salah memperhitungkan sampai-sampai tanpa sengaja melakukan kesalahan.


Saya percaya, Allah akan memberikan kesempatan bukan hanya yang kedua, tapi yang ketiga, dan seterusnya asalkan kita mau benar-benar berusaha. Saat memutuskan berhenti menulis setelah berhasil menyelesaikan buku solo pertama, saya tidak membayangkan ada di posisi sekarang. Saya pikir, akan sulit melakukan hal yang sama di kemudian hari karena saya telah sepenuhnya pergi. Namun, Allah membuat rencana yang jauh lebih baik.


Setelah anak saya tumbuh besar dan lebih mandiri, saya benar-benar punya waktu yang lebih longgar untuk kembali menulis hingga sekarang. Ini bukan kesempatan yang datang kedua kalinya, ini kesempatan berikutnya yang Allah berikan dan saya berhasil mengambil peluang tanpa harus meninggalkan kewajiban saya sebagai seorang ibu. Bukankah waktu yang Allah tentukan selalu tepat?


Seperti disampaikan dalam buku berjudul Episode yang Sempat Hilang karya Desti Annor, kesempatan akan selalu ada selama kita mau berusaha. Tak peduli seburuk apa pun masa lalu kita, asal bisa menyesali yang sudah lalu, juga bersungguh-sungguh memperbaiki di masa sekarang, maka tidak mustahil Allah akan datangkan kesempatan kedua.


Yakin, Kesempatan Bisa Datang Dua Kali!

Selama kita yakin dan percaya, kesempatan itu akan selalu ada. Yakin dulu sama Allah kalau kita masih diberikan kesempatan untuk bertobat dan berbuat baik. Jangan malah menjerumuskan diri dalam lembah kemaksiatan akibat rasa putus asa pada kasih sayang Allah. Sebanyak apa pun dosa yang kita perbuat, bagi Allah tidak sulit mengampuni selama kita mau bertobat. Seburuk apa pun kesalahan di masa lalu, selalu yakinlah bahwa Allah punya ampunan lebih luas dibanding samudera.


Terkadang, kita terjebak dalam perasaan putus asa, merasa sudah terlalu jauh meninggalkan Allah, bermaksiat, dan melakukan dosa. Sampai-sampai tidak yakin dengan luasnya ampunan-Nya. Belum lagi komentar orang yang begitu tajam dan pedasnya, mengatakan bahwa kita sudah menjadi seburuk-buruk manusia, hingga tak mungkin Allah berikan kesempatan kedua.


Hei, Allah bukan manusia dan manusia bukan Tuhan yang bisa menghakimi hidup kita. Tidak ada yang tahu akhir usia seseorang kecuali Tuhannya. Tidak ada yang tahu sedalam apa penyesalan kita kecuali Allah. 


Buku Episode yang Sempat Hilang ditulis dengan bahasa yang indah dan menguatkan. Buku ini bisa teman-teman baca ketika merasa hilang semangat dan butuh motivasi. Bukankah teman paling setia adalah buku?


Di beberapa halamannya disertai juga dengan quotes menarik. Buku setebal 198 halaman ini bisa menjadi renungan yang indah, supaya langkah kaki kita tetap gagah melangkah, agar keyakinan kita tidak goyah akan pengharapan yang besar kepada Allah. 


Selamanya kita memang tidak akan benar-benar selalu kuat menghadapi ujian dan cobaan, tapi tidak selamanya juga kita jadi manusia yang lemah. Ada saatnya kita gagal, tapi di waktu lain kita boleh memutuskan untuk bangkit dan pantang menyerah. Hidup tidak akan berakhir hanya karena kegagalan sekali atau dua kali saja, kan? 


Justru dari kegagalan itu kita bisa belajar tentang perjuangan dan apa arti mempertahankan apa yang telah kita yakini. Yakin saja dulu, sebab Allah bukan manusia yang mudah jenuh dan sulit memaafkan. Karena paham bahwa Allah bukan manusia selemah kita, maka apa sulitnya yakin pada-Nya?


Belajar dari Kisah-Kisah Orang Saleh Terdahulu

Kenapa Allah menceritakan kisah Firaun dalam Alquran? Supaya kita tahu bahwa ada manusia sombong yang pengin disembah sebagai Tuhan, tapi kemudian Allah tenggelamkan dalam lautan. Kenapa Allah ceritakan kisah Qarun dalam Alquran? Supaya kita dapat memetik pelajaran bahwa yang namanya serakah tidak akan pernah mendapatkan tempat dan akan Allah azab.


Kisah-kisah orang terdahulu akan menjadi pelajaran berharga bagi manusia yang mau merenungi kesalahan. Begitu juga dalam buku yang ditulis oleh Desti Annor ini. Ia mengambil kisah-kisah para Nabi serta para sahabat yang bisa dijadikan pelajaran bagi manusia yang mau terus yakin pada ampunan Allah serta datangnya kesempatan kedua.


Atas langkah yang sempat terhenti, karena kelamnya masa lalu.

Atas jalan hidup yang tak seindah orang-orang.

Atas semua mimpi yang gagal menakjubkan pada kesempatan pertama.

(Desti Annor)


Buku ini diterbitkan oleh Quanta, lini buku-buku islami dari Elex Media. Sangat perlu dibaca hingga tuntas supaya hati kita yang patah bisa utuh kembali dengan keyakinan akan adanya kesempatan berikutnya.


Tidak masalah jika dulu sempat ada yang terlewat, tapi berikutnya kita mesti benar-benar menjemput dan memperjuangkan kesempatan itu. 


Salam hangat,


Tuesday, October 4, 2022

Bawa Virus dari Sekolah. Benarkah Anak-Anak Menularkan Penyakit?

Bawa Virus dari Sekolah. Benarkah Anak-Anak Menularkan Penyakit?
Photo by Vitolda Klein on Unsplash


Musim sakit. Hampir semua anak kena common cold. Namanya virus, sudah pasti akan sangat mudah menular terutama pada usia kelas 1 SD. Imunitas mereka masih rendah. Apalagi kalau kelasnya pakai AC dan sirkulasi udaranya nggak bagus. Sudah tentu satu sama lain dapat menularkan virus. Baru sembuh dua hari, eh tahu-tahu sudah meler lagi.


Apalagi setelah pandemi, di mana selama lebih dari dua tahun kita begitu steril dan bersih karena selalu ada di rumah. Ketika sekolah mulai mengadakan tatap muka kembali, interaksi antara murid dan guru nggak bisa dihindari. Kalau akhirnya ada saja yang sakit kena common cold itu memang wajar, sih. Karena kita baru belajar beradaptasi lagi. Kejadian ini pun ada di mana-mana nggak hanya di Jakarta.


Waktu zaman si sulung masih kelas 1 atau 2 SD, kejadian seperti ini juga pernah terjadi, kok. Hanya saja nggak seheboh sekarang karena sebelumnya kita nggak mengalami pandemi. Makin besar usia anak, makin kuat juga imunitas mereka sehingga akan lebih kebal terhadap virus penyakit.


Dulunya, saya termasuk orang tua yang super parno. Bisa dilihat ketika saya bercerita di blog ini saat si bungsu masih TK dan mesti berhadapan dengan pandemi serta masa transisi. Saya termasuk orang tua yang sulit mengizinkan anak untuk tatap muka. Gurunya bilang, nggak masalah kalau mau masuk, anak sakit common cold itu biasa. Lama-lama dia akan kebal. 


Hanya saja waktu itu saya merasa ngeri dengan Covid, sehingga saya masih ragu mengizinkan anak-anak untuk ikut pembelajaran offline seperti teman-temannya di sekolah.


Virus Mudah Menular

Ini perlu dipahami baik-baik, bahwa yang namanya virus itu sangat mudah menular terutama jika daya tahan tubuh kita lemah.


Saya cukup hafal dengan tubuh sendiri, setiap kali saya makan sembarangan, nggak jaga makan sehat, di situ saya mudah sekali tertular common cold. Gampang pilek ataupun batuk. Namun, ketika saya bisa menjaga pola hidup sehat, sejauh ini jarang banget tertular sakit.


Ketika anak-anak mulai masuk sekolah, kita nggak bisa memastikan satu per satu siapa di antara mereka yang sedang membawa virus. Karena gejalanya muncul belakangan. Dia sudah terpapar, sudah bisa menularkan, tapi belum ketahuan kalau sedang sakit sehingga tetap masuk sekolah seperti biasa.


Di sisi lain, anak-anak usia kelas 1 SD belum sepenuhnya paham kalau sakitnya bisa menular ke teman-temannya. Karena itu perlu sekali diedukasi baik oleh orang tua ataupun guru dengan cara tetap rajin pakai masker, tidak batuk sembarangan apalagi di depan wajah temannya, tidak asal comot makanan temannya. Terkadang hal kecil semacam ini belum dipahami oleh mereka sehingga wajar kalau virusnya jadi lebih mudah menular.


Sebelum pandemi, saya sudah membiasakan si sulung memakai masker setiap kali kena common cold. Nggak hanya saat ke sekolah, bahkan saat di rumah pun saya menerapkan hal yang sama. Saya mungkin terlalu parno dan steril…kwkwk. Dulu si kakak sampai sering ditertawakan setiap ke sekolah karena pakai masker, bahkan oleh gurunya sendiri. Namun, siapa sangka pandemi memaksa semua orang mengenakan masker?


Hal serupa saya terapkan pada si bungsu. Sampai-sampai guru TK-nya bingung karena dia sering menolak minum, meniup benda saat belajar di sekolah karena nggak mau buka masker kecuali terpaksa. Mau sih disuruh, tapi benar-benar dengan muka nggak santai :D


Virus memang mudah menular, tapi ternyata terlalu parno juga nggak baik. Nggak mungkin kita terus menerus menghindari virus karena sebenarnya dia ada di mana-mana. Di rumah, di jalan, di pasar, di mana pun. Bukan hanya ada di sekolah yang dibawa oleh anak-anak. Kita pun berpotensi membawa virus dan menularkannya kepada mereka.


Susahnya Sekolah di Zaman Sekarang

Masuk sekolah mesti benar-benar sehat. Itu baik, sih. Hanya saja yang saya pikirkan adalah ketika baru masuk dua hari, tapi kena common cold lagi dua minggu…kwkwk. Bisa dihitung berapa hari anak-anak bisa masuk sekolah? Karena hampir semua anak selalu mengeluhkan hal yang sama. Baru sehat sebentar sudah sakit lagi. Sedangkan yang boleh masuk sekolah hanya yang benar-benar sehat. Ini aturan yang diterapkan dihampir  semua sekolah.


Untuk sembuh dari common cold nggak bisa hanya sehari dua hari atau seminggu. Biasanya butuh waktu dua minggu bahkan kalau batuk masih nyisa di minggu ketiga yang sebenarnya dia udah nggak menular lagi.


Nggak masalah kalau anak nggak diizinkan masuk karena takut membawa virus dan menularkan pada temannya apalagi ke gurunya, tapi perlu dipikirkan kembali bagaimana murid-muridnya bisa tetap mendapatkan haknya untuk belajar. Kalau sakit hanya sehari dua hari atau maksimal sebulan sekali masih oke. Tapi, kalau setiap minggu mesti kena common cold gimana? Sedangkan masa pemulihan itu kan butuh waktu, tapi nggak menularkan juga.


Anak-anak yang dianggap sehat saja yang boleh masuk sekolah nggak menjamin juga mereka nggak sedang membawa virus karena terkadang gejalanya muncul kemudian. Selamanya kita nggak akan bisa mencegah virus datang apalagi di lingkungan sekolah. Dokter Apin yang merupakan dokter spesialis anak pun nggak menyarankan apa pun selain ya banyak bersabar karena usia segini memang rentan tertular dan menularkan virus.


Jaga Daya Tahan Tubuh

Kita nggak bisa menyalahkan siapa pun dalam kasus seperti ini. Anak-anak pun nggak mau bolak balik sakit apalagi dianggap membawa virus. Orang tuanya pun super capek kalau anaknya sakit apalagi jika ada riwayat kejang demam atau Otitis Media akut seperti anak saya.


Apa yang dapat kita usahakan supaya nggak gampang sakit dan tertular? Jaga pola hidup sehat terutama untuk orang dewasa. Anak-anak memang rentan karena imunitasnya beda dengan orang dewasa. Kalau mau diambil sisi positifnya, imunitas mereka jadi lebih baik setelah sakit dan sepertinya ini hal wajar dan alami terjadi pada kita sebagai manusia yang sedang tumbuh.


Kata dokter Apin, kitanya memang kudu sabar aja. Dulu waktu saya konsultasi juga gitu, memangnya mau pisah rumah? Nggak mungkin juga. Nggak mungkin pisah rumah dengan si sulung biar si bungsu nggak ketularan. Sama halnya nggak mungkin juga terus menerus meminta hanya ‘anak sehat’ aja yang sekolah, sedangkan yang sudah pecicilan, tapi masih batuk-batuk dikit nggak diizinkan masuk.


Ini aturan memang sudah diterapkan di sekolah-sekolah. Cuma kecewa sekali kalau nggak ada solusi buat yang masih masa pemulihan, yang sudah pecicilan, dan ngerasa sudah oke badannya, tapi nggak bisa juga benar-benar disebut sembuh.


Salam hangat,