Sunday, September 26, 2021

Kesehatan Mental Ibu Rumah Tangga

Kesehatan mental ibu rumah tangga


Pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga itu sering dianggap sepele alias dianggap 'nggak kerja'. Padahal, pekerjaan IRT itu banyak banget dan kayak nggak ada habisnya. Benar-benar sangat melelahkan. Sebagai IRT, saya merasakan betuk capek lelahnya ngerjain pekerjaan rumah sendirian. Memang, untuk saat ini saya memilih mengerjakan semuanya sendiri karena merasa lebih nyaman seperti itu, tapi bukan berarti saya nggak punya rasa capek. Kalau sudah di puncak, bisa uring-uringan juga :D


Pekerjaan rumah tangga itu sepele, sih memang. Hanya nyuci, masak, setrika, nyapu, nyepel, beres-beres, ngurusin anak-anak, eh nggak tahunya banyak juga, ya selain itu…kwkwk. Apalagi kalau kita nggak sekadar ngerjain pekerjaan rumah alias punya pekerjaan sampingan. Seperti yang saya kerjakan saat ini, menulis, menggambar, dll. Itu artinya saya punya lebih banyak pekerjaan untuk dikerjakan dalam sehari-hari. 


Kenapa masih ngerjain yang lain kalau ngerasa sudah capek? Karena saya senang punya kegiatan lain, me time dengan ngerjain hobi, atau mendapatkan penghasilan dari hobi yang saya punya. Semua itu membuat saya merasa lebih berharga dan nggak selalu tergantung sama orang lain, terutama pasangan. 


Bayangkan, saya lahir bukan dari keluarga berada. Serba kekurangan dari kecil dan nggak pernah kuliah. Kemudian, dari hobi, saya bisa menghasilkan, membahagiakan diri sendiri, dan juga orang terdekat, kenapa nggak dikerjain? Jelas ini adalah hal ajaib yang sering saya syukuri. Namun terkadang, semua itu membuat saya kelelahan dan akhirnya nggak bisa memaksakan diri untuk mengerjakan semuanya. Sudahlah, mengalah dulu dan istirahat :)


Butuh Support Pasangan

Senangnya kalau punya pasangan yang mengerti dan memahami kesulitan kita. Pagi-pagi, tanpa diminta, dia sudah mau berbagi tugas dengan menyelesaikan pekerjaan sederhana di rumah seperti menyapu atau menyiram tanaman. Meskipun itu sepele dan bisa dikerjakan istrinya kapan saja, tapi tetap saja terasa sangat membantu.


Meskipun istri jarang mengeluhkan beratnya pekerjaan rumah tangga yang tanpa jeda, bukan berarti perempuan selalu kuat-kuat saja mengerjakan semua sendirian. Ada saatnya benar-benar nggak sanggup dan pengin dibantuin. Di sinilah pengertian suami dibutuhkan.


Sayangnya, nggak semua pasangan paham dengan masalah ini. Lebih sulitnya lagi, kebanyakan perempuan juga malas selalu minta tolong karena merasa sudah pernah mengatakan hal yang sama atau sudah ngasih kode, tapi kodenya nggak nyampe…kwkwk. Ujungnya jadi salah paham, ya?


Baik suami ataupun istri, sama-sama butuh support. Mungkin Ibu Rumah Tangga lebih rentan stres karena selalu di rumah dan jarang bertemu dengan orang lain selain anak-anaknya. Mungkin istri lebih banyak pengin curhat sama pasangannya karena seharian sudah menahan lelah, tapi nggak tahu mau cerita sama siapa. Saat pasangannya ada, dia pasti pengin banget didengarkan dan dimengerti. Supaya bebannya berkurang dan lelahnya hilang. Sederhana, kan?


Saat IRT Punya Masalah, Anak-Anak Menjadi Sasaran Kemarahan

Sering dengar berita tentang kekerasan orang tua terutama ibu kepada anaknya karena punya masalah ekonomi atau punya masalah dengan suaminya? Kadang, hampir nggak percaya, kok bisa, sih tega kayak gitu? Namun, masuk akal ketika kita mengalaminya sendiri. Ternyata, jadi ibu itu butuh bahagia seutuhnya. Bahagia yang nggak setengah-setengah apalagi sambil menahan beban pikiran.


Kalau sudah stres, anak-anak sering jadi sasaran kemarahan kita. Ujung-ujungnya mereka yang nggak bersalah menjadi korban. Itulah kenapa, banyak ibu mulai menyadari pentingnya memabahagiakan diri sendiri. Karena jika kita nggak bahagia, kita pun sulit membahagiakan orang lain walaupun itu anak-anak kita sendiri.


Seorang konseling kesehatan mental klinis di Atlanta mengatakan bahwa perasaan terisolasi, terlalu banyak di rumah hingga kurangnya interaksi sosial membuat Ibu Rumah Tangga sering mengalami depresi.


Pekerjaan rumah tangga bukanlah pekerjaan mudah. Mendampingi anak-anak, mengurus segala kebutuhan anggota keluarga, dan yang lainnya membuat kita sering mengabaikan kebutuhan sendiri. Apalagi jika kita masih punya pekerjaan lain, waktu istirahat pun akhirnya berkurang dan itu membuat lelah kita semakin bertambah.


Jika sudah terlalu capek, kita sering melampiaskan emosi kepada anak-anak yang nggak tahu apa-apa. Tentu saja ini nggak baik buat kesehatan mental mereka. Kita pun tidak boleh terus menerus melakukannya. Ambil jeda dan bicarakan dengan pasangan kita.


Jangan ragu membicarakan tugas rumah tangga bersama pasangan. Berbagi tugas dengan suami bukanlah hal yang salah, kok. Nggak menunjukkan kita manja juga. Tugas rumah tangga bukan hanya kewajiban seorang istri, tapi tugas semua anggota keluarga. Misalnya, anak-anak bisa membereskan kamar mereka sendiri, juga peralatan sekolah, pakaian, dan juga selalu membereskan mainana setelah bermain.


Sedangkan suami bisa mengambil perannya sendiri. Nggak perlu dia repot-repot masak, cukup bantu pekerjaan sederhana seperti menyapu, menyiapkan meja makan mungkin, dan pekerjaan mudah lainnya. Seperti Rasulullah SAW, nggak malu dan nggak segan mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan menjahit pakaiannya yang sobek. 


Jangan Segan Meminta Bantuan

Jika kita tidak punya ART, jangan segan meminta tolong kepada pasangan kita. Nggak masalah meminta suami membantu karena urusan rumah tangga bukanlah urusan kita sendiri. Kita punya pasangan bukan hanya sebagai status apalagi pajangan. Ingat, ya, pasangan itu bukan pajangan. Jadi, belajarlah menjadi pasangan yang baik. Karena tanpa support dari pasangan, kita nggak akan mampu melakukan semuanya sendiri atau mengerjakan semuanya dengan mental yang sehat. Sedangkan kita butuh ‘bahagia’ bukan sebaliknya saat menjadi IRT.


Memang, kendala yang sering dihadapi adalah kesulitan komunikasi alias pasangan seringnya nggak peka meskipun kita sudah minta tolong. Tinggal diulang saja, jika belum dikerjakan, bisa lebih keras lagi mungkin minta tolongnya, atau sambil teriak pun boleh kali, ya? Kwkwk.


Kebanyakan dari kita, setelah sekali meminta tolong, akhirnya menyerah dan memilih mengerjakan semuanya sendiri. Rasanya capek bolak balik minta tolong, tapi nggak didengarkan. Iya, nggak, sih? Namun, kitanya tertekan nggak, tuh? Kalau iya, mending dibicarakan lagi daripada jadi stres dan akhirnya membuat anak jadi sasaran emosi saking lelahnya kita ngerjain semuanya sendiri.


Hei, teman-teman yang merasa capek dengan pekerjaan rumah tangga yang nggak pernah ada habisnya, semoga lelah kita menjadi pemberat di akhirat nanti. Semoga kita bisa belajar lebih ikhlas, lebih rida dengan semuanya. Dan semoga, pasangan kita mengerti dan memahami lelahnya kita sehingga kita nggak pernah merasa sendirian melewati semuanya :)


Salam hangat.


Saturday, September 18, 2021

Hari Pertama Si Bungsu Masuk Sekolah ‘Asli’

Hari Pertama Si Bungsu Masuk Sekolah ‘Asli’
PTM terbatas dimulai


Asli? Pasti banyak yang bertanya-tanya, memangnya selama ini sekolahnya palsu? Hihi. Sekolah asli yang dimaksud oleh si bungsu adalah sekolah tatap muka, bukan online pakai Zoom atau video call. Jujur, awal dengar istilah ini langsung dari si adek, antara kaget dan pengin ngakak juga. Kok, bisa anak seumur dia ngomong begitu tanpa diajarin…kwkwk. 


Anak-anak saya termasuk yang gampangan banget masuk sekolahnya. Kalau ingat sejarah sekolahnya si kakak, nggak ada rewel-rewelnya memang. Masyaallah. Bikin bersyukur banget karena waktu itu saya baru melahirkan adiknya dan nggak mungkin sering-sering nemenin ke sekolah. Jadi, hari pertama masuk sekolah sudah diserahkan sama ojek :(


Sedangkan saya dari kecil rewel banget kalau mau sekolah, kalau nggak ditemanin duduk sebangku ya nggak akan mau sekolah. Nggak pernah kebayang kalau anak-anak saya mau sekolah tanpa beban. Kirain drama juga kayak emaknya…hihi.


Waktu kakaknya mau sekolah, setiap hari disugesti biar berani dan mau sendiri ke sekolahnya. Namun, buat si adek, masuk sekolahnya saja tanpa direncanakan. Selama ini dia masih masuk online karena nggak ada yang mengantar ke sekolah. Ternyata, setiap hari gurunya selalu menanyakan kapan mau ke sekolah? Proses belajar yang nggak bisa blendend learning seperti kakaknya bikin sekolahnya nggak nyaman. Video call setelah semua kelas berakhir, beberapa kali juga mesti masuk malam. Kasihan sama si adek, sekaligus juga bingung kalau masuk tatap muka bakalan diantar siapa? Dan sejujurnya, memang masih parno sama covid-19.


Cuek Bebek Saat Pertama Masuk Sekolah

Hari Pertama Si Bungsu Masuk Sekolah ‘Asli’


Akhirnya masuk sekolah meski waktunya terbatas. Sebisa ayahnya saja untuk antar jemput. Nggak masalah hanya sebentar yang penting tetap masuk, terutama buat sosialisasi sama teman-temannya. Begitu kata gurunya. Akhirnya, dia masuk sekolah juga. Bismillah.


Hari pertama masuk sekolah, dia happy bukan main. Tertawa dan riang sepanjang hari…kwkwk. Pas tiba di depan sekolah, langsung turun dan cuek banget sama emak bapaknya. Nggak ada adegan sedih-sedihan ditinggal di sekolah meski hari pertama. Nggak ada pengin dipeluk dan cium dulu…kwkwk. Pandangan lurus ke depan. Pokoknya kelihatan banget memang mau sekolah asli! :D


Sebenarnya, kondisi seperti ini pasti diharapkan oleh semua orang tua. Mana ada yang pengin anaknya berangkat sekolah sambil nangis atau minta ditemani sepanjang hari. Namun, saat itu benar-benar terjadi dalam hidup kita, kok, rasanya nggak siap, ya? Kwkwk. Kenapa ini anak nggak ada berat-beratnya pisah sama emak bapaknya, sih? Padahal, hari-hari sebelumnya memang dimotivasi supaya bisa sekolah sendiri. Giliran terjadi, rasanya kok, begini? Haha.


Hari berikutnya, semua tetap sama. Dia pulang dengan wajah happy. Semoga hari-hari selanjutnya semua tetap baik-baik saja terutama buat sekolah yang sudah mulai tatap muka.


Persiapan Belajar Tatap Muka

Hari Pertama Si Bungsu Masuk Sekolah ‘Asli’


Sebelum si bungsu masuk sekolah, kebetulan di milis sehat ada yang buka obrolan tentang PTM. Dokter Wati sendiri waktu itu yang menanyakan pengalaman orang tua mengenai PTM ini. Saya baca-baca beberapa sharing dari orang tua yang anaknya mulai masuk sekolah tatap muka. Sebagian besar memang masih belum mengizinkan jika masih memungkinkan belajar dari rumah.


Nah, persiapannya kira-kira apa saja sebelum mulai PTM, baik bagi orang tua ataupun pihak sekolah? Saya rangkum menjadi satu dalam postingan kali ini, ya.


  • Hanya anak yang benar-benar sehatlah yang diizinkan masuk sekolah. Kalau merasa sumeng, meler, apalagi batuk, sebaiknya jangan memaksakan diri untuk masuk sekolah demi menjaga diri sendiri dan juga orang lain. Jangan sampai ada orang tua yang nggak tega melarang anaknya masuk hanya karena anaknya kagi happy bisa ketemu teman dan gurunya. Karena, pernah ada pengalaman serupa juga dulu di mana orang tua nggak tega anaknya di rumah terus waktu itu. Padahal, anaknya memang habis kena cacar air. Dari pihak sekolah pun sudah diberikan aturan kapan bolehnya anak masuk jika terinfeksi virus ini.
  • Disiplin menerapkan protokol kesehatan dengan rajin mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak. Kesulitannya memang karena sebagian nggak terbiasa memakai masker. Masih ada aja anak yang iseng melorotin maskernya. Nah, pas ada yang sharing di milis Sehat soal ini, sekolah biasanya ngasih sangsi bagi yang melanggar dengan tidak diizinkannya ikut tatap muka lagi. Begitu katanya.
  • Sudah makan dari rumah, membawa bekal dan minum sendiri. Untuk makan di sekolah ini agak riskan dan bikin was-was memang. Namun, anak yang masuk sekolah dengan waktu yang cukup lama tentu kasihan juga kalau nggak bisa makan. Solusinya, mungkin pas sama-sama makan dan buka masker, ventilasinya dibuka dan mematikan AC. Bisa juga ditambah memakai face shield.
  • Bukan hanya murid, guru-guru pun tetap disiplin menggunakan masker walaupun sedang berkumpul dengan teman sesama guru. Pernah baca kasus di luar negeri tentang adanya penularan Covid-19 akibat kelalaian guru yang lengah membuka masker. Memang, masker ini adalah hal yang penting saat ini. Lucunya, pernah waktu ke sekolah sebelum PTM, saya dan suami bertemu guru dan ngobrol sebentar dengan beliau dalam keadaan beliau nggak pakai masker. Mungkin beliau nggak sadar kalau nggak pakai masker, ya? :D
  • Tidak boleh meminjam alat tulis temannya. Wajib bawa alat tulis sendiri dari rumah. 
  • Ventilasi udara di kelas harus bagus. Jika kelas pakai AC, setelah beberapa lama, jendela dan pintunya dibuka untuk memperbaiki sirkulasi udara. Ini adalah solusi yang diberikan dari sekolah anak saya kemarin.
  • Penyemprotan disinfektan dilakukan teratur. Kalau di sekolah si kakak, penyemprotan dilakukan setelah kelas usai. Sedangkan di sekolah lain seperti yang saya baca di milis Sehat, penyemprotan juga dilakukan setiap ganti mata pelajaran. Jadi, tiap ganti guru akan disemprot. 
  • Handsanitizer tersedia di setiap pintu kelas. Kalau di sekolah di kakak, masih pakai botol manual. Sekolah lain sudah ada juga yang memakai model otomatis sehingga jauh lebih aman. Namun, harganya juga lumayan pastinya.
  • Masuk seminggu sekali. Jika kondisi membaik, akan diperpanjang waktunya. Semoga seterusnya bisa membaik, ya. Adaptasi dari pandemi ke endemi ini lumayan berat ternyata. Apalagi kalau masih ada hawa-hawa parno-an seperti saya. 
  • Siswa dan siswi diantar jemput oleh orang serumah atau orang yang sudah sangat kita percaya. Kita nggak serumah, tapi tahu dia taat prokes, ya nggak masalah diminta antar jemput. Kira-kira seperti itu. Kebetulan, yang rutin antar jemput anak-anak memang belum taat prokes. Saya melihat sendiri beliaunya seperti apa. Sehingga masih ragu dan akhirnya memutuskan si kakak belajar online dulu.
  • Sistem belajar blended learning sehingga tidak ada perbedaan waktu antara siswa yang belajar di rumah dengan yang di sekolah. Nah, hal ini nggak bisa diterapkan untuk anak saya yang masih TK. Akhirnya, dia harus masuk juga.


Hmm, kira-kira apalagi yang belum diulas, ya? Teman-teman, adakah aturan lain yang mungkin terlewat saya ulas karena poinnya lumayan banyak? Semoga nggak ada yang terlewat dan kita semua selalu sehat, ya. Keadaan Indonesia sudah membaik, semoga terus seperti ini. Aamiin.


Salam hangat.


Wednesday, September 1, 2021

Sudah Siapkah Kita Melakukan Pembelajaran Tatap Muka?

Sudah Siapkah Kita Melakukan Pembelajaran Tatap Muka?
PTM terbatas sudah dimulai


Rencana PTM atau Pembelajaran Tatap Muka terbatas di Jakarta sudah bukan sekadar wacana lagi. Bulan ini, beberapa sekolah mulai melakukannya. Jujur, senang, tapi sekaligus ragu juga. Apakah kita sudah siap melakukan PTM dalam waktu dekat?


Di sekolah si sulung, PTM belum dimulai. Minggu depan rencananya baru akan direalisasikan. Saya mungkin termasuk orang tua yang belum mau mengizinkan anak-anak melakukan PTM terutama dalam waktu dekat. Lho, kenapa? Emang anaknya nggak jenuh sekolah online terus? Jenuh, tapi PTM bukan pilihan terbaik buat saya untuk saat ini.


Alasannya banyak. Karena yang antar jemput belum ada. Kalau dulu, anak saya diantar jemput oleh ojek langganan. Sekarang, saya belum siap melepas anak-anak bersama ojek tersebut karena beliau belum melakukan prokes dengan baik. Dari sekolah pun biasanya diwajibkan diantar jemput oleh orang serumah yang artinya hanya ada suami saya. Maafkan, ya, Mas. Istrimu belum bisa naik motor :(


Kedua, apakah semua pihak sudah siap melakukan prokes ketat? Baik dari pihak sekolah ataupun anak-anak?


Selain tenaga pendidik dan petugas mesti divaksin penuh (melihat aturan yang diberikan bagi sekolah di DKI), anak-anak pun mestinya sudah siap selalu memakai masker dan nggak ada ceritanya ‘melorotin’ masker terutama ketika bersama teman-temannya. Begitu juga dengan gurunya. Semua pihak mesti jujur dan bertanggung jawab. Dari sini saya belum yakin semua sudah sepenuhnya siap.


Minggu lalu, anak-anak kelas lima sebagian masuk ke sekolah untuk try out. Dari sini saya melihat, dari foto-foto bersama di kelas, ada anak yang belum disiplin memakai masker. Begitu juga waktu ke TK si bungsu. Ada kelas yang nggak jaga jarak. Padahal, terutama untuk usia dini yang belum bisa vaksin, memakai masker dan jaga jarak adalah hal yang sangat penting.


Pandemi Belum Usai, Tapi Sekolah Harus Segera Dimulai

Saya paham, tidak semua anak bisa sekolah online dengan nyaman. Ya, hampir semua akan mengatakan ‘yes’. Namun, dalam kondisi tertentu, bagi saya, masuk sekolah untuk saat ini bukan jawabannya. Anak-anak saya masih bisa diarahkan saat sekolah online, mereka pun menikmati meskipun pasti nggak semenyenangkan saat ada di sekolah dan bertemu langsung dengan teman-temannya.


Bagi sebagian yang lain, sulit banget mengarahkan anak-anaknya buat belajar online. Jadi, bagi yang sudah siap, ini solusinya. Sekolah online buat usia dini kayak nggak ngaruh. Seperti nggak sekolah. Selain waktunya sangat terbatas, prosesnya agak riweh karena berisik dan sebagainya. Berbeda dengan anak yang sudah lebih besar.


Makanya saya nggak heran, kenapa TK si bungsu sudah memaksa masuk sebelum wacana PTM dimulai saat ini. Sejauh ini, semua berjalan aman. Jika ada yang sakit, mesti jujur dan tidak memaksa masuk. Meskipun itu hanya sekadar flu sedikit atau apa pun. Tetaplah di rumah. Itulah salah satu aturannya.


Saya pribadi masih ingin melihat kondisi ke depannya. Jika memang terus membaik sesuai harapan kita, kenapa nggak? Masuk sekolah adalah hak anak-anak. Mereka butuh bersosialisasi dengan guru dan teman-temannya. Meski hanya sebentar, itu sangat berpengaruh buat mereka. Parno’an emaknya dihilangkan dulu kalau memang nggak ada masalah di sekolah.


Mungkin, kita nggak akan benar-benar bisa hidup normal seperti dulu, tapi kita bisa beraktivitas seperti biasa dengan tetap memakai masker dan jaga jarak. Adaptasinya berat juga. Semoga kita bisaaa.


Enjoy Saat Sekolah Online, Kenapa Tidak?

Waktu awal-awal sekolah online, stres parah, sih. Karena anak-anak waktu itu belum siap dan gurunya pun belum seluwes saat ini. Semua sedang beradaptasi. Termasuk orang tuanya anak-anak.


Yang saya ingat dari awal-awal sekolah online, isinya tugas aja. Sedangkan anak-anak kurang paham sama pelajaran. Ya, Allah. Ini drama banget suka bikin anak nangis…kwkwk. Begitu juga teman-temannya yang lain. Ceritanya hampir sama :D


Dari sini, bisa kebayang, orang tua yang ngomel karena gurunya nagihin tugas, sedangkan anak-anaknya lelah dan jenuh plus nggak paham. Pokoknya dramatis sekali. Tapi, tahun ini, semua berbeda. Terima kasih sekali kepada wali kelas si sulung yang kreatif banget. Anak-anak sekarang harus melek semua, nggak ada yang bisa ngelamun karena bu guru bakalan nunjuk muridnya satu per satu. Kalau anak-anak jenuh, suka ngadain tebak-tebakan dan sejenisnya. Bikin mereka happy walaupun hanya bisa sekolah online.


Berasa banget, saat ini sekolahnya si sulung benar-benar bekerja keras buat beradaptasi di masa pandemi. Ekskul mulai masuk lagi. Sekolah pulangnya lebih siang. Setiap pelajaran ada penjelasan lewat zoom. Mungkin yang bikin khawatir, mata lelahnya aja karena hampir seharian menghadap layar.


Saya nggak tahu gimana ceritanya ada anak yang nggak semangat sekolah, selalu diam saat ditanya gurunya, atau enggan mengerjakan tugas. Karena setiap anak terlahir berbeda dan unik. Bisa banget memang kondisi itu terjadi. Mungkin jadi nggak mood sekolah karena jenuh sekolahnya online mulu, bisa juga malah main gadget. Namun, untuk anak-anak saya, semua itu memang nggak terjadi di saat ini. Iyap, kalau kemarin-kemarin ya kayak kurang motivasi buat sekolah sama nangis aja bawaannya :D


Yang pasti, saya nggak bisa maksa anak-anak buat belajar terus menerus. Kalau anak-anak udah kelihatan capek, jenuh, mau nangis, stop dulu, deh belajarnya. Nanti bisa dilanjutkan. Ini berlaku buat si bungsu dan sulung. 


Saya lihat, makin ke sini, si sulung makin semangat sekolah dan belajar. Kadang, buat pelaran besoknya, dia sudah pelajari malam harinya. Ini nggak pernah terjadi sebelumnya. Iya, nggak pernah…kwkwk. Dan semua terjadi tanpa saya minta. Masyaallah tabarakallah.


Sedangkan si bungsu, dia ini sangat berbeda. Beda banget pokoknya. Hatinya lebih sensitiF, yang artinya nggak bisa diomelin dikit bisa mewek. Misalnya dia kesulitan, dia kayak insecure walaupun dia nggak tahu apa itu insecure…kwkwk. 


Misalnya saat belajar mengaji, setaip ganti halaman dan masuk materi baru, dia pasti tiba-tiba down karena ngerasa kesulitan. Kalau mood dia baik, dia hanya bilang, ngajinya sampai sini aja. Maksudnya hanya beberapa baris dan nggak mau sampai selesai. Saya selalu turutin itu. Besoknya, jika dia merasa lebih percaya diri dan bisa, dia minta sampai selesai.


Pastinya setiap anak itu berbeda cara mengatasinya. Pun beda banget ceritanya. Nggak bisa disamaratakan, bahkan yang sekandung saja beda banget. Buat saya, sejauh ini, saya merasa sudah bersyukur banget dengan mereka. Enjoy saat sekolah online, walaupun sekolahnya sendirian seperti si bungsu…kwkwk. Namun, dia bisa mengikuti pelajarannya dengan baik. 


Sampai kapankah kita hidup seperti ini? Entahlah. Hanya Allah yang tahu. Tapi, setiap pandemi pasti ada ujungnya. Kita sama-sama berharap, ujung dari pandemi nggak akan jauh-jauh dari tahun ini. Supaya semua lekas kembali normal. Terutama untuk anak-anak yang sedang sekolah.


Salam,