Tuesday, September 19, 2017

Gara-Gara Diet

cerpen Gara-Gara Diet
Photo by Diana Polikhina on Unsplash


Belakangan Kinanti lebih sibuk berolah raga ketimbang memasak dan mengurus rumah. Biasanya pagi-pagi sekali, wanita tiga puluhan itu sudah beradu dengan adonan tepung dan panasnya kompor. Sekarang, dia lebih rajin lari pagi di sekitar komplek rumahnya dan membeli sarapan di warung depan yang buka setelah Shubuh.

Suaminya, Pras tidak pernah protes. Toh selama ini dia juga tidak pernah memaksa Kinanti memasak untuk keluarga. Nasi uduk dan teman-temannya sudah cukup nikmat disantap saat sarapan sebelum dia bertolak ke tempat kerja.


Sayangnya tidak begitu dengan Adi, putra sulung mereka. Dia yang pertama protes dengan wajah sumpek.


“Apa tidak ada makanan lain selain nasi uduk, Um? Adi bosan sekali sarapan nasi uduk setiap hari. Belum lagi bekal sekolah Adi juga isinya sama.”


Pras hanya tersenyum dan menaikkan kedua bahunya. Itu di luar kuasa Pras. Anak sulung mereka tentu sudah bisa protes sekarang. Berbeda ketika dia masih balita. Makan apa pun dia terima. Bahkan meski sebulan penuh makan nasi uduk. Tapi sekarang, Adi sudah jadi anak SD kelas dua. Selera makannya pun semakin baik. Terlebih ketika Kinanti lebih rajin berada di dapur dan membuatkan anak-anaknya camilan lezat melebihi yang ada di kantin sekolah.


“Mungkin Umi sedang tidak punya waktu, Di.” Pras menengahi. Khawatir menyinggung istrinya yang sepekan terakhir terlihat lebih sensitif.


“Memangnya Umi sibuk apa, Bi? Adi lihat setiap pagi Umi cuma lari pagi, push up dan senam.” Katanya sambil memasukkan bihun ke dalam mulut dengan wajah cemberut.


“Makan nasi uduk juga sudah cukupkan? Lagipula Abi tidak suka melihat Umi kelamaan di dapur.” Kinanti balas komentar.


Pras menoleh. Semakin tidak mengerti dengan jalan pikiran istrinya.


***


“Kok nggak ada sarapan di meja makan?” Adi semakin lesu.


Kemarin masih untung ada nasi uduk walaupun sudah seminggu makan menu sama. Sekarang, justru teh hangat dan sarapan pun sudah tidak muncul lagi di atas meja makan keluarga Pras. Sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan Kinantinya?


Pras mengusap kepala sulungnya. Mengecupnya pelan dan membisikkan sesuatu. Lantas sumringah di wajah Adi sudah cukup melegakan perasaan Pras. Hari ini, Pras memutuskan mengajak Adi sarapan di luar. Mungkin istrinya sedang lelah dan tak ingin memasak ataupun membeli sarapan untuk mereka. Bukan masalah. Menjadi ibu rumah tangga, meski kadang terlihat sepele, namun kenyataannya tidaklah semudah yang dibayangkan kebanyakan orang. Mereka bergelut dengan rutinitas yang sama setiap hari. Jarang bergaul dengan teman-teman sebab mengurus rumah saja kadang tidak mengizinkan para istri untuk beristirahat. Pras sangat memahami itu. Dan Kinanti mungkin juga sedang merasakan hal yang sama, bosan dan lelah.


Sebelum keduanya berangkat, Kinanti muncul di depan pintu dengan napas terengah. Dia membungkuk sambil menahan perutnya yang nyeri.


“Kalau lari jangan terlalu capek, nanti bisa sakit.” Pras menyodorkan segelas air putih.


Kinanti menepis, “Kinanti melakukan semua ini hanya demi mas Pras.” Katanya dengan ketus.


Pras melihat istrinya berlalu ke belakang tanpa mencium tangannya. Wanita itu kadang bersikap aneh tanpa sebuah alasan yang jelas. Pras menarik napas dan menggandeng tangan Adi. Deru motor terdengar keras sebelum akhirnya bayangan mereka hilang di ujung jalan.


Kinanti muncul dari kamar mandi dengan wajah sembab. Kedua matanya merah bukan karena terlalu lelah dan kurang tidur. Semalam dia bahkan tidak sempat menunggu Pras pulang. Setelah shalat Isya dia terlelap dengan keletihan tak tertahan.


“Ada apa, Mi?” Naura keluar dari kamar dengan wajah masih mengantuk.


Kinanti menggeleng sambil merengkuh bungsunya, “Hanya kelilipan, Sayang.”


Naura menerima jawaban itu tanpa protes. Tapi kemudian gadis kecil lima tahun itu mendengar bunyi perutnya sendiri yang keroncongan. Lapar sekali. Berharap bisa makan setangkup roti buatan ibunya yang biasa tersaji di meja makan hampir setiap pagi. Sayangnya, ketika langkah kecil itu terhenti di dekat meja makan, hanya segelas air putih yang tampak di sana.


“Kapan Umi masak lagi?”


Kinanti terperangah mendengar pertanyaan itu muncul dari gadis kecilnya. Kapan Kinanti masak lagi? Kapan dia membuat roti lagi? Kapan dia mau berhenti dan berdamai dengan perasaannya yang tak karuan? Rasanya seperti digerogoti. Hari-hari setelah kejadian seminggu kemarin, membuatnya kehilangan waktu menikmati kebersamaan yang hangat bersama anak-anak dan mas Prasnya.


Belum sempat Kinanti menjawab, air matanya menderas melebihi anak sungai. Dadanya tiba-tiba saja sesak. Jika bukan karena Pras, dia tidak akan melakukan ini. Semua kerja kerasnya hanya untuk Prasnya yang tampan. Seharian minum air putih hangat tanpa sesuap nasi juga karena Prasnya. Apa pun akan dia lakukan untuk Pras. Hanya untuk lelaki yang delapan tahun telah menikahinya.


Naura mendekati ibunya. Menarik baju Kinanti yang sebagian basah terkena air mata. Naura ingin bertanya ada apa dan kenapa tiba-tiba ibunya menangis? Apa karena Naura memintanya membuat roti lagi? Apa ibunya sedih dengan permintaannya barusan?


“Maafkan Umi, Sayang.” Kinanti merengkuh Naura dan tersedu lama.


***


“Lelaki zaman sekarang nggak bisaan kalau lihat wanita cantik. Apalagi kalau lihat janda kayak Noni tetangga baru kita.” Tukas Bu Retno sambil mencubit lengan Kinanti.


“Insya Allah mas Pras tidak seperti itu, Bu.” Jawabnya sambil tersenyum getir.


Ya, Kinanti yakin mas Prasnya adalah lelaki yang baik dan setia. Dia tidak pernah protes dan mengeluh meski setelah melahirkan Naura, tubuhnya tak seramping dulu. Mas Prasnya tidak akan protes meski Kinanti tidak pandai memakai make up. Kinanti juga punya tubuh mungil dan pendek, tidak seperti teman-teman Pras di kantornya yang tinggi bak foto model. Kinanti jauh jika dibanding mereka. Tapi yang membuatnya lega adalah Pras tidak pernah sekalipun mengeluh apalagi mengatakan terang-terangan tentang kekurangannya itu. Kinanti anggap itu bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.


“Tapi saya lihat Jeng Kinanti lebaran ya dibandingkan dulu,” Bu Yatno menambahkan sambil melihat tubuh Kinanti dari ujung kepala hingga kaki.


“Laki-laki sukanya main belakang, Jeng. Mana ada yang terang-terangan.”


Hati Kinanti mencelos. Cukup. Meski telah berjanji akan selalu memercayai Pras, rupaynya pagi itu dia tak sanggup menahan gelisah akibat ucapan para tetangganya. Kinanti segera membayar belanjaannya dan lekas berlalu.


Di rumah, dia berdiri di depan cermin. Memerhatikan dengan seksama. Kinanti terpaku dengan sedikit kerutan di sekitar mata. Tidak, itu tidak hanya sedikit, bahkan lebih banyak daripada yang pernah dilihatnya kemarin. Dengan gelisah Kinanti menarik kelopak mata. Tersenyum sendiri di depan cermin. Kemudian murung setelah menyadari bahwa tidak banyak lagi pakaian lama yang bisa dikenakannya setelah Naura lahir. Tercenung melihat koleksi gamisnya hanya tergantung sia-sia tanpa pernah terjamah. Kinanti menyadari, dia harus berubah demi lelaki yang sangat dicintainya.


***


Kinanti mengerti betapa suaminya sangat sibuk akhir-akhir ini. Selalu pulang telat. Berangkat pagi-pagi sekali dan malamnya mereka hanya menyapa serta basa basi sebentar sebelum akhirnya Pras melanjutkan pekerjaannya. Di balik pintu kamar, Kinanti mengelus dada. Suaminya sudah berubah. Perubahan yang sebelumnya tidak pernah sempat dia lihat. Jangan-jangan sudah sejak lama mas Prasnya seperti itu. Kinanti mungkin saja tidak menyadari sebab terlalu sibuk dengan kegiatannya setiap hari.


Bu Yatno bilang, lelaki sukanya main belakang. Tiba-tiba tayangan infotaiment tentang salah satu artis papan atas yang berpoligami melintas dalam pikirannya. Padahal istrinya sudah cukup cantik bahkan sangat cantik dibanding Kinanti. Tapi lelaki yang tidak pandai bersyukur justru memilih berpoligami di belakang mereka. Mempermainkan syariat tanpa mengerti ilmunya. Tidak, Kinanti tidak bisa menunggu sampai semua itu terjadi padanya. Dia harus berubah.


Besok, dia akan lari pagi menyusuri komplek rumah. Kinanti juga berjanji tidak akan makan sebelum tubuhnya kembali normal seperti ketika dia memiliki Adi. Kinanti tidak bisa membayangkan jika mas Prasnya tiba-tiba jatuh ke pelukan wanita lain hanya karena Kinanti tidak pandai merawat diri. Lelaki mana yang suka melihat wanita berdaster yang selalu bermain tepung di dapur? Dan Pras tentu sudah mulai jengah dengan hobinya itu.


***


“Mas pulang telat lagi?” Kinanti berkacak pinggang di depan pintu. Membuat Pras kaget dan berhenti menguap.


“Mas sudah bilang, seminggu ini ada audit. Jadi mas sibuk sekali.” Pras tersenyum sambil mengusap kepala Kinanti. Tak terbersit sedikit pun kemarahan meski nyatanya dia sudah sangat lelah apalagi ketika disambut dengan kalimat ajakan perang seperti yang Kinanti lakukan saat ini.


Kinanti menarik napas panjang, mengikuti Pras dari belakang, “Mas ganti parfum, ya? Kok wanginya beda.”


Pras tertawa, “Bukannya ini parfum yang Kinan belikan kemarin? Mas kan tidak pernah suka pakai parfum. Karena Kinan yang minta, makannya mas pakai,” katanya sambil menggamit dagu istrinya.


Kinanti hampir lupa, bukannya memang dia yang selalu memerhatikan penampilan Pras? Mulai dari sepatu, celana sampai kemeja bahkan parfum. Mendadak dia menyesali itu. Harusnya biarkan saja Pras tidak pakai parfum, dengan begitu, suaminya yang ganteng itu tidak akan bisa tebar pesona.


“Mas,” Kinanti menarik lengan suaminya.


“Ya?” Lelaki berwajah teduh itu urung membuka tudung saji di meja makan demi melihat wajah Kinanti yang selalu murung beberapa hari terakhir.


“Kinanti jelek, ya? Gendut? Kulit Kinanti juga tidak putih. Mas Pras…”


Sebelum kalimatnya selesai, Kinanti justru menangis sambil memeluk suaminya. Membuat Pras menahan tawa. Sejak kapan Kinanti menjadi sedetail itu menilai penampilan? Biasanya dia selalu percaya diri. Merasa menjadi ratu di dalam rumah sebab kenyataannya Pras memang selalu memperlakukannya demikian.


Pras menyukai Kinanti apa adanya. Jika hanya karena cantik saja, tentu Pras tidak akan memilihnya sebagai pendamping. Tapi Pras punya alasan lain kenapa dia bersikeras menikahi Kinanti meski dulu orang tuanya sangat tidak setuju dengan pilihannya itu.


“Kinanti punya kecantikan di sini, Buk. Jika hanya ingin yang cantik, Pras bisa memilih yang lain. Tapi yang punya kecantikan dari hati tentu tidak mudah menemukannya. Dan Pras sudah melihatnya pada Kinanti.” Katanya meyakinkan.


Sebab itulah, Pras tidak pernah protes meski akhir-akhir ini Kinanti sangat sibuk di dapur sampai-sampai dia melupakan kemeja Pras. Biasanya Kinanti selalu menggantungnya di lemari. Pras hanya tinggal memakainya. Dan yang lebih parah, istrinya itu justru sibuk dengan kegiatan barunya, lari pagi dan senam. Sesuatu yang sama sekali tidak pernah dilakukan Kinanti sebelumnya. Tapi sekali lagi Pras tidak pernah protes dan mempertanyakan.


“Ada apa? Memangnya mas salah, ya?” Pras mengangkat wajah Kinanti.


Kinanti menggeleng. Tak kuasa menjawab. Suaminya itu, meski pendiam dan jarang bicara, bukan berarti dia tak pernah peduli. Mas Prasnya memang bukan lelaki romantis yang setiap hari membawakannya bunga. Tetapi lelaki yang usianya terpaut sepuluh tahun dengannnya itu tahu bagaimana cara menyenangkan hatinya.


Tanpa basa basi, Pras membelikan oven listrik untuk Kinanti setelah melihat dirinya begitu bersemangat membuat roti. Melihat ketekunan Kinanti, Pras menghadiahkannya sesuatu yang sangat Kinanti inginkan sejak lama. Pras bahkan tak mengatakan apa pun meski Kinanti bersorak senang dan memeluknya. Lelaki itu hanya tersenyum datar sambil bercanda.


“Jadi kapan mas bisa makan roti buatan Kinan lagi?” Pras mencubit hidung Kinanti, “Mas bosan lihat Kinan lari pagi setiap hari, Adi juga kasihan kalau setiap pagi makannya nasi uduk.” Pras menarik napas dan melihat mata istrinya yang sembab.


“Mas, sebenarnya Kinanti hanya takut kalau mas Pras berpaling ke lain hati. Lihat, Kinanti sekarang tidak seramping dulu. Bahkan baju-baju lama Kinanti sudah tidak muat lagi.” Kinanti setengah merajuk. Membuat Pras tersenyum geli.


“Terus?” Pras balik bertanya.


Kinanti jadi bingung harus menjawab apa, “Kenapa mas Pras tidak memuji Kinanti? Apa benar Kinanti sudah sejelek dan segendut kata orang-orang?” Kinanti manyun.


“Mas tidak suka berbohong. Kalau memang gemuk kenapa harus dibilang kurus?” Celetuk Pras sambil tertawa dan memamerkan deretan giginya yang putih tanpa bekas nikotin.


“Jadi Kinanti memang seburuk itu ya, di mata mas Pras...” Kali ini Kinanti menangis lagi.


Pras tertawa, “Jangan terlalu sibuk dengan anggapan orang. Kinan yang paling tahu siapa diri Kinan sendiri. Dan mas Pras tidak bilang kalau Kinan gendut. Hanya mungkin agak berisi ketimbang dulu.”


Belum sempat Kinanti merasa lega, tiba-tiba kalimat terakhir Pras membuatnya terkaget-kaget. Dengan sebal dia memukul suaminya.


“Tampil cantik memang perlu, tapi jangan abaikan kewajiban. Kasihan Adi kalau setiap hari makannya nasi uduk sama nasi goreng terus.” Pras nyengir. Diikuti oleh anggukan kecil Kinanti.


Mas Prasnya itu, meski tak banyak bicara dan menebar kalimat gombal, nyatanya dia paling tahu bagaimana memperlakukan Kinanti, menegur tanpa perlu melukai, dan mencintai meski tanpa menyatakan. Jika selalu mengikuti pendapat orang lain tentu akan sangat melelahkan. Dan seperti yang Pras bilang, sampai kapan pun kitalah yang paling mengerti siapa dan sebaik apa kualitas diri. Orang lain hanya melihat cover, bukan isi. Lalu kenapa sampai dibawa mimpi?

 

Sunday, September 17, 2017

Resep Sosis Solo

Resep Donat Empuk NCC


Assalamualaikum. Gimana kabarnya hari ini, Teman-teman? Semoha harimu menyenangkan, ya. Alhamdulillah, setiap hari Ahad, ada posting rame-rame di cookpad dengan tema yang telah ditentukan. Nah, tema hari ini adalah risoles dan kawan-kawannya. Bisa lumpia, sosis solo dan apa pun teman serta sahabat dan kerabatnya Si Risoles…he.

Kali ini saya buat sosi solo. Ada yang kurang familiar dengan sosis solo. Dikiranya risoles. Atau kalau dengar kata sosis, bayangannya pasti kabur ke sosis yang sering disantap dan disukai anak-anak.

Hmm, tapi ini bukan risoles atau sosis yang itu. Ini salah satu jenis makanan tradisional yang mirip banget sama risoles. Tapi, isinya bukan kentang dan wortel yang ditumis, melainkan daging ayam yang dihaluskan ditambahkan bumbu dan rempah sehingga hasilnya enak, legit karena agak manis juga, dan pastinya bikin nagih karena gurih disantap sama cabai hijau yang pedas. Ah, siapa mau nolak makan gorengan kayak gini, sih?


Biasanya saya beli jadi, tapi sekarang coba buat sendiri dan alhamdulillah bahkan lebih enak ini daripada biasa saya beli (muji diri sendiri...he). Isian yang saya suka manis tapi tidak terlalu manis dan gurih. Kalau terlalu manis jadi eneg. Dan saat membuat sendiri kita bisa sesuaikan dengan selera kita. Enaknya bikin sendiri, bisa lebih hemat, tapi dapat porsi banyak. Bisa memilih juga bahan yang sesuai sama selera dan pastinya berkualitas. Terjaga kebersihannya, dan yang pasti bisalah sekalian ngajak anak-anak membantu supaya mereka juga tahu cara membuatnya :)


Isian ayam dalam sosis solo itu bisa dicincang halus atau bisa juga dihaluskan. Nah, kalau saya karena yang makan anak-anak juga, maka saya lebih suka menghaluskan isiannya supaya anak-anak juga nggak kesulitan saat mengunyah. Maklum ada bayinya..he.


Bahan kulitnya saya pakai resepnya mba Diyah Kuntari di cookpad. Lumayan mulus dan minim robek. Sebisa mungkin kulitnya dibuat tipis ya supaya tidak gampang pecah saat kita beri isian.


Langsung aja yuk kita coba buat,


Bahan kulit:

130gr terigu serbaguna

325ml air

2 butir telur

Sejumput garam

2sdm minyak goreng


Bahan Isian:

1 pasang dada ayam, ambil dagingnya

5 siung bawang merah

2 siung bawang putih

1/4sdt ketumbar

Sedikit merica bubuk

½ bulatan kecil gula merah

Secukupnya gula pasir

Secukupnya garam

1 bungkus kecil santan kara

50ml air


Bahan pelapis:

1-2 butir telur, kocok lepas atau boleh pakai putih telur saja

Cara Membuat:

·         Bahan kulit; campur semua bahan kecuali minyak. Aduk rata sampai tidak bergerindil. Kalau perlu disaring.

·         Masukkan minyak dan aduk sampai licin.

·    Panaskan teflon, tuang satu sendok sayur ke dalam teflon dan putar teflon sampai rata dan tipis. Diamkan sampai pinggirannya mongering. Angkat. Lakukan sampai adonan habis.

·       Bahan isian; rebus daging ayam, haluskan dengan chopper boleh juga disuwir. Sisihkan.

·     Haluskan bumbu, tumis dengan api kecil supaya bumbu matang. Masukkan air dan santan. Bumbui dengan garam, merica bubuk, gula pasir dan gula merah. Tes rasa.

·      Masukkan ayam yang telah dihaluskan. Aduk sampai mengering dengan api kecil supaya tidak gosong.Angkat dan sisihkan.

·       Ambil satu kulit risol. Beri isian 1-2sdm ayam. Gulung rapi. Lakukan sampai adonan selesai.

·       Ambil 1 butir telur dan kocok lepas. Celupkan risoles dan goreng sampai keemasan.



Gampang ya ternyata membuatnya…yuk ah, kita coba buat sebagai camilan bergizi untuk anak-anak di rumah. Selamat mencoba J


Monday, September 11, 2017

Resep Donat Empuk NCC

Resep Donat Empuk NCC


Assalamualaikum…Alhamdulillah bertemu lagi dalam resep saya ya, he. Kali ini saya mau berbagi resep donat empuk tanpa kentang yang milky, lembut, enak, mudah dan kalau saya bilang sih ini udah anti gagal lho.

Yakin anti gagal? Iya, jadi dulu sebelum kenal resep ini, saya sering banget gagal buat donat. Kadang donatnya keras, mentah di tangah, nggak mengembang bagus dan bantat. Setelah mencoba pertama kali, saya sudah langsung…..salah takaran. Hehe. Iya, awalnya saya mau buat setengah resep saja, semua bahan ditimbang dengan setengah resep. Saat masukin susu, ternyata saya justru memasukkan satu resep. Kebanyangkan lembeknya.


Jadi, saya galau antara mau melanjutkan atau dibuang saja. Soalnya yang dulu-dulu, takaran benar aja masih salah (bukan salah resepnya ya). Apalagi yang jelas salah takarannya. Tapi, karena sayang, akhirnya saya tambahkan terigu. Dibuat dengan takaran tidak jelas, tapi alhamdulillah berhasil. Yess! Senang sekali rasanya.


Setelah kejadian itu, saya selalu berhasil membuat donat dengan resep ini. Kuncinya takaran harus pas, uleni sampai kalis elastis, kalau tidak biasanya hasilnya nggak bagus.


Bahan:

250gr terigu protein tinggi seperti cakra

2 kuning telur

1 sdt ragi instan

50rg gula pasir

120ml susu dingin (aslinya mix air es dan susu)

1 sachet susu bubuk (aslinya 15gr)

50gr margarin atau butter

Sejumput garam


Cara membuat:


  • Campur semua bahan kecuali margarin dan garam. Uleni sampai rata. Lalu masukkan margarin dan garam, uleni sampai kalis elastis.

  •  Diamkan adonan selama kurang lebih 30 menit. Jangan lupa tutup atasnya dengan lap bersih.

  • Tinju adonan untuk membuang udara. Lalu bagi-bagi sesuai selera. Bulatkan dan diamkan selama kurang lebih 30 menit. Kemarin saya buat ukuran kecil 15gr dan separuhnya ukuran besar.

  • Goreng donat dengan api kecil saja, ya. Goreng dengan sekali balik supaya tidak banyak menyerap minyak. Nanti bakalan keluar cincin putihnya yang cantik.

  • Tiriskan dan sajikan dengan taburan gula halus, selai di tengah atau mesis.

Resep Donat Empuk NCC



O ya, kemarin saya goreng separuhanya saja. Karena terburu-buru, akhirnya saya masukkan adonan siap goreng dalam kedaan ditutup lap bersih ke dalam kulkas. Besoknya baru saya goreng lagi setelah sebelumnya saya diamkan sampai suhu ruang. Alhamdulillah, hasilnya tetap cantik dan empuk.


Wajib coba nih bagi yang kemarin bilang nggak bisa bikin roti karena nggak ada oven. Nggak ada roti, donat pun jadi. Bisa bayangin kerjaannya bikin roti dan donat hampir setiap hari? Kalau nggak dikira jualan ya dikira roti. Iya, saking seringnya bikin,  wajah jadi mirip roti yang menul-menul itu..hehe. Happy baking ya, mom!


Pakai Satu Telur Tetap Oke


Setelah beberapa kali membuat, saya mencoba mengurangi jumlah kuning telur yang dipakai. Hasilnya tetap bagus dan lebih mudah dibentuk. Bagi yang ingin mengurangi jumlah kuning telur dalam resep donat empuk NCC, sangat bisa dicoba, kok tanpa perlu takut gagal.

Untuk susu cair juga bisa diganti dengan air dingin. Hanya saja jadi kurang milky jika pakai air saja. Soal empuknya, iyess, tetap empuk dan enak. Yang penting kita uleni sampai benar-benar kalis supaya donat mengembang sempurna.

Saya lebih suka membuat atau mengulen dengan mixer karena hasilnya lebih maksimal meskipun harus sabar sering mematikan mesin jika dirasa sudah cukup panas. Harus sabar juga nungguin sampai mixer-nya adem barulah digunakan kembali.

Perjuangan banget bikin roti dan donat begini...hehe. Butuh sabar, atau kalau nggak sabar ya sekalian beli aja biar praktis :D
Salam hangat,

Thursday, September 7, 2017

Dear Husband

Dear Husband
Photo on Unsplash


Rumah tangga itu berisi dua hal,

Kekuranganku dan kekuranganmu.

Lalu sama-sama kita memperbaiki dan menyempurnakan.

Jika aku salah, maafkanlah. Sebab kamu pun tak selalu benar.

Jika aku marah, maka redamlah, sebab kamu pun bukan mustahil melakukannya.

Jika kita mulai tak sejalan, maka kembalilah.

Sebab, rumah tangga itu telah kita bangun, ada janji serta cinta

Yang mungkin tertutup oleh benci yang sementara.

Dear Husband…

Dengan wajah cemas, lelaki berkemeja rapi itu segera membuka pintu mobil, bergegas mencari dompetnya yang hilang. Entah di mana terakhir kali dia meletakkannya. Di meja kerja, hanya ada setumpuk lembaran tugas yang sudah diselesaikannya. Di kolong meja, sama sekali tak terlihat apa pun kecuali sebuah mobil-mobilan berwarna merah milik Arka yang semalam dimainkan ketika ayahnya sibuk bekerja.


Tapi, lelaki dengan wajah kesal itu mencium aroma wangi lantai. Lantai yang semalam sempat kotor terkena tumpahan susu Arka kini sudah bersih bahkan mengkilat. Lelaki itu, dengan tergesa setengah berlari menuju dapur, mencari istrinya.


“Mas nyari dompet, nih!”


Ningrum setengah kaget melihat Hafiz sudah berdiri di depan pintu dapur. Dia tersenyum dan segera menggamit lengan Hafiz.


“Sudah dicari belum, Mas? Di meja mungkin, atau di atas lemari mungkin.”


“Kamu kan yang beres-beres. Seharusnya kamu tahukan di mana tempatnya. Ini lantai juga sudah dipel. Mungkin tadi jatuh di lantai, Mas pikir kamu yang membereskannya.”


Ningrum menarik napas, berusaha membantu tanpa merasa harus mengeluh apalagi menyalahkan. Mungkin suaminya lupa di mana dia terakhir kali menaruh dompetnya. Sayangnya, meski sejak pagi-pagi dia sudah membereskan rumah, tapi sama sekali tak terlihat dompet kulit berwarna hitam itu ada di sekitarnya. Ke mana, ya?


Sedangkan hafiz sudah habis kesabarannya. Dia sudah terlambat sepuluh menit dari jadwal berangkat ke kantor. Bisa-bisa dia terlambat tiba di sana. Sedangkan pagi-pagi ada rapat juga. Hafiz mengepalkan tangan. Ingin marah tapi tak tahu harus melampiaskan ke mana.


“Lain kali hati-hati saat menyimpan barang, Mas.” Ningrum setengah berjongkok, masih mencari di bawah kolong ranjang jati milik mereka.


“Harusnya kamu yang barhati-hati saat membereskan barang. Kan kamu yang sehari-hari membereskan rumah. Mungkin aja kamu lupa naruh ketika lihat dompet mas tergeletak di meja.” Hafiz berdiri sambil setengah berteriak. Benar-benar hari yang menyebalkan, pikirnya.


“Insya Allah Ningrum tidak lupa naruhnya, Mas. Karena memang Ningrum tidak menemukan dompet itu.”


Bahkan sejak mereka menikah, bisa dihitung berapa kali wanita berjilbab lebar itu menyentuh dompet milik suaminya. Dia sama sekali tidak merasa membereskan, apalagi mengambil tanpa izin.


Tapi Hafiz sudah benar-benar marah. Arka yang masih lima tahun pun akhirnya terbangun ketika mendengar suara ribut di dalam kamar orang tuanya. Anak itu segera berlari dan memeluk Ningrum. Memerhatikan wajah ayahnya yang merah padam.


Pagi yang mulai menghangat ketika Hafiz memutuskan untuk segera berangkat tanpa membawa dompet.  Seharusnya bukan masalah, sebab bensin mobilnya pun masih terisi penuh. Dia juga tidak buru-buru butuh uang, sebab makan siang disediakan oleh kantornya di kantin. Ningrum bisa mencarinya lagi nanti. Sayangnya, dia terlanjur marah dan sempat membentak istrinya. Katanya istrinya pelupa, banyak barang yang akhirnya hilang gara-gara Ningrum membereskan rumah.


Hafiz kesal, kenapa kejadian seburuk itu harus terulang lagi. Sebelumnya hafiz juga pernah kehilangan dompet. Sayangnya setelah memarahi Ningrum, dia justru menahan malu sebab ternyata dompetnya tertinggal di mobil saat dia membeli bensin. Pernah juga dia lupa meletakkan dompetnya di dalam tas setelah sempat mengambil beberapa lembar lima puluhan untuk membayar sepiring nasi goreng yang dipesannya.


Ah, tiba-tiba lelaki tiga puluh tahun itu ingat sesuatu. Apa mungkin dompetnya ada di dalam ransel bersama tumpukan kertas yang semalam dia bereskan dan buru-buru dibawa ke kantor hari ini?


Hafiz menghentikan laju mobilnya. Dia menepi sebentar hanya untuk memastikan bahwa dompetnya hilang di rumah atau hanya terselip di tempat lain.


Astagfirullah. Lelaki berhidung mancung itu kemudian menarik nafas. Dompetnya terselip di antara kertas dan laptop. Semalam dia buru-buru membereskan meja ketika Arka datang dan mengajaknya bermain.


Hafiz menatap kaca mobil. Sedang apa Ningrum di rumah? Apakah dia masih sibuk mencari dompetnya?


***


Ningrum kembali mencari dompet suaminya di tempat lain setelah sebelumnya dia memeriksa kamar. Sayangnya tidak ada dompet kulit kesayangan suaminya di mana pun. Mungkin Ningrum harus mencarinya lagi, sebab benda itu sangatlah berharga. Di dalamnya mungkin tidak terselip banyak uang, tapi kartu ATM dan KTP serta SIM akan sangat dibutuhkan dan bisa saja suaminya akan mendapatkan kesulitan ketika benda itu hilang.


Arka mendekati ibunya, “Nyari apa sih, Mi?”


“Umi sedang mencari dompet Abi yang hilang. Arka lihat tidak?” Ningrum setengah berjongkok ketika bertanya pada buah hatinya.


Arka menggeleng, “Lalu kenapa Abi marah sama Umi?” Kedua bola matanya membulat.


Ningrum mengangkat kedua alisnya, lalu segera menggeleng, “Abi tidak marah, Nak. Abi cuma mau Umi mencarinya. Itu saja.”


Tapi, anak laki-laki berkulit putih itu masih tak percaya dengan jawaban ibunya. Kedua telinganya masih jeli mendengar ucapan ayahnya pada Ningrum. Dia membentak dan bilang kalau Ningrum adalah perempuan yang tidak becus mengurus rumah. Masa dompet saja bisa hilang?


“Tapi Abi tadi marah-marah, Mi.” Ucapnya lalu memeluk ibunya.


Allah, rasanya Ningrum ingin sekali menangis ketika pelukan hangat itu menyentuh tubuhnya. Hafiz memang marah padanya, tapi bagi Ningrum itu bukan masalah. Mungkin lelaki yang telah menikahinya hampir sepuluh tahun itu khilaf dan lupa. Hafiz jelas akan terlambat hanya gara-gara sebuah dompet. Dan Ningrum sama sekali tidak bisa membantu menemukannya. Ningrum merasa semua itu sangat wajar terjadi.


“Mi, boleh Arka bantu?”


Ningrum mengangguk sambil menyembunyikan titik bening di kedua sudut matanya.


***


Hafiz pulang terlambat. Ningrum membukakan pintu tepat pukul sepuluh malam. Suaminya terlihat kelelahan. Ayam bakar yang disiapkannya untuk makan malam Hafiz tergolek di meja makan tanpa disentuh. Hafiz hanya menyesap teh hangat buatan Ningrum, lalu segera tertidur pulas di ruang tengah.


Ningrum melihat wajah suaminya. Dia ingin sekali bicara dan meminta maaf karena dompetnya belum juga ditemukan. Ningrum sudah mencarinya ke semua sudut di dalam rumah mereka. Bahkan Arka pun ikut membantu. Sayangya dompet itu tidak ada di mana pun.


Kasihan Hafiz, besok dia harus mengurus semua barangnya yang hilang supaya bisa segera dapat yang baru. Ningrum menyesal karena tidak bisa berbuat banyak. Sebelum tidur, dengan mata merah dan rasa lelah akibat seharian mengerjakan pekerjaan rumah, wanita dua puluh lima tahun itu mengambil kursi plastik yang ada di dapur. Menaruhnya tepat di depan lemari besar berisi baju-baju kerja milik suaminya.


Memang mustahil dompet itu ada di sana. Tapi, apa salahnya mencoba. Lagi pula, semua sudut rumah sudah disisir. Tidak ada tempat lain lagi yang bisa dilihat selain lemari yang tingginya melampaui dirinya.


Ningrum dengan hati-hati naik ke atas kursi. Mencoba melihat sambil berjinjit karena lemari itu terlalu tinggi bahkan meski dia sudah naik ke atas kursi. Sulit. Ningrum menarik napas. Dia tidak menyerah. Kembali berjinjit. Dia belum bisa melihat ke ujung lemari. Belum lagi matanya yang sudah sangat mengantuk. Tapi, dia belum mencoba. Dia melakukannya lagi, hingga semua terlihat oleh kedua matanya. Dia memastikan, di sana pun tak ada dompet.


Sayangnya, sebelum dia berhasil berdiri pada posisi yang benar, Ningrum terpeleset dan jatuh dari kursi. Suara benturan kepala dan badannya mengagetkan Hafiz. Wanita itu, mengaduh kesakitan dan setengah terkejut ketika melihat suaminya datang.


“Ngapain sih malam-malam?” Dengan rasa kantuk yang masih menggayut, Hafiz membantu Ningrum berdiri.


“Maaf, Mas.” Hanya itu. Wajahnya meringis menahan ngilu. Kepalanya pun sedikit berkunang. Sepertinya sangat tidak lucu ketika kejadian barusan menimpanya. Untung saja dia baik-baik saja. Sungguh tidak enak merepotkan suami. Apalagi jika sampai Hafiz marah dan bersungut-sungut hanya karena ulahnya.


Dan, bukan hanya itu saja yang sedang ada dalam pikiran Ningrum, dompet lelakinya bahkan jauh lebih penting. Dan Ningrum belum juga menemukannya. Ingin sekali dia mengatakan dan berterus terang, tetapi Hafiz justru melanjutkan tidur. Nyenyak, bahkan lebih nyenyak dari perkiraannya.


***


Ningrum mengaduh kesakitan, perutnya terasa mulas dan melilit. Dia sempat heran, karena biasanya haid tidak membuatnya kesakitan seperti itu. Apalagi sebulan terakhir dia memang terlambat datang bulan.


Ningrum menahan ngilu, masih memegang secangkir teh panas yang dibuatnya untuk Hafiz. Dia berjalan gontai menuju meja makan. Tidak jauh, tapi Ningrum cukup bersusah payah untuk mencapainya. Hanya berjarak beberapa langkah darinya, Hafiz menangkap wajah pasi istrinya dengan gemetar memegang secangkir teh. Wajah itu yang mengingatkannya pada sesuatu.


“Ningrum, Mas sudah...”


Sebelum kalimatnya selesai, cangkir keramik di tangan istrinya sudah jatuh menghantam lantai. Isinya tumpah. Dan tanpa diminta, Hafiz menangkap tubuh istrinya yang tiba-tiba jatuh lemas.


Ada apa?


***


Hafiz mengemas pakaian ke dalam tas jinjing berwarna hitam. Beberapa baju gamis milik Ningrum serta perlengkapan mandi. Tapi, tiba-tiba saja tangannya berhenti. Memilih berdiri dan menatap sekeliling rumahnya. Lengang.


Arka sudah dijemput oleh neneknya sejak Ningrum harus dirawat. Siapa yang menyangka jika wanita berparas lembut itu sedang hamil sebulan. Dan karena kejadian semalam, Ningrum harus merelakan janinnya dikuretase. Dia keguguran. Dan hafiz gagal membuat Arka girang karena sejak lama anak lelakinya ingin sekali punya adik.


Tapi bukan karena itu hatinya ngilu. Kehilangan calon buah hati itu sangat menyakitkan, terutama bagi istrinya. Tapi, yang sangat Hafiz sesalkan, Ningrum jatuh dari kursi dan mengalami benturan yang lumayan keras pada perutnya hanya karena dia ingin mencari dompetnya yang hilang.


Padahal, Hafiz sudah menemukan dompet itu sejak pagi kemarin. Tapi, karena malu dan tidak mau dianggap pelupa, maka dia pun urung mengabari istrinya.


Astgafirullah. Demi sebuah ego, Hafiz merelakan amanah Allah. Dia kehilangan semua. Calon bayi, kegembiraan Arka dan yang paling menyakitkan, dia kehilangan seseorang yang biasanya dengan cekatan membersihkan rumah, menyiapkan sarapan untuk mereka dan selalu menyediakan kemejanya setiap pagi. Tanpanya rumah tiba-tiba saja terasa sepi.


Dulu, perempuan itu seperti tidak pernah berarti. Pekerjaannya hanya begitu-begitu saja. Tidak seperti wanita lain yang mau bekerja keras menjadi wanita karir. Tapi, tanpa dia rumah begitu berantakan. Dia melirik mainan Arka yang berserak di lantai. Belum lagi cucian di sudut kamar mandi. Padahal wanita itu baru saja pergi sebentar, hanya sebentar.

 
Sayangnya Hafiz terlambat mengerti. Wanita berwajah ayu itu sekarang sedang terbaring lemah di salah satu bangsal rumah sakit. Menunggu waktu untuk sebuah tindakan yang amat menyakitkan. Dan semua itu terjadi hanya karena dirinya.

 

***