Saturday, July 22, 2017

Perempuan-Perempuan yang Dipenuhi Luka

Perempuan-Perempuan yang Dipenuhi Luka


“Semua sakit hati dan sengsara yang aku rasakan adalah sebuah kesalahan besar yang diam-diam telah Ibu lakukan. Jika bukan karenamu, Bu, mungkin nasib baik masih bersamaku.” Terdengar kecewa sekaligus nada tinggi yang sedikit ditekannya. Perempuan tiga puluh tahun itu menunjuk jantung Rosmina. Memecah sunyi. Merobek ketenangan yang terpaksa ditanam meski sejak lama sakit hati memaksa meluap dan mengalirkan riak dalam tatap matanya.

Tubuh Rosmina seketika menggigil. Gemuruh di dada memuncak. Jika tak ingat perempuan itu lahir dari rahimnya, mungkin sejak tadi sebelah tangannya menampar Atika penuh amarah.


“Atika menyesal telah dilahirkan dari rahim Ibu!”


Rosmina terbeliak. Kini gemuruh itu begitu deras mengalirkan embun yang sejak tadi ditahannya. Slide-slide masa lalu bergantian mengetuk ingatan. Dua kali dua puluh empat jam menanti putri sulungnya lahir ke dunia sembari menahan sakitnya kontraksi bertubi. Wanita berkulit putih itu hanya meringis menahan ngilu serupa belati membeset kulit dari tulang-tulangnya.


Kini, lihatlah! Gadis mungil yang dulu begitu dirindunya melaknat ibu kandungnya sendiri!


Durhaka! Kata tertahan yang hanya sempat berteriak dalam tenggorokan. Tercekat oleh isak. Namun, perih dan sakit itu meneriakkannya jauh ke langit. Menembus lapisan ketujuh. ‘Arsy terguncang. Tuhan tak akan berpangku tangan, Atika!


***


Danu memahami, setiap jengkal dari nasib buruk yang kini diterimanya adalah balasan atas apa yang telah dilakukannya selama bertahun silam. Sejatinya lelaki bertubuh tinggi itu hafal betul siapa orang yang paling bersalah dalam urusan rumah tangganya.


Bukan wanita ayu yang telah dinikahinya. Bukan pula orang tua yang telah menjodohkan. Tapi dirinya. Ya, dirinya sendiri yang tak pernah sedikit pun punya niat untuk menafkahi keluarga. Meski gajinya cukup untuk membelikan istrinya sekarung beras, tapi dia memilih membeli kemeja-kemeja bermerek atau menghabiskan uangnya untuk mentraktir teman.


Selama bertahun-tahun, Danu tak pernah merasa bertanggung jawab atas keluarga kecilnya. Bahkan dengan pandangan tak berdosa, dia melepas istrinya pergi ke luar negeri. Merantau dan terseok di negeri orang demi memenuhi ambisinya sebagai suami. Tidakkah Danu memiliki hati?


Keluarga kecilnya pelan-pelan terguncang. Layar yang dikembang hati-hati kini koyak oleh kegamangan perempuan berhidung mancung yang enam tahun silam telah dinikahinya. Sudah cukup pengorbanan perempuan berperawakan ramping itu selama ini. Berdagang keliling, menjahit baju-baju pesanan atau bahkan rela berhutang pada tetangga demi membeli sebotol susu untuk putranya. Semua telah dia lakukan. Hingga akhirnya, lelaki yang begitu ia hormati meminta lebih.


Perempuan yang hanya lulusan SMA itu tak bisa menolak. Atas nama rasa hormat serta taat kepada suami, dia rela meninggalkan rumah dan anaknya yang baru berusia 2 tahun. Permintaan yang amat berat namun sungguh dia tak bisa mengelak ketika berkali-kali Danu memaksa. Dia tetap akan pergi. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Suami dan anaknya akan baik-baik saja. Semua demi keluarga kecil mereka. Kalimat-kalimat itu terus menerus dia pupuk hingga tak ada lagi celah bagi keraguan. Dia harus pergi demi orang-orang yang dicinta. Begitulah, hati pun mengalah menahan rindu dan meninggalkan kebersamaan yang kelu.


Tapi, kenyataan pahit mengoyak hati. Kabar burung tentang pernikahan Danu dengan wanita lain merenggut semua kepercayaan yang selama bertahun-tahun berusaha dia jaga. Tidakkah lelaki pintar itu tahu diri? Rupanya cinta saja tak cukup dijadikan alasan untuk memperjuangkan kehidupan mereka. Butuh kewarasan yang pelan-pelan mulai menghilang dari akal Danu.


Detik itu, perempuan yang kali ini merasa jauh lebih tegar dengan tegas menggugat cerai! Adakah wanita lain yang mau berkorban sebesar yang telah dilakukannya? Dan Danu mulai mengerti sekarang, tak ada satu pun wanita selain dia yang mau tetap tinggal.


***

 

“Menikah saja dengan suamiku. Ambil saja semua kebahagiaan yang aku punya!” Tarikan nafasnya bahkan terlalu kuat untuk disembunyikan.


Kemudian perempuan tiga puluh tahun itu melanjutkan caci makinya, “Tak seharusnya kamu ada di sini, Raifa! Janda tidak tahu diri!”


Raifa menutup wajahnya dengan bantal. Makian-makian saudara kandungnya begitu lekat hingga sulit baginya untuk lupa. Siapa sangka, kakak perempuan yang begitu dihormatinya tiba-tiba saja datang dan menikam.


Raifa menahan perih. Tak pernah terlontar keinginan untuk menceritakan semua sakit hati itu pada adik bungsu apalagi orang tua. Luka-luka yang telah memenuhi hati, kini bertambah dengan kebencian serta fitnah saudara kandungnya sendiri.


Jika bisa, ingin rasanya melawan semua tuduhan yang ditujukan padanya. Kebaikan Ibu yang disebut hanya untuknya atau perhatian kakak iparnya. Raifa tak pernah meminta ibu membeda-bedakan kasih di antara mereka. Seharusnya saudara sulungnya tahu, pahit hidup berumah tangga juga pernah dialami Raifa. 

 

Sekarang, sendiri dia harus melewati sepi. Tanpa lelaki yang dulu pernah singgah dalam lamunannya. Dia bahkan jauh lebih kesepian ketimbang seekor burung yang tengah kedinginan di dalam sarangnya.



Dan siapa? Raifa mengulang kembali ingatan tentang suami saudaranya. Bahkan jika gila pun, Raifa lebih memilih jadi janda ketimbang merebut suami orang!

 

***

 

Lelaki itu begitu keras kepala. Tidak pernah dia merasa sebahagia ini. Jatuh cinta pada pandangan pertama. Mungkin kalimat itu begitu tepat untuknya. Meski sejak lama dia selalu mengelak, namun hari ini, ketika sepasang mata mereka saling bertemu, bayangan perempuan dengan pasmina abu-abu itu tak bisa lagi menjauh dari pikirannya.


Siapa dia? Pertanyaan yang selanjutnya begitu lekat dan memaksanya untuk terus bertanya. Apa yang membuatya pergi sejauh ini? Berada di luar negeri bukanlah sebuah keinginan besar jika hanya berniat mencari pekerjaan. Banyak tenaga kerja yang berangkat dengan alasan yang hampir sama. Memenuhi kebutuhan keluarga. Meski sebenarnya Hilmi sering menerka, bukan kebutuhan yang membuat mereka nekat pergi sampai-sampai harus meninggalkan yang dicinta, tapi kebanyakan demi memenuhi gaya hidup yang tak biasa.


Hilmi terus saja memandang diam-diam ke arah wanita itu. Namun, perempuan yang terlihat kerepotan dengan koper besarnya memilih diam. Semakin membuat Hilmi penasaran. Dan sebelum perempuan berparas ayu itu benar-benar pergi, di belakangnya, Hilmi tampak girang mengepalkan tangan penuh kemenangan. Sebuah nomor yang baru saja didapatnya diam-diam. Bukan Hilmi jika tak keras kepala.


***


Mereka tiga bersaudara. Perempuan-perempuan berhati malaikat, begitu ucap Bapak setiap kali menatap ketiga putrinya. Meski anak-anaknya terpaut usia yang lumayan jauh, tak sedikit pun menyurutkan kasih lelaki yang kini telah dipenuhi kerutan halus itu. Mereka tetap membutuhkan orang tua kendati usia telah beranjak dewasa bahkan hingga mereka berumah tangga. Tetaplah orang tua adalah tempat paling nyaman untuk pulang dan bersandar.


Tapi hari ini, tiba-tiba hatinya seolah ditusuk berkali-kali. Kebencian mendalam kepada sosok lelaki yang tak lama menjadi pendamping putri sulungnya. Diam-diam menantu barunya menjadi belati dalam keluarga besar mereka. Meruntuhkan semua rasa hormat si sulung terhadap dirinya.


Ini bukan hanya sekadar kesalahan kecil. Makian-makian terdengar jelas melintas di hadapannya. Lelaki yang dulu dianggapnya sebagai malaikat penolong bagi putri sulungnya kini tak berbeda dengan iblis! Lihat saja, putri sulungnya kini beringas. Berani memaki dan mengentak-entak ketenangan yang selama bertahun-tahun selalu dijaga di dalam rumah mereka.


“Suami macam apa kamu!” ucapannya terngiang kembali. Mengutuk menantu baru yang merusak tabiat putri sulungnya.


Mata tua Bapak menatap halaman rumah yang lengang. Tak akan ada lagi suara anak kecil yang biasa riuh memanggil. Mereka telah pergi setelah puas menyakiti. Dan di sudut ruangan yang lain, seorang perempuan terisak tiada henti.


***


Rosmina mulai mengeja takdir. Dulu, tak terbesit keinginan untuk menyakiti orang tua meski dahulu sang ibunda begitu keras mendidiknya. Sebab menjadi seorang anak adalah sebuah bakti yang tak kenal lelah. Membalas sejengkal pun tak mampu meski telah memberi seribu kebaikan serta kebahagiaan. Orang tua tetaplah harus dihormati meski kadang terjadi selisih paham di antara mereka dan anak-anaknya.


Bagi Rosmina, itu bukan alasan untuk tidak berbakti. Tapi sayang, Atika tak pernah memahami betapa cintanya begitu besar padanya. Perjodohan Atika dengan Danu adalah sebuah kesalahan. Kesalahan yang tak pernah sengaja dia lakukan.


Siapa sangka, lelaki yang katanya keturunan kyai itu ternyata tak becus menafkahi bahkan cenderung mendzalimi istri. Tak sedikit pun Rosmina berkeinginan meninggalkan Atika dalam rumah tangga yang jauh dari bahagia. Dengan hati-hati wanita paruh baya itu membantu tanpa berkeinginan mencampuri urusan rumah tangga putri sulungnya.


Namun ketika Danu memintanya pergi dan bekerja di luar negeri, Rosmina adalah orang pertama yang menolaknya.


“Meski hidup kekurangan, bukan berarti kami mengizinkanmu menjadi TKW.” Ucap suami Rosmina sambil menatap putri sulungnya lekat. Seolah ingin mengalirkan energi penuh kasih yang tak pernah benar-benar ditinggalkan meski Atika telah berumah tangga.


Namun, Atika lebih memilih mendengarkan Danu. Memaksa orang tua menerima keputusannya. Dengan berat hati, Atika menitipkan buah hatinya pada Rosmina. Membiarkan semua berjalan seperti mimpi hingga pada akhirnya lelaki yang awalnya begitu ia benci_karena sebuah perjodohan tanpa persetujuan Atika_memilih berpoligami. Meninggalkan janji suci yang bertahun-tahun dia tanam dalam hati.


Atika menahan rasa sakit yang diam-diam dipendamnya. Hingga perlahan luka itu mulai mengering setelah pertemuan indahnya dengan Hilmi, lelaki yang ditemuinya di sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja.


Atika mulai merajut kembali kebahagiaannya yang sempat koyak oleh pengkhianatan Danu. Hilmi menyembuhkan bukan hanya luka Atika namun juga rasa bersalah yang dialami oleh ibu mertuanya, Rosmina.


Tapi, punya rumah serta seorang anak dari Hilmi saja rupanya tak membuat Atika bersyukur. Selalu saja mengeluh karena merasa Rosmina berlaku kurang adil di antara dia, Raifa serta adik bungsunya. Padahal, Rosmina telah memberikan kebahagiaan lebih banyak pada putri sulungnya. Sesuatu yang tak pernah diberikan kepada anak-anaknya yang lain. Rosmina tak pernah menyangka ketika tiba-tiba Atika mengkal hati. Memarahi Rosmina yang telah dianggapnya menjadi orang yang paling bersalah atas semua masa lalu kelam yang menimpanya.


Putrinya itu, diam-diam menagih dendam lama.


Atika sejatinya telah punya segalanya. Jika dulu dia memiliki Danu yang tak layak dihormati, maka kali ini Tuhan telah menggantinya dengan lelaki bertanggung jawab seperti Hilmi. Sayangnya, Hilmi dan Atika mulai terbuai perasaan serakah. Kehidupan mereka yang terlihat megah di mata orang lain rupanya tak disyukuri sedikit pun oleh sepasang suami istri itu. Atika jengkel kenapa Rosmina terlihat lebih peduli kepada Raifa yang telah janda atau perasaan kesal setiap kali Rosmina menyebut kebaikan adik bungsunya. Lalu Atika dianggapnya apa?


Berkali-kali Atika meluapkan emosi. Buta oleh kesalahpahaman serta rasa iri. Hingga kalimat menyakitkan itu menutup semua pintu maaf seorang ibu kepada anaknya.


“Atika menyesal telah dilahirkan dari rahim Ibu!”


Cukup! Untuk kali ini sakit hatinya tak lagi bisa disembuhkan. Rosmina terisak di dalam kamar. Memandang jendela dengan tatapan nanar. Di tempat lain, Atika sedang berteriak sambil tertawa. Kewarasan yang hilang tiba-tiba sesaat setelah sumpah serapahnya kepada Rosmina, ibu kandungnya.


 
-Tamat-

Saturday, July 15, 2017

Kamu Menjelma Mimpi

Kamu Menjelma Mimpi


Seharusnya lelaki gagah itu mudah saja menyelesaikan masalah kecil ini. Seutuhnya terjadi karena kehadiran gadis sederhana yang jauh dari keinginan orang tua. Meski teramat sulit, namun Fadli berjanji akan menyelesaikannya. Cinta telah mendekapnya erat, dan kini, lelaki berkaca mata minus itu enggan berpaling.

***


Hamami sudah menunggu lama. Mendamba cucu dari putra tunggalnya yang kini memiliki karir jauh melesat melebihi keinginannya dulu. Lelaki dengan rambut perak itu mengurut kening. Seharusnya ini kabar gembira. Putranya akan segera menikah. Membina rumah tangga dan memberinya cucu yang menggemaskan. Sayangnya, lelaki paruh baya itu mulai pening dan sesak ketika tahu Fadli datang dengan perempuan biasa, bahkan jauh dari harapan!


Tidakkah anaknya tahu, keluarga terhormat harusnya bisa meminang gadis yang lebih baik ketimbang hanya anak seorang buruh cuci? Apa kata teman serta relasinya? Banyak gadis menunggu bahkan berebut perhatian Fadli sejak lama. Teman kerja serta teman kuliah yang jauh lebih berpendidikan ketimbang hanya gadis miskin yang tinggal di perumahan padat. Apa yang bisa dilihat dari gadis dengan penampilan sederhana itu? Punya apa dia hingga mampu memesona putra tunggalnya?


“Dia gadis baik, Pak. Fadli sudah lama mengenalnya,” Fadli menarik napas.


Hamami memandang Sania yang tertunduk di depannya. Gadis itu memang cantik, tapi Fadli bahkan bisa mendapatkan yang jauh lebih dari dia. Jika hanya karena baik, putri-putri sahabatnya juga tak kalah baiknya. Sungguh hatinya gelisah memikirkan bagaimana harus menolak kedatangan Sania sore itu. Dengan lantang menolak ataukah bisa berkompromi dengan putranya? Tapi, mengingat betapa kerasnya kemauan Fadli, membuatnya urung. Detik ini juga, Hamami harus menemukan alasan selain status sosial untuk menolak pernikahan mereka.


“Tak usah buru-buru menikah,” ucap Hamami sambil menyesap teh hangat.


Fadli terbeliak. Menatap Sania yang bahkan tak berani menarik napas. Tegang. Sudah diduga, rencana pernikahan mereka hanya akan jadi mimpi. Jauh dari kenyataan. Sania menahan gemuruh di dada. Sudut mata mulai basah. Alasan selanjutnya sudah bisa ditebak, tak akan ada pernikahan antara Sania dan Fadli.


Seharusnya Fadli mendengarkannya. Cinta saja tak cukup jadi alasan untuk diperjuangkan. Sania tahu betul, dirinya bukan siapa-siapa. Sedangkan Fadli, lihat saja kemeja bermerek yang selalu dikenakannya, sepatu mengilap serta kaca mata yang bertengger manis di wajahnya. Sania, sungguh kamu bukan apa-apa jika dibandingkan dia. Tapi, lelaki berhidung mancung itu selalu punya alasan untuk memperjuangkan dirinya.


“Harta tak pernah dibawa mati, Sania.”


Selalu saja alasan itu muncul setiap kali mereka bicara. Sania dengan senang hati mundur jika memang Fadli menginginkannya. Tapi sungguh, kegigihan lelaki itu sulit sekali ditolak. Meski sering hampir bertengkar karena Sania merasa tak pantas bersanding, tetap saja Fadli akhirnya mengembalikan senyum serta harga dirinya lekas.


“Bukannya Bapak ingin segera melihat Fadli menikah?” kembali bertanya. Seolah mengingatkan obrolan kemarin sore yang dilontarkan Hamami pada dirinya.


Hamami manggut-manggut. Mengingat betapa bodohnya dia telah menyerahkan urusan seserius ini kepada Fadli. Seharusnya sejak lama dia jodohkan saja dengan putri salah satu sahabatnya di Bandung. Mungkin saat ini dia tak lagi pusing memikirkan alasan penolakannya untuk Sania.


“Secepatnya kami akan menikah. Fadli harap Bapak menerima pilihan Fadli.”


Seolah mendengar petir di siang bolong, kalimat terakhir yang dilontarkan Fadli membuat darahnya mendidih. Dengan tatapan sinis menikam Sania yang bahkan tak berani mengangkat wajah. Siapa sebenarnya gadis itu? Begitu mudahnya merebut perhatian Fadli. Tapi, bukan Hamami jika tiba-tiba kehilangan sikap santun terutama di depan anaknya sendiri. Ingin rasanya bangkit dan memaki gadis berparas ayu itu. Menunjuk geram dan mengusirnya pergi. Selanjutnya, adegan serupa kisah dalam sinetron itu hanyalah adegan dalam hayalan lelaki tua itu saja, tak lebih.


Sania berpamitan diiringi Fadli yang menyambut punggung tangannya dengan rasa hormat. Tak banyak yang bisa dilakukannya selain menatap keduanya pergi dengan perasaan berkecamuk.


***


Sejak lama Fadli mengutarakan keinginannya kepada ibu. Wanita yang masih cantik di usia senjanya selalu saja mengiyakan asal Fadli bahagia. Tak sanggup mengusir pendar bintang di mata anaknya. Sania memang bukan siapa-siapa dibanding mereka. Tapi, sikap sopan santun yang dilihat sejak pertemuan pertama membuat wanita itu tak mengharap yang lain selain kebahagiaan mereka berdua.


Sania anak yang cerdas meski dia terlahir dari keluarga biasa bahkan terlalu biasa. Siapakah yang ingin dilahirkan dalam keadaan serba terbatas? Bukankah itu adalah suratan takdir yang harus dia terima? Kekayaan serta nasib baik yang dimiliki keluarga Hamami hanyalah titipin Tuhan. Suatu saat bahkan bisa memberatkan hisab. Ah, wanita itu selalu berpikir sederhana. Melihat pijar di mata Fadli, membuatnya mengangguk dan merestui.


“Semoga kalian bahagia,” ucapnya sambil mengusap kepala Sania.


Sumringah tak bisa lepas dari wajah putranya. Satu-satunya lelaki yang tak pernah lupa memberikan perhatian. Selalu saja syukur mengukir di wajahnya. Bukankah bahagia itu sederhana?


***


Sania menyerahkan setumpuk undangan kepada Fadli. Terukir nama mereka di dalamnya. Undangan berwarna gold dengan hiasan perak terukir indah di beberapa sisi. Fadli bergeming. Ini tak seharusnya terjadi. Bukankah mereka berjanji memperjuangkan kebersamaan hingga impian itu nyata?


Sania menggeleng pelan, “Tak seharusnya kita bersama, Mas.”


Fadli menatap embun di kedua mata Sania. Gadis itu selalu saja keukeuh ketika memiliki kemauan. Bukan hal mudah memikat hati Sania meski jelas Fadli punya segalanya. Perkenalan tanpa sengaja di perusahaan milik Fadli. Sania datang dengan senyum ramah. Melamar pekerjaan dengan sederet prestasi. Sania menyelesaikan kuliah dengan predikat cum laude. Membuat Fadli pelan-pelan menaruh hati.


Tapi Sania tak cukup berani untuk jatuh cinta. Terlalu jauh mengharap atasannya menjadi pendamping. Menolak berkali-kali perhatian Fadli.


“Kenapa begitu sulit membuatmu jatuh hati, Sania?”


Sebentar kedua pasang mata saling bertatap, “Saya lebih senang menjadi anak buah Mas Fadli. Tak cukup hati untuk kecewa sebab mustahil kita bersama, Mas.”


Fadli tersenyum. Mata itu cukup menjelaskan, “Kalau begitu kamu mau menerima saya?”


Sania menggeleng. Tak baik mengharap sesuatu yang mustahil diraih. Siapa saja tahu dan melirik sinis ketika kebetulan mereka bicara berdua. Jika orang lain saja sulit menerima, lalu bagaimana dengan orang tua Fadli? Sania sungguh tak bisa membayangkan kemungkinan terburuknya. Dia tak bisa menyakiti siapa pun termasuk ibunya sendiri. Harapan itu jelas akan menguap serupa udara yang telah dia embuskan berkali-kali. Tanpa jejak.


“Sania, semuanya bisa jadi mungkin,” Fadli meyakinkan.


Tak cukup keyakinan Sania untuk menerima sedikit kemungkinan. Cinta saja tak cukup untuk diperjuangkan. Orang tua Fadli pasti butuh lebih banyak alasan untuk menerima gadis sederhana seperti dirinya. Sania masih saja keukeuh dengan keputusannya.


“Sania, kadang sedikit bermimpi itu perlu.

“kita harus memperjuangkan mimpi itu, Sania.

“Aku tak bisa tak jatuh cinta, Sania.”


Sania tersenyum pasi. Tak cukup hati melihat kegigihan Fadli. Pertemuan yang sama sekali tak diinginkan. Kenapa dia harus berada dalam keadaan sesulit ini?


“Sania tak bisa, Mas.”


Tetap saja keukeuh menolak. Dan Fadli, lebih keukeuh lagi berjuang meluluhkan hati gadis berlesung pipit itu.


***


Hampir satu tahun menanyakan hal serupa pada Sania, jawaban berbeda akhirnya keluar dari bibir gadis itu. Perjuangannya tak sia-sia. Sore itu juga Fadli mengajak Sania menemui orang tuanya. Meminta restu dan tak mau berlama-lama menunggu. Penantian satu tahun baginya telah berjalan begitu lambat. Anggukan kecil dari gadis yang telah lama dikenalnya membuat hatinya lega. Satu kegigihan membuahkan hasil. Tak mustahil kesulitan berikutnya juga akan dengan mudah diatasi.


Sayangnya, Hamami tak memahami gejolak hati putranya. Tanpa anggukan serta restu, Fadli membawa Sania pergi. Tak masalah. Ibu sudah merestui. Bapak tak mungkin menolak jika pernikahan mereka semakin nyata.


Selama ini Fadli tak banyak meminta. Menjadi pribadi mandiri meski bergelimang harta. Usahanya dirintis dari bawah. Dan sekarang, kegigihannya bisa dilihat oleh siapa pun, membuat Hamami berdecak kagum. Bahkan dengan bangga lelaki paruh baya itu memperkenalkan putranya kepada sahabat-sahabatnya. Kini, putra tunggalnya ingin menjalin bahagia. Mencari pendamping setia bukan hanya sekadar baik saja. Tapi, sungguh hati sulit sekali menerima pilihan putranya. Kenapa harus gadis itu? Berkali-kali Hamami menanyakan hal serupa. Selalu saja jawaban yang sama. Sania gadis baik. Bukankah semua gadis pilihan Hamami juga baik?


“Baik saja tak cukup, Pak. Fadli butuh gadis setia, menyayangi Bapak dan Ibu. Menerima Fadli meski tak lagi berpunya.”


Alasan yang cukup masuk akal. Tapi, apakah Sania memenuhi kriteria? Bisa saja gadis itu hanya menginginkan kekayaan Fadli? Siapa yang bisa menerka. Tapi Fadli selalu punya alasan untuk memenangkan pilihannya. Sania bukan gadis biasa. Hatinya sungguh sulit sekali ditaklukkan. Dan kini, setelah sekian lama berjuang, Bapak justru jadi benteng angkuh yang merusak semua keinginan.


“Mas, sebaiknya jangan teruskan. Sania tak bisa menikah jika Bapak tak merestui hubungan kita.”


Fadli menatap undangan pernikahan yang telah lama jadi impian. Nama mereka bersanding manis di halaman pertama.


“Sania, bisakah kamu keukeuh seperti saat menolakku berkali-kali?”


Sania menggeleng, “Mungkin kita tak berjodoh, Mas.”


Fadli lelah. Mengembuskan napas kasar. Menatap langit merona. Sulit sekali menata hati. Sungguh, lelaki tiga puluh tahun itu belum siap patah hati.


“Jika kita berjodoh?” Fadli menerka.


“Tak akan sesulit ini menyatukannya,” Sania tersenyum, melepaskan ratusan undangan di tangan Fadli. Berpamitan dan meninggalkan sepi di hati lelaki berkaca mata minus itu.

Saturday, July 8, 2017

Cerpen Di Antara Kita

Cerpen Di Antara Kita


Gadis bermata bulat itu menggeleng cepat. Membuat sedikit gerakan di kedua bahunya. Jilbab berwarna cerah yang menjulur hingga pinggang, melambai seiring terpaan angin di musim panas.

“Jadi?” Pemuda berwajah indo di hadapannya mengerutkan kening. Mencari kepastian dalam tatapan gadis berlesung pipit.


“Saya memang tak ada hubungan apa-apa dengan Fahrizal. Tapi bukan berarti saya menerima permintaanmu barusan.”


Pemuda berkalung kamera itu cukup tahu diri. Memilih diam dan membalas dengan senyum tanpa perlu banyak melontar tanya. Meski sebenarnya hati merajuk ingin tahu alasan kenapa gadis paling pintar di kampus menolak cintanya. Banyak kemungkinan bermain dalam kepala. Bisa saja karena perkenalan mereka yang belum lama. Seolah lancang sebab secara terang-terangan dia mengaku suka. Atau bisa saja gadis penyuka warna pastel itu menolak karena tak mau kuliahnya terganggu oleh urusan sepele bernama asmara. Banyak sekali kemungkinan yang terjadi, namun dia tak ingin memastikan.


“Maafkan jika saya bersikap lancang.”


Gadis itu mengangkat bahu lantas tersenyum. Bukan masalah besar. Meski sedikit membuat hatinya terkaget-kaget atas pemberian setangkai mawar serta ucapan cinta. Beberapa menit sebelum dia menjawab, debar tak biasa muncul bagai gemuruh hujan di siang bolong. Buru-buru dia beristigfar. Jatuh cinta memang fitrah. Tapi, mencintai seseorang di waktu yang salah hanya akan merusak kejernihan hati dan pikiran. Memberi kesempatan setan bermain di dalamnya.


“Saya pamit,” tanpa menunggu pemuda berhidung mancung itu mengiyakan, gadis dengan gemuruh hujan yang belum usai beranjak menjauh.

 

***

 

Adhara menyematkan jarum di atas lipatan pashmina. Mematut penampilan di depan cermin sebelum akhirnya beranjak meninggalkan kamar dengan menjinjing tas merah marunnya. Buku-buku setebal dua hingga tiga ratus halaman menyembul keluar. Dia harus bergegas. Jalanan Jakarta selalu padat meski dia berusaha berangkat tiga puluh menit lebih awal.


Mengambil setangkup roti bakar. Menyapa mama dan papa yang telah lebih dulu duduk di meja makan. Basa basi dan berpamitan.


Adhara merasa hidupnya nyaris sempurna. Bisa menatap wajah kedua orang tua adalah karunia luar biasa yang mungkin tak mampu disadari oleh kebanyakan orang. Adhara bukan hanya harus bersyukur bisa menikmati kebersamaan manis bersama mama, namun juga menjadi saksi betapa gigihnya papa berjuang menafkahi keluarga.


Sayangnya, Adhara masih jomblo. Ups! Bukan merutuki nasib, tapi dia sendiri yang menginginkannya. Adhara menuliskan prinsip sekuat baja, memajangnya di dinding kamar. Kalimat penuh antusias yang membuat mama dan papa kerap merasa geli setiap kali membaca. ‘Lulus kuliah dengan predikat cum laude, menyelesaikan hafalan Alquran, jomblo mulia, menikah bahagia’. Nyaris membuat cekikikan hampir setiap hari.


Gadis itu tak ambil peduli. Bukan masalah ditertawakan asal mimpinya terus melesat memenuhi luasnya langit. Sebenarnya, bukan hanya orang tua yang geli dengan tulisan tangan yang dibuatnya. Dia sendiri kerap tertawa sendiri ketika tanpa sadar menatap deretan kalimat yang ditulisnya dua tahun silam.


“Kenapa Adhara tak menuliskan keinginan setelah kuliah? Punya nilai bagus tapi tak ingin bekerja? Misalnya menjadi pegawai kantoran seperti papa?”


Adhara mengangkat jari telunjuk. Menggoyangkan ke kanan dan kiri, “Berpendidikan tinggi nggak harus bekerja. Ibu rumah tangga juga harus pintar supaya bisa mencerdaskan anak-anaknya.”


Entah jawaban dari mana, papa dan mama hanya dibuat geleng kepala setiap kali mendengarnya. Mama adalah working mom yang memutuskan berhenti setelah mengetahui dirinya hamil. Memilih resign dan menjadi full time mom bukanlah hal mudah. Awalnya mama merasa kebosanan melanda. Hanya diam dan membereskan rumah bukanlah hal menyenangkan. Jauh dari teman dan sulit bercengkerama bersama sahabat. Mama sempat enggan dan ingin kembali bekerja meski perutnya sudah membuncit. Namun, keputusan pertama yang diaminkan oleh papa membuatnya urung.


Setiap orang dalam kondisi berbeda, tidak semua orang bisa menjadi ibu rumah tangga. Hanya diam dan berpangku tangan. Kadang, seorang perempuan benar-benar harus bekerja sebab keadaan memaksa. Belum lagi tuntutan ekonomi yang semakin mencekik. Mau tak mau, banyak ibu-ibu yang harus meninggalkan anak di rumah, bekerja dari pagi hingga sore demi memenuhi kebutuhan atau sekadar meringankan beban suami.


Mama merasa beruntung. Bukan hanya karena Adhara yang muncul lebih cepat dari perkiraan, namun juga ekonomi keluarga yang bisa dibilang lumayan. Sejak Adhara lahir, mama tak sedikit pun menyesal telah memutuskan menjadi ibu rumah tangga. Seperti yang sering Adhara dengungkan, jadi ibu rumah tangga juga harus berpendidikan. Sebab dari sanalah akan lahir generasi cemerlang yang akan membanggakan.


Adhara berlari dengan sepatu kets menepuk rumput basah di halaman fakultas ekonomi.  Dari kejauhan, seorang gadis sebaya dengan jilbab lebar melambaikan tangan. Antusias mereka saling meremas pipi. Hingga keduanya terpekik kesakitan.


“Sakit!” Teriak Adhara disusul gemuruh gelak tawa dari sahabat karibnya, Ririn.


Mereka terlihat akrab. Sahabat sejak SMP dan berlanjut hingga masuk perguruan tinggi. Ririn bukan hanya pandai namun juga selalu jadi nomor satu di kampus. Wajah kemerahan dengan tubuh mungil yang selalu antusias setiap kali memasuki toko buku. Berbeda dengan Adhara, Ririn justru terlihat jarang memegang buku-buku serius seperti yang sering Adhara bawa. Novel Harry Potter dengan kaca mata bulat itulah yang sering membuat Ririn berlama-lama diam tanpa memedulikan sapaan orang di sekitarnya. Termasuk ketika berkali-kali Adhara memanggil.


Adhara juga kerap kesal dibuatnya. Bukan hanya karena selalu bersikap cuek, tapi juga kecerdasan Ririn yang di atas rata-rata. Jarang terlihat belajar, namun punya otak encer.


“Rahasianya apa sih, Rin?”


Ririn hanya mengangkat bahu lantas melanjutkan imajinasi mengarungi dunia sihir. Memang apa istimewanya dia? Bukankah dia tak berbeda jauh dengan Adhara atau teman kampus lainnya? Dia juga menghabiskan banyak buku dengan tema serius dan nyeleneh setiap kali masuk kamar. Hanya saja, tak bisa dielakkan lagi, ketika memegang novel karangan J.K. Rowling, dia sulit sekali berpaling.


“Helmi menatap kita terus, emang kita punya hutang sama dia? Atau jangan-jangan dia lagi naksir salah satu dari kita?” Adhara mencubit pipi Ririn hingga merah. Tanpa sadar, ucapannya barusan memancing riak pada telaga yang sebelumnya telah susah payah ditenangkan.

 


***

 

Amel berseru mendapati kedua sahabat karibnya tengah asyik membahas sesuatu yang entah apa itu. Kedua tangannya merengkuh kedua gadis yang terlonjak kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba.


“Salam dulu, Mel.”


Amel tertawa lantas mengucap salam sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada, bergaya sok feminin, menyibak jilbab segiempat yang menjulur.


“Ngobrolin apa, sih? Serius amat?” Amel segera bergabung, duduk di antara kedua sahabat yang sejak tadi telah tiba lebih awal.


Mengenal Amel serupa mengenal hening. Gelap tanpa cahaya berpendar. Lahir dari Rahim perempuan penuh kasih rupanya tak membuat Amel mengerti betapa penuh warnanya kehidupan. Sosok lelaki yang sering dibanggakan oleh kedua sahabatnya rupanya tak juga muncul dalam kehidupannya.


Berkali-kali Amel menanyakan siapa ayahnya, berkali-kali pula ibu menutupinya rapat. Bahkan hingga dirinya beranjak dewasa, rahasia itu masih terselimuti gelap. Sebesar itukah rasa benci ibu kepada lelaki yang telah menitipkan janin dalam rahimnya? Amel berusaha memahami luka masa lalu wanita yang telah berjuang sendirian membesarkannya, namun, dalam keadaan tertentu, Amel ingin sekali tahu_meski tak berjumpa_siapa lelaki itu.


“Kita lagi gosipin kamu, Mel.” Sahut salah satu dari mereka.


“Ada apa sama Amel yang dermawan, cantik dan rupawan ini?”


“Ada deh,” kedua sahabatnya kompak menjawab. Membuat kerutan dan manyun di wajah Amel semakin lekat.


***


“Aku nggak bisa. Maaf, ya.”


Helmi membalas dengan senyum hambar. Jatuh cinta memang selalu indah. Tapi, ditolak mentah-mentah membuat dirinya sulit sekali berharap.


Gadis itu nyaris sempurna dengan alis tebal yang hampir bersinggungan. Kedua mata jernih dengan bulu mata yang lentik. Berkali-kali Helmi berdecak kagum tak bisa mengelak jika gadis itulah mimpi-mimpi selanjutnya yang bermekaran dalam tidur.


Hari ini, dia memutuskan menyatakan cinta. Siap kalah tapi lebih yakin cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Apa yang salah dengannya? Berperawakan tegap dengan lekukan wajah yang nyaris sempurna. Hampir semua orang suka dengan wajah gantengnya. Mirip Aliando, kata sahabat dekatnya. Yang jelas, dia tak serupa dengan Aliando yang sedang menyeringai dan mengeluarkan taring.


Tapi, gadis yang selalu terlihat penuh semangat itu menolaknya mentah-mentah tanpa merasa perlu memikirkan dua atau tiga hari. Seburuk itukah nasibnya hingga tak juga mampu menaklukkan hati seorang gadis?


***


Amel tertawa mendengar cerita dari kedua sahabatnya. Bukan hanya karena lucu namun juga sedikit mengagetkan. Awalnya Ririn bercerita tentang setangkai mawar dan ucapan cinta yang disampaikan oleh Helmi, teman satu kampus. Lantas dengan mata terbeliak, Adhara menceritakan hal serupa. Menolak dengan cepat cinta Helmi beberapa hari lalu. Amel yang mendapat giliran terakhir merasa perlu menarik napas dalam.


“Helmi juga nembak aku,” jawabnya dengan nada penuh iba yang dibuat-buat.


“Serius?!”  Ucap kedua sahabatnya hampir bersamaan.


Ketiganya tertawa lantas menatap Helmi yang sedang duduk di kursi tepat di belakang mereka. Begitu mudahnya lelaki itu mengumbar cinta. Hanya butuh tujuh hari untuk jatuh cinta pada tiga gadis sekaligus? Apakah itu bisa dikatakan wajar? Ririn bergidik dan menyesali sedikit getar dalam hatinya.


Ketiganya tertawa lantas memanggil nama pemuda berkalung DSLR itu bersamaan.


Helmi segera beranjak meninggalkan ketiga gadis berjilbab yang sedang tertawa menahan geli saat melihat wajah pemuda indo itu semerah kepiting rebus.


***


Bagaimanapun, selalu saja ada hal yang patut disyukuri. Amel, Ririn serta Adhara memiliki latar belakang keluarga dan kehidupan yang berbeda. Meski nyaris sempurna, namun Adhara juga tak memungkiri kadang kedua matanya sembab. Begitu juga dengan kedua sahabatnya yang lain.


Keinginan bertemu sang ayah memang semakin menguap. Kecewa dan sedih bertubi menyayat hati. Tapi, Amel masih merasa beruntung memiliki ibu yang tak pernah mengeluh meski dalam keterbatasan. Dan itulah yang selalu menjadi motivasi terbesarnya untuk sukses meraih mimpi.


Ririn, gadis nomor satu di kampus. Selain berparas ayu, dia pun punya kecerdasarn melebihi rata-rata teman sebayanya. Tapi, bukan berarti semua keistimewaan itu terjadi tanpa cela menyertai. Punya orang tua yang bercerai, kadang membuat luka menganga di hati. Mengharapkan kedua orang tuanya menyatu serupa mengharap langit runtuh. Memiliki keluarga tak utuh, membuatnya berlari menamatkan ratusan halaman buku.


Semua orang punya masalahnya sendiri. Mereka berjuang dengan caranya sendiri. Dan mereka bahagia dengan caranya sendiri. Namun, satu hal yang membuat mereka tak jauh berbeda, menerima semua cerita kelam dan gelap sebagai sebuah suratan yang harus dijalani. Mungkin itulah cara Tuhan menguatkan hati setiap hamba-Nya. Dan mereka percaya, selalu saja ada bahagia yang menyertai.

 

Wednesday, July 5, 2017

Pengalaman Terbaik Bersama Jakarta Eye Center

Pengalaman Terbaik Bersama Jakarta Eye Center
Foto: JEC


Sebelumnya nggak pernah mendengar apalagi kenal dokter-dokter di rumah sakit mata Jakarta Eye Center atau JEC. Meski ternyata rumah sakit dengan fasilitas yang sudah bertaraf internasional ini memang cukup banyak didengungkan baik di beberapa komunitas atau pun media. Salah satunya ketika seorang penyidik KPK, Novel Baswedan mengalami musibah penyiraman air keras oleh pihak yang nggak bertanggung jawab.


Beliau sempat ditangani di JEC sebelum akhirnya dipindahkan ke Singapura. Beberapa artis papan atas seperti Rhoma Irama pun sempat melakukan operasi mata di JEC. Tapi, meski banyak yang menyebut JEC adalah salah satu rumah sakit terbaik dan pernah mendapatkan penghargaan dari MURI, saya nggak pernah tahu hingga suatu hari, musibah menyesakkan itu datang tanpa mau menunggu.

Musibah Menimpa Si Bungsu


Adik bermain pasir bersama kakak di salah satu ruangan terbuka di rumah. Biasanya saya nggak mengizinkan mereka bermain hingga menyentuh pasir. Bahkan taman di dalam rumah itu sengaja kami beri pagar pembatas supaya anak-anak tidak sampai bermain di sana. Sayangnya, adik yang sebelumnya memang sudah sakit mata karena tertular ayahnya, saya izinkan dengan enteng dan mudahnya bermain  bersama kakaknya di sana. Alasannya karena ada ayah yang menemani.

Tapi, sekali lagi musibah itu nggak pernah mau menunggu apalagi mengucap permisi. Nggak lama suara tawa berubah lengkingan tangis yang nggak bisa berhenti. Ayah segera membopong adik ke kamar mandi. Mencuci mata dan kepala yang sudah dipenuhi pasir. Nggak nyangka kejadian itu sungguh jadi mimpi buruk buat saya dan keluarga.

Adik belum juga berhenti menangis. Setiap kelopak matanya yang bengkak karena sebelumnya sakit mata bergerak sedikit saja, spontan suara tangisnya keras terdengar. Saya pikir itu hanya seperti kemasukan debu karena mata memiliki bulu mata yang bisa melindungi. Jadi nggak kebayang kalau sampai masuk ke dalam dan membuat dia susah melihat. Hari itu, kamis, tanggal merah. Sore hari yang menyayat dan begitu lekat dipenuhi kesedihan. Nggak ada dokter spesialis yang praktik di rumah sakit. Suami enggan membawa ke UGD. Menurut paksu, pasirnya pasti bisa keluar sendiri ketika dia bekedip-kedip.

Tapi, sampai beberapa jam, dia masih saja terpejam dan sesekali menangis kesakitan. Saya melihat dia makan dengan meraba gelas berisi es buah yang saya siapkan untuk berbuka puasa. Ngilu dan perih menatap anak sendiri tiba-tiba nggak bisa melihat. Bayangan-bayangan buruk berkelebat. Sejak saat itu, sayalah orang yang paling banyak menangis meski adik sama sekali nggak banyak merepotkan. Seperti namanya, Dhigdaya, kami harapkan dia jadi anak kuat seperti nama yang kami berikan.

Malam berlalu tanpa perubahan berarti. Setiap saya menyeka matanya dengan tisu, butiran pasir halus ikut menempel. Saya yakin itu sangat menyakitkan meski adik jarang sekali menangis. Mata kemasukan debu saja perihnya bukan main, kali ini pasir yang meski terlihat lembut tapi kenyataannya memiliki bentuk kasar dan bisa menggores lapisan halus di mata.

Ikhtiar Ke Rumah Sakit Terdekat


Pagi-pagi saya melarikan adik ke UGD rumah sakit terdekat. Tenaga medis di UGD langsung merujuknya ke spesialis mata yang artinya saya harus menunggu lebih lama karena waktu praktik masih 3 jam lagi. Saya menangis di ruang tunggu. Adik hanya menyusu dan sesekali menangis lalu tertidur. Kelopak matanya semakin bengkak dan membiru. Itu hal paling menyakitkan. Semakin melihat, semakin rasa bersalah menikam tanpa ampun. Ini pelajaran berharga buat saya. Nggak seharusnya mengizinkan anak-anak bermain tanpa pengawasan orang tua. Belum lagi si sulung yang sama sekali belum paham bahayanya melempar pasir. Dan itu sama sekali luput dari pikiran saya saat itu.

Dokter spesialis mata sempat mengerutkan kening. Kayaknya nggak percaya dengan apa yang terjadi dan menimpa anak saya. 3 sampai 4 dokter muda serta beberapa suster ikutan heboh memegang adik yang mulai menjerit kesakitan saat matanya dibuka dan dibersihkan. Saya hanya diam dan duduk, tak berani mendekat apalagi melihat. Selesai drama menakutkan itu, adik diam dan tertidur di pangkuan saya. Tapi, kenyataannya, adik belum juga bisa membuka mata meski dokter sudah mengatakan telah membersihkan banyak pasir di matanya. Itu artinya  masih tersisa pasir, begitu menurut dokter.

Keesokannya saya kembali membawa adik ke dokter yang sama. Meski dengan perasaan yang mustahil tenang. Saya sendiri merinding dan enggan kembali ke dokter tapi adik belum juga bisa melihat. Pikiran-pikiran buruk melesat begitu cepat di dalam kepala. Saya nggak bisa membiarkan adik dalam kondisi seburuk ini terlalu lama. Jadi, saya putuskan kembali. Adegan menyebalkan itu terulang. Luar biasa. Saya merasa jadi orang tua paling jahat sedunia sebab telah menyakiti putra sendiri. Serasa disayat sembilu, tanpa ampun saya terus saja menyesali kejadian kemarin yang kini begitu sulit dimaafkan.

Dua hari menjelang, adik belum juga mampu membuka mata. Apakah itu tandanya masih ada pasir di mata adik? Bukankah sampai dua kali dibersihkan? Kondisi kelopak matanya sempurna bengkak dan lebam seperti habis dihantam kepalan tangan. Nggak tega, hampir setiap melihatnya, saya pun menangis tanpa bisa ditahan.

Lima hari berikutnya saya menelepon dan mendaftarkan nama adik di rumah sakit yang sama. Sayangnya, dokter spesialis mata yang menangani hanya praktik sore hari. Menunggu dan melihat adik yang hanya diam dan lebih banyak tidur membuat saya berpikir keras. Akhirnya saya browsing dan menemukan sebuah komunitas perempuan yang sedang membahas dokter mata terbaik di Jakarta. Kebanyakan dari mereka menyebut JEC. Belum paham dan mengerti tapi saya segera mengetik nama yang sama di Google. Dan muncullah Jakarta Eye Center. Tanpa berpikir panjang, saya pun menelepon ke JEC Menteng.

Alhamdulillah, pagi itu saya bisa terdaftar meski belum punya kartu berobat. Dokter yang saya pilih saat itu adalah dokter spesialis mata dewasa, dokter Ginting. Pihak JEC sebelumnya telah mengatakan bahwa sebenarnya di sana menyediakan klinik mata khusus anak yang artinya ada dokter spesialis yang menangani mata anak. Tapi, kondisi darurat seperti ini sudah seharusnya saya bergerak cepat. Jika memang diperlukan, nanti pasti akan dirujuk ke sana. Akhirnya saya tetap datang pagi itu, dengan perasaan cemas mulai berkurang.

Pertama kali tiba di Jakarta Eye Center, seorang perempuan cantik berseragam rapi membantu proses pendaftaran. Prosesnya nggak lama meski rumah sakit itu lumayan penuh. Adik yang sepertinya sudah trauma dan merasakan keberadaannya di mana, menangis dan memanggil ayahnya. Ruang tunggu pasien jadi nggak nyaman karena adik menolak duduk dan sulit sekali ditenangkan. Nggak lama kemudian, kami masuk ke ruang dokter.

Pelayanan Terbaik


Pelayanan yang ramah dan sangat ramah dengan dokter Ginting yang sangat menghargai dan berkali-kali meminta maaf saat akan memeriksa adik. Pertama beliau mengatakan ingin memastikan kornea matanya baik-baik saja. Sebuah alat mirip kawat dipakai untuk tetap menyangga mata supaya terbuka. Mirip seperti alat yang dipakai untuk membuka mulut saat melakukan perawatan gigi. Saya sendiri nggak berani melihat saat itu.

Tapi, keadaan jauh lebih tenang. Dokter Ginting bahkan membiarkan adik tetap dalam pangkuan saya. Beliau malah amat ‘melayani’ sebagai seorang dokter. Nggak lupa membersihkan tangan sebelum memeriksa. Proses yang nggak saya temukan di rumah sakit sebelumnya.

Mata adik semerah api. Pasir masih sedikit tersisa tapi hal utama yang membuatnya enggan membuka mata adalah kondisi matanya yang penuh goresan dan radang. Beliau mengatakan itu sangat menyakitkan. Karena merasa tidak seharusnya menangani pasien anak, akhirnya dokter Ginting merujuk kami ke dokter spesialis mata anak.

Alhamdulillah, kornea masih baik dan artinya adik insya Allah bisa melihat lagi jika keadaannya membaik. Lega? Tentu saja. Dan mungkin sikap dokter seperti ini sangat membantu, serta komunikasi yang baik membuat saya merasa jauh lebih tenang.

Sempat Panas


Dua hari setelahnya adik memang sudah membaik, tidur lebih anteng, suhu badannya normal kembali setelah sebelumnya sempat panas dan membuat saya lemas seolah roh lepas dari badan. Terbayang sakitnya adek sampai badannya panas, itu berarti sedang ada radang atau infkesi. Semalaman saat adik suhunya naik, saya nggak bisa tenang.

Hari ke-8 saya kembali ke JEC menemui dokter spesialis mata anak. Dokter Florence yang profilnya sudah saya baca sebelumnya di web resmi JEC. Beliau menangani bahkan bayi-bayi prematur. Pas masuk ruangan, nggak kebayang sebelumnya kalau dokter Florence ternyata cantik dan ramah banget. Menjelaskan detail dan nggak pelit. Beliau bahkan menenangkan dan berkali-kali bilang bahwa darah yang keluar saat membersihkan mata adik bukan masalah. Nanti akan berhenti sendiri. Beliau juga memberikan beberapa video dengan kasus yang sama. Mata adik dipenuhi goresan kecil. Yang jadi masalah selain rasa sakit adalah benteng berupa lendir yang menutupi seluruh permukaan mata sehingga membuat dia susah sekali membuka kelopak matanya.

Dokter Florence harus mengambilnya. Adik hanya dipangku ayah dan saya hanya memegang kedua kaki. Nggak pakai acara keroyokan segala, kok. Perawat hanya ada satu di setiap ruang dokter. Tidak ramai-ramai seperti rumah sakit sebelumnya. Peralatan super canggih dan lengkap sekali. Jadi, pasien nggak perlu dirujuk ke tempat lain sebab JEC sudah menyiapkan semuanya.

Dokter Florence menyebutkan jika benteng berupa lendir itu dibuat oleh kuman karena selama beberapa hari ini, obat tetes mata nggak masuk dengan benar. Antibiotik minum nggak diperlukan. Hanya disarankan makan-makanan bergizi dan buah yang mengandung vitamin C supaya goresan di matanya lekas menutup. Jika perlu boleh dengan minum vitamin C.

Obat Mata Khusus Anak Beda dengan Obat untuk Dewasa


Di sana saya juga diajarkan bagaimana meneteskan obat mata yang benar. Selain itu beliau juga menjelaskan obat apa yang sebaiknya digunakan oleh anak-anak. Tidak seperti orang dewasa yang mau diberi obat apa saja seperti salep atau yang lain. Berbeda dengan anak-anak. Mereka cenderung nggak cocok dengan obat mata jenis salep karena lengket dan membuat pandangan buram. Obat tetes mata dalam kemasan botol juga nggak disarankan karena cenderung perih di mata. Sebab mengandung pengawet yang jumlahnya mungkin jauh lebih besar ketimbang obat tetes mata yang kemasan kecil dan harus dibuang dalam waktu 3 hari setelah dibuka.

Jadi, obat-obat kemasan berupa tabung kecil itulah yang cocok buat anak-anak sebab tidak terlalu perih di mata. Caranya pun harus pintar-pintar. Nggak sembarangan masuk, nangis, akhirnya obatnya terbuang.

Setelah lendir di mata dibersihkan, itulah saat yang tepat buat mengobati supaya kuman-kuman (Sebelumnya adik memang sudah sakit mata) bisa mati. Asal diobati dengan benar, insya Allah nggak perlu waktu lama buat sembuh.

Caranya? Teteskan obat pada sudut mata anak, lalu Tarik kelopak bagian bawah. Sebentar aja nggak perlu heboh-heboh sampai dipegangin. Alhamdulillah, cara seperti ini berhasil dan lebih mudah diterapkan ketimbang memegangi adik sampai nangis tapi akhirnya obatnya keluar sia-sia.

Dokter Florence begitu cekatan saat menangani adik. Dia berkali-kali bicara banyak hal dan menjelaskan tanpa henti. Selain itu, beliau juga memberikan kartu nama dan nomor handphone. Bisa dihubungi sewaktu-waktu jika dibutuhkan. Saya kira, dialah dokter terbaik yang pernah saya temui selama ini. Nggak banyak dokter yang bisa senyaman itu bercanda, bicara dan mengedukasi. Nggak banyak. Langka banget.

Biaya Berobat di JEC


Alhamdulillah, proses itu berjalan baik. Saya mengambil obat di apotek. Mengurus administrasi dengan mudah di lantai dasar. Soal biaya? Memang di JEC biayanya jauh lebih mahal ketimbang rumah sakit lain. Saya sendiri kurang tahu sebab saya memakai asuransi dari kantor. Tapi, sejauh pengetahuan saat saya browsing, biaya konsultasi dokter saja mencapai 500 ribu ke atas. Belum tindakan dan obat-obatan. Tapi, harga yang mahal diimbangi oleh kualitas pelayan yang amat bagus, membuat saya nggak pernah menyesal telah berkunjung ke sana. Masalahnya, mata termasuk indra penting bagi manusia. Rasanya kejadian itu melucuti semua harapan saya. Alhamdulillah, qadarallah Allah mudahkan semua proses penyembuhan adik meski harus melalui banyak hal menyakitkan.

Keesokan harinya, pagi-pagi adik pelan mulai membuka mata. Begitu girangnya saya sampai menangis menatap kedua matanya yang masih menyisakan sembab, bengkak dan sedikit kebiruan. Nggak percaya, bersyukur dan senang melihat adik akhirnya kembali membuka mata dan melihat wajah saya. Masya Allah, Nak. Sesuai namamu, Dhigdaya, sekuat nama yang telah ayah berikan. Allah kuatkan dan Allah lindungi kamu, insya Allah.

Tapi, semua kejadian itu membekas trauma mendalam di hati adik. Saat kembali kontrol, dia bahkan menarik napas panjang ketika berada di ruang dokter dan mulai diperiksa kembali. Alhamdulillah, semua goresan di mata sudah bersih, warna bercak putih-putih yang sebelumnya ada sudah hilang. Tinggal pemulihan saja.

Beberapa hari setelahnya, kedua matanya sudah membaik dan kembali seperti sedia kala. Saya sebagai ibu merasa amat bersalah dan selalu menangis setiap melihat wajah adik. Belum lagi sikap adik yang seolah enggan merepotkan, nggak suka digendong-gendong padahal matanya belum bisa melihat saat itu, sakit yang dideritanya dia terima sendiri.

Alhamdulillah, pengalaman terbaik yang saya rasakan ketika berobat ke Jakarta Eye Center. Ayah yang waktu itu ikut periksa mata sebab sembab di matanya nggak hilang-hilang, ikutan happy. Biasanya ayah jarang banget memuji dokter. Kebanyakan protes karena beberapa dokter sebelumnya nggak suka ditanya, cenderung marah-marah dan nggak ramah. Paling nggak enak, nggak ramahnya ini. Hihi. Sedangkan saat ke JEC, dokternya super ramah, nggak pelit saat ditanya, bahkan saya yang sebelumnya sempat membawa catatan pertanyaan jadi urung bicara karena dokter Florence sudah menjabarkan semua.

Alhamdulillah, semoga kejadian seperti ini nggak akan terulang lagi di lain waktu. Insya Allah anak-anak dan kami bisa sehat, menikmati kebersamaan dan ingat selalu bahwa anak-anak selalu butuh kita sebagai teman bermain dan berbagi.

Salam hangat,

 

Monday, July 3, 2017

Pengantin Baru

Pengantin Baru


Dan di antara derai tawa yang menyelinap manis di kedua bibir merahmu, terselip cerita semerbak tentang kita.

Banyak impian menguap ketika Ridho akhirnya tinggal serumah dengan wanita cerewet bernama Riani. Wanita dengan jilbab lebar berwarna cerah itu selalu saja banyak bicara. Terlebih ketika Ridho menolak keinginannya. Kalau bisa, ingin rasanya dia sumpal kedua telinga. Supaya gendangnya tak sering bergetar sebab terlalu banyak diprotes oleh istrinya itu. Tak banyak yang bisa dia lakukan kecuali diam dan mengangguk.


Maka, belakangan Ridho mulai suka memakai headphone. Bukan karena ingin berdendang dengan band favoritnya, namun lebih pada keinginan menghindari suara cempreng wanita bertubuh mungil itu.

Riani mulai risih sebab Ridho jarang menyahut saat diajak bicara. Kecuali pada panggilan ketiga, empat dan lima. Lelaki dengan senyum hangat itu mengangkat wajahnya demi mencari perempuan yang tengah melotot di hadapannya. Ridho bergidik. Sejak kapan dia menikah dengan nenek sihir ini?

Dulu, Ridho tak butuh banyak alasan untuk menyukai Riani. Selain sifat santunnya yang sering didengungkan oleh banyak orang. Wanita dua puluh lima tahun itu pun punya senyum manis yang amat memikat. Ridho mulai suka pada pandangan pertama. Selanjutnya, dia pun jatuh hati pada pandangan kedua tepat setelah mengucap ijab kabul di depan ayah Riani.

Sayangnya, harapan memiliki rumah tangga penuh binar dengan kelopak mawar bermekaran hilang pada pandangan ketiga. Tepat setelah resepsi usai. Ridho tersentak menemukan wanita berparas ayu itu tersedu di ujung tempat tidur. Dengan hati-hati Ridho mendekat. Menatap kedua mata istrinya yang mengambang. Air mata menganak sungai.

“Riani, kenapa menangis? Bukankah ini hari bahagia buat kita?” sapaan hangat penuh empati. Sambil mendekati, Ridho meraih pergelangan tangan istrinya yang dipenuhi hiasan tangan indah.

Respon berlebih yang mengejutkan. Riani terbeliak dan menatap sinis Ridho.

“Jika bukan karena pinangan Abang, Riani tak akan sesakit ini!”

Ridho memicingkan mata. Melepas begitu saja genggaman tangan penuh cinta. Ada apa ini? Bukankah pernikahan ini luar biasa indah? Direstui oleh kedua orang tua dengan taaruf yang berjalan mulus tanpa rintangan berarti? Ridho merasa sebagian jantungnya berhenti berdetak. Aliran darah membeku. Tubuhnya tiba-tiba terasa panas.

“Ada apa sebenarnya, Ri?”

Riani bergeming. Melengos. Tak lama justru beranjak meninggalkan Ridho yang sedang berlutut di hadapannya penuh tanda tanya. Semakin Ridho melihat wanita yang tengah bergelung selimut, semakin pula hatinya dihantam rasa sakit.

“Riani,” suara lelaki itu mulai akrab di telinga.

“Riani,” untuk kedua kali dengan tarikan selimut.

“Riani,” kali ketiga masih dengan nada sama. Terdengar sabar tanpa sedikit pun emosi menyelinap.

Tapi jawaban yang diterima lelaki berhidung bangir itu selalu di luar dugaan.

“Berhenti! Riani tak mau bicara dengan Abang!”

Lebih mirip sebuah lengkingan ketimbang jawaban manis seorang istri kepada suaminya. Detik itu juga, Ridho beringsut meninggalkan wanita terkasihnya. Memilih tidur bersama hawa dingin di sofa. Dan Riani, hanya sesekali melirik tanpa sepengetahuan Ridho. Menahan manik-manik yang berjejalan di sudut mata. Ada rasa bersalah, tapi lelaki itu harus diberi pelajaran. Sungguh, pernikahan bukanlah sekadar ucapan serah terima serupa akad jual beli. Ada tanggung jawab dan janji suci yang harus diemban setelahnya. Dan wanita dengan riasan wajah yang masih tersisa, merasa telah dikhianati oleh lelaki yang kini resmi mempersunting dirinya.

Harapan-harapan yang kemarin melambung seputih kapas, kini menguap begitu saja. Lelaki yang tengah meringkuk kedinginan di sofa berwarna cokelat muda, menahan getir dan sembilu yang tiba-tiba saja menyayat. Tanpa merasa perlu bertanya lebih banyak, Ridho menebak-nebak alasan Riani memarahinya. Lelah seharian usai resepsi meluruhkan semua beban pikiran. Tak perlu waktu lama, kamar pengantin itu pun berubah senyap. Ridho tertidur pulas menyisakan tatapan sayu dari seorang wanita yang kini tengah menatap lekat wajahnya.

***


Pernikahan sejatinya dipenuhi binar. Tapi Ridho belum menemukan alasan untuk bahagia bersama istrinya. Satu minggu tinggal satu atap di dalam rumah mungil dengan cat biru muda, belum juga Ridho dapati istrinya menyuguhkan teh. Sarapan hanya dibelinya di warung depan rumah. Ridho sedikit pun tak mengeluh atau berkomentar.

Semakin kesal saja Riani dibuatnya. Ridho justru terlihat santai meski sikap Riani jauh dari yang diharapkan. Dia kerap menemukan lelaki itu tengah menyeduh teh di dapur. Lain waktu, Riani melihat Ridho sedang membuat sarapan untuk mereka berdua. Pelan-pelan rasa bersalah menikam ulu hati. Riani masih menyimpan ngilu namun tak mampu menolak hatinya yang tiba-tiba jatuh cinta.

Sempat terpikir untuk menceritakan semua, mengenai alasan kenapa dia kerap mengacuhkan. Tapi, terngiang ucapan seorang wanita di seberang telepon tepat sebelum akad nikahnya digelar. Dan dengan cepat Riani mengurungkan niat. Biarkan sejauh mana lelaki bertubuh tegap itu bertahan.

Sebuah ketukan membuyarkan lamunan. Ridho masuk dengan sepiring nasi goreng dan telur mata sapi setengah matang. Menyuguhkan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Semakin membuat Riani meradang. Ingin bicara namun lidah kelu. Ingin berlari mengejar namun kaki beku. Ah, rasanya sulit sekali menerka hati lelaki yang telah menikahinya selama kurang lebih seminggu.

Tinggal bersama tanpa tegur sapa, hari-hari semakin menyesakkan bagi Riani. Ridho benar-benar bungkam tak mau tahu. Tapi bukankah itu yang diharapkan oleh Riani selama ini? Ketika Ridho berusaha menanyakan, dengan tatapan sinis Riani menutup pembicaraan. Bagaimana semua bisa dimulai?

Riani beringsut dari kamar. Menaruh sepiring nasi goreng yang telah dimakannya satu sendok. Membuka pintu perlahan sambil menahan derit, lantas langkahnya kebas menatap suaminya sedang duduk di sofa ruang tengah. Tak ada amarah dalam tatap matanya. Tak ditemukannya rasa benci sebab selama seminggu pertama yang sejatinya sangat berarti dilewati tanpa sapaan. Riani mematung di depan pintu ketika Ridho tanpa sengaja melihat.

Sepasang mata yang saling bertemu. Hati yang tiba-tiba bergemuruh penuh rindu. Keduanya hanya termangu sambari mengeja perasaan yang selama ini tertahan.

“Duduklah,” terdengar tulus.

Riani salah tingkah. Segera masuk kamar dan menyembunyikan deru yang menjejali hati. Malu. Pikiran dipenuhi rasa bersalah. Cinta yang tiba-tiba bermekaran tanpa bisa ditahan. Memaksanya menahan rindu namun juga rasa ngilu. Tanpa sadar, kedua sudut matanya telah basah. Hujan lebat menimbulkan isak. Riani menangis.

Ridho menyusul. Sepertinya sudah waktunya bicara.

“Ada masalah apa?” suaranya masih tanpa beban.

Kali ini Riani mengangkat kepala demi melihat kesungguhan dari lelaki yang tengah berlutut di hadapannya. Tak ditemukan cela. Lelaki dengan rambut ikal serta jenggot tipis itu semakin menyesakkan hati. Tersedu Riani dibuatnya. Ridho tersenyum sambil menggenggam jemari istrinya. Jika bukan karena ingin menjaga perasaan, sudah sejak tadi Ridho terbahak dibuatnya.

“Sebenarnya ada apa, Ri? Abang nggak tahan melihat wajah masammu setiap hari.” Lembut terdengar dan penuh kehangatan.

Manik hitam yang membulat penuh rindu, tatapan itu tertuju pada sosok lelaki yang kini sedang terduduk menunggu kalimat pertama keluar dari mulutnya.

“Maafin Riani, Bang,” disusul isak bertubi yang semakin membuat Ridho geli.

“Abang tahu, kamu sedang kesal. Jadi Abang memilih diam daripada dimarahi.”

Riani manyun. Mengusap matanya yang basah dengan punggung tangan. Bagaimana harus memulai? Bicara langsung atau basa basi? Lantas siapa wanita yang kemarin sempat meneror kebahagiaannya. Bukankah Riani tak sempat bertanya sebab rasa kesal yang tak mau menunggu.

“Maafin Riani,” mengulang kalimat yang sama.

Ridho menarik pergelangan tangan Riani. Sambil mengambil sepiring nasi goreng yang tergeletak di meja rias. Riani menurut. Lelaki itu mengajaknya duduk di meja makan. Menarik kursi ke belakang, lantas mempersilakan Riani serupa ratu. Menunduk dengan hormat dan tak pernah lepas senyum manis di kedua bibirnya. Dengan malu, Riani menurut.

Sepiring nasi goreng yang tadi sempat dimakan sedikit, kini menunggu dihabiskan. Ridho dengan cekatan menaruh secangkir teh hangat di atas meja makan.

“Kita sarapan bersama,” tanpa perlu menghilangkan senyum di wajah.

Riani membalas dengan senyum pasi. Malu dan canggung berhadapan dengan lelaki yang sama sekali tak dikenalnya namun kali ini telah membuatnya jatuh hati. Seharusnya dialah yang menyiapkan makan pagi. Bukan Ridho. Tapi, lelaki berkulit putih itu dengan senang hati melakukannya hampir setiap hari.

“Riani, setelah menikah, masalah kamu adalah masalah Abang juga.”

Terbata Riani meletakkan sendok dan garpu. Melihat lelaki itu santai mengunyah telur mata sapi buatannya sendiri. Seluas itukah hatimu, Bang?

“Jujur saja, Abang takut kalau Riani marah dan ngomel-ngomel setiap hari,” Ridho  menahan tawa.

Selama satu minggu pernikahan, Ridho kerap menemukan wanitanya marah tanpa alasan. Malam pertama yang dilewati dengan tatapan sinis, hari-hari berikutnya yang tak kalah seram. Ridho sempat bingung, bagaimana bisa dia menikahi nenek sihir? Tersenyum sendiri dibuatnya. Kalimatnya seolah hiburan demi menolak rasa marah terhadap perempuan yang dulu tak pernah terdengar bentakan kasar dari mulutnya.

“Sebenarnya, kemarin ada seorang perempuan menelepon Riani. Sebelum akad nikah, dia mengatakan banyak hal buruk tentang Abang.”

Ridho menaruh sendok. Mendengarkan seksama ketika istrinya mulai bicara. Dilihat seperti itu, Riani justru salah tingkah.

“Katanya Riani telah merusak hubungan orang. Abang batal menikahinya gara-gara Riani datang. Padahal Abang sendiri yang bilang kalau selama ini tak pernah menjalin hubungan dengan wanita lain selain Riani,” terdengar sedikit serak. Mulai meleleh air mata. Setitik jatuh tepat di atas piring yang masih menyisakan separuh nasi goreng.

“Memang benar. Abang tak pernah punya hubungan serius dengan siapa pun.”

“Lalu wanita itu siapa?!” mulai terdengar keras penuh gemuruh.

“Abang juga mau tanya, memangnya dia siapa, Ri?”

Riani tak menemukan rasa cemas berlebih ketika suaminya mendengar pernyataannya barusan. Biasa saja. Justru terkesan datar. Benarkah lelaki itu jujur saat bertanya mengenai wanita yang baru saja diceritakannya?

“Mustahil kita bisa membina rumah tangga jika saling curiga. Harusnya Riani menanyakan dulu pada Abang.”

Tergugu, Riani menemukan suaminya sedang menatapnya lekat.

“Riani tahu? Abang sudah jatuh cinta berkali-kali sejak kita menikah.”

Riani terbeliak. Hatinya melonjak kaget. Benar apa yang dia curigai selama ini. Jatuh cinta pada banyak wanita bahkan ketika mereka telah menikah.

“Jatuh cinta sama kamu, kamu dan kamu, Ri.”


DEG!