Wednesday, February 27, 2019
Cara Mengirimkan Naskah ke Penerbit Mayor
Kemarin, saya sempat mengadakan sharing di wag Estrilook Community tentang buku terbaru saya yang terbit di Quanta. Salah satu pertanyaan yang menarik adalah Bagaimana cara menerbitkan buku di penerbit mayor?
Dua tahun yang lalu, pertanyaan itu pun mampir di benak saya. Bagaimana cara mengirimkan naskah ke penerbit mayor? Apa saja yang harus dikirim? Apakah cukup naskah dan perkenalan atau ada hal lain yang perlu dikirimkan juga?
Kadang mencari di Google pun jawabannya nggak maksimal, sebab tidak banyak yang membahas soal ini. Pada dasarnya, sebelum kamu mengirimkan naskah ke penerbit mayor, kamu harus tahu dulu karakter penerbit tersebut. Jangan sampai kamu salah mengirimkan naskah pada penerbit. Satu contoh mudah misalnya, kamu mengirimkan naskah islami pada penerbit yang nggak pernah menerbitkan naskah islami. Bukan karena mereka anti Islam…haha, tapi memang kamu sendiri yang tidak mempelajarinya sehingga kamu pun siap bunuh diri di sana alias ditolak mentah-mentah.
Biasanya, ada penerbit yang memang khusus menerbitkan naskah islami, ada juga khusus menerbitkan naskah anak-anak, ada juga yang memilih fokus menerbitkan buku-buku seputar pendidikan saja. Nah, ini harus benar-benar kamu pelajari. Naskah ditolak kadang nggak berarti naskah kamu buruk, lho. Bisa jadi karena tidak sesuai saja dengan keinginan penerbit.
Penting sebelum memutuskan mengirimkan naskah ke penerbit mayor, kamu sudah membaca beberapa buku yang diterbitkan oleh mereka. Kamu bisa membeli atau melihat-lihat di toko buku. Supaya apa? Supaya naskah kamu tepat sasaran aja…hehe.
Setelah itu, kamu bisa mencari email penerbit dari teman-teman lain sesama penulis yang pernah menerbitkan naskahnya di sana, kamu juga bisa menghubungi penerbit langsung untuk menanyakan email. Banyak jalan menuju Roma. Katanya, Orang sukses mencari jalan, orang gagal mencari alasan!
Nah, kamu termasuk orang sukses, akan sukses, atau malah sebaliknya? Hmm, daripada kamu galau, mending perhatikan apa saja yang perlu dipersiapkan ketika hendak mengirimkan naskah ke penerbit mayor.
Siapkan outline lengkap
Sebelum mengirimkan naskah utuh, kamu juga perlu membuat outline. Apa sih outline itu dan isinya apa saja? Outline merupakan kerangka atau garis besar dari naskah yang kamu buat. Outline terdiri dari banyak hal, termasuk judul, alternatif judul.
Sebagian penerbit mayor juga mau menerima outline dan beberapa halaman (10-15 halaman) contoh naskah kamu, lho. Dengan cara ini, kamu nggak perlu mengerjakan naskah utuh sekaligus kemudian mengirimnya ke penerbit. Kamu cukup mengerjakan sebagian saja dan kirimkan kepada penerbit. Setelah mereka mempertimbangkannya, naskah kamu bisa diterima atau sebaliknya. Jika diterima, kamu harus segera menyelesaikannya. Lebih mudah ya?
Tapi, buat saya, untuk mengerjakan outline yang sudah lama ditulis butuh energi baru. Udah nggak fresh aja gitu. Apalagi kalau tiba-tiba ada beberapa outline yang diterima sekaligus, mabuk beneran…haha.
Kirimkan naskah utuh
Kebanyakan penerbit mau menerima dan mempertimbangkan naskah utuh karena naskah yang hanya berupa outline dan beberapa contoh nggak bisa dilihat secara menyeluruh, apakah layak atau tidak.
Kalau dipikir, memang benar adanya. Tapi, kadang kitanya malas mengerjakannya ya kalau belum pasti diterima…haha. Padahal ‘kan bisa jadi sarana belajar juga yang pastinya nggak akan sia-sia. Jadi, ada baiknya kamu mengirimkan naskah utuh atau yang sudah selesai dan dilengkapi juga dengan kata pengantar serta blurb ke penerbit. Itu bisa jadi nilai lebih. Kalau bisa, kamu juga dapat melengkapinya dengan endorsement dari penulis senior yang kamu kenal.
Lengkapi data diri dan portfolio
Jangan minder hanya karena kamu seorang pemula. Nggak perlu khawatir portfolio kamu belum seberapa. Kebanyakan penerbit akan mempertimbangkan naskah kamu, bukan tentang siapa dirimu. Jika naskah kamu memang layak, pastinya editor akan menerimanya, kok.
Karena alasan itulah, saya nggak pernah minder mengirimkan naskah kepada penerbit mayor. Ditolak berkali-kali sampai editor malas jawab juga pernah…kwkwk. Dikasih alasan bahkan diberi saran juga pernah. Nggak dibalas juga pernah. Apa pun itu, ya nggak perlu dijadikan alasan untuk menyerah. Jika ditolak, saya yakin memang naskah saya nggak layak. Sudah. Lupakan dan menulislah yang baru. Perbaiki yang perlu dan kirim kembali.
Selama kamu berusaha, pasti Allah kasih jalan, kok. Kenapa kamu mudah banget menyerah? Pikirkan segala kemungkinan bukan dengan bersandar pada logika dan akal kita, tetapi pada Allah yang punya semesta.
Perkenalkan diri dan tawarkan naskah kamu dengan sopan
Kamu bisa memperkenalkan diri (bisa ditulis di badan email) kepada penerbit secara singkat. Tunjukkan bawah kamu ingin mengirimkan naskah dan berharap bisa diterbitkan. Nggak usah lebay juga kata-katanya, santun dan efektif saja kalimatnya.
Tahap ini menjadi awal perkenalan kamu dengan editor. Kalau di sini sikap kamu sudah tidak menyenangkan, bisa jadi berikutnya editor malas membuka naskah kamu. Miris banget, kan?
Butuh waktu 1-3 bulan untuk mendapatkan jawaban
Ya, itulah beratnya menulis buku. Menulisnya saja sudah butuh waktu panjang, kemudian harus menunggu jawaban iya atau tidak saja hingga berbulan-bulan. Masya Allah. Memang rasanya berat dan panjang banget prosesnya. Tapi, jika kamu sudah berhasil melakukannya satu kali saja, berikutnya pasti akan ketagihan.
Selama menunggu, jangan cerewet dan banyak bertanya. Biarkan saja naskah kamu mencari jodohnya sendiri. Kadang editor akan meresponnya secara langsung. Kadang mereka diam sampai 3 bulan ke depan bahkan selamanya..haha. Jika sampai 3 bulan tidak ada jawaban, kamu bisa menanyakannya pada penerbit atau langsung menarik naskah kamu dengan mengirimkan surat penarikan lewat email baru kemudian bisa kamu kirimkan ke penerbit lain.
Selamat! Naskah kamu diterima!
Dari semua tahapan di atas, ada satu tahap yang harus benar-benar kamu nanti dan kamu usahakan. Ya, tahapan di mana naskah kamu diterima oleh penerbit. Ngapain juga setelah perjuangan panjang tiba-tiba kamu nggak mau mencoba lagi? Ditolak sekali mah biasa. Lihat saja, penulis setenar Tere Liye saja pernah ditolak. Malu juga ngapain, ketemu editornya saja tidak pernah…kwkwk. Ini yang dikatakan ibu pada saya kemarin, “Pantaslah kamu nggak malu kirim naskah, kamu ‘kan nggak pernah ketemu juga sama yang punya.”
Haha…iya, bener banget. Kalau jadi penulis, hati mah dikuatin biar nggak gampang luka (meski ini susaaah), telinga disumpel kapas biar nggak bisa mendengar orang meremehkan kamu, semangat kamu pun harus dipompa terus biar nggak pernah putus asa. Mau nggak mau, setiap yang mau berhasil harus melalui banyak cobaan dan ujian. Ini bukan lagi drama di sinetron azab atau hidayah, ya. Ini kenyataan yang harus kamu terima.
Ingat, keberhasilan itu ada di tangan kamu, bukan di tangan orang-orang yang meremehkan dan menertawakanmu. Semua orang bebas mangatakan apa pun tentang dirimu, kamu juga mustahil melarang mereka. Tapi, kamu bisa mengendalikan diri dan hati kamu supaya tidak mudah terluka atas apa yang telah mereka katakan. Orang lain memang pandai berkata, tapi belum tentu mereka bisa sebaik dirimu!
Salam,
Begini Cara Memulai Profesi Sebagai Penulis Khusus Buat Kamu yang Pemula
Beberapa hari ini saya sempat bertemu sama teman-teman yang sebenarnya pengen banget jadi penulis, tetapi nggak tahu harus memulai dari mana. Hmm, menjadi penulis buku atau seorang blogger tidak mengharuskan kamu memiliki bakat. Kamu yang merasa hanya punya kemampuan pas-pasan pun bisa menekuni profesi satu ini asalkan kamu punya keinginan kuat. Semuanya bisa dipelajari satu per satu asal kamu mau serius menekuninya.
Masalahnya, yang saya lihat selama ini tidak demikian. Ada orang yang katanya mau jadi penulis, tetapi sama sekali tidak meluangkan waktu untuk hobinya. Bahkan seminggu sekali posting pun nggak ada waktu. Kadang, saya pun merasa berlebihan ketika menjelaskan sesuatu yang berhubungan dengan profesi sebagai penulis. Yup! Rupanya saya sendiri jauh lebih bersemangat daripada mereka yang katanya ingin belajar…kwkwk.
Bukannya nggak merasa, saya merasa banget, lho. Iya, saya ini menggebu banget (untuk menjelaskan) ketika ada orang yang bertanya, ‘Bagaimana saya harus memulai? Dari mana saya mulai? Saya ingin jadi penulis, tetapi nggak tahu caranya?’ dan seabrek kalimat serupa yang rupanya justru membuat saya pribadi yang lebih bersemangat.
Karena ini adalah profesi yang menjadi keseharian saya, tak berbeda dengan makan tiga kali sehari, rasanya tidak ada alasan untuk berhenti menyemangati seseorang yang baru saja masuk ke dunia literasi dan mencoba serius di dalamnya, meskipun pada akhirnya banyak yang juga yang tumbang di tengah jalan. Itu bukan masalah, dan saya pikir tidak ada yang sia-sia.
Meski saya sudah berusaha membantu seseorang semaksimal yang saya bisa, pada akhirnya, tetap pribadi masing-masinglah yang menentukan kesuksesannya sendiri. Benar, kan?
Walaupun kita sampai jungkir balik menyemangati, kalau orangnya aja lempeng, melempem, mana bisa berhasil? Pada akhirnya kita sendirilah yang menentukan keberhasilan itu. Mau berjuang lebih, mau berusaha lebih, atau hanya diam di tempat?
Menulis memang bukan aktivitas yang mudah dikerjakan secara rutin. Jujur saja, apalagi dalam kondisi badan capek setelah mengerjakan banyak hal, godaan untuk istirahat dan tidur lebih cepat itu susah banget ditolak. Beberapa hari ini saya bahkan ketiduran tanpa saya ingin…haha. Ya, tidur karena ketiduran dan tahu-tahu udah pagi. Ish, kesel bukan main karena rencananya mau menulis. Semalam, hingga jam 10 malam, anak-anak masih minta dibacakan buku dan bercerita, saya pun ikut tepar setelahnya.
Kalau sudah begitu, masa iya mau menyesal dan menyalahkan diri sendiri? Kalau tidak ada pekerjaan yang darurat, ya terima saja, sebab tubuh kita juga butuh istirahat, kan? Kita bukan robot, yang bisa mengerjakan banyak hal tanpa merasa lelah atau mengantuk. Kita manusia yang nggak jauh dari capek. Anggap saja itu vitamin yang bisa menyehatkan dan bikin hari esok jauh lebih baik.
Bicara tentang kebingungan seorang pemula yang ingin menulis, saya pikir nggak banyak trik khusus yang bisa dilakukan kecuali banyak belajar dan berlatih. Semua yang saya kerjakan selama ini dilakukan secara otodidak. Baik saat menulis artikel atau buku. Saya juga ikut kelas menulis online, tapi jika kamu memang tidak punya kesempatan untuk ikut kelas, kamu bisa belajar dari internet. Zaman sekarang, informasi apa yang nggak ada di Google? Semua bisa dengan mudah kamu cari.
Tapi, jika kamu mau belajar dari saya, beberapa tahapan ini rasanya sangat cocok buat penulis yang masih pemula dan nggak tahu mau memulai dari mana.
Bikin blog
Kemarin ada seorang teman yang bingung mau mulai menulis dari mana, saya sarankan mulailah menulis di blog hingga lancar. Bikin blog nggak harus berbayar, kamu bisa banget bikin yang free pakai Blogspot untuk sementara waktu. Blogspot jauh lebih simpel daripada Wordpress. Tutorialnya pun seabrek di Google jika kamu ingin mencari.
Kamu yang suka bingung mau menulis dari mana, mulailah menjadi blogger dan isilah blog kamu sesering mungkin. Jika tidak ada alasan darurat jangan tinggalkan hobi menulis itu, sebab akan membuatmu lebih sulit menyelesaikan tulisan.
Ini tidak hanya saya alami sendiri, teman saya pun mengakuinya. Jika kita berhenti menulis terlalu lama, maka kita harus memulai semuanya dari nol lagi. Susah menyelesaikan tulisan, jadi malas, ide menumpuk, tetapi nggak ada yang bisa dituntaskan. Itulah kenapa, terutama bagi kamu yang pemula, menulis dengan rutin seperti yang dianjurkan oleh Tere Liye adalah prioritas dan nggak bisa disebut main-main.
Setelah menulis menjadi bagian dari diri kamu yang nggak terpisahkan, sekali waktu kamu bisa mencari jeda. Tapi, bukan berarti kamu berhenti juga, ya.
Tulis pengalaman pribadi dan paling lekat dengan kehidupan kamu
Setelah blog kamu jadi, kamu bisa mulai menulis apa pun asal bermanfaat dan bukan sekadar curhat. Jadikan itu latihan yang tiada henti. Kerjakan sebisa mungkin setiap hari meskipun hanya satu paragraf per hari. Tentu itu jauh lebih baik demi melatih kemampuan menulismu.
Ambil tema sehari-hari yang biasa kamu kerjakan. Yang lekat dengan kehidupan kamu dan kamu kuasai. Misalnya, kamu menulis tentang pendidikan karena selama ini kamu memang berprofesi sebagai guru. Itu adalah pilihan tepat karena pastinya tema itu akan sangat kamu kuasai.
Kalau di awal kamu ambil tema-tema yang sulit, khawatir kamu justru lebih berat mencari referensi dan akhirnya batal menulis. Mending ambil tema-tema yang lekat dengan kehidupan kamu, bahkan hal kecil bisa jadi ide menarik jika kamu pandai mengemasnya.
Menulislah setiap hari
Seperti saya katakan sebelumnya, menulis setiap hari adalah latihan yang wajib dan kudu banget kamu kerjakan jika memang ingin sukses dan berhasil. Orang yang suka kehabisan ide biasanya karena kurangnya membaca dan jarangnya berlatih.
Jika kamu sudah terbiasa menulis, ide kecil dan sederhana sekalipun bisa jadi tulisan menarik. Percaya, kamu memang harus melakukan tahapan ketiga ini jika memang serius ingin jadi penulis. Gimana, sanggupkah?
Jangan malas belajar
Jika kamu ingin menulis artikel, kamu harus membaca dan belajar dari artikel penulis lain. Jika kamu ingin menulis cerita anak, kamu wajib membaca buku-buku kumpulan cerita anak yang mudah ditemukan di toko buku.
Jalan-jalan ke toko buku pun menjadi agenda yang wajib kamu lakukan supaya kamu tahu, tulisan seperti apa sedang banyak dicari saat ini. Saat datang ke toko buku, ide-ide baru bermunculan. Kamu jadi tahu, kira-kira apa yang akan kamu tulis selanjutnya.
Mulailah!
Dari sekian banyak trik dan tahapan yang telah kamu pelajari, tidak ada yang bisa terjadi jika kamu nggak pernah memulainya. Impian sebagai penulis hanya akan jadi angan, lama-lama menguap atau ditelan angin.
Jika kamu tidak pernah memulai, lalu kapan kamu tahu, apakah kamu berhasil atau tidak? Jika kamu tidak pernah berani memulainya, kamu tidak akan pernah merasakan seperti apa perjuangannya. Impian hanya jadi impian. Dan buat saya, itu menyakitkan.
Iya, menyakitkan banget punya impian tapi nggak pernah kita perjuangkan dan nggak pernah kita cecap proses dan perjalanannya. Jatuh dan bangun itu hal biasa. Kadang menangis, kecewa, melakukan kesalahan, gaptek, sama sekali nggak mengerti, merasa bodoh, adalah hal yang nggak perlu kamu takutkan, apalagi kamu anggap memalukan.
Setiap penulis yang karyanya sudah majang di toko buku atau blogger yang telah sukses, pasti pernah mengalami yang namanya gagal dan jatuh. Mereka semua juga memulai dari nol, dan kita nggak pernah bertanya, berapa lama mereka berproses hingga sampai pada posisi sekarang? Kita nggak pernah bertanya tentang itu. Kita hanya fokus dan peduli bahwa mereka sudah sukses tanpa mau tahu seperti apa perjalanan panjang di balik semua keberhasilan itu.
Dan kita pun akhirnya ingin seperti mereka dengan cara yang instan. Kalau susah sedikit mengeluh, capek dikit berhenti, nggak mau belajar dan berlatih, bahkan membaca saja malas. Ya sudah, mungkin kamu harus rela mengubur impianmu dalam-dalam. Supaya nggak hanya merepotkan orang lain di sekeilingmu *jahad…kwkwkwk.
Apa sih, serius banget membaca omelan saya…haha. Jangan diambil hati, ya. Itu hanya kalimat yang tiba-tiba saja meluncur tanpa mau dibatasi…haha. Never give up! Semua yang mau berusaha dan berjuang Insya Allah punya kesempatan dan harapan yang sama besar. Jangan sampai rasa malas dan putus asa masuk melalui kisi-kisi jendela kamarmu. Jangan beri celah sedikit pun dalam hatimu untuk menyerah. Sebab jika itu terjadi, impianmu hanya akan jadi sekadar impian. Miris banget, kan?
Salam,
Sunday, February 24, 2019
Buku ‘Agar Suami Tak Mendua’ dan Perjuangan Selama Hampir 5 Tahun
Sebelum menulis ini, saya kerjakan dulu beberapa bagian dari naskah saya, menulis di blog adalah bonusnya…haha. Ya, itu cara saya supaya nggak melulu menunda pekerjaan yang sebenarnya jadi prioritas. Jika saya telah menyelesaikan naskah, biasanya saya akan memberikan hadiah kepada diri sendiri dengan jalan-jalan ke toko buku dan membeli beberapa yang saya suka. Sederhana banget tapi itu yang saya kerjakan setahun terakhir.
Perjuangan selama hampir 5 tahun akhirnya berbuah manis
Beberapa hari yang lalu, seorang berdiri di depan pintu pagar rumah sambil membawa paket. Bukan ojol atau kurir lain yang biasa mangantar barang ke rumah. Dia juga tidak membuka helm dan maskernya. Pakai kacamata hitam pula, jadi agak ngeri nyemperin dan ragu mau buka gembok…kwkwk.
“Paket, Mbak.”
Owh, ternyata paket. Tapi, dari siapa ya? Kayaknya saya nggak merasa pesan buku selama beberapa hari ini. Kemudian saya menanyakan, dari mana? Gramedia. Nah, lho. Sejak kapan saya belanja buku di sana? Kwkwk, semakin misterius saja. Semoga itu bukan bom *lebay..kwkwk.
Saat dia mengambil pulpen, barulah saya paham itu paket dari penerbit Elex Media. Yess! Ternyata itu buku bukti terbit. Masya Allah. Rasanya pengen lompat-lompat kalau saja nggak ingat ada masnya masih mematung melihat saya kebingungan plus pakai kacamata pinky yang nggak banget…kwkwk.
Buru-buru saya masuk rumah setelah menerima paket dan membukanya. Allahu Akbar. Itu naskah pertama saya. Itu buku yang saya tulis tahun 2014 silam kini sudah menjelma menjadi buku yang cantik dan manis sekali. Saya menangis sambil memeluk si bungsu dan nggak tahu mau berkata apa.
Sempat menyerah dan mencoba ikhlas
Bahkan dua tahun kemarin, saya menyerah dan tidak mengharapkan buku itu terbit lagi. Saya ikhlaskan itu di penerbit pertama yang menurut saya sangat tidak amanah karena tidak memberikan kabar sejak 2014-2017. Terakhir buku itu saya dengar sudah antre cetak, bahkan saya cek sendiri sudah terdaftar ISBN-nya. Saya tanyakan berulang kali, tapi jawabannya sama. Hingga 2017 saya kembali memastikan kabarnya yang ternyata qadarallah gagal terbit tanpa alasan jelas. Ya, menurut mereka itu adalah hal biasa. Banyak buku penulis yang akhirnya gagal terbit. Owh, mungkin itu tidak biasa buat saya, terutama jika tidak diberikan kabar. Kami penulis tidak sekadar mengejar royalti, tapi ketika kami kirimkan naskah, kami sangat berharap buku bisa terbit.
Gimana rasanya? Sedih, kesel, tapi nggak bisa ngapa-ngapain. Tapi, Gusti Allah mboten sare. Apa yang sudah menjadi rezeki saya tidak akan ke mana-mana, tidak akan pula tertukar. Apa yang telah menjadi hak saya, Insya Allah akan kembali pada saya. Saya tanamkan itu dalam hati meski saya tidak tahu bagaimana caranya supaya buku itu terbit.
Hingga suatu hari, seorang teman menganjurkan saya menarik naskah itu dan mengirimkannya ke salah satu penerbit mayor. Dan saya melakukannya. Sekitar bulan Juli 2018, naskah itu saya kirimkan dengan catatan telah memiliki ISBN dan gagal terbit. Alhamdulillah, sekitar dua bulanan, naskah saya mendapatkan kabar baik dan diterima di Quanta, lini dari Elex Media.
Masya Allah, bahagia banget rasanya saat itu. Saya bilang siap merivisi jika ada yang perlu diperbaiki. Alhamdulillah, tidak ada revisi. Kontak sama editor sangat jarang. Beliau hanya menghubungi ketika meminta sinopsis dan data diri. Saya pun tak mau cerewet sehingga tidak pernah menanyakan bagaimana kabar naskah saya. Ya, itu 'kan baru beberapa bulan lewat, sedangkan sebelumnya saya sudah melewati waktu bertahun-tahun…hihi.
Sekitar Januari lalu, editor kembali menghubungi saya dan memberikan contoh cover. Itu artinya buku saya siap terbit. Tapi, saya nggak cocok dengan cover pertama dan memutuskan meminta revisi atau ganti dengan beberapa contoh seperti yang saya inginkan. Alhamdulillah, hasilnya sesuai keinginan, lebih menjual, terlihat manis, dan islami. Dan editor bilang buku itu akan segera terbit.
Waktu kayaknya berlalu lambat banget. Nungguin beberapa minggu aja kayaknya lama banget. Saya tidak sabar menunggu buku itu terbit. Dan Alhamdulillah, beberapa hari lalu, buku ini sudah terbit dan saya bisa memeluknya *lebay nggak sih…haha.
Buku ini terdiri dari 400 halaman. Berisi kisah fiksi inspiratif di setiap bab serta ulasan disertai dalil. Di setiap bab, kamu juga bisa membaca quote yang Insya Allah bikin sadar diri…haha. Judulnya memang bikin deg-degan kata orang…haha. Tapi, ini bukan berarti kami para perempuan menentang poligami, ya. Buku ini lebih fokus menjelaskan lebih detail kewajiban dan peran seorang istri kepada pasangannya.
Tadi sempat baca-baca lagi sekilas dan merasa ada cerita yang lucu tapi manis, serta ulasan yang mak jleb. Jadi, berkaca-kaca lagi, ini buku pertama saya yang harusnya terbit beberapa tahun lalu, tapi Allah Mahabaik. Dan saya percaya, Allah tahu yang terbaik buat saya meski dulu saya merasa ini nggak adil banget!
Buku ini saya tulis selama dua minggu. Dan kini sudah bisa kamu dapatkan di toko buku seperti Gramedia dan kawan-kawannya. Jika kamu malas atau jarang keluar, kamu bisa pesan langsung di Gramedia online. Kemarin saya cek sudah masuk dan tersedia.
Kalau kamu ketemu buku ini, jangan lupa foto dan tag saya. Suatu kebahagiaan tersendiri bagi penulis jika ada bukunya yang dibeli dan dibaca sehingga bisa lebih bermanfaat. Dan sekadar info, penulis itu nggak punya stok banyak buku karena kami memang bukan toko buku *yaiyalah…haha. Kami hanya mendapatkan 6 pcs buku sebagai bukti terbit dengan syarat satu buku dikembalikan lagi pada penerbit bersama surat perjanjian.
Kadang kaget juga ketika ada yang sampai inbox minta dikirimkan buku. Bukannya kami pelit, terutama seperti kami yang pemula, royalti belum seberapa, kebayang kalau harus membagikan buku kepada semua orang? Haha. But, it’s oke. Mungkin mereka belum memahami dunia penerbitan, saya memaklumi. Jika saya ingin punya lebih, saya pun harus membelinya sama seperti pembaca lain. Tapi, yang istimewa tentu saja tentang apa yang kita tulis, yang kemudian dicetak dan berharap bisa jadi lebih bermanfaat bagi banyak orang sehingga bernilai pahala. Ustadz saya bilang, ini dakwah lewat buku. Masya Allah semoga demikian adanya.
Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada keluarga terutama ibu yang tak pernah lepas mendoakan, kepada teman, serta mentor saya yang telah mendoakan dan mendukung saya selama ini. Alhamdulillah, perjuangan panjang berbuah manis. Sebab yang namanya rezeki tidak akan berlalu dan berpaling. Apa yang sudah jadi hak kita akan kembali juga pada kita.
Istri itu ibarat sebuah rumah. Tempat berteduh dari panas, tempat berlabuh saat lelah, dan tempat yang damai saat gelisah. Meski kita semua tak bisa menyajikan kehidupan yang sempurna bagi suami, tetap berusaha menjadi istri yang selalu ada saat suami butuhkan, itu sebaik-baiknya seorang istri. Buku ini membuat degup jantung saya berdebar kencang, sudahkah saya menjadi perempuan istimewa di mata suami? Bismillah, semoga bukan hanya saya, tapi kita semua, para perempuan sholehah pembaca buku ini. (Indari Mastuti, CEO INDSCRIPT Corp)
Salam,
Monday, February 18, 2019
Pentingnya Blogger Memahami Apa Itu Plagiat dan Rewrite
Apakah semua blogger paham apa itu plagiat dan rewrite? Dalam kelas menulis artikel yang tim Estrilook adakan, baik berupa kelas free ataupun berbayar, kami selalu katakan, jangan plagiat! Sebab itu ngeselin banget. Walaupun kamu nggak plagiat artikel saya, tetapi melihat tulisan yang copas seratus persen itu asli bikin gemas. Kamu penulis atau bukan, sih?
Selama memegang Estrilook, beberapa kali saya menemukan artikel kontributor yang terdeteksi plagiat lebih dari 50%. Bagi yang nggak biasa melihat hal ini, pasti santai saja menanggapi. Dianggap enteng. Tapi, bagi kami yang terbiasa menulis pake keringat *plus otot…kwkwk, melihat naskah hasil copas itu bikin geram. Nggak hanya saya, teman-teman satu tim di Estrilook juga merasakan hal yang sama.
Nah, kebetulan kemarin sempat membaca komentar salah satu blogger yang ikut mengomentari sebuah status di sebuah grup, intinya dia bilang, kamu juga plagiat. Nggak ada ide asli di dunia ini. Kamu pakai ide orang, kamu pakai gambar orang.
Eist, ngegas banget komentarnya sambil nahan pengen komentar juga…kwkwk. Di salah satu media pun tulisan saya sempat dikomentari begitu, nggak sekali dua kali, mereka bilang, paling juga artikel copas punya orang, nih, Min. Padahal media itu bakal mendeteksi kalau misal memang ada artikel terbit dan plagiat. Pasti kena sentil dan offline. Saya suka kesel dikatain begitu, tapi orang awam yang tidak pernah menulis, masih lebih mudah dimaafkan. Berbeda dengan mereka yang memang sudah ada di dunia literasi sejak lama dan bahkan berkomitmen fokus di dalamnya. Aneh kalau masih nggak paham apa itu plagiat dan rewrite.
Salah satu mentor menulis saya pernah mengatakan, di dunia ini memang tidak ada ide yang benar-benar orisinil. Semua ide yang ada merupakan modifikasi, dikembangkan kembali dari ide yang sudah ada. Yang begini ini tidak dilarang.
Apa itu rewrite?
Kamu bisa menulis artikel tentang kuliner di kota Malang. Kamu bisa cari ada berapa artikel yang membahas tema serupa, tapi sebagian besar nggak bakalan sama. Susunan kalimat, paragraf pembukanya pun beda. Rewrite merupakan cara kita menulis artikel dengan tema yang sama, tetapi dengan gaya bahasa kita sendiri. Itu boleh dan nggak dianggap plagiat.
Gimana caranya? Kamu bisa baca sumber referensi sebanyak mungkin, kemudian baca baik-baik sampai kamu benar-benar memahami. Tutup sumber dan tulis dengan gaya bahasa kamu sendiri.
Kalau artikel nggak mau dicopas, jangan menulis dan jangan diterbitkan di blog! Kalimat itu memang benar, tetapi nggak bisa jadi solusi. Saya yakin, semua orang yang benar-benar menulis dengan hati, pasti nggak bakalan rela tulisannya dicopas begitu saja. Kita mungkin saja pada akhirnya bakalan memaafkan, tetapi masih ada rasa nggak nyaman dan kesal pastinya.
Plagiat nggak hanya berupa tulisan
Dan plagiat itu nggak hanya berupa tulisan, lho. Beberapa minggu lalu, tanpa sengaja saya melihat blog salah satu blogger yang memakai header dengan gambar kartun muslimah persis seperti yang saya pakai di blog ini. Ya, itu memang ambil langsung dari blog saya, kemudian disambung dengan text dan dikasih pemanis seperti hiasan bintang gemintang.
Saya lumayan kaget, karena blogger itu sering menanyakan tutorial bikin header pakai Ibis Paint X juga pada saya, dan sering minta saran. Tiba-tiba tanpa ada basa basi langsung memakai gambar saya. Kenapa saya agak kesel? Karena saya bikin gambar itu sendiri dan nggak ambil di Google. Kalau saya ambil di Pexels atau Pixabay, okelah dia ikutan pakai.
Mungkin itu salah satu dari ketidaktahuannya sebagai seorang blogger yang katanya masih pemula. Tapi, kalau keterusan bikin gemas juga dong. Sedangkan selama ini saya sudah biasa diminta membuat gambar khusus buat teman-teman sesama penulis, dan itu saya kasih free! Kenapa dia nggak minta saja?
Lalu apa yang terjadi setelah saya tegur? Dia minta maaf itu sudah pasti. Dan saya tawarkan akan membuatkannya juga. Akhirnya? Saya cek kemarin, header buatan saya sudah dipakai, tapi entah hari ini. Saya tahu, semua orang berawal dari ketidaktahuan kemudian menjadi tahu, tetapi jika tidak paham, ada baiknya bertanya dulu sebelum bertindak. Saya tidak mempermasalahkan itu lagi, ya sudahlah. Tapi, mungkin bisa jadi pelajaran bagi teman-teman yang lain.
Header dengan animasi seperti milik saya mungkin ada beberapa yang punya, tetapi biasanya gambarnya beda. Ketika saya menggambar untuk teman-teman, selalu saya tanyakan, mau warna apa? Mau model seperti apa? Selain biar sesuai sama yang punya, saya juga nggak mungkin bikin gambar yang sama. Masa iya, ada 10 blogger pakai gambar kartun sama semua? Eneg, nggak? Haha.
Memakai gambar dari media atau dari situs penyedia gambar gratisan bukan termasuk yang dilarang. Kalau kamu pakai gambar dari blog orang, tulis sumbernya. Kalau kamu ambil di Google, jangan hanya menulis ‘Sumber: Google.com’ saja, tetapi tulis media yang sudah menerbitkannya. Kalau kamu pernah menulis di Idn Times, di sana sangat detail ngasih informasi soal gambar. Hati-hati banget. Kalau kita ambil di Pexels.com, kita juga harus cantumkan siapa yang punya gambar itu. Nggak boleh hanya asal menulis ‘Sumber: Pexels.com’ saja.
Bagaimana supaya artikel atau gambar kita nggak dicopas?
Lalu gimana caranya supaya artikel kita di blog terhindar dari hal begitu? Gimana biar tulisan kita nggak dicopas sama penulis lain? Kamu bisa cari caranya di Google, banyak banget tutorialnya. Tapi, kalau yang copas ahli pake banget, cara seperti apa pun nggak akan berguna. Tapi, setidaknya hati kita bisa tenang karena sudah berusaha.
Sedangkan untuk gambar pribadi milik kita, tinggal kamu kasih watermark saja. Ya, pada akhirnya kita memang harus ikhlas kalau memang nantinya masih saja ada orang yang iseng dan nggak mau usaha, tetapi mau disebut berkarya. Kita memang ada di dunia yang susah banget menghindari itu. Tapi, setidaknya kita tetap berusaha dong jangan sampai ada orang dengan mudahnya copas atau ambil gambar di blog kita.
Jadi penulis itu memang nggak mudah, tetapi juga nggak susah. Seperti keahlian lain yang sebenarnya nggak tergantung sama bakat, menulis juga bisa dipelajari dan diulang-ulang supaya kamu bisa mahir. Yup! Pekerjaan yang diulang-ulang itu bisa dengan sendirinya membuat kamu pintar, lho. Nggak percaya? Seperti resep dari Tere Liye, kita yang pemula dianjurkan menulis selama 180 hari tanpa berhenti sehari pun. Maka kamu akan sebaik Tere Liye saat menulis.
Pertanyaannya, apakah semua penulis sanggup melakukan itu?
Salam,
Monday, February 11, 2019
Roti Sobek Pandan, Super Lembut dan Gampang Bikinnya!
Hari ini niat banget mau bikin roti pandan. Sudah berapa minggu seisi rumah sakit, jangankan bikin roti, mau masak aja malas…hehe. Alhamdulillah, hari ini semua sudah membaik. Bosan nggak ada kerjaan *sok ganggur, akhirnya keluarin mixer dan takar-takar bahan.
Kali ini bikin roti pakai resep ci Xanders. Ini saya buat versi pandan. Bahan yang nggak ada saya ganti seperti susu cair diganti dengan air, tetapi pada susu bubuk ditambahkan lebih banyak. Selain itu, saya tambahkan juga pasta pandan supaya lebih wangi.
Sebenarnya, awalnya saya ngiler berat melihat salah satu postingan di Instagram. Postingan itu berisi video penjual roti pandan kukus. Roti pandannya diisi mesis cokelat dan parutan keju super banyak, kemudian dikukus. Kebayang aromanya sampai ke rumah…kwkwk. Dan, akhirnya hari ini pun memberanikan diri bikin roti pandan supaya bisa ngerasain seperti apa yang sudah saya lihat sebelumnya. Hasilnya? Lembut dan enak banget!
Sayangnya, entah karena nggak fokus atau gimana, pas ngeluarin kaki mixer malah salah ambil kaki mixer buat ngaduk telur atau adonan cake. Tepung dalam baskom jadi berantakan. Adonan jadi naik. Hiks. Sampai di situ belum sadar juga kalau saya salah ambil kaki mixer. Hingga terbesit pikiran kayaknya mixer rusak deh…kwkwk. Dasar emak-emak, ya. Dirinya yang salah, malah nyalahin mixernya…haha.
Saya memang terbiasa memakai hand mixer untuk mengaduk adonan roti. Lumayan banget daripada harus ngulen pakai tangan karena jujur itu susah banget dan butuh waktu yang sangat lama. Ya meskipun pakai mixer aja udah lama karena harus mematikan dan menghidupkan kembal setelah mixer tidak panas. Tapi, lumayanlah hanya pegang nggak harus ngulen capek gitu.
Ngulen roti bisa satu setengah jam jika ingin hasilnya empuk dan cantik. Lumayan banget waktu habis seharian buat ngurusin roti doang :D
Buat kamu yang penasaran dengan resepnya, silakan dicoba di rumah, ya!
Bahan:
450 gram terigu protein tinggi
50 gram terigu protein rendah (bisa pakai protein tinggi seluruhnya)
75 gram margarin
1 butir kuning telur
1 butir telur
225 ml susu cair (saya ganti air)
7 gram fermipan
110 gram gula pasir
15 gram susu bubuk (saya pakai satu sachet kecil)
Sejumput garam
Sedikit pasta pandan
Cara membuat:
1. Campur semua bahan kecuali margarin, garam, dan pasta pandan. Aduk sampai semua tepung tercampur rata.
2. Masukkan margarin dan garam. Mixer sampai rata baru kemudian masukkan pasta pandan.
3. Uleni sampai kalis elastis. Biasanya ditandai dengan adonan mengilap, tidak lengket, dan tidak mudah sobek ketika dibentangkan hingga tipis.
4. Diamkan adonan selama satu jam dan jangan lupa ditutup.
5. Kempeskan adonan dan bentuk sesuai selera. Boleh langsung kasih isian atau bisa diberi isian ketika sudah dipanggang.
6. Panaskan oven 10 menit sebelum digunakan. Panggang selama 15 menit atau sesuaikan dengan suhu oven masing-masing.
7. Keluarkan dari oven dan olesi permukaannya dengan margarin.
8. Sajikan bersama selai kesukaanmu!
Voila! Roti sobek pandan buatanmu siap disantap bersama keluarga tercinta. Gimana, gampang banget sebenarnya bikin roti itu. Tapi, kadang persiapan dan prosesnya yang agak lama jadi bikin malas. Padahal, ketika baru keluar dari oven, aroma dan rasanya susah banget ditolak.
Yuk, ah bikin sendiri di rumah. Selamat mencoba semoga berhasil, ya!
Salam,
Traveling ke Turki dan Mengunjungi Museum Topkapi Palace Istanbul
Dari sanalah saya pun dibuat penasaran pakai banget. Setelah ada kabar kami akan berangkat umroh dan berkunjung ke Turki selama beberapa hari, saya pun begitu antusias ingin banget mampir dan melihat langsung seperti apa megahnya museum Topkapi Palace ini.
Perjalanan dari bandara Soekarno Hatta menuju Turki kami tempuh dalam kurun waktu 12 atau 13 jam. Awalnya, khawatir membayangkan gimana kondisi anak-anak selama di pesawat dalam waktu yang cukup lama. Apalagi saat itu si bungsu masih berusia 2 tahunan. Qadarallah, perjalanan kami cukup menyenangkan. Si sulung yang sudah lebih besar tampak santai dan malah susah tidur selama di pesawat, dia sibuk main game yang ada di sandaran kursi tepat di hadapannya. Sedangkan si bungsu, agak rewel karena kurang nyaman tidur di pesawat. Tapi, ya semua masih bisa diatasi meski pas mau landing dia malah nangis kejer hanya karena mau cuci tangan di wastafel…kwkwk.
Kami tiba di Bandara Ataturk Istanbul saat Shubuh. Segera salat dan melanjutkan perjalanan tanpa istirahat dulu di hotel. Perjalanan cukup panjang dari Indonesia ke Turki dilanjutkan lagi traveling hingga malam hari.Perjalanan dari bandara Soekarno Hatta menuju Turki kami tempuh dalam kurun waktu 12 atau 13 jam. Awalnya, khawatir membayangkan gimana kondisi anak-anak selama di pesawat dalam waktu yang cukup lama. Apalagi saat itu si bungsu masih berusia 2 tahunan. Qadarallah, perjalanan kami cukup menyenangkan. Si sulung yang sudah lebih besar tampak santai dan malah susah tidur selama di pesawat, dia sibuk main game yang ada di sandaran kursi tepat di hadapannya. Sedangkan si bungsu, agak rewel karena kurang nyaman tidur di pesawat. Tapi, ya semua masih bisa diatasi meski pas mau landing dia malah nangis kejer hanya karena mau cuci tangan di wastafel…kwkwk.
Capek banget, tapi, mungkin pihak travel juga mempertimbangkan waktu kami yang pastinya akan terbuang sia-sia jika kami harus istirahat dulu. Berada di Turki selama 3 hari 2 malam itu benar-benar diisi dengan traveling. Jadwal kunjungan ke sana sini benar-benar padat banget. Kayaknya waktu istirahat hanya sedikit. Malam sampai hotel, pagi sudah berangkat lagi dan langsung pindah ke hotel berikutnya. Di bus, kami juga bisa lebih santai karena jarak antara satu tempat ke tempat lainnya kadang lumayan jauh.
Saya lupa tepatnya hari ke berapa saat berkunjung ke museum Topkapi ini. Yang pasti, saat kami ke sana memang sedang musim dingin. Pakai jaket tebal pun rasanya nggak bisa menghilangkan hawa dingin yang menusuk. Bisa kebayang ya orang-orang di Timur Tengah yang sedang menghadapi konflik dan harus bertahan hidup di musim dingin yang kabarnya kali ini cukup ekstrem? musim dingin biasa saja rasanya nggak betah lama-lama di luar. Bagaimana dengan mereka yang harus tidur di tenda berupa terpal tanpa penghangat ruangan? Hiks. Sedih banget mengetahui itu.
Buat kami yang nggak terbiasa, apalagi sudah lama di Jakarta yang panas, musim dingin seperti mimpi buruk. Nggak lama di Turki, si bungsu sudah meler hidungnya. Flu dan mulai rewel. Tapi, selama di perjalanan dia cukup menikmati dan lebih banyak tidur di bus. Masuk ke museum Topkapi kayak nggak terlalu fokus karena sibuk memperhatikan kondisi anak-anak. Mereka nggak terbiasa dengan suhu sedingin itu, jadi lumayan agak rewel. Begitu juga dengan emaknya yang sibuk menggosok-gosok tangan demi menghilangkan dingin. Padahal sudah pakai sarung tangan…haha.
Apa sih Topkapi Palace Itu?
Topkapi Palace merupakan istana yang dibangun tepat di atas bukit pada masa pemerintahan Sultan Mahmed II. Istana ini juga menjadi kediaman resmi Sultan Utsmaniyah selama 600 tahun lebih. Tepatnya pada tahun 1465-1856.
Museum ini memang benar-benar menjadi daya tarik tersendiri bagi para traveler ketika berkunjung ke Turki. Bagaimana tidak, di dalam museum ini kamu bisa melihat langsung koleksi benda-benda bersejarah termasuk pedang Rasulullah saw. Sayangnya, ketika masuk ke dalam, kita dilarang mengambil gambar.
Topkapi Palace ini terletak di pinggir pantai selat Bosphorus, bahkan lokasinya nggak jauh dari Hagia Sophia. Topkapi dikelilingi oleh tembok besar yang di dalamnya terdapat bangunan tempat Raja, keluarga, serta para pembantunya tinggal.
Total luas dari Topkapi Palace ini kurang lebih 700.000 meter persegi. Topkapi juga dikelilingi oleh benteng sepanjang 5 kilometer. Luas banget dan nggak mungkin mengelilingi seluruhnya dalam waktu singkat.
Saya nggak banyak mengambil foto selama ada di sana. Selain karena rempong dengan si bungsu, saya juga kurang antusias terlalu lama memegang handphone karena benar-benar kedinginan…kwkwk. Jika ada rezeki, saya ingin main ke Turki selain di musim dingin. Sungguh, main salju itu memang asyik, tapi kedinginan itu nggak banget. Apalagi saya lupa nggak bawa Marjan *lol.
Ada Apa Saja di Topkapi Palace?
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, kebanyakan dari kita terutama yang muslim pasti penasaran banget dengan benda-benda peninggalan Rasulullah saw. Seperti apa pedangnya?
Benda-benda peninggalan Rasulullah saw disimpan di dalam ruangan khusus bernama Pavilion of Holy Mantle dan Holy Relics. Di sana, kamu bisa melihat jubah peninggalan Rasulullah saw, helai janggut, patahan gigi saat perang Uhud, pedang, bahkan hingga cetakan telapak kaki Rasulullah saw.
Selain itu, kamu juga bisa melihat surban Nabi Ibrahim, pedang Nabi Dawud hingga tongkat Nabi Musa. Lebih menarik lagi, di sini kamu pun bisa melihat kunci Ka’bah dan semuanya asli, nggak ada replikanya.
Kabarnya, semua benda bersejarah ini sebagian memang sengaja diamankan dari beberapa negara karena khawatir dihancurkan oleh penjajah.
Benda-benda peninggalan Rasulullah saw disimpan di dalam ruangan khusus bernama Pavilion of Holy Mantle dan Holy Relics. Di sana, kamu bisa melihat jubah peninggalan Rasulullah saw, helai janggut, patahan gigi saat perang Uhud, pedang, bahkan hingga cetakan telapak kaki Rasulullah saw.
Selain itu, kamu juga bisa melihat surban Nabi Ibrahim, pedang Nabi Dawud hingga tongkat Nabi Musa. Lebih menarik lagi, di sini kamu pun bisa melihat kunci Ka’bah dan semuanya asli, nggak ada replikanya.
Kabarnya, semua benda bersejarah ini sebagian memang sengaja diamankan dari beberapa negara karena khawatir dihancurkan oleh penjajah.
Istana Topkapi Dijadikan Museum pada Tahun 1924
Istana Topkapi akhirnya dijadikan museum pada tahun 1924 berdasarkan dekrit pemerintah setelah jatuhnya Utsmaniyah pada tahun 1921. Topkapi menjadi salah satu wilayah yang amat bersejarah di Istanbul serta resmi menjadi bagian dari Situs Warisan Dunia UNESCO.
Karena penuh dengan benda-benda bersejarah, maka tak heran jika di sini juga sering terjadi perampokan seperti yang terjadi pada tahun 1999. Saat itu, sebuah Alquran pada abad ke-17 dicuri. Biasanya, petugas museum disuap oleh para turis untuk mengambil benda-benda bersejarah. Nggak heran, ketika berkunjung ke sana banyak juga petugas keamanan seperti tentara dengan senjatanya yang berjalan ke sana kemari serta berjaga di beberapa titik di lokasi itu.
Jika kamu berkunjung ke Turki, pastikan kamu berkunjung ke Topkapi Palace dan melihat langsung peninggalan sejarah berupa benda-benda peninggalan para Nabi dan tentunya benda peninggalan Rasulullah saw. Saat kami ke sana, wisatawan cukup ramai, bahkan kami berjalan pelan karena padat merayap seperti jalanan di Ibu Kota…hehe.
Dan perlu diingat juga, bahwa di sana nggak berbeda dengan di negara kita, ada orang-orang berwajah manis yang kadang memang punya niat nggak baik. Sehingga di mana pun kita berada, harus tetap berhati-hati dan menjaga diri. Bahkan guide kami pun mengatakan itu berkali-kali setiap kami berkunjung ke beberapa lokasi di Turki.
Salam hangat,
Sunday, February 10, 2019
Demam Naik Turun Lebih dari Seminggu, Perlukah Panik dan Pergi ke Dokter?
Photo on Unsplash |
Cuma batuk pilek aja sampai segitunya? Ya, karena kedua anak saya ada riwayat kejang demam. Bahkan Alby dari usia 2 tahun hingga 6 tahun. Disusul adiknya yang kemarin baju aja kena kejang demam saat usianya 3,5 tahun. Jadi, kebayang dong paniknya saya sebagai orang tua jika anak sakit dan demam. Nggak bisa tidur, anak tidur aja kita bingung, lho…haha.
Daaan, kemarin cukup lama juga demam dan batuk pileknya. Kayaknya ping pong. Setelah Dhigda enakan, akhirnya saya pun kena juga. Seminggu meriang bahkan belum benar-benar pulih. Bahkan malah muncul urtikaria karena imunitas yang menurun dan salah makan. Jadi, selepas Isya, seluruh tubuh bentol-bentol besar, panas, dan gatal. Besoknya agak siangan menghilang. Kemudian terulang lagi sampai 3 malam.
Sebenarnya dokter kulit sudah ngasih salep dan obat alergi. Hanya saja saya malas banget memakainya. Kebayang nggak harus pakai salep seluruh tubuh sama wajah yang udah bengkak gitu? Mending digaruk aja…haha *jangan ditiru. Sedangkan kalau minum obat, efeknya itu lemes parah. Nggak bangun hanya bisa tidur aja. Terus gimana nasib di rumah kalau saya tiduran terus? Mending saya gatal-gatal ajalah…kwkwk.
Balik lagi ke Dhigda yang sampai semalam masih demam hingga 39,8. Sudah lebih dari dua minggu begitu. Besoknya suhu normal, malam demam lagi atau selang sehari enakan, besoknya demam lagi.
Karena disertai batuk-batuk dan pilek, jujur saja saya belum ada keinginan buat ke dokter. Hanya dikasih minum yang banyak serta sirup penurun demam, itu pun jika dia mau dipaksa dan suhunya benar-benar tinggi. Kalau nggak, mending nggak usah daripada ribut.
“Adik nggak mau minum obat, minum air putih aja yang banyak.”
Iya, itu memang saya yang ngajarin kalau demam minum yang banyak. Tapi, kalau terlalu tinggi suhunya jujur aja saya parno mengingat dia sudah pernah kejang demam. Kejang demam memang nggak bisa dicegah dan tidak pula memengaruhi otak, tapi kalau udah kejadian saya pasti panik juga.
Masa anak demam lama dibiarin aja?
Yang belum kenal saya pasti akan mengatakan seperti itu. Saya bukannya anti dokter, hanya saja mencoba untuk lebih bijak menggunakan obat. Datang ke dokter juga bukannya tanpa risiko, lho. Di sana sambil menunggu antrean, kita bakalan duduk sama anak-anak yang juga sedang sakit. Jadi, risiko tertular penyakit lain justru lebih besar.
Kalau memang perlu konsultasi atau ada keadaan darurat yang perlu segera ditangani, saya tak akan berpikir dua kali. Tapi, kalau sudah ada batuk dan pilek, saya bakalan mikir berkali-kali untuk datang ke dokter.
Apa tidak perlu cek darah dan curiga DBD?
DBD itu punya demam yang khas. Biasanya pada fase pertama demam akan tinggi dan manteng. Kalau demamnya turun, keadaan semakin memburuk, bukan semakin lincah seperti demam pada virus biasa.
Cek darah diperlukan jika demam sudah terjadi selama 72 jam tanpa sebab seperti ada tanda common cold. Kalau sudah jelas ada ingus dan batuk, saya pribadi nggak akan berpikir itu DBD. Terlebih saat demam turun, dia baik-baik saja dan lincah seperti biasanya.
Turunnya trombosit dalam jumlah sedikit saat sakit itu wajar terjadi, bukan satu-satunya tanda DBD. Setiap yang sakit biasanya akan mengalami itu, jadi, jangan buru-buru curiga DBD setelah cek darah apalagi jika kamu tahu anak tetap lincah seperti biasa meski demam turun.
Kapan harus pergi ke dokter?
Tidak setiap batuk dan pilek kita meski tenang di rumah. Ya, ada tanda-tanda gawat darurat yang perlu dipelajari dan diwaspadai. Jika itu terjadi, jangan berpikir dua kali untuk pergi ke dokter.
1. Dehidrasi berat pada anak
2. Kesadaran menurun
3. Sesak napas
4. Kejang berulang atau kejang dalam waktu yang cukup lama
5. Demam sangat tinggi hingga 40,5 C
6. Muntah berwarna hijau
7. Terjadi perdarahan baik di saluran cerna atau lainnya.
Jika terjadi tanda darurat pada anak, sebaiknya segera dibawa ke dokter untuk mendapatkan penanganan serius. Jangan anti dengan dokter, tapi jangan pula terlalu parno sampai-sampai kita sebagai orang tua nggak bisa RUM dan bijak pakai obat. Kasihan anak kita. Setiap obat yang masuk ke dalam tubuh meski paling aman sekalipun tetap memberikan efek samping. Jadi, jadilah orang tua yang cerdas dan bijak mengonsumsi obat.
Salam,
Saturday, February 9, 2019
Ikutan Tagar 10 Years Challenge, Antara Impian dan Kerja Keras
Kemarin, hastag 10 years challenge muncul di mana-mana. Ramai-ramai orang mengunggah foto sekarang dan 10 tahun silam. Ramai-ramai juga mereka yang sudah menikah posting foto berdua. Sedangkan bagi seorang jomblo, sekarang dan 10 tahun lalu apa bedanya sih kalau kenyataannya masih tanpa si dia? *eaa…haha.
Apakah saya ikut mengunggah foto juga? Nggak. Karena foto sekarang sama 10 tahun lalu sama aja. Sama-sama bulatnya…kwkwk. Belum tertarik aja ikutan mengunggah foto seperti yang lain. Tapi, selain mengunggah foto, rupanya para netizen juga cukup cerdas dan jeli, lho. Mereka yang tidak mengunggah foto juga turut mengunggah postingan menarik dengan tagar serupa. Misalnya saja, aku vs sekarang dan 10 tahun lalu sama aja dalam hal ibadah. Shalat lima waktu bacanya masih 3 surat Qul aja.
Meski terdengar lucu dan menggelikan, tetapi postingan itu benar adanya. Berapa orang dari kita yang masih seperti itu? Saya nggak akan nunjuk orang lain, saya tunjuk diri sendiri yang hapalan suratnya malah lebih sedikit daripada si sulung *tutup muka pakai teflon.
Ada banyak postingan menarik di balik tagar 10 Years Challenge itu. Tapi, apa yang akan saya ceritakan saat ini pun tak kalah menariknya*semoga. Ini tentang impian dan kerja keras. Tentang 10 tahun silam_saat saya berani bermimpi dan sekarang_ketika satu demi satu impian terwujud nyata *elap mata yang basah.
Saat masih kecil, apa impian kamu? Menjadi dokter? Polisi? Tentara atau guru? Saya ingin menjadi pelukis. Ya, itu impian saya saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Kemudian setelah masuk SMP, impian itu berubah. Komikus menjadi salah satu impian masa kecil. Ya, umur segitu masih labil banget, ya. Sering baca komik dan hobi menggambar menjadi padu padan yang sangat pas sehingga impian menjadi seorang komikus pun terlintas saat itu.
Saat masuk SMA, qadarallah orang tua ingin saya masuk pesantren meski awalnya saya ingin masuk sekolah lain. Nggak ingin mengecewakan, saya pun memilih salah satu pesantren di Bululawang pada saat itu. Yup! An-Nur III menjadi salah satu pesantren yang saya pilih pada akhirnya. Adakah teman atau saudara yang dikenal saat itu? Jujur saja, nggak ada.
Jadi, waktu itu sendirian aja, sok pede padahal ya nggak banget…kwkwk. Sempat menangis saat awal-awal baru tinggal di pesantren. Teman baru dan kegiatan yang lumayan padat membuat saya pelan-pelan menikmati aktivitas menjadi seorang santri. Bangga nggak sih waktu jadi santri? Jujur saja, bangga banget karena merasa diri sudah lebih mendiri. Pisah dari orang tua bukan perkara mudah pastinya.
Apa yang membuatmu selalu ingat dan rindu pesantren?
Sebab di sana awal mula saya berani bermimpi. Bermimpi lebih serius. Impian yang benar-benar ingin terwujud. Mimpi jadi apa? Seorang penulis.
Semua orang bisa jadi menertawakan saya waktu itu, hanya saja saya mungkin kurang bisa mendengar karena merasa olok-olokan semacam itu tidak penting dimasukkan ke hati. Ya, lebih penting apa yang jadi impian saya. Lebih penting mengusahakan bagaimana supaya impian itu tidak lebur jadi abu.
Saya masih ingat betul, waktu masih di Aliyah, ada dua penulis novel islami dari Yogyakarta datang ke sana. Satu hal yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya, mendengar penulis novel sharing tentang dunia literasi secara langsung. Jangan tanya bagaimana perasaan saya saat itu, bahagia banget dan merasa impian menjadi penulis semakin wajib dan kudu tercapai. Mimpi itu meletup-letup. Nggak peduli saat itu ada laptop atau nggak. Pokoknya saya harus menulis!
Untuk jadi penulis itu nggak gampang. Zaman sekarang, bikin blog aja langsung kalau ingin tulisan dibaca oleh teman-teman. Kalau dulu, komputer hanya milik ustadz, laptop dan koneksi internet malah belum kenal…haha. Perjuangan banget kalau mau belajar menulis.
Eits, tapi saya tidak mau menyerah. Karena terbatas fasilitas, bukan berarti mustahil mencapai impian menjadi penulis. Masih ada buku tulis, maka itulah kali pertama karya saya dibaca oleh teman-teman. Kok pede banget nulis novella dan kumpulan cerpen sebanyak itu dan boleh dibaca oleh teman-teman satu kamar? Bagi saya, nggak ada alasan buat minder. Itu bukan hal memalukan meski tulisan saya lebih mirip tulisan dokter apalagi kalau sudah pegel jari. Belum lagi kalau tinta pulpennya mbleber ke mana-mana…haha.
Di pesantren, saya suka banget membaca majalah Annida atau Horison. Antri buku kemudian mencatat bagian-bagian yang perlu supaya ketika ingin membaca lagi, saya nggak bingung mencari pinjaman lagi. Asal kamu tahu, kalau ada buku baru, antriannya panjang banget, asli!
Di antara penulis cerpen yang sangat saya kagumi saat itu adalah Asma Nadia dan Afifah Afra. Cerpen-cerpennya bagus banget. Dibaca bikin merinding karena kalimat yang ditulis begitu hidup dan nyata.
Selain menulis cerpen di buku, kadang saya menulis cerpen untuk teman-teman yang kebagian tugas di mading Al-Fikri. Saya bukan anggotanya, tapi sering banget menulis di sana karena permintaan teman-teman. Dan saya senang mengerjakannya.
Dan malam itu, impian menjadi seorang penulis telah selangkah lebih dekat
Di antara rinai hujan yang berdentum di atas genteng, para santri An-Nur III ramai berkumpul di jerambah sambil menahan dingin. Saya tidak tahu persis, di antara ratusan santri yang datang, berapa orang yang serius dan antusias dengan kedatangan tamu spesial malam itu. Tapi, buat saya, malam itu menjadi begitu istimewa, bahkan sampai sekarang saya masih ingat detail kejadiannya, malam di mana hujan turun dan aliran listrik sempat padam. Serta malam di mana saya melangitkan impian.
Saya masih ingat, alm Ratna Indraswari Ibrahim datang dengan kursi roda bersama mas Ragil. Tidak hanya berdua, ternyata keduanya diajak oleh dua guru jurnalistik kami yakni ustadz Heru Edy Purwanto dan ustadz Solihin. Keduanya adalah wartawan senior yang mengabdikan hidupnya di pesantren.
Kedatangan mereka menjadi motivasi tersendiri bagi saya. Setelah malam itu berakhir, saya pun sempat menelepon alm Ratna Indraswari Ibrahim yang merupakan seorang penulis senior. Ngobrol dan tanya-tanya soal dunia literasi. Sayangnya, nggak bisa ngobrol lama. Mana enak ngobrol di telepon. Nggak menyerah sampai di situ, ketika liburan, saya sempat datang langsung ke rumah beliau. Dan disitulah saya juga mulai mengenal mas Ragil yang pada akhirnya berjasa banget mewujudkan impian saya menulis buku *elap air mata.
Saat masuk STIKK (Sekolah Tinggi Ilmu Kitab Kuning), saya diminta menulis beberapa cerpen oleh mas Ragil. Cerpen itu nggak diketik di komputer, melainkan ditulis di buku. Buat apa? Untuk antologi bersama beberapa penulis senior dari Malang.
Masya Allah, baik banget mas Ragil mau mengajak saya menulis. Padahal saat itu saya hanya remahan rengginang di dalam kaleng Khong Guan *eits sebut merek..haha. Seingat saya, buku itu akhirnya saya titipkan pada ustadz Heru. Sambil malu-malu menitipkan impian itu. Berharap semoga buku berisi cerpen itu nggak ketlisut di antara tumpukan koran…haha.
Tak sampai setahun, buku antologi pertama saya itu pun terbit. Dan inilah penampakan buku pertama saya yang terbit pada 2009 tepat setelah saya menikah dan diboyong oleh suami ke Jakarta. Nggak banyak yang tahu, kalau suami saya juga alumni An-Nur III bahkan dulu kerja jadi TU sambil sekolah…kwkwk *nggak perlu dibahas, ya…hihi.
Bertemu Asma Nadia
Tahun 2009, mencari komunitas menulis itu sangat susah. Akhirnya saya malah jarang menulis saat itu. Justru mengusir sepi selama suami ngantor dengan membuat banyak kerajinan tangan seperti menyulam atau merajut. Rasanya impian jadi penulis benar-benar sudah ditelantarkan tanpa paksa.
Tapi, rencana Allah lebih indah. Tahun 2013 saya mulai menulis kembali. Saat itu, awal mula bikin blog dan sering banget ikutan kompetisi menulis. Sekitar tahun 2014, saya berhasil memenangkan sebuah kuis yang diselenggarakan oleh Asma Nadia sehingga saya diberi hadiah untuk ikut seminar kepenulisan bersama beliau.
Mimpi apa bisa ketemu Asma Nadia, penulis favorit saya sejak zaman masih di pesantren? Nggak hanya sampai di situ, cerpen saya pun sempat dibacakan di depan para peserta seminar dan sempat ditertawakan juga. Bahkan saya ikut tertawa karena memang cerpennya ‘maksa’ minta ditertawakan…haha.
Rasanya impian jadi penulis semakin cerah aja kalau dibayangkan. Bahkan pada tahun yang sama, saya berhasil menyelesaikan satu buku. Sayangnya, saya harus menyerah dan mundur secara teratur. Hamil anak kedua membuat saya benar-benar menghilang dari dunia literasi. Dan itu adalah pilihan yang sangat buruk!
10 tahun itu bukan waktu sebentar
Meninggalkan dunia kepenulisan membuat saya amat rindu. Ternyata saya mulai merasa bahwa hobi masa lalu itu sudah jadi passion. Kalau baca buku, saya nggak akan berhenti sekadar suka dengan ceritanya, tetapi saya juga ingin menulis cerita yang serupa. Itu artinya saya belum benar-benar ikhlas mundur dari dunia kepenulisan.
Maka, pada tahun 2017, setelah merasa keadaan jauh lebih baik dan bisa diatasi, akhirnya saya pun kembali menulis dari nol lagi. Membangun blog saya dari nol. Ikut kelas-kelas menulis dan belajar bersama para senior.
Buku yang sempat saya selesaikan pada tahun 2014, rupanya gagal terbit dan baru dikabari setelah hampir 4 tahun berlalu. Itu pun karena saya menanyakannya berkali-kali. Sempat kecewa berat dan pengen nyerah. Tapi, yaudahlah, mungkin belum rezeki. Mentor menulis saya bilang, anggap saja itu jamu pahit yang menyehatkan.
Dan itu juga bukan kesalahan saya. Karena pihak agensi dan penerbit pun tak bisa menjelaskan kenapa buku itu bisa gagal terbit bahkan setelah punya nomor ISBN. Nggak mau berlarut-larut, saya pun kembali menulis sebuah buku, yakni Rahasia dalam Semangkuk Sup.
Buku pertama yang berhasil diterbitkan di penerbit indie dan menjadi awal mula saya kembali bersemangat melanjutkan impian yang sempat saya tinggalkan.
Selama 2017 hingga 2018, masya Allah, ada puluhan antologi yang terbit baik di penerbit mayor dan penerbit indie. Beberapa naskah solo pun di-acc oleh penerbit mayor dan menjadi pelecut semangat tersendiri bagi saya. Nggak mau berada pada zona nyaman, saya pun mencoba menulis artikel dan mengirimkannya ke media online. Hingga saat ini, ada seribu lebih artikel terbit dan dibaca oleh jutaan orang.
Dari hanya menulis artikel, kurang dari setahun saya berhasil mendapatkan fee hingga ribuan dollar. Kadang satu artikel bisa dihargai hampir setengah juta. Wah, itu menggiurkan banget memang. Sayangnya, melulu mengejar materi itu capek. Kata Dilan itu berat…haha. Aktivitas baru itu membuat saya jadi kurang menikmati. Memang, tidak ada yang salah jika ada orang yang menulis karena inginkan materi, seperti kata Kang Ridwan Kamil, “pekerjaan yang menyenangkan adalah hobi yang dibayar”, tapi, saya pribadi pun menyadari, tujuan awal saya menulis bukan karena materi, tapi karena saya suka dan ingin berbagi.
Satu dua pengalaman menjadi pembelajaran. Karena aktif menulis artikel di salah satu platform, saya pun berkumpul dalam satu grup yang sama bersama Afifah Afra yang tulisannya dulu sering saya baca saat masih di pesantren. Grup khusus dengan member pilihan sebuah platform itu membuat saya sering nggak percaya dengan semua yang terjadi. Mimpi apa kamu, Muy?
Jika dulu lebih sibuk menulis artikel, sekarang lebih senang ngeblog dan menulis buku* meski masih satu bab aja dari kemarin…haha. Sebab kedua hal itu sepertinya sangat cocok bagi saya saat ini. Karena keduanya membuat saya menikmati asyiknya jadi penulis tanpa takut siapa yang akan membaca tulisan saya dan berapa fee yang akan saya dapatkan.
Tahun 2019, kabar baik pun menghampiri. Naskah yang dulu sempat gagal terbit karena alasan yang tidak jelas kini sudah dalam proses terbit di salah satu penerbit mayor. Pada akhirnya saya menarik naskah itu dan mengirimkannya ke penerbit lain. Siapa sangka, ternyata naskah saya pun di-acc.
Tahun 2018, tepatnya pada bulan September, saya pun memberanikan diri membuka Estrilook.com sebagai salah satu media yang bersedia menerima artikel penulis dan membayarnya. Saya dan tim Estrilook pun berusaha semaksimal mungkin membantu para pemula dengan membuka kelas-kelas menulis gratis. Meski nggak pantas disebut senior, tetapi saya bahagia bisa membersamai mereka, kami tumbuh bersama dan maju bersama tanpa ingin manjatuhkan.
Insya Allah saya tidak akan pernah lupa, jika dulunya saya berawal dari mana. Insya Allah saya akan mengenangnya lekat-lekat bahwa saya pernah bermimpi menjadi penulis ketika semua orang bahkan hati kecil saya menganggap itu mustahil. Insya Allah saya pun tidak akan melupakan, betapa besar jasa-jasa Kyai Qusyairi dan ustadz-ustadz di pesantren dulu.
Kyai Qusyairi pernah berkata, “Bermimpilah setinggi mungkin. Jika pun kamu jatuh dan gagal, setidaknya kamu masih ada di atas.”
Sebab kalimat itulah, hingga saat ini saya tak pernah menganggap impian setinggi apa pun mustahil buat diraih. Impian dan kerja keras itu saling bertautan. Kamu tak mungkin mendapatkan hasilnya jika sejak awal kamu nggak berani bermimpi. Impian itu menjadi 'pintu ajaib' yang akan mengantarkan semua_keinginan yang menurut orang agak konyol_menjadi kenyataan.
Luaskan hatimu, teman. Jangan pernah takut menjadi seperti orang lain, tetapi jangan pula hanya sekadar ingin tanpa usaha berarti. Sebab impian dan kerja keras itu tak terpisahkan. Allah tak peduli dengan hasil yang kita dapat, Allah hanya ingin melihat apakah kita mau berusaha atau tidak.
Buat kamu yang sekarang jadi santri dan ingin menjadi penulis, jangan pernah patah semangat hanya karena di pesantren minim fasilitas. Mimpi itu harus kamu pupuk hingga tumbuh subur. Suatu saat akan ada masanya ia akan berbuah manis dan bisa kamu nikmati. Keep strong! Impian itu sebenarnya sangat dekat dengan usahamu. Semakin kamu gigih berusaha, semakin dekat pula ia.
Salam,
Thursday, February 7, 2019
Pengalaman Visual Tak Bisa Dinomorduakan, Gunakan Trik Ini Biar Gambar di Blog Kamu Tetap Kece Maksimal
Photo on Unsplash |
Foto buram dan gelap jangan dipaksa masuk blog. Sebab foto seperti itu tidak membantu blog kamu jadi lebih kece, justru gara-gara foto yang kurang jelas dan ngeblur itu, pembaca jadi malas berkunjung. Mau nggak mau, sebagai seorang blogger, kamu harus belajar mengambil gambar yang menarik dan menata objeknya dengan apik.
Selama ini saya hanya mengandalkan kamera handphone saat mengambil gambar untuk kebutuhan ngeblog. Misal gambar buku, makanan, atau produk review. Sebenarnya, nggak ada trik khusus yang saya lakukan. Tapi, memang ada beberapa cara yang bisa dipilih untuk mendapatkan foto yang lebih terang dan menarik.
Khusus untuk foto saya atau keluarga, saya memang sengaja tidak menampilkannya di publik. Kenapa? Karena pengen buat kami aja sih…hehe. Jadi, bagi blogger yang punya pilihan seperti saya, ada baiknya kamu selalu ambil foto kosong tanpa pose lucu anak atau wajah imut kita di dalamnya. Supaya ketika kita butuh, dengan mudah kita tinggal edit dan pakai. Nah, biasanya foto-foto kosong ini saya ambil saat traveling. Saya nyebutnya sih foto kosong...kwkwk. Semoga kamu nggak pusing, ya!
Kamera handphone harus bagus nggak sih? Kalau bagus itu lebih baik, tetapi jika pun nggak ada, bisa pakai seadanya asalkan kamu tahu triknya. Nah, kira-kira apa saja yang bisa kamu lakukan supaya foto-foto sederhana kamu semakin menarik dan pantas saat dipajang di blog?
1. Pakai cahaya matahari tidak langsung
Satu hal yang sangat penting saat saya mengambil gambar adalah adanya cahaya matahari tidak langsung. Karena jika tidak, foto-foto yang saya ambil akan gelap dan nggak bening. Jadi, usahakan ambil foto saat pagi hingga siang hari.
Saya biasanya membuka pintu rumah dan ambil foto di situ. Letak pintu rumah saya sangat pas buat ambil gambar…hehe. Atau kamu bisa keluar teras dan coba cari tempat-tempat yang cocok di sana. Jangan malu ambil foto di luar rumah. Sebab, mengambil foto di dalam rumah apalagi yang kurang cahaya akan membuat hasilnya nggak maksimal.
Nah, gimana kalau malam? Harus ada tambahan cahaya dari senter. Senternya pun harus dipilih, ya. Sebab nggak semua senter cocok juga untuk penerangan saat ambil foto. Saya pribadi punya senter persegi. Jadi, ketika dipakai, sinarnya bisa merata ke seluruh sudut nggak hanya fokus pada satu titik saja.
Jujur saja, saya malas ambil foto malam hari karena hasilnya kurang oke meski sudah pakai senter. Jika tidak terpaksa, mending ambol fotonya pagi atau siang saja biar memuaskan.
2. Siapkan alas untuk meletakkan objek
Jangan asal menaruh makanan di meja atau lantai meski kamu tahu lantai kamu bersih dan kinclong. Kenapa? Karena kurang cantik aja dilihat. Kamu bisa beli kain khusus berwarna netral seperti putih atau hitam.
Untuk memotret buku, saya juga pakai lembaran buku yang sengaja saya lepas. Bukunya tidak terpakai dan saya menyimpannya sehingga bisa digunakan terus menerus. Hasilnya jadi berbeda, unik, dan menarik.
Atau kamu bisa beli alas foto yang oke. Saya pernah beli beberapa, tapi ukuranya kurang besar dan sudah hampir rusak sekarang…kwkwk. Kamu bisa manfaatkan apa pun sih, misalnya lantai bukan keramik yang oke. Pernah ada teman menggunakan lantai yang tidak disemen, hasilnya cantik banget seperti pakai alas foto, tetapi, yang ini murah meriah!
3. Beli aksesori seperti bunga atau yang lainnya
Untuk menambah cantik hasil jepretan kamu, belilah aksesori seperti bunga atau kain goni. Kedua aksesori ini sering banget saya pakai. Beli sedikit saja, nggak perlu banyak-banyak. Selain itu, kamu bisa beli talenan khusus untuk memotret makanan.
Jangan pakai talenan yang biasa dipakai memasak karena hasilnya bakalan nggak banget, ya? Selain nggak mulus, biasanya juga nggak bersih. Jadi, beli saja satu atau dua talenan khusus untuk meletakkan cake atau roti buatanmu.
Piring motif atau jenis tertentu juga bisa kamu cari. Beli satu saja jika hanya dipakai untuk memotret. Ketika jalan-jalan ke toko yang menyediakan peralatan dapur seperti menjual piring, mangkuk, atau gelas, saya sering membeli beberapa buah saja. Kenapa? Karena hanya dipakai untuk foto saja, bukan untuk makan sehari-hari.
4. Gunakan aksesori yang ada di rumah
Kalau kamu nggak punya bunga atau aksesori lain yang disebutkan di atas, kamu bisa pakai pelengkap seadanya. Untuk makanan misalnya, kamu nggak harus selalu pakai piring yang cantik, tambahkan saja daun pisang sebagai alas, hasilnya pasti lebih manis.
Lalu aksesori apa lagi yang bisa kamu gunakan? Sepatu, jam, make up, biskuit, cangkir teh dan isinya, buku-buku lama atau majalah bekas, lap, hijab, atau papan kayu. Semua itu bisa banget kamu pakai untuk mengambil foto supaya tambah kece, lho.
5. Jangan hanya ambil foto sekali jepretan, lakukan berkali-kali dengan posisi berbeda
Saya nggak paham soal fotografi seperti apa yang baik dan benar. Yang saya lakukan selama ini hanya sesuai kata hati aja *eaa. Kalau saya melihatnya cantik, berarti orang nggak jauh-jauh dari itu juga penilaiannya kecuali yang udah profesional, ya *tutup muka…kwkwk.
Saya bisa ambil gambar berkali-kali untuk satu objek saja, lho. Meski agak pegel, tapi setelahnya kita bakalan puas dengan hasilnya. Setelah selesai, tinggal pilih dan ambil yang cocok, sisanya buang aja ke laut *eh.
6. Jangan ragu mencari tahu dan belajar dari para senior kamu
Selama ini, saya suka terinspirasi dari teman-teman yang fotonya sungguh kece. Untuk foto makanan, saya suka mengintip gaya para penulis resep di Cookpad yang sekarang juga jadi teman di Instagram. Dari situ saya mencari lagi akun-akun yang suka mengunggah foto makanan dan resep. Hasilnya, meski nggak sebagus milik mereka, tetapi sekarang saya sudah nggak bingung mau ambil foto di mana dan seperti apa gayanya.
Untuk mengambil foto buku misal buat review, kamu bisa lihat akun Instagram orang yang suka mengunggah foto serupa. Ada banyak lho pembaca yang juga suka memotret buku hasil buruannya dengan begitu cantiknya. Meski hasil yang saya dapatkan belum seberapa, tetapi saya senang mengikuti akun mereka. Kalau saya pribadi, belum secakep itu sih gambar jepretannya. Yang penting bening aja deh..haha.
7. Pakai aplikasi edit foto
Untuk menghasilkan foto yang bagus, bukan hanya perlu mengambil gambar dengan baik, kamu juga butuh aplikasi edit foto yang bisa mempercantik tampilan foto kamu menjadi lebih kece.
Selama ini saya pakai aplikasi edit foto Aviary untuk mempertajam warna dari foto-foto yang saya ambil. Saya sudah sering share. Sayangnya, ketika saya cek kembali di Play Store, ternyata aplikasi ini sudah nggak tersedia. Tapi, coba teman-teman cek kembali, apakah sudah ada atau memang sudah nggak ada?
Aplikasi ini nggak jauh beda dengan aplikasi lainnya kok. Saya hanya pakai tool buat mengubah warnanya saja supaya lebih tajam dan cantik tapi nggak lebay warnanya.
Nah, untuk mengubah ukurannya supaya sama, saya pakai Canva. Usahakan samakan ukuran gambar kamu terutama yang sampul atau foto pertama. Sisanya bebas. Kenapa begitu? Karena foto pertama akan muncul di Home. Kalau nggak seukuran, hasilnya berantakan.
Biasanya saya pakai ukuran 800x500 atau 800x600. Ada juga yang memakai ukuran untuk foto di Instagram. Terserah, yang penting usahakan sama aja supaya rapi.
8. Compress gambar online
Supaya blog kamu tidak terlalu lola, compress dulu gambarmu dengan TinyPNG atau situs sejenisnya. Gratis dan mudah kok. Dengan cara ini, foto kamu tetap oke dilihat, tetapi nggak berat buat blog kamu.
9. Pakai gambar gratisan dari situs online
Kalau pada akhirnya kita benar-benar nggak punya gambar yang oke untuk dimasukkan ke dalam blog, jangan menyerah dan akhirnya memakai gambar kita yang gelap dan suram itu. Mending kamu pakai gambar-gambar free dari situs online yang sering dipakai juga oleh blogger.
Tahukah kamu, kira-kira ada berapa situs yang ngasih gambar gratisan buat kita para blogger? Ternyata banyak banget!
10. Jangan bosan belajar dan mencoba
Ilmu semudah dan seremeh apa pun, kalau kamu nggak peduli dan nggak mau mempelajari, hasilnya bakalan buruk banget. Meski kita bukan fotografer kece, bahkan kamera saja hanya pakai handphone, tetapi kamu bisa belajar dengan cara lain yang lebih simpel untuk mendapatkan hasil yang sama bagusnya.
Belajar itu tak terbatas hanya di bangku sekolah, belajar juga tak terbatas dari buku pelajaran, kan? Jalan-jalan di Instragram atau blog lain juga bisa jadi pembelajaran buat kita. Hasilnya, bisa jadi sekarang belum maksimal, tetapi siapa yang tahu sebulan atau bahkan setahun yang akan datang?
Semoga beberapa trik yang saya lakukan ini bisa juga membantu teman-teman yang sering bingung memikirkan cara mendapatkan foto yang menarik. Jangan berhenti berlatih, semakin sering dicoba, maka kamu pun akan tahu bagaimana cara mendapatkan foto yang kece dan menarik untuk blog kamu. Yuk, dicoba!
Salam,
Subscribe to:
Posts (Atom)
Hey there!
Part of
Popular Posts
Contact Me
Archive
-
▼
2019
(180)
-
▼
February
(11)
- Cara Mengirimkan Naskah ke Penerbit Mayor
- Begini Cara Memulai Profesi Sebagai Penulis Khusus...
- Buku ‘Agar Suami Tak Mendua’ dan Perjuangan Selama...
- Pentingnya Blogger Memahami Apa Itu Plagiat dan Re...
- Roti Sobek Pandan, Super Lembut dan Gampang Bikinnya!
- Traveling ke Turki dan Mengunjungi Museum Topkapi ...
- Demam Naik Turun Lebih dari Seminggu, Perlukah Pan...
- Ikutan Tagar 10 Years Challenge, Antara Impian dan...
- Pengalaman Visual Tak Bisa Dinomorduakan, Gunakan ...
- 7 Kesalahan Blogger Pemula yang Harus Kamu Hindari...
- Mengajarkan Anak Mencintai Dunia Literasi Sejak Dini
-
▼
February
(11)