Tidak Hanya Menelurkan Buku, Penulis Juga Harus Punya Etika

Thursday, January 2, 2020

Tidak hanya menelurkan buku, penulis juga harus punya etika



Benarkah seorang penulis bisa bebas meluapkan isi hatinya terutama di sosial media? Etiskah sebagai penulis yang sudah pasti banyak dijadikan panutan bagi para pembaca, tapi justru melontarkan kalimat-kalimat bernada kurang pantas?

Saya, bukan karena sudah paling baik maka menulis postingan ini. Menurut mas Ahmad Rifa’i, tulisan kita bukan hanya tentang apa yang sudah kita lakukan dan amalkan, tetapi juga tentang harapan besar kita ke depan, tentang apa yang ingin sekali kita wujudkan. Begitu juga dengan tulisan ini. Saya berharap ini juga jadi pengingat buat diri sendiri, sekaligus meluapkan keresahan yang timbul belakangan setelah melihat banyak postingan teman-teman sesama penulis yang penuh drama bahkan udah horor jenisnya :D

Karena jujur, saya jarang nulis status di sosial media terutama Facebook kecuali buat promosi buku atau pengumuman event menulis. Mungkin blog jadi tempat paling nyaman aja buat curhat. Misal ada sesuatu yang mengganjal, saya akan utarakan di blog ini. Tentunya postingan ini sangat jauh dari kesan mirip dengan lambe turah, Gaes...kwkwk.

Menjadi penulis itu berat. Bukan hanya tentang tanggung jawab kita terhadap apa yang kita tulis, tetapi juga tentang diri kita di tengah-tengah masyarakat. Biasanya penulis bakal jadi panutan, meskipun fans belum sebanyak apa. Atau setidaknya kalimat-kalimat kita diikuti oleh teman-teman terdekat. So, dalam hal ini saya mulai berpikir bahwa apa yang kita lakukan dan kita ucapkan sebaiknya dipikirkan seribu kali sebelum ditunjukkan ke publik.

Status Kita Menunjukkan Siapa Diri Kita


Kebanyakan di antara kita, hanya saling kenal lewat sosial media. Kita menjadi begitu akrab, padahal ketemu pun tidak. Biasanya, hal itu terjadi karena kita punya banyak kesamaan, misal sama-sama suka baca buku, sama-sama suka menulis, dan sama-sama punya keinginan untuk maju bareng tanpa harus saling sikut sana, sikut sini *eaaa.

Tapi, sekilas kita bisa membaca karakter seseorang dari status-statusnya. Bahkan tak jarang saya suka unfriend orang karena melihat statusnya yang kurang pantas. Kira-kira kita tipe yang mana, nih?

  • Tipe pertama


Ada orang yang blak-blakan banget di dunia maya, sebagian besar masalah dalam kehidupan nyatanya dia umbar. Nggak main akting-aktingan, ya itulah dia. Apa yang dia ceritakan juga tidak menyinggung orang lain, murni tentang dirinya.

Dia menjadikan itu sebagai terapi, bukankah kadang kita merasa lega sendiri setelah menceritakan satu masalah tertentu kepada orang lain meski tahu tidak ada solusi setelahnya? Satu hal, apa yang dia tuliskan meski terkesan blak-blakan, tetapi selalu ada faedah atau manfaat yang bisa dipetik. Dan saya, senang juga membacanya meski biasanya ditulis panjang-panjang...hehe.

  • Tipe kedua


Kedua, berhati-hati betul menulis status. Kalau dirasa nggak ada manfaat dan tujuan, ya mending nggak usah nyetatus. Mungkin saya mulai ada di posisi ini. Kadang sampai mati gaya aja mau nyetatus yang receh...haha. Di Twitter mungkin saya masih suka nyetatus tentang hal sepele. Tapi, untuk Facebook dan Instagram, ditata betul. Di Instagram bahkan dari foto-fotonya aja udah khusus tentang buku aja. Kalau dulu, semua saya posting :D

Emang bisa terus-menerus berpura-pura baik-baik aja? Kalau saya sedang resah sendiri, saya harus tetap menceritakannya, tapi mungkin hanya kepada orang-orang terdekat, kemudian merasa cukup setelahnya. Nggak perlu harus posting di Facebook dan media sosial lainnya. Itu cara saya, ya. Beberapa tahun yang lalu, sudah pasti saya belum sebijak ini...kwkwk.

  • Tipe ketiga


Nyetatus sambil julid, sambil nyindir temannya sendiri. Dan, ternyata yang begini mulai banyak, nggak peduli sekolahnya setinggi langit atau yang mungkin belum lulus SMA. Entahlah. Tapi, sebagian penulis pun ada yang melakukannya.

Dulu, saya termasuk orang yang suka tersinggung dan baper ketika ada status orang lain bicara ini dan itu. Saya juga kadang berdebat di kolom komentar untuk sesuatu yang tidak perlu. Saya tidak malu mengakuinya, karena saya pernah seperti itu.

Sekarang, apalagi sebentar lagi udah mau kepala tiga, rasanya ingin hidup damai aja. Jika nggak perlu banget, diemin aja. Kalau nggak merasa salah, kenapa harus ngelunjak? Atau, kalau orang nggak nunjuk langsung ke depan muka kita, kenapa kita harus merasa tersinggung dengan status orang lain? Kan, ada banyak orang di dunia maya ini, nggak perlu diambil pusing apalagi sampai dibikin ribut.

  • Tipe keempat


Keempat, tipe ikut campur, tapi nggak mau tahu masalah yang sebenarnya. Nah, nah, karena merasa udah dekat, udah kenal, ketika ada teman nyetatus tentang si A atau si B, tanpa konfirmasi kepada pihak satunya, kita merasa halal ikut caci maki juga di kolom komentar. Bahkan untuk saat ini, banyak juga yang nggak baca caption sampai tuntas, buru-buru aja komentar.

Sedih melihat banyak teman-teman terjebak dalam masalah seperti ini. Kemarin pun saya sempat melakukan kesalahan, ya masuk poin keempat ini, kemudian nyesel meskipun saya berkomentar juga nggak kasar. Hanya merasa, kok saya kurang memperhatikan masalah sebenarnya sih sebelum memutuskan berkomentar? Semoga ke depannya tidak terulang.

  • Tipe kelima


Kelima, tipe masa bodo. Bodo amat di A nyetatus apa, bodo amat si B nyetatus apa. Enaklah, santuy hidup orang ini...haha.

Nggak mesti jadi penulis juga sih untuk menjadi santun. Siapa pun yang merasa umat Rasulullah saw, sudah pasti harus belajar menjaga lisan. Terutama saya sendiri. Etika itu kan identik dengan sopan, santun, penuh empati, sebelum bicara dipikirkan akibatnya, apakah ada yang terluka karena ucapan kita atau nggak. Rasul pernah bersabda, dan menjadi moto yang selalu kita dengungkan, bahkan jadi lagu manis juga dalam film animasi Nussa dan Rara...hihi.
Berkata baik atau diam.

Suami saya kemarin bilang setelah saya terciprat minyak panas, “Bunda habis mikir jelek atau ada perasaan kurang baik nggak sama orang? Karena selama ini ayah selalu kena masalah setiap kesel sama orang. Ban bocorlah, ada aja. Jadi, sekarang walaupun ada orang berbuat dzalim sama ayah, ya udah mending santai aja.”

Jleb! Sempet ngapain, ya, sebelum akhirnya saya terkena minyak panas? Akhirnya jadi mikir, pasti ada penyakit hati. Ditelusuri emang benar sih abis mikir kurang baik sama orang lain. Dan, saya belajar dari semua itu.

Jangan Lupa Diri


Setelah ikut kelasnya mas Rifa’i, saya seperti dapat hidayah, lho...kwkwk. Itu kelas menulis, tapi sarat makna kehidupan *eaaa. Sejak terjun ke dunia literasi, sudah tak terhitung pengalaman manis dan pahit saya rasakan. Dan semua itu jadi pembelajaran tersendiri buat saya pribadi.

Saat jadi penulis, rasanya bangga ya bisa dikenal orang, banyak pengikut *jelas bukan saya karena pengikut saya itu biasanya dari hasil follow loop...kwkwk. Belum lagi bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah sendiri, dari rumah pula nggak perlu capek ke tempat kerja setiap pagi dan pulang menjelang malam. Ada banyak kebanggaan, belum lagi kalau buku kita cetak berkali-kali, best seller! Aih, siapa tak senang?

Tapi, apa yang kita punya semua murni adalah milik Allah yang hanya sekadar dititipkan, dan sewaktu-waktu bisa saja Allah ambil sesuka hati. Bukankah sudah banyak cerita dari orang-orang hebat yang sedang naik daun, kemudian diembus kabar negatif sekejap hilanglah semua kepopulerannya.

Maka, jangan sampai kita lupa diri. Jadi penulis harus punya etika, bukan hanya gengsi mau plagiat tulisan orang, tetapi juga bersikap santun kepada sesama. Kalau nggak suka mending nggak usah komentar, apalagi sampai merendahkan. Kita pernah ada di titik terendah itu, lho. Sekarang Allah angkat derajat kita, bukan berarti kita boleh seenaknya.

Perih rasanya melihat para penulis saling hujat menghujat. Kemudian tak kalah miris di kolom komentar banyak juga yang ikut caci tanpa hati. Please, kita perbaiki lagi etika kepada orang lain. Jangan suka baperan kalau teman nulis status ini, jangan main nyerobot kayak kereta nyamber. Karena ujungnya bakal ada keributan, yang ribut nggak hanya dua orang, melainkan satu kompleks sosial media yang saling bertaut.

Diam Itu Emas


Bukan saya tak ikut kesal membaca status A yang memaki dan mengejek si B, tapi saya mencoba menata hati supaya nggak memperkeruh masalah orang. Kalau satu komentar saya justru bikin orang tambah panas, bukannya malah dosa juga saya ini?

Jadi, saya percaya, diam itu emas. Kalau memang nggak diperlukan, nggak berfaedah, mending kita diam. Jangan sampai ikut membakar sekam, kemudian menjadilah besar apinya. Saya harus contoh suami sendiri, yang amat slow hidupnya, luv luv *eaa :D

Emang nggak susah tahan mulut? Kan ikut kesal juga ada orang didzalimi tanpa sebab? Awalnya susah dan gatel juga, sih. Tapi, belakangan saya berhasil juga mengendalikan diri. Karena sadar banyak orang mungkin akan melihat dan tak mustahil meniru apa yang kita perbuat. Dan satu lagi, saya mungkin menghindari masalah karena sadar saya ini mudah baper dan mudah suntuk.

Komunikasi tanpa batas membuat kita harus benar-benar berhati-hati ketika berbicara dan berkomentar. Sebagai penulis, jangan hanya bangga bisa menulis buku, tapi juga luruskan niat kemudian tata lagi etika kita kepada teman-teman yang lain. Mau jadi jahat atau baik, selamanya sudah pasti ada yang memuji dan mencaci. Ukuran banyak yang mendukung bukan berarti kita ada di posisi yang benar. Nggak selalu begitu, kok.

Saya berharap, setelah ini kita lebih pandai lagi menata hati. Kalau kata bungsu saya yang 4 tahun, “Ngapain marahin kakak? Biar Allah aja yang bales.” Kwkwk. Waktu kemarin saya sempat emosi sama kakaknya yang sedang menghapal untuk sertifikasi juz, sebab dia ngomel-ngomel karena ada yang lupa ayatnya. Saya meminta dia berhenti hapalan, rehat dulu. Baru lanjutkan kalau udah nggak capek. Malah tambah ngamuk dia. Kan esmosi emaknya serba salah*ealah malah curhat..kwkwk.

Eh, tiba-tiba si bungsu yang belum masuk TK berpertuah di depan saya sambil nyium-nyium. Aduh, emak malu, Gaes. Ayahnya pun ikut dinasihati, “Ayah nggak usah marahin kakak. Biar Allah aja yang marahin.” Si ayah ketawa, kan, gawat kalau Allah yang marahin. Lagian ayah ngerti juga nggak masalahnya apa. Marah juga nggak pernah :D

Hidup orang dewasa mungkin terlalu rumit, ya. Beda banget sama anak kecil yang masih polos. Tahun ini, semoga kita menjadi manusia lebih baik, menjaga lisan, menjaga hati, menjaga perilaku. Bukan hanya karena orang-orang melihat dan bebas mengomentari, tetapi juga karena kita punya Allah yang selalu mengawasi. Tetap sabar, ya!

Salam hangat,

Featured image: Photo by Min An on Pexels

 

Comments

  1. Saya suka uraiannya, Mbak. Dulu orang tua teman anak saya waktu TK, ngalamin hal yang sama.

    Baru tadi siang diajarin hadits yang artinya kurang lebih, "jangan marah, maka Surga-lah bagimu."

    Hadits itu langsung diucapkan pas ibunya kesel dan marah-marah. Pusssh, lagsung menguap itu muka seremnya.

    Berganti muka nahan tawa sekaligus terharu. Semoga saya termasuk orang yang santai dan adem ayem aja. Daripada mikir urusan orang, mending mikir gimana urusan kita sama Yang Maha Kuasa.

    ReplyDelete
  2. Hihi, anak-anak emang suka bener kalau ngajarin, ya. Nggak kayak kita yang sok dewasa :D

    ReplyDelete
  3. Suka bacanya Mbaaaa :*

    Btw kayaknya saya masuk tipe paling awal nih hahaha.
    Mungkin karena saya sering wara wiri di facebook ya, jadinya saya merasa facebook itu rumah buat saya hahahaha.

    Prinsip saya, selama tidak merugikan orang lain dan tidak menulis dengan makian, saya akan terus menulis :D

    Saya suka banget menulis di facebook, karena nggak ada batasan katanya, beda dengan medsos lain yang masih enak-enak nulis, eh udah habis batas katanya.

    Sebenarnya bisa saja nulis di blog, tapi kolom facebook lebih mudah diakses.

    Saya masih belajar juga untuk memilih diam menyikapi status orang lain, menahan jari untuk tidak komen yang malah memperkeruh suasana.
    Tapi kadang masih juga nakal kalau komen di grup KBM *plak

    Kalau di timeline sih, karena sekarang yang wara wiri cuman status teman-teman blogger, saya lebih memilih diam atau komen yang positif saja

    ReplyDelete
  4. Makasih, Mbak udah mampir...Teman saya juga ada yang begitu. Lucunya kalau di Facebook dia panjang nulisnya. Pindah ke blog mati gaya dia :D

    Saya banyak belajar dari status mbak Rey di Facebook :) Banyak pencerahan, pasti yang nggak berani blak-blakan akan bilang dalam hati, ternyata aku nggak sendiri :D

    ReplyDelete