Anak Demam 39 Derajat, Perlukah Panik dan Langsung ke Dokter?

Monday, January 20, 2020

Anak Demam 39 Derajat, Perlukah Panik dan Langsung ke Dokter



Kemarin, tiba-tiba sulung harus segera pulang dari sekolah karena demam. Sempat kaget karena sebelumnya dia nggak ngeluh sakit kecuali katanya sakit perut sebentar sebelum sarapan. Saya pikir dia hanya lapar. Setelah sarapan dan minum jus, dia berangkat seperti biasa. Sekitar pukul 10 pagi, wali kelas menghubungi saya dan mengatakan bahwa sulung demam sejak mata pelajaran pertama dimulai.

Saya sempat mikir, apa dia sedang batuk pilek? Kayaknya nggak juga. Saat sampai di rumah, dia lemas, tapi suhunya sudah mulai turun karena sempat minum penurun panas di sekolahnya. Dia tidur pulas setelah saya buatkan minum hangat.

Siangnya, suhunya naik lagi. Lumayan, 38,7. Belum kelihatan tanda-tanda batuk pilek dan lainnya. Nggak curiga DBD karena demam sempat turun meski akhirnya naik lagi. Ini memang bukan kali pertama dia demam seperti tanpa sebab, karena kadang sebabnya nyusul belakangan. Masih observasi aja karena melihat kondisinya masih oke, mau minum, bahkan sore sempat makan nasi plus telur. Nasi sisa sedikit.

Dia mengeluh pusing dan agak mual. Sayangnya, malam suhunya naik hingga 39,4. Bahkan lebih kayaknya. Di sini emaknya pengen nangis...kwkwk. Kebayang banyak hal, takut karena sejak usia dua tahun dia sering alami kejang demam bahkan sampai usianya enam tahun. Sedih, karena besoknya dia ada sertifikasi hapalan Alquran. Dan dia sudah mempersiapkan baik-baik sejak lama.

Soal penyebab demam, sekitar sore sudah ketebak kayaknya karena masalah perut. Diare, meski nggak sampai bolak balik ke kamar mandi (masih layak disebut diare nggak, ya? Secara nggak bolak balik juga). Jadi, yang masih kepikiran ya demamnya itu yang nggak turun.

Perawatan di rumah seperti biasa,

  • Kompres air hangat. Ingat, ya, jangan kompres dengan air dingin karena justru ini memicu suhu tubuh semakin naik.

  • Banyak minum, mulai dari air hangat, air putih, sampai air zam-zam dikeluarin semua...kwkwk.

  • Minum obat penurun panas, saya pakai sanmol (mengandung paracetamol) yang paling aman setiap empat jam sekali.

  • Pakai baju yang longgar, nggak usah sampai berlapis-lapis.

  • Sebaiknya nggak perlu nyalain AC karena bikin dia meggigigil, kecuali kalau sudah enakan. Mending nyalakan kipas hanya supaya kamar nggak pengap aja.

  • Makan setiap dia merasa enakan. Kalau sedang demam tinggi saya nggak pernah memaksa dia makan, karena pasti nggak masuk juga, yang ada mual, eneg. Jadi, tiap demam turun, saya tawarkan dia makan. Ketika demam, cukup fokus sama cairannya, kecuali dia memang mau makan, ya (tanpa dipaksa).

Ujian Orang Sakit


Saya katakan bahwa dia mungkin besok bisa ikut sertifikasi atau tidak. Tergantung kondisi dia gimana, intinya saya nggak mau memaksa. Kemudian dia langsung sesenggukan, merasa mungkin bakalan batal datang untuk ujian. Dan seketika hati emaknya mewek juga (nangisnya di belakang...kwkwk). Karena tahu dia emang pengen banget ikut. Kedua, dia memang sudah bersungguh-sungguh meskipun kadang harus sering diingatkan, setidaknya dia sudah berusaha banget sejak liburan kemarin. Ketiga, saya ingat dosa-dosa sendiri, jangan-jangan ini karena perbuatan saya yang buruk, entah ada ucapan kurang baik, perlakukan buruk sama orang, sama dia, atau apa pun.

Akhirnya banyak-banyak inget dosa sambil banyak doa semoga dia bisa sehat lagi besoknya. Jujur aja, sempat agak pesimis, secara malam dia suhunya masih setinggi itu, apa iya besoknya dia bisa sehat? Tapi, saya berusaha berpikir positif, yang sembuhkan Allah, bukan saya. Jadi, nggak ada yang mustahil.

Berpikir Positif Dalam Kondisi Seburuk Apa pun


Dan ternyata ini tidak mudah. Kita akan sulit sekali berpikir baik dalam kondisi yang buruk. Berbeda ketika kita dalam kondisi senang, gembira, dan bahagia, pasti akan sangat mudah memikirkan hal-hal baik.

Saat si sulung sakit, saya berusaha membangun pikiran positif, nggak berguna juga memikirkan hal-hal negatif. Meskipun sebenarnya ini sangat berlawanan dengan pribadi saya yang suka panikan. Voila! Ternyata saya berhasil meskipun itu nggak mudah.

Apa yang kita pikirkan akan terjadi, nggak menunggu seribu tahun lagi, Gaes. Tapi bakalan terjadi dalam waktu dekat, bahkan saat itu juga. Jadi, jangan sampai kita memikirkan hal buruk, mereka-reka, berandai-andai nasib buruk di waktu yang akan datang. Masa depan itu adalah hal gaib, nggak kita ketahui pasti. Jadi, kenapa kita menghabiskan waktu untuk memikirkan hal buruk, yang bahkan kita sendiri saja sebenarnya tidak pernah ingin?

Pelajari Tanda Gawat Darurat Saat Anak Demam


Tidak semua penyakit berat ditandai dengan demam tinggi. Demam tinggi juga bukan ciri dari sakit berat. Nggak selalu. Kadang, karena pilek saja, anak bisa demam tinggi. Penting kita tahu cara menangani selama di rumah, jangan panik (meskipun saya masih suka panik...kwkwk), minimal kita tahu apa yang mesti dilakukan saat anak demam tinggi.

Lantas, kapan kita harus segera pergi ke dokter? Dikutip dari buku dr. Wati (Q&A Smart Parents fot Healthy Children), disebutkan kapan waktu yang tepat menghubungi dokter saat anak demam,

  • Demam >38’C pada bayi usia 3 bulan, >38,5’C pada bayi usia 3-6 bulan, atau >40’C pada bayi usia >6 bulan.

  • Kondisi anak memburuk.

  • Tidak mau minum atau susah minum sehingga menyebabkan ia dehidrasi.

  • Rewel atau menangis terus menerus, tidak dapat ditenangkan.

  • Demam sudah berlangsung selama 72 jam (terutama jika tanpa gejala khas seperti tidak ada batuk pilek dll).

  • Tidur terus menerus, lemas, dan sulit dibangunkan.

  • Kejang atau kaku kuduk.

  • Sakit kepala hebat yang menetap.

  • Sesak napas.

  • Muntah, diare terus menerus.


Pergi ke Dokter Tidak Selalu Harus Pulang Bawa Obat


Saya pernah berdiskusi dengan seorang dokter spesiali anak senior di rumah sakit Hermina. Tentang obat-obatan yang diresepkan oleh dokter. Sempat saya menolak beberapa obat yang saya rasa tidak perlu. Menurut dokter, baguslah kalau orang tua mengerti, karena kadang para dokter ‘terpaksa’ memberikan resep karena merasa seolah dipaksa memberikan obat-obatan itu.

Kebanyakan orang tua pergi ke dokter karena butuh obat, mereka menuntut itu. Kalau ke dokter kemudian pulang tidak membawa obat rasanya nggak bener kali, ya? Hehe.

Ketika si bungsu demam tinggi di usia 2-3 bulanan, saya bergegas ke dokter. Karena seperti itulah yang saya pelajari di buku dr. Wati. Sekadar memastikan kondisinya baik-baik saja, sakit atau demam biasa atau ada tanda-tanda yang perlu kami waspadai. Karena memang sudah jelas disebabkan batuk pilek, alhamdulillah kami pulang. Hanya diberi penurun panas.

Meskipun saya agak jarang ke dokter, tapi di saat tertentu, dalam kondisi memang perlu, saya nggak akan menahan diri untuk pergi. Kalau harus pergi dan memang butuh berdiskusi, kenapa mesti menahan diri?

Ke dokter nggak selalu karena butuh obat, kalau diagnosa jelas, dan sekadar batuk pilek, ya udah, demam cukup diredakan dengan penurun panas jika diperlukan. Antibiotik dkk bisa kita skip. Kadang, kalau nggak mau ribut sama dokter, saya akan terima resep dan hanya menebus penurun panasnya saja.

Demam Reda Keesokan Harinya


Sabtu, 18 Januari 2020, demam si sulung turun. Tinggal sumeng aja. Meskipun agak pucat, pas mau berangkat sertifikasi juga hujan, kami tetap berangkat. Sambil tak henti-henti bersyukur, saya melihat bahwa pikiran positif akan membawa lebih banyak hal baik dalam hidup kita. Apalagi jika kita ber-husnudzon sama Allah, nggak akan pernah rugi.

Hal-hal baik yang kita kerjakan akan mendatangkan kebaikan serupa, begitu juga hal buruk lainnya. Jangan mengganggu orang lain, jangan jahatin orang, jangan berpikir buruk apalagi mengatakan hal buruk tentang orang lain jika kita mau hidup tenang. Meski masih belajar, tapi saya sangat percaya semua kebaikan memang akan berbalas hal serupa, begitu juga dengan keburukan yang kita kerjakan.

Semua akan baik-baik saja. Ya, akan seperti itu jika kita tetap berbaik hati, jangan membiarkan diri melakukan hal buruk, terutama pada orang lain :)

Salam hangat,

Featured Image: Photo by doctordoctor.com.au

 

Comments