Mengenali Tanda-tanda DBD pada Anak

Tuesday, October 29, 2019

Tanda DBD pada Anak



Mengenali tanda-tanda DBD pada anak atau demam berdarah dengue merupakan salah satu hal yang amat penting. Pengalaman si sulung saat terkena DBD membuat saya semakin waspada setiap kali anak-anak mengalami demam tinggi. Meski saya termasuk orang tua yang cukup santai menghadapi anak yang sedang sakit, tetapi untuk kasus DBD saya cukup peka memerhatikan tanda-tandanya. Jangan sampai saya terlambat mengobati mereka. Naudzubillah.

Indonesia termasuk negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Iklim tropis di negara kita menjadi rumah nyaman bagi para nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini menggigit semua orang tanpa pandang usia, terbanyak mereka yang usianya di bawah 15 tahun.

Pada kasus yang serius, yakni pada DBD parah yang dikenal dengan sebutan dengue hemorrhagic fever bisa menyebabkan perdarahan serius yang dapat merenggut nyawa.

Seram sekali, kan? Mendengar kata DBD rasanya menjadi sangat horor buat saya pribadi. Pengalaman merawat anak sendiri yang terkena DBD benar-benar bukan hal yang mudah. Bahkan dulu saya sempat lemas duduk di depan kamar sulung sebelum ia diinfus. Sudah tidak bisa berdiri, nangis sesenggukan.

Awalnya, di usia sekitar 3 tahun, sulung mengalami demam tinggi dan tiba-tiba sekali. Bangun tidur suhunya tinggi mencapai 39 derajat. Sesaat kemudian dia mengalami kejang demam. Panik bukan main. Demam tidak turun meski beberapa derajat walaupun sudah minum obat penurun panas. Nggak pernah terpikir anak saya bisa kena DBD saat itu mengingat di rumah saya sangat yakin kebersihannya terjaga. Nggak ada jentik.

Dua sampai tiga hari kemudian, kondisinya semakin menurun. Lemas parah. Untuk memukul saya saja dia tidak bisa. Saking lemasnya. Demam sepanjang beberapa hari itu benar-benar manteng. Saya berusaha menjaga cairan yang dia konsumsi jangan sampai dehidrasi. Kenapa saya belum membawanya ke dokter? Karena saya menunggu hingga 72 jam. Jika dia memang kena DBD, cek darah hanya efektif diketahui hasilnya setelah lewat dari batas waktu tersebut.

Hal ini memang saya pelajari dari milis sehat. Sebelum 72 jam, cek darah tidak bisa diketahui hasilnya. Hanya akan membuat anak trauma karena mesti cek darah berulang kali. Dan benar, pasien DBD di sebelah kami mengalaminya. Dia periksa darah di hari pertama anaknya demam tinggi. Hasilnya bagus, jadi mereka memutuskan membawa anaknya pulang. Beberapa hari kemudian, kondisinya semakin buruk. Akhirnya dibawalah ke rumah sakit. Hasilnya, positif DBD, sayanganya sudah terlambat ditangani sehingga sudah masuk fase kritis. Dia harus masuk ICU dan selang membelalai di mana-mana. Kasihan, ketidaktahuan orang tua dan kurangnya edukasi dari tenaga kesehatan membuat pasien jadi salah menangani penyakit pada anaknya.

Sebelum membawa sulung ke rumah sakit, saya sudah merasa kalau dia memang terkena DBD. Di betis, kaki, dan jemari tanganya muncul bintik-bintik merah atau ruam. Jelas ruamnya bukan ruam gatal-gatal biasa. Mencelos hati saya. Tapi, saya berusaha untuk tidak panik.

Sampai di rumah sakit, langsung cek darah dan hasilnya positif DBD. Lemas, pengen pingsan. Hati deg-degan parah. Mencoba menawar apa bisa dirawat di rumah saja? Ini pertanyaan konyol sebenarnya. Tapi, terlontar juga dari mulut saya saat itu. Hasilnya? Mana bisa rawat jalan. Dia harus rawat inap.

Setiap hari, ia harus mengalami trauma ketika suster datang dua kali sehari untuk cek darah. Saya bersyukur, meski ada masa-masa yang sangat menakutkan, bahkan sempat saya menangis semalaman melihat kondisi dia yang sempat memburuk, tapi Allah mudahkan dia berhasil melewati masa-masa kritis itu dengan baik.

Badannya sempat membengkak, anaknya nggak rewel sama sekali saat itu. Tapi, emaknya horor banget menghadapi kondisi dia yang kayaknya nggak bagus. Sampai lupa makan. Sampai lupa harus ngapain. Pikiran ke mana-mana. Ya, Rabb...Semoga ini tidak terulang lagi.

Sulung berhasil melalui semua itu dengan baik. Kondisinya pulih dengan cepat. Dan baru kami tahu, ternyata dia terkena DBD bukan di rumah kami sendiri, tetapi di rumah kerabat kami. Sebelumnya kami memang menginap dan sering main ke sana. Tak lama kemudian, salah satu anggota keluarga mereka ada yang kena DBD juga. Fix, sulung memang kena di sana.

Saat menjalani rawat inap, saya sempat ngobrol dengan pasien di sebelah yang usianya juga masih di bawah 10 tahun. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, mereka nggak sadar kalau anaknya kena DBD karena dokter bilang hasil cek darahnya bagus. Mereka kira rumah sakit sebelumnya itu jelek, jadi nggak bisa membaca penyakit yang diderita anaknya. Padahal, kalau mau mempelajari, sebenarnya cek darah memang tidak dianjurkan sebelum 72 jam (saat demam berlangsung).

Jadi, selama kurang dari 72 jam, asal tidak ada tanda gawat darurat, saya berusaha tenang di rumah. Memerhatikan cairan yang masuk, jangan sampai dehidrasi, jangan sampai kejang dan sesak. Intinya hal semacam ini memang mesti dipelajari, nggak bisa dianggap remeh. Akibatnya bisa fatal apalagi jika penyakitnya berbahaya.

Sejak hamil, saya sudah bergabung bersama milis sehat. Sampai detik ini, saya masih jadi anggotanya meski nggak aktif berdiskusi. Banyak pengalaman horor saya lalui bersama dokter-dokter di milis sehat. Meski kami tidak bisa bertemu langsung, tetapi diskusi bersama para dokter di milis sehat sangat membantu saya sebagai orang tua baru dalam mengambil keputusan besar.

Salah satu dokter di milis sehat yang pernah saya temui adalah dokter Apin yang bertugas di rumah Sakit Pasar Rebo. Jauh-jauh nyamperin dokter Apin saat anak bungsu saya demam hampir sebulan dengan diagnosa tak jelas dari beberapa dokter. Dalam banyak keadaan sulit, saya merasa sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari milis sehat.

Begitu juga pengalaman saat anak saya kena DBD. Saya mengerti kapan harus ke dokter, saya bisa menolak serta meminta obat-obatan yang seharusnya seperti saat dokter memberikan ibuprofen, saya minta ditukar dengan paracetamol. Karena setahu saya, ibuprofen lebih berisiko diberikan pada anak yang terkena DBD, lagi pula, paracetamol jauh lebih aman.

Dari mana saya bisa tahu jika saya tidak belajar? Maka dari itu, saya sangat berharap banyak orang tua di luar sana yang peduli akan hal semacam ini. Minimal kita tahu harus ngapain kalau anak kita sakit. Jangan melulu hanya kata dokter, kata dokter. Mereka memang ahlinya, tetapi sebagai orang tua kita juga harus aktif, lho. Karena beberapa kali saya berbeda pendapat dengan dokter yang nggak RUM (rational use of medicines). Dan jumlah dokter nggak RUM itu banyak banget. Bahkan sampai sekarang saya masih kesulitan menemukan dokter yang klik di hati. Makannya, kalau nggak penting dan memang harus, saya malas pergi ke dokter :(

BTW, sepertinya sekarang sudah memasuki musim penghujan. Beberapa hari yang lalu, Jakarta di guyur hujan. Alhamdulillah. Happy banget mendengar suara petir samar-samar, senang mencium aroma tanah yang menguap terkena basah air hujan. Ini musim kemarau yang sangat panjang. Hujan tak kunjung muncul juga. Jujur aja, sedih banget. Kapan mau hujan lagi?

Nah, di musim hujan, DBD menjadi penyakit yang menakutkan. Karena kemungkinan kita tidak selalu kena nyamuk ini di rumah saja, tetapi bisa juga di tempat lain. Karena nyamuk Aedes aegypti tidak pandang bulu kalau mau gigit. Nggak perlu nanya kamu blogger atau penulis buku *lol. Jadi, kita mesti waspada. Gunakan lotion anti nyamuk setiap bepergian. Biar lebih aman. Dan perhatikan tanda-tanda DBD pada anak. Karena sebenarnya gejalanya itu khas banget, kok. Bagi yang mengerti, akan mudah saja mengetahuinya.

Tanda-tanda DBD pada Anak


  • Demam tinggi dan tiba-tiba.

  • Demam terjadi tanpa gejala seperti batuk dan pilek.

  • Demam tinggi manteng atau nggak turun meski sudah minum obat penurun panas.

  • Nyeri dan sakit perut.

  • Anak muntah-muntah.

  • Pada kasus berat, bisa terjadi perdarahan misal mimisan atau gusi berdarah, dsb.

  • Muncul bintik merah atau ruam.

  • Anak sangat lemas.


Pada kasus anak saya, saya mengamati demamnya yang tidak turun meski sudah minum obat penurun panas. Beberapa sakit yang disebabkan oleh virus bisa juga mengalami demam tinggi tanpa gejala seperti roseola di mana setelah demam turun akan muncul ruam di punggung dan bagian tubuh lainnya. Tapi, demam DBD ini beda, ya. Lebih terasa karena anak saya lemas banget menunjukkan kondisinya menurun drastis. Ruam atau bintik merahnya pun tetap terlihat meski kulit direnggangkan.

Kita juga tidak perlu khawatir ketika anak kena demam tinggi, tetapi saat demam turun klinisnya aktif dan mau main. Biasanya ini bukan DBD. Tinggal observasi saja apakah ada tanda-tanda lain yang mengiringinya. Kita harus belajar dan belajar. Jangan berpangku tangan. Kita bisa belajar dengan membaca website terpercaya seperti di Mayo Clinic.

Dalam DBD, ada beberapa fase yang akan dialami oleh anak-anak. Sebagai orang tua, kita wajib mengetahuinya.

1. Fase demam

 

Orang yang mengalami DBD akan mengalami demam tinggi hingga mencapai 40 derajat dan tiba-tiba sekali tanpa disertai gejala. Demam tinggi bisa berlangsung selama 2-7 hari. Dalam fase demam, kita harus perhatikan kecukupan cairan, jangan sampai anak dehidrasi.

Dehidrasi merupakan hal yang perlu diwaspadai pada fase demam. Pasalnya, anak-anak juga lebih mudah kena dehidrasi daripada orang tua ketika demam tinggi.

Pada fase ini juga, akan muncul ruam atau bintik merah sebagai salah satu tanda yang melengkapi kecurigaan kita terhadap kasus DBD. Ingat, demam dan ruam pada DBD ini khas. Tidak seperti roseola di mana ruam muncul saat demam turun. Jadi, perhatikan betul-betul dan jangan anggap sepele.

2. Fase kritis


 

Setelah fase demam selama 2-7 hari, anak akan mengalami fase kritis. Pada fase ini kita harus waspada karena kebanyakan orang tua tidak memahaminya. Suhu bisa turun hingga 37 derajat, orang tua menganggap anaknya sudah sembuh. Padahal, di saat inilah bisa terjadi banyak hal buruk seperti kebocoran pembuluh darah dan sebagainya.

Karena itu, penting sekali memeriksakan anak tepat waktu. Jangan terlalu awal, jangan juga terlambat. Harus sabar dan teliti juga.

3. Fase penyembuhan


 

Pada fase ini, trombosit sudah mulai naik. Kondisi anak sudah membaik dan biasanya sudah ceria. Kalau muncul gata-gatal di sekujur tubuh, sepertinya itu adalah hal yang wajar, ya. Bersabarlah, insya Allah anak akan kembali pulih dalam beberapa hari ke depan.

Bagaimana Cara Mencegah DBD di Rumah?

 

Kita tentu senang musim hujan sudah datang. Tapi, di sisi lain kita juga mesti waspada dengan munculnya DBD. Di rumah, kita bisa melakukan beberapa hal sebagai langkah pencegahan supaya terhindari dari DBD. Apa saja yang bisa kita lakukan?

  1. Rajin menguras bak mandi. Saya pribadi bahkan mengurasnya seminggu dua kali. Karena sebelum seminggu, bak sudah ada jentik. Itu yang bikin horor. Lebih aman diberi ikan kecil-kecil..hihi.

  2. Bersihkan tempat penampung air seperti dispenser yang biasanya ada genangan airnya, kulkas, dan perhatikan tempat-tempat lainnya.

  3. Lipat pakaian atau gantung di dalam lemari supaya tidak menjadi sarang nyamuk.

  4. Pakai lotion anti nyamuk bukan hanya ketika keluar rumah, tetapi juga saat di dalam rumah.

  5. Fogging atau penyemprotan masal yang bisa menjangkau area lebih luas. Kalau di daerah saya, biasanya mesti ada kasus DBD dulu baru diadakan fogging.

  6. Bersihkan pekarangan atau taman, jangan sampai ada wadah bekas tergenang air atau tanaman terlalu lebat sehingga menjadi sarang nyamuk.


Itulah beberapa hal yang perlu kita perhatikan untuk mencegah terjadinya DBD. Kita pun perlu waspada dengan gejala dan tanda-tanda DBD pada anak. Jangan sampai terkecoh, karena DBD merupakan penyakit yang dapat merenggut nyawa apabila tidak ditangani dengan baik.

Yuk, belajar menjadi orang tua yang bijak menggunakan obat, belajar juga tentang penyakit-penyakit yang umum terjadi pada anak-anak. Karena tidak semua penyakit butuh berobat ke dokter apalagi rawat inap. Tetap tenang dan jangan mudah panik.

Salam,

 

*Pict by Pexels.com

Comments

  1. Wah thn yg lewat anak sy udh remaja mbak terkena dbd.. Panik donk.. Krn panasnya itulooh.. Badan jg lemes.. Sakit kepala katanya.. Cek dibrumah sakit.. Langsung opname.. Dan terbukti positif dbd.. Alhamdullilah sembuh setelah perawatan seminggu... Itu juga bulak" cek krn sy ga mau kecolongan lagi... Parno sy mbak... Biarpun udh remaja ttp aja yg namanya sakit kita was" apalgi skit kek gini...

    ReplyDelete
  2. sedih banget klo balita kena dbd
    dulu wkt adek saya sd pernah kena dbd sampe pembuluh darahnya sudah keluar dari hidung...

    ReplyDelete
  3. Suka deg deg ser kalau anak demam.
    Harus dilakukan pencegahan dengan menjaga kebersihan lingkungan walaupun kadang harus ribut sama tetangga yang ignorance terhadap kebersihan lingkungan.

    ReplyDelete
  4. Ngeri yah kalo anak kena DBD. Resikonya tinggi. Tapi banyak orang tua yang suka gak sadar. Bukan gak sadar sih, tapi gak ada pemberian informasi bahaya DBD. Coba sekarang diinget-inget, pernah gak di sekolah dapet pelajaran bahaya DBD secara khusus? Padahal jelas-jelas negara kita endemik DBD.

    ReplyDelete