Hukuman Bagi Anak, Perlukah?

Sunday, November 24, 2019

Hukuman Bagi Anak, Perlukah



Waktu sekolah dulu, saya termasuk siswi yang jarang sekali mendapatkan hukuman. Tapi, bukan berarti saya nggak pernah merasakan dihukum, ya? Haha. Hukuman paling lekat di ingatan adalah cubitan seorang guru Matematika yang mendarat di lengan. Nyubit bisa sampai lebam dan biru. Sadis banget, deh, guru saya satu ini...haha.

Alasan beliau menghukum saya simpel aja, karena saya dan beberapa teman nggak disiplin pakai seragam yang seharusnya. Pada hari tertentu (tepatnya saya lupa), kami seharusnya memakai seragam warna hijau. Ini memang seragam baru di sekolah kami, jadi, belum seluruhnya punya dan belum seluruh siswa memakainya.

Karena bahan seragamnya panas dan bikin gerah, akhirnya banyak di antara kami yang nekat memakai seragam warna putih untuk kemeja dan tetap memaki rok warna hijau. Bikin aturan sendiri gitu...kwkwk. Alhasil kalau sampai bertepatan ketika guru tersebut masuk kelas, bisa kena cubit.

Sebenarnya, perlukah memberikan hukuman bagi siswa siswi yang melanggar aturan sekolah? Seperti kasus saya, wajar saja guru menghukum karena memang jelas kami melanggar aturan dan jadi kebiasaan bukan sekali dua kali kami lakukan. Usia kami pun saat itu sudah kelas 2 atau kelas 3 SMP. Hukuman semacam itu meski bikin jera, namun nggak bikin trauma juga, bukan hal yang horor banget. Justru sekarang kalau ingat bikin cekikikan sendiri.

Tapi, bagaimana dengan hukuman yang justru dapat menjatuhkan mental anak-anak? Misalnya tanpa sengaja bisa membuat mereka malu di depan teman-temannya dan akhirnya menjadi sasaran bullying?

Hukuman Tidak Menjatuhkan Mental Anak


Kemarin saya sempat membaca sebuah postingan menarik di salah satu grup whatsapp, postingan ini berkisah tentang seorang pemuda yang bertemu dengan gurunya saat sekolah dulu. Dia bertanya, apakah sang guru tidak mengingatnya?

Guru tersebut tidak ingat sama sekali dengan muridnya yang baru saja menyapa. Sang murid keheranan kenapa bisa beliau tidak mengingatnya?

Kemudian mengalirlah kisah menarik setelahnya. Saat sekolah, ia sempat mencuri jam tangan milik salah seorang temannya. Saat pemilik jam tangan melapor kepada sang guru, beliau memutuskan menggeledah tas dan kantong baju para siswa. Namun, uniknya, semua mata siswa ditutup dan tidak diperkenankan melihat.

Saat sampai pada giliran pemuda itu, sang guru kemudian mengambil jam tangan itu dari kantong bajunya. Kebayang di dalam hati pemuda itu takut dan deg-degannya? Pasti dia bakal dipermalukan di depan semua murid. Hidupnya bakalan hancur banget karena ditertawakan satu sekolah. Belum lagi nanti dia bakal jadi sasaran bullying teman-temannya yang lain. Begitu yang ia pikir.

Namun, guru tersebut tidak menghentikan menggeledah siswa satu kelas meski jam tangan itu telah ditemukan. Jam tangan itu akhirnya dikembalikan pada pemiliknya tanpa menyinggung siapa pelakunya. Masalah itu pun tak pernah disinggung lagi oleh sang guru.

Setelah mendengar cerita dari muridnya, guru itu pun berkata, “Bagaimana aku bisa mengingatmu sedangkan saat aku mengambil jam tangan dari kantongmu, mata pun sengaja aku pejamkan?”
Pendidikan memerlukan seni dalam menutup keburukan

Seperti itulah cerita di atas ditutup dengan kalimat pendek yang begitu dalam. Apa, sih, inspirasi dari kisah di atas? Entah itu ditulis dari kisah nyata atau fiksi, tetap saja menimbulkan rasa hangat di dalam hati setelah membacanya. Bagaimana tidak, seorang guru yang nyata-nyata bisa menyebut nama murid yang telah mencuri jam tangan, justru memilih mendiamkan dan seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Saya percaya, si pencuri jam tangan ini, tanpa perlu ditegur pun sebenarnya sudah merasa bahwa dirinya memang salah. Teguran guru di depan semua siswa bisa jadi justru membuat mentalnya down, bahkan membuat masa depannya hancur, dan lebih parahnya dia bisa membenci sang guru seumur hidupnya.

Namun, karena ‘kepintaran’ sang guru dalam menyelesaikan masalah ini justru akhirnya membuat sang murid tetap mendapat efek jera tanpa harus merasa dipermalukan.

Ya, hukuman itu nggak perlu mempermalukan para siswa. Hukuman itu sebaiknya memang memberikan efek jera, namun dalam memberikan hukuman perlu mempertimbangkan banyak hal. Jangan sampai tujuan baik justru menimbulkan hal negatif yang tidak diinginkan.

Hukuman Harus Dikerjakan Oleh Siswa Itu Sendiri


Maksudnya apa? Saya mungkin termasuk orang yang cukup berlapang dada ketika anak sendiri diberi hukuman oleh guru. Apalagi jika jelas anak saya memang melakukan kesalahan. Seperti misalnya kemarin, dia kena hukuman mencuci sajadah temannya karena ia masih bermain ketika jam istirahat usai. Hukumannya tidak sebatas itu, dia juga harus membantu mengangkat bangku saat piket, dan sebagainya.

Ketika pulang sekolah dia sempat bingung dan mewek, karena dia merasa tidak melakukan kesalahan, kenapa kena hukuman? Bahkan saat itu ada sekitar 20 siswa yang kena...haha. Saya sendiri tidak percaya, masa iya nggak salah tiba-tiba dihukum? Pasti ia salah hanya saja nggak menyadari.

Ternyata, anak saya merasa benar karena sempat disuruh istirahat usai mengerjakan proyek kelas. Jadi, dia bermain di kelas, sedangkan jam istirahat sebenarnya sudah habis. Intinya dia memang salah, namun tidak menyadarinya.

Nah, hukuman yang diberikan kepadanya buat saya masih masuk akal. Karena bisa dia kerjakan sendiri. Sajadah itu pun dia cuci sendiri. Dan beres. Saya berpesan, lain kali berhati-hati supaya tidak melakukan kesalahan. Dihukum bukan hal memalukan, "Itu bentuk dari tanggung jawab kamu karena telah melakukan kesalahan."

Toh, hidup ini tidak selalu akan berjalan mulus dan sesuai keinginan. Ada saatnya harus merasakan pahit, asam, dan asin. Nggak mungkin selalu manis, kan?

Namun, berbeda jika hukuman yang diberikan kepada siswa tidak bisa mereka kerjakan sendiri. Misalnya karena makan siang di kelas, siswa harus membawa makanan sejumlah teman sekelasnya. Itu artinya orang tuanya pun harus ikut kena hukuman karena mustahil anak usia di bawah 10 tahun bisa beli makanan sebanyak itu.

Bicara Empat Mata


Kadang, anak yang bandel itu hanya butuh lebih banyak dipeluk katanya. Kadang ada anak yang luar biasa spesial tingkah lakunya bukan karena mereka layak disebut bandel, tapi mereka hanya butuh orang yang memerhatikan, dia begitu bisa jadi karena mencari perhatian semata. Maka ketika dia membuat masalah dan melakukan kesalahan, nggak ada salahnya mengajaknya bicara empat mata saja.

Namun, tidak semua siswa berani bicara kepada gurunya terlebih jika selama ini ia merasa bahwa dirinya hanya menjadi pembawa masalah. Bisa jadi ia sudah takut duluan, ngeri dihukum dan sebagainya.

Masalah semacam ini memang bukan sepenuhnya tugas guru untuk meluruskan atau membenahi. Karena saya sangat percaya, keluarga punya peran besar dalam membentuk karakter anak-anak selain lingkungan sekolah dan bermainnya. Jadi, selain guru membantu di sekolah, orang tua juga jangan lepas tangan. Sebisa mungkin justru harus saling kerja sama.

Buat saya pribadi, hukuman itu kadang memang perlu. Saya sendiri tidak mau memberikan hukuman dalam bentuk tugas yang sebenarnya itu memang sudah harus jadi tanggung jawab mereka. Misalnya, karena melanggar, anak-anak harus mencuci piring setiap selesai makan atau mencuci bajunya sendiri.

Saya katakan kepada sulung bahwa itu bukan sebuah hukuman. Itu adalah tugas dia di rumah supaya mandiri. Saya tidak mau memberikan hukuman semacam itu karena saya khawatir mereka akan mengerjakan tugas tersebut sebatas ketika dihukum saja. Mending cari alternatif hukuman lain yang lebih membantu misalnya meminta anak-anak diam di tangga selama beberapa menit setelah mereka ribut dan bertengkar.

Hukuman sederhana semacam itu lebih berguna terutama supaya semua yang terlibat bisa menenangkan diri dulu, nggak kebanyakan ngomong sementara waktu...haha.

Baik di rumah atau di sekolah, saya percaya hukuman fisik sama sekali tidak berguna kecuali hanya memberikan trauma berat buat anak-anak. Sudah sering lihat sendiri berita guru yang memberikan hukuman fisik pada muridnya dan tidak jarang akhirnya banyak yang meninggal dunia, kan? Semoga kejadian semacam itu nggak muncul atau terulang lagi.

Jangankan anak-anak, kita saja yang dewasa sering sekali melakukan kesalahan, karenanya ketika berniat memberikan hukuman pada mereka, pertimbangkan banyak dampak negatif dan positifnya. Jangan sampai tujuan baik kita justru mendatangkan hal buruk di kemudian hari. Semoga tidak sampai terjadi :)

 

*Pict by pexels.com

 

Comments

  1. Kereeennn...terima kasih

    ReplyDelete
  2. yup, hukumna diberikan dengan hati , sehingga yang dihukum tak merasa disakiti dan mau berubah

    ReplyDelete
  3. huhuhu, saya nih kadang beri hukuman sama anak, tapi biasanya nggak tega, jadi hukumannya sering saya langgar sendiri, ya ampuuunnn *plak!

    Tapi seiring waktu saya memang belajar, lebih baik ngobrol dari hati ke hati dengan anak, ketimbang diberi hukuman.
    Si kakak selalu lebih mengingat apa yang saya ajarkan dengan lembut ketimbang maramara huhuhu.

    Being a parent emang kudu terus belajar dan belajar.

    Terlebih di sekolah ya.

    ReplyDelete
  4. Ihh, pasti itu gurunya guru favorit di sekolahan...

    Gw mah dulu bandel. Dihukum mah udah kegiatan rutin pas sekolah. Kalo diinget-inget jadi malu sendiri, wkwkwkwk

    ReplyDelete