Gerimis di Mataku

Monday, November 11, 2019

cerpen



“Kasihan anak-anak. Mereka tidak bisa memilih siapa orang tua mereka. Nasib buruk punya ibu gila seperti aku. Lebih miris lagi mereka harus punya ayah seegois kamu, Mas!”

Napasku penuh sesak. Sudah sejak lama aku ingin menumpahkan kemarahanku pada Mas Dito, sayang pada akhirnya sering aku pendam sendiri. Memilih melupakan dan menganggapnya angin lalu.

Namun, benar kata orang, kemarahan yang dipendam rupanya tidak benar-benar hilang, melainkan hanya bersemayam sejenak untuk kemudian berubah menjadi bom waktu yang siap memusnahkan apa pun. Kali ini aku mengalaminya. Kemarahanku disulut oleh masalah sepele. Namun, karena terlalu banyak luka di dalam diri, akhirnya tumpah menyerupai bah.

Seperti biasa, setiap kali aku marah, Mas Dito memilih diam. Entah apa saja yang dia katakan di dalam hati, benci, kesal, atau marah seperti yang aku rasakan? Sebagai istri, aku tak pernah berniat melawannya. Aku ingin menghormati dia layaknya istri shalehah yang lain di luar sana. Namun sayang, aku tak sebaik itu. Di satu sisi aku terima dengan semua kesalahannya, karena aku pun bukanlah manusia tanpa cela. Tapi, di sisi lain aku lelah dengan ketidak pekaan dia dalam keluarga kecil kami.

Memang benar, menjadi ibu rumah tangga rawan stres. Aku pernah membaca status seorang teman tentang ibu rumah tangga yang rawan kena depresi. Bagaimana tidak, sehari semalam dia sudah bersusah payah menyiapkan banyak hal dan mengerjakan tugasnya demi kebahagiaan orang-orang di rumah. Bahkan ketika orang serumah tertidur lelap, dia rela tidur lebih larut lagi demi menyelesaikan pekerjaannya yang belum usai. Apalagi seorang ibu dengan balita, pastilah bukan hal mudah menyisihkan waktu sebentar saja untuk mengerjakan tugas rumah. Untuk sekadar mandi dan makan dengan tenang saja rasanya sangat langka. Lantas, ketika orang terdekat tidak memberikan dukungan sebagaimana mestinya, hancurlah kehangatan dalam hatinya.

Ibu rumah tangga yang depresi bukan orang yang harus dibenci, melainkan harus dikasihani. Iya, kasihan mereka hidup penuh dengan luka. Kasihan mereka merasa kesepian dan tak seorang pun menganggapnya berharga. Maka serupa itulah perasaanku sekarang. Merasa tak ada harganya. Aku bahkan bertanya dalam hati, sebenarnya Mas Dito mencintaiku dari hatinya atau sebab status pernikahan saja?

Kenapa aku bisa bertanya serumit itu sedangkan kami telah menikah selama hampir sebelas tahun? Bukan hal mustahil sebab dalam sebelas tahun ada banyak hal menyakitkan terjadi. Bukannya ingin mengeluh dan membandingkan kehidupan rumah tangga kami dengan orang lain, melainkan ada sisi ‘perih’ yang tak pernah benar-benar bisa kusembuhkan seorang diri.

Seperti hari ini, ketika aku harus membereskan cucian kotor sekaligus menyetrika pakaian, tiba-tiba anak-anak saling berteriak dan melemparkan makian. Spontan aku yang sudah terlalu lelah ikut berteriak meminta mereka diam. Karena jujur, aku yang lelah tidak bisa diminta bersabar sebentar. Sambil menyikat kemeja Mas Dito yang terkena tinta pulpen, aku memaki di dalam hati, ke manakah Mas Dito? Jangan-jangan dia sedang asyik sendiri bermain ponsel, sedangkan anak-anak bahkan tak ada yang menengahi ketika bertengkar.

Jujur aku kesal. Karena hampir seluruh pekerjaan rumah bersedia aku kerjakan sendiri tanpa seorang pembantu, sedangkan Mas Dito saat libur kerja boleh bersantai-santai tanpa beban. Dia bisa tidur seharian, mengunjungi teman atau kerabat dekat kami sampai sore, bersepeda sesuka hatinya. Sedangkan aku sama seperti ibu rumah tangga yang lain, tidak pernah mendapati tanggal merah dalam pekerjaan harian kami. Tak peduli hari Sabtu atau Minggu, aku tetap harus bekerja. Jika Mas Dito merasa perlu waktu untuk istirahat di tengah kesibukannya bekerja, seharusnya dia paham aku pun ingin menikmati hal yang sama.

Saat sakit pun aku masih harus mengerjakan banyak tugas rumah tangga. Karena itulah, aku katakan kepada anak-anak bahwa seorang ibu tidak boleh jatuh sakit. Karena ketika sakit pun aku harus tetap bekerja. Dan ternyata, pekerjaan ibu rumah tangga itu sangat berat, butuh cara hebat untuk mencegah kami dari ketidakwarasan.

“Semua berteriak! Kalian semua berisik. Malu didengerin tetangga!” ucap Mas Dito sambil berlalu.


 
Aku merasa sangat lucu dengan ucapannya barusan. Dia minta rumah serupa surga, sedangkan dirinya hanya berdiam diri saja. Jujur saja, meski aku kuat melakukan banyak hal di rumah tanpa bantuannya, tetapi dalam hati aku sangat ingin dia ikut campur meringankan pekerjaanku. Aku tak butuh dia beri pembantu, aku cuma ingin dia mau sedikit repot menyapu setiap akhir pekan, menata mainan bersama anak-anak atau menemani anak-anak saat aku melakukan pekerjaan rumah. Sayangnya, dia tidak pernah mengerti.

Aku yang masih sibuk mengurus cucian kotor kemudian naik pitam mendengar kalimatnya itu. Selain menertawakan dalam hati, aku tak tahan untuk melontarkan kalimat protes di hadapannya. Darahku mendidih. Aku menghampirinya yang terbaring di ranjang lantai satu. Aku bertanya, ngapain tidur di atas?

“Aku hanya ingin tidur dengan tenang.”

Sungguh bukan jawaban yang ingin kudengar. Bahkan sungguh tak pernah kuduga dia melontarkan kalimat pendek yang menusuk itu.

“Mau tidur dengan tenang?!” sentakku, “ bukankan dari tadi Mas sudah tidur nyenyak seharian. Bahkan aku dan anak-anak baru saja membangunkanmu karena waktu shalat Ashar mau berakhir. Lalu kamu bilang belum sempat istirahat karena kami semua berisik?”

Aku melanjutkan, “Keterlaluan kamu, Mas! Saat kamu tidur aku sudah naik turun membersihkan ruangan, menyapu dan mengepel. Saat anak-anak bertengkar barusan, aku tidak sedang bersantai melainkan sedang menyikat kemejamu yang kotor! Kenapa kamu tidak mau menemani mereka? Menengahi pertengkaran mereka sehingga kegilaanku untuk memaki anak-anak tak sampai muncul? Aku capek di rumah. Semua pekerjaan aku kerjakan sendiri tanpa pilih-pilih. Aku hanya mau kamu membantuku sedikit saja. Bukankah kamu sudah berjanji akan membantu sekadar menyapu lantai atau menemani anak-anak? Lalu mana kebenaran dari ucapanmu itu?!”

Aku memaki sejadinya. Kulihat anak-anak menjauhiku dengan raut wajah ketakutan. Ibunya sedang gila. Mereka paham seperti apa aku selama ini. Sering aku meminta maaf kepada anak-anak karena sikap tempramenku yang muncul tak kenal tempat. Aku menyesal ketika harus bertengkar bersama Mas Dito di depan mereka. Tapi, aku tak bisa  menahannya. Aku terluka. Luka sejak lama yang tak pernah sembuh diobati, hanya disimpan kemudian semakin banyak dan menjadi.

Aku tahu, masih banyak pernikahan yang lebih buruk daripada yang aku jalani. Sekali pernah Mas Dito bermain perempuan meskipun tak menjalin hubungan serius, tetapi sempat membuatku trauma dan sakit hati. Kemudian perlakuannya yang begitu spesial kepada kerabat lain ketimbang aku istrinya membuat luka itu semakin menganga. Sejak saat itu, aku berhenti menggantungkan diri kepada pria yang aku cintai sejak pertama bertemu. Sejak saat itu aku memutuskan berhenti menjadi seorang wanita lemah dan bodoh di hadapannya. Dan sejak saat itu, entah dari mana aku terlalu malas untuk membesarkan perasaan sayangku padanya.

Semua aku jalani seadanya. Melayani dia adalah kewajibanku, mulai dari pagi menyiapkan kemeja hingga kaos kaki, menyiapkan segelas jus dan kopi di meja makan, dan apa pun aku lakukan dengan baik, tetapi entah kenapa aku tak pernah selekat dulu memandangnya sebagai seorang suami. Semua aku lakukan dengan perasaan datar saja. Bahkan aku yang selama ini bergantung padanya sempat berani memuntahkan kata cerai. Aku tak mau dia meremehkanku. Aku tak suka dianggap selalu bergantung apalagi sampai diancam.

Pertengkaran kali ini begitu menyakitkan. Sehari semalam aku menangis sejadinya. Tak ingin melalukan apa pun. Memilih diam di kamar dan menyendiri. Saat aku marah kemarin, Mas Dito langsung membantu membilas cucian kotor, tetapi itu tak bisa jadi alasan untukku mudah memaafkan. Setelah banyak memaki, aku lebih suka diam dan tak pernah lupa meminta maaf pada anak-anak.

Aku tak suka kejadian semacam ini, tetapi dalam pernikahan selalu saja ada keributan kecil. Meski begitu, bukan berarti aku ingin berpisah darinya. Karena seburuk apa pun itu, aku tetap ingin kami bersama dan sangat berharap dia bisa berubah dan memperbaiki semua kesalahannya sama seperti aku yang berusaha menjadi dewasa di usiaku yang masih sangat muda. Pernikahan tidak seperti masa pacaran, yang ketika benci dan marah dengan mudah melontarkan kata putus. Pernikahan adalah kontrak seumur hidup. Kita dipertemukan karena takdir dan terpisah karenanya juga.

Kadang kupikir mendingan kami udahan aja. Tapi, bagaimana dengan anak-anak? Banyak ibu di luar sana memilih bertahan dalam sebuah hubungan pernikahan yang penuh luka hanya demi anak-anak mereka. Demi anak-anak, banyak ibu yang rela berdiam sambil menangis. Setelah menikah, kita tidak boleh jadi menusia egois. Banyak yang perlu dipikirkan, bukan hanya soal perasaan kita, tetapi ada hati-hati lain yang perlu dijaga.

Dua hari aku tak menyapa Mas Dito. Jujur saja, rasa kesalku sudah hilang, tetapi perasaanku jadi datar kepadanya. Aku mungkin terlalu lelah berpura-pura baik-baik saja. Selama menikah, jarang sekali dia mau bicara dan menyelesaikan pertengkaran kami. Aku pun tak ingin memulai bicara karena ujungnya tidak pernah ada penyelesaian berarti. Kami memilih diam hingga kemarahan itu berakhir. Sayangnya, dengan cara seperti itu, pertengkaran tidak pernah selesai.

Aku melihat anak-anak begitu terluka kemarin. Aku berjanji akan lebih baik saat menghadapi pertengkaran serupa, tidak mesti ada cacian di depan mereka, jangan menangis di depan mereka, dan berpura-puralah menjadi bahagia. Tugasku bukan lagi mengingatkan Mas Dito tentang janji-janjinya. Tugasku adalah menjaga hatiku supaya jangan terluka. Supaya anak-anak tidak ikut merasakannya. Sebab, sejak kecil aku terbiasa diperlakukan dengan buruk oleh orang tuaku, tak sedikit orang di sekitarku menjatuhkanku tanpa rasa iba, semua itu cukup memengaruhi pikiran alam bawah sadarku sehingga sewaktu-waktu aku bisa marah seperti orang kesurupan.

Aku mengasihani diriku sendiri. Ternyata selama ini aku hidup dengan hati penuh luka. Aku berpura-pura bahagia di depan banyak orang, tetapi sejatinya aku mengeluh sangat capek kepada Tuhan. Ya, aku capek dan ingin mengakhiri semuanya.

Sejak aku mengalami banyak hal seburuk itu, aku menjadi maklum kenapa ada ibu bisa membunuh anak-anaknya, kenapa bisa ada seorang insinyur bunuh diri, kenapa ada dosen nekat lompat dari atas gedung? Kamu tahu kenapa? Karena perasaan tidak berharga dan kesepian tanpa seorang pun mengerti itu begitu menyakitkan. Bahkan sangat menyakitkan. Tapi, seharusnya aku paham semua nasib sudah Tuhan gariskan. Aku hanya perlu menerimnya dengan lapang supaya tidak menjadi beban.

Pagi ini Mas Dito berangkat kerja sambil pamit kepada anak-anak. Aku memaafkan dirinya dan aku memutuskan melupakan kejadian kemarin. Aku mencium tangannya, tanpa sepatah kata pun dia balas mencium tanganku. Betapa aku ingin mengatakan bahwa aku mencintainya, namun luka-luka lama menghalangi perasaan itu.

Maafkan,  Mas kalau aku belum sebaik yang kamu inginkan. Maafkan kalau satu waktu aku menjadi beringas karena sakit hatiku. Aku memang gila! Tapi, seharusnya aku sembuh dengan bantuanmu, bukan malah sebaliknya.

 

 

Comments

  1. sediiih bacanya, seolah nyata mba. krn memang banyak yg mengalami hal ini :(. Aku jadi bersyukur sih, krn ga harus mengalami itu. walo kdg berantem ama suami, tp lbh krn ketidakcocokan ttg hobby. Bukan krn masalah kerjaan rumahtangga.

    ReplyDelete
  2. Iya, Mbak. Banyak banget yang ngalamin ini dari cerita-cerita teman sendiri. Alhamdulillah banget kalau kita punya pasangan yang bisa memahami kesulitan kita ya..

    ReplyDelete
  3. Ini banyak terjadi di kehidupan nyata ya, Mbak. Banyak yang 'gila' karena tidak punya telinga untuk menluahkan keluh kesahnya.

    ReplyDelete