Tuesday, September 9, 2025
Mendidik Anak Adalah Perjuangan Seumur Hidup
![]() |
Photo by Ana Klipper on Unsplash |
Coba ingat kembali kisah Kan’an, putra Nabi Nuh yang tidak mau beriman. Setelah dewasa, Nabi Nuh tetap mendidik dan mengarahkannya supaya beriman kepada Allah, tapi sayangnya, ia tetap memilih kafir.
Terutama anak-anak di zaman sekarang, tidak mudah bagi kita mendidik mereka di tengah gempuran dunia digital yang serba melaju kencang. Informasi terbuka luas, memungkinkan anak-anak menyangkal banyak hal ketika dinasihati. Berteman bisa dengan siapa saja, bahkan yang berbeda negara, juga berbeda bahasa. Hal ini makin menyulitkan kita untuk mengontrol akhlak mereka supaya sesuai dengan tuntunan syariat.
Anak-anak usia dini yang sudah lekat dengan handphone membuat dunia mereka tidak lagi sekadar bermain layang-layang di lapangan luas, bersepeda di sore hari, atau bermain lompat tali. Mereka yang masih kelas 2 SD sudah punya grup Whatsapp, punya jadwal mabar bersama teman-temannya, juga tidak segan mengatakan kata-kata tidak pantas.
Banyak kasus terjadi di depan mata, mulai dari anak-anak pesantren yang terbiasa dengan video-video porno hingga LG*T, juga anak-anak SD yang suka membully temannya, dan menutup diri dari orang tuanya. Kenyataan ini bukan hanya sekadar isapan jempol. Hal ini menandakan bahwa hidup di zaman modern tidak mudah.
Teknologi membantu hidup kita, tapi di sisi lain ia juga merupakan musibah yang membuat orang tua lalai dari tanggung jawab mendidik.
Agar orang tua tidak direpotkan, anak-anak diberi handphone sejak kecil. Mereka lebih banyak diam, tidak rusuh, tidak mengganggu, tapi dunia mereka menjadi rusak.
Anak-anak yang mestinya bergerak aktif ke sana kemari, kini mulai terpaku di depan gawai hingga berjam-jam bahkan nyaris seharian. Jangan kira hal ini tidak membawa dampak negatif. Banyak anak yang kecanduan handphone mulai menangis dan tantrum ketika handphone-nya diambil, bahkan jadi malas belajar dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Ini bukan masalah sepele. Ini tentang tanggung jawab kita kepada Allah.
Memohon Pertolongan Kepada Allah
Manusia itu makhluk yang lemah. Tanpa pertolongan Allah, mustahil kita bisa mendidik anak-anak dengan baik. Tanpa kemudahan dan izin dari-Nya, mustahil kita bisa menjaga anak-anak dari fitnah akhir zaman yang sangat kejam.
Anak adalah cerminan orang tuanya. Mereka adalah diri kita dalam versi kemasan sachet. Apa yang kita lakukan akan selalu dilihat dan dipelajari, kemudian ditiru. Karena itu, jika ingin mengajarkan anak-anak salat, contohkan apa itu salat dengan melaksanakan salat tepat waktu dan mengajaknya berjamaah ke masjid. Jika ingin mengajarkan Al-Qur'an, bacakan setiap hari dan perdengarkan tilawah.
Ketika berharap anak kita tumbuh dengan baik, kita pun harus berusaha melakukan hal-hal yang serupa. Anak-anak yang bermasalah cenderung lahir dari orang tua yang bermasalah. Meski tidak selalu, tapi hal ini bisa kita jadikan pelajaran sebelum men-judge anak, sebaiknya kita mengambil cermin dan melihat kepada diri kita sendiri.
Menjadi orang tua memang tidak mudah. Tantangannya luar biasa mendebarkan. Terkadang, setelah berusaha mati-matian, tetap saja ada hal-hal yang terjadi di luar kendali kita. Makanya, kita butuh Allah untuk menjaga mereka dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Banyak-banyaklah mendoakan anak-anak kita dan mohon ampunlah kepada Allah atas kelalaian sebagai manusia. Tidak ada manusia yang sempurna, tapi menyadari kesalahan serta kekurangan diri merupakan usaha terbaik yang bisa orang tua lakukan selama mendidik anak-anaknya. Tanpa rasa bersalah, mungkin kita tidak akan pernah mau belajar menjadi orang tua yang baik.
Jangan Pernah Lelah Belajar Menjadi Orang Tua yang Baik
Kita sering lupa, bahwa menjadi orang tua juga merupakan proses belajar seumur hidup. Bukan hanya anak-anak yang mesti belajar di sekolah, orang tua juga harus belajar memperbaiki dirinya, menambah pengetahuannya, juga ilmu agamanya melalui banyak cara.
Saya banyak belajar dari buku dan juga kajian-kajian. Banyak hal baru bisa diambil pelajaran, juga pengingat supaya senantiasa berhati-hati ketika mendidik anak-anak. Terkadang, lisan kita tidak terkendali ketika kesal. Terkadang, doa-doa kita berisi sumpah serapah hanya karena mereka berulah di meja makan.
Jangan pernah lupa, doa orang tua bisa menembus langit dan menjadi salah satu doa yang mudah Allah kabulkan. Jadi, tolong jangan mudah baper kepada anak. Jangan gampang tersinggung ketika mereka kesal dan marah. Kita jauh lebih dewasa dibanding mereka yang masih anak-anak. Kita pernah menjadi mereka, tapi mereka belum pernah menjadi orang tua. Jadi, bersikap dewasalah supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Jadilah Teman, Jadilah Dekat
Punya anak remaja merupakan tantangan tersendiri. Banyak orang tua mengeluh karena ketidakmampuan mereka mendidik dan mengendalikan anak remajanya yang sedang mencari jati diri.
Sebagai orang tua yang punya anak remaja, saya menyadari bahwa banyak di antara kita lupa membangun kelekatan dan komunikasi yang baik dengan anak. Menunaikan kebutuhan mereka bukan sekadar memberikan pendidikan dan nafkah cukup, tapi juga hadir dan ada dalam situasi apa pun.
Ketika menjenguk si sulung ke pesantren, menjadi pemandangan yang umum ketika banyak anak remaja lebih senang bermain gawai dibanding bercengkerama dengan orang tuanya. Menjadi hal biasa ketika anak remaja mencari handphone-nya dulu dibanding orang tuanya. Hal ini mestinya menjadi perhatian kita bahwa tanpa adanya batasan, sesuatu yang baik pun bisa menjadi buruk.
Terkadang, anak-anak belum bisa mengendalikan dan memberi batasan kepada dirinya. Maka, tugas orang tualah untuk mengarahkan dan memberi batasan supaya mereka tidak melakukan suatu hal secara berlebihan.
Bermain gawai bukan perkara haram, tapi berlebihan bisa menimbulkan banyak dampak negatif, termasuk rusaknya hubungan antara anak dengan orang tuanya. Hal ini menjadi pelajaran penting dalam keluarga kami sehingga saya dan pasangan berusaha membuat kesepakatan dan memberi batasan kepada anak-anak, terutama saat bermain gawai.
Edukasi tentang bahaya dan dampak negatif akibat terlalu intens bermain handphone juga mesti dijelaskan sejak dini. Kebanyakan, anak-anak kecanduan hanphone karena tidak pernah diberikan edukasi, juga batasan, terlebih mereka mulai punya gawai sejak kecil. Hal ini makin memperburuk keadaan.
Di rumah, kitalah rajanya. Bukan berarti kita boleh bersikap zalim, tapi ini tentang memberi batasan dan aturan. Anak-anak mesti mematuhi aturan yang kita buat dan sepakati bersama supaya keluarga kita tidak menjadi pincang akibat kelalaian salah satu anggota keluarga.
Sebagai gantinya, kita mesti hadir dan ada buat mereka.
Mereka hanya butuh didengarkan, diakui keberadaannya, dan diterima. Kenapa banyak anak kecanduan games dan handphone, bisa jadi karena orang tua tidak hadir sehingga mereka mencoba mencari pelampiasan atau teman pengganti yang bisa membunuh rasa bosan.
Saya yakin, atas izin Allah, keluarga yang berusaha mendidik anak-anaknya dengan baik akan Allah mudahkan semuan proses pengasuhannya. Usaha yang baik tidak akan sempurna tanpa doa-doa yang baik. Seperti itulah perjalanan menjadi orang tua. Pekerjaannya tidak pernah usai. Berlangsung seumur hidup bahkan setelah anak-anak kita tumbuh dewasa.
Salam hangat
Wednesday, September 3, 2025
Orang Tua Pilih Kasih, Bolehkah?
![]() |
Photo by Wijdan Mq on Unsplash |
“Bapakku (Basyir) memberiku sebuah hadiah.” ‘Amrah binti Rawahah berkata, “Aku tidak rela sampai Engkau mempersaksikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Bapakku kemudian menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Aku memberikan hadiah kepada anakku dari ‘Amrah binti Rawahah, tapi dia memerintahkanku untuk mempersaksikannya kepada Anda, wahai Rasulullah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah semua anakmu diberi hadiah seperti ini?” Bapakku menjawab, “Tidak.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bertakwalah kalian kepada Allah dan berbuat adil-lah terhadap anak-anak kalian.”
Nu’man bin Basyir kemudian berkata, “Dia pun menarik pemberiannya dan beliau (‘Amrah) juga menolak pemberian bapakku.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Pilih kasih atau berlaku tidak adil kepada anak-anak merupakan perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung sebagaimana dikisahkan dalam hadis di atas. Sebagai manusia, wajar jika ada orang tua yang condong kepada salah satu anak karena berbagai macam alasan. Sebagaimana anak kecil yang disodorkan beberapa potongan kue. Secara spontan ia akan memilih potongan kue paling besar. Pun dengan kita, terkadang kita cenderung pilih kasih kepada anak yang lebih pintar, lebih berprestasi, atau hanya karena ia berjenis kelamin laki-laki.
Di zaman jahiliyyah, kaum Quraisy merasa malu jika memiliki bayi perempuan. Maka, mereka dengan sadar mengubur bayi itu hidup-hidup. Namun, Islam telah lahir ke dunia dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meluruskan kekeliruan di zaman jahiliyyah, termasuk dengan tidak mengistimewakan anak lelakinya.
Dalam keluarga, kedudukan anak lelaki dan perempuan mestinya sama kecuali dalam hak waris.
Andai anak lelaki diberi pendidikan tinggi, maka anak perempuan juga berhak mendapatkannya dalam batasan yang diperkenankan syariat.
Namun, ternyata masih banyak orang tua yang cenderung berbangga hati kepada anak lelakinya dan memandang rendah anak perempuannya. Jika benar ada orang tua yang demikian, maka sesungguhnya ia telah berbuat tidak adil atau pilih kasih kepada anak-anaknya. Dan jelas itu telah menyakiti hati mereka.
Adil Tidak Harus Sama Persis
Ketika menjelaskan konsep adil kepada anak-anak, terkadang kita merasa bingung atau kesulitan karena kebutuhan si kakak dengan si adik biasanya berbeda. Si kakak yang sudah kuliah mungkin butuh biaya lebih besar dibanding adiknya yang masih sekolah. Hal semacam ini mestinya dijelaskan sejak dini kepada anak-anak kita supaya tidak timbul kesalahpahaman karena tidak semua anak mengerti dan memahami konsep adil dengan benar.
Dalam beberapa hal, kita mungkin mesti memberikan benda yang sama kepada mereka, tapi dalam kasus lain, terkadang kita mesti memberikan sesuatu sesuai kebutuhan. Misalnya, ketika memberikan uang saku kepada anak-anak. Anak yang lebih besar dengan kebutuhan lebih banyak pasti butuh uang saku lebih besar dibanding adiknya.
Namun, berbeda dengan pemberian lain, seperti hibah rumah, tanah, atau bahkan benda-benda berbentuk hadiah yang mestinya memang diberikan sama besar.
Anak-anak cenderung sensitif dalam hal semacam ini. Meski tidak benci, terkadang timbul rasa tidak nyaman ketika orang tua bersikap tidak adil di antara dia dan saudaranya.
Setelah membaca hadis di atas, kita jadi mengerti bahwa pemberian itu mesti sama, tidak berat sebelah hanya karena ada anak yang lebih disayang, tidak pura-pura lupa hanya karena si anak sudah dianggap mandiri.
Diperlakukan dengan adil merupakan hak anak kita. Jangan sekali-kali menyakiti mereka dengan bersikap pilih kasih. Setiap anak dilahirkan istimewa. Tidak ada yang lebih di antara mereka. Kita mesti memberikan support dan perhatian yang sama. Kita mesti memberikan kasih sayang dan cinta yang sama. Di sinilah, keadilan orang tua diuji.
Pemberian yang tidak adil akan membuat salah satu dari mereka iri dan mendorong mereka menjadi durhaka kepada orang tua. Terkadang, bukan anak-anak yang tidak mau akur dan rukun, tapi justru orang tualah yang sering mengadu domba anak-anaknya sehingga mereka menjadi bermusuhan satu sama lain. Misalnya, orang tua yang suka membandingkan anak-anaknya cenderung akan membuat salah satu dari anak merasa kesal kepada saudaranya sendiri.
Menjadi orang tua yang baik memang sulit, tapi ketika kita berusaha mendahulukan hak anak-anak di atas hak kita, maka insya Allah hal yang tidak diinginkan bisa dihindari. Orang tua juga mesti berusaha menjauhi hal-hal yang meimbulkan konflik di antara keluarga. Jangan selalu menyalahkan anak-anak kita, tapi perbanyaklah introspeksi diri.
Bersikap Terbuka Kepada Anak-anak
Berkaca dari pengalaman pribadi, sebisa mungkin saya bersikap terbuka kepada anak-anak tentang apa pun. Misal, ketika ingin membelikan sepatu atau pakaian untuk si kakak (karena miliknya sudah rusak atau kekecilan), saya pasti akan menceritakan hal tersebut kepada adiknya dan menawarkan apakah dia juga sedang membutuhkan barang yang sama? Atau mungkin ingin dibelikan barang jenis lain yang dia butuhkan? Namun, sering kali dia menolak karena merasa tidak membutuhkan apa-apa.
Dengan begitu, tidak ada hal yang saya sembunyikan darinya dan jika suatu hari nanti dia tahu, tidak juga akan menimbulkan kekecewaan.
Ketika saya dan adiknya pergi ke Gramedia dan membeli buku, si Kakak tetap akan mendapatkan jatah belanja buku sebagaimana adiknya meski ia sedang di pesantren. Hal-hal semacam ini saya buat menjadi sama rata karena ini bukan soal kebutuhan, melainkan hadiah.
Sebenarnya, mengasuh anak-anak tidak terlalu sulit jika komunikasi di antara kita dan anak-anak terjalin dengan baik. Ketika ada hal-hal yang tidak dinginkan sekalipun, kita bisa ngobrol dengan nyaman tanpa harus mendiamkan satu sama lain.
Sebagaimana kita dilarang mendiamkan saudara kita melebihi tiga hari, maka begitu juga kepada anak-anak. Jangan terbiasa mendiamkan mereka karena suatu masalah dan menganggap itu sebagai sebuah hukuman. Lebih tepatnya, mestinya kita ngobrol setelah suasana hati menjadi lebih baik dan mulailah dengan meminta maaf kepada mereka karena sering kali orang tua melakukan kesalahan, tapi jarang sekali menyadarinya.
Anak-anak butuh orang tua yang mau diajak kompromi, diskusi, memaklumi, memaafkan, juga mendengarkan mereka apa pun kisahnya. Rasanya, tidak ada hal yang lebih menyenangkan selain melihat anak-anak kita tumbuh dengan baik tanpa harus membuat jarak dengan orang tuanya sendiri.
Di dalam Islam sendiri, kita pun diajarkan untuk berbuat baik kepada orang tua serta anak-anak. Maka, berbuat baiklah dengan bersikap adil, tidak membanding-bandingkan satu sama lain apalagi pilih kasih.
Percayalah, perasaan mereka jauh lebih berharga untuk dijaga dibanding pemberian kita yang tidak seberapa. Jika kita merasa telah menjadi orang tua, maka belajarlah bersikap adil sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkannya kepada kita semua.
Salam hangat,
Friday, August 29, 2025
Berbohong Kepada Anak, Bolehkah?
![]() |
Photo by Ivan Andriavani on Unsplash |
Di dalam agama Islam, segala sesuatu diatur dengan sangat detail. Jangankan soal adab kepada anak-anak, urusan ke kamar kecil hingga tidur pun diatur dengan sangat baik. Kita mesti masuk ke kamar kecil dengan mendahulukan kaki kiri dan keluar dengan mendahulukan kaki kanan sambil tak lupa berdoa. Allah telah mengatur hidup manusia dengan sangat baik dan mengarahkan kita kepada hal-hal yang Dia cintai.
Namun, terkadang manusia itu bebal dan tidak mau patuh dan tunduk sehingga kita pun terjebak dalam kekeliruan yang disebabkan oleh pilihan kita sendiri.
Soal kejujuran, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi teladan terbaik hingga beliau diberi gelar Al-Amin oleh penduduk Mekkah karena kejujurannya.
Sebagai umatnya Rasulullah, kita mestinya juga menjadikan kejujuran sebagai identitas sebagai seorang muslim. Jujur tidak hanya harus kepada sesama orang dewasa atau yang lebih tua, tapi jujurlah juga kepada anak-anak yang bahkan belum tahu apa-apa.
Dalam sebuah kisah, Rasulullah pernah menegur seseorang yang berjanji akan memberikan kurma kepada seorang anak. Kemudian Rasul memastikan apakah dia benar-benar akan menepati janjinya atau tidak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang berkata kepada anak kecil, “Kemarilah. Saya akan memberimu sesuatu.”, lalu ia tidak memberinya, maka itu adalah sebuah kebohongan.” (HR. Ahmad)
Meskipun si anak tidak menagihnya karena ia belum mengerti dan memahami sebuah janji, tetap saja orang tua dianggap berbohong dan jelas ia berdosa. Begitulah yang Rasul sampaikan dan harusnya membuat kita berhati-hati supaya tidak berbohong kepada anak-anak meski kondisinya sedang repot sekalipun.
Orang Tua yang Tidak Konsisten Cenderung membuat anak bingung
Saat anak-anak masih kecil, saya berusaha konsisten menerapkan aturan di rumah. Ketika ingin membeli mainan, kami membuat kesepakatan supaya mereka menabung dan mengumpulkan uang sampai jumlahnya cukup. Mereka yang belum lima tahun begitu antusias menabung, tapi suatu hari ada saatnya mereka merengek dan memaksa masuk ke toko mainan.
Saya mengingatkan kembali soal kesepakatan kami yang sudah berjalan. Saya memenuhi keinginannya untuk masuk ke toko mainan, tapi kami tidak bisa membeli mainan saat itu juga karena uangnya belum cukup. Akhirnya, dia setuju dan masuklah kami ke toko mainan sekadar untuk melihat-lihat.
Saat mau pulang, dia mulai merengek dan tidak sanggup menahan keinginannya untuk membeli mobil remot. Saya ajak dia ngobrol di luar dan menawarkan untuk menghitung jumlah uangnya di celengan. Jika cukup, kami akan kembali ke toko mainan dan membeli mobil remot yang sudah dia pilih, tapi jika belum cukup, saya meminta dia menunggu lagi.
Masya Allah, saya percaya bahwa komunikasi yang baik dengan anak dapat memudahkan hubungan kita. Obrolan yang baik bisa membuat mereka paham. Tidak perlu marah atau membentak. Tidak harus menariknya keluar toko dan memandangnya dengan sinis. Cukup kita ajak ngobrol dari hati ke hati, insya Allah anak-anak akan mengerti.
Sesampainya di rumah, kami mengetahui bahwa uang di celengannya belum cukup jumlahnya untuk membeli mainan. Dia setuju untuk menunggu dan menabung lagi. Saya lupa tepatnya kapan akhirnya dia bisa membeli beberapa mainan dari uang tabungannya. Dan itu membuatnya begitu bangga, madya Allah.
Sebenarnya, dia tidak harus selalu menabung untuk membeli sesuatu. Kadang, saya juga membelikan mainan tanpa sebab karena mereka memang masih anak-anak. Namun, kali ini memang saya ingin mengajarkan kepada mereka bagaimana rasanya menunda keinginan dan bersabar sebentar demi mendapatkan apa yang kita mau. Karena saya paham, kita memang tidak akan selalu mendapatkan apa yang kita inginkan. Bukankah hidup tidak selalu bahagia saja isinya? Anak-anak pun harus tahu semuanya supaya mereka tetap bertahan di saat gagal atau jatuh sekalipun.
Di lain waktu, setiap akan pergi ke swalayan, kami membuat kesepakatan tentang barang yang akan dibeli. Dia boleh membeli snack atau susu, tapi tidak boleh membeli mainan. Jadi, setiap kami pergi ke swalayan atau ke mall, anak-anak tidak selalu pulang membawa mainan. Tanpa tantrum, tanpa menangis.
Konsisten memberi aturan membuat anak-anak kita tidak bingung. Anak merupakan makhluk kecil yang sangat pintar. Ketika kita tidak konsisten memberi aturan, mereka akan mencari celah dan menjadikan itu sebagai alasan untuk memaksa orang tua menuruti keinginannnya.
Ada anak yang selalu merengek minta diantar ke toko membeli snack atau mainan setiap kali ada orang bertamu ke rumahnya. Para tamu yang datang selalu mengatakan, "Turuti saja dulu. Kasihan," katanya. Orang tuanya pun jadi tak enak hati. Akhirnya, setiap ada tamu, si anak menangis sampai berguling-guling di lantai meminta ini dan itu.
Jika kita mengatakan A, tetapkan konsisten mengatakan hal yang sama meski sedang dilihat oleh banyak orang. Ketika kita tidak konsisten, anak-anak merasa bingung, kenapa kemarin A, tapi sekarang jadi B?
Hal itu membuat mereka akhirnya tidak patuh kepada kita.
Namun, jika kita sudah berjanji, tolong jangan main-main dengan janji kita. Anak-anak, terlebih setelah berusia cukup besar pasti akan sangat teliti dengan ucapan kita. Makanya, jangan mudah berbohong kepada anak-anak.
Setiap kali selesai ujian, saya selalu memberikan reward kepada anak-anak di rumah. Bukan karena nilainya yang bagus, tapi karena mereka sudah berusaha. Sebelum pembagian rapot, mereka sudah mendapatkan apa yang diinginkan.
Kebanyakan, saya membelikan buku karena mereka suka membaca.
Hal ini terus berulang sampai sekarang.
Terkadang, orang-orang mempertanyakan, kenapa saya bisa membuat kesepakatan bersama anak-anak yang masih kecil? Kapan mereka boleh nonton, berapa lama, dan kenapa mereka bisa disiplin tanpa perlu diingatkan, tanpa harus mencuri-curi kesempatan?
Sebenarnya, sederhana saja. Bangunlah komunikasi yang baik dengan anak-anak kita. Sebagaimana Rasulullah, kita pun harus berusaha dekat dengan mereka, hadir di rumah, dan ada di saat mereka butuh.
Bukan hanya punya ayah atau ibu, tapi benar-benar hadir sebagai orang terdekat mereka.
Ketika kita berjanji, jangan pernah mengingkarinya. Ketika kita memberi aturan, lakukan dengan disiplin. Andai mereka sudah hebat meski karena hal-hal kecil, jangan lupa berikan apresiasi.
Rasulullah begitu dekat dengan anak-anak. Beliau bercanda, beliau mau diajak bermain, padahal Rasulullah pemimpin dan seorang rasul, tapi beliau tidak membuat jarak dengan anak-anak.
Orang tua zaman sekarang sering kali lupa membangun kedekatan dengan anak-anaknya. Mungkin, memang sudah terlalu lelah setelah bekerja atau karena kesibukan lainnya. Namun, anak-anak tetaplah prioritas kita. Mereka adalah tanggung jawab kita dan mesti diberikan haknya, termasuk hak untuk disayangi dan diberi perhatian.
Jika tangki cinta anak kita penuh, mudah bagi kita untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan mereka, insya Allah. Apa yang Rasulullah sabdakan itu valid. Jika ada hal-hal yang berantakan dalam proses pengasuhan, mungkin ada hak anak yang tidak dipenuhi. Coba lebih dekat lagi dengan mereka dan bangunlah kelekatan yang baik. Karena bagi anak-anak, kita adalah dunianya.
Salam hangat,
Wednesday, August 27, 2025
Tanggung Jawab Pendidikan Anak Dalam Islam
![]() |
Photo by Jason Sung on Unsplash |
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggunjawabannya dan demikian juga seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari)
Dewasa ini, pendidikan anak tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tua sepenuhnya disebabkan kurangnya kesadaran orang tua akan kewajiban tersebut. Karena anak-anak akan sekolah dan belajar di sana, orang tua menjadi abai dan membiarkan anak balitanya bermain gadget seharian. Mereka tidak diajarkan membaca Al-Qur'an serta tidak diperintahkan menunaikan salat fardhu. Rutinitas di rumah hanya menonton telivisi atau bermain game online sepanjang hari. Pemandangan seperti ini banyak kita jumpai di zaman serba laju seperti sekarang.
Padahal, sesuai dengan hadis yang Rasulullah sabdakan, setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas yang kepemimpinannya. Seorang ayah memimpin keluarganya di rumah. Darinya, seorang anak belajar tentang disiplin, pantang menyerah, tanggung jawab, serta hal lainnya. Ayah tidak selalu mendampingi buah hatinya di rumah, tapi peran ayah tidak bisa juga digantikan oleh ibu. Jika sampai terjadi ketimpangan dalam pengasuhan, seorang anak akan kehilangan figur ayah dan ini menjadi fatal akibatnya bagi masa depannya nanti.
Ibu menjadi madrasah pertama bagi putra putrinya. Ibu mendampingi tumbuh kembang anaknya mulai dari kandungan hingga beranjak dewasa. Dari ibu, anak-anak belajar tentang empati dan kasih sayang. Ibu pula yang mengajarkan huruf pertama hijaiyah bahkan sebelum anak-anaknya pandai membaca.
Tugas orang tua memang berat dan melelahkan, tapi ketika kita tidak mau ambil peran dan abai di usia balitanya hingga remaja, maka nanti kitalah yang akan dibuat capek oleh ulah mereka setelah dewasa. Begitulah yang disampaikan oleh salah seorang ustadz dalam salah satu ceramahnya.
Setelah menikah, kitalah yang berharap anak-anak lahir ke dunia. Mereka tidak bisa memilih siapa orang tuanya, tapi kita bisa memastikan mereka mendapatkan haknya sebagai seorang anak. Mereka berhak atas pendidikan, kasih sayang dan perhatian, dicukupi nafkahnya hingga usia cukup untuk mandiri, juga selalu didampingi terutama di usia dini.
Saya menikah di usia muda dan jujur saja bukan hal mudah menjadi seorang ibu. Anak pertama adalah anak yang paling lapang dan luas hatinya. Dialah yang menyaksikan jatuh bangunnya kita sebagai orang tua baru. Namun, manusia dibekali akal untuk berpikir sehingga tidak seharusnya kita menyerah dengan pola pengasuhan yang keliru. Kita bisa belajar dan terus mengevaluasi pola asuh kita supaya tidak menzalimi anak-anak.
Banyak orang tua sibuk menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang mentereng, mendaftarkan mereka les ini dan itu, tapi kita lupa satu hal, mendidik diri sendiri. Kapan terakhir kali kita membaca buku? Kapan terakhir kali kita datang kajian dan mendatangi seminar parenting?
Tugas dan tanggung jawab mendidik merupakan tugas orang tua yang tidak bisa dilimpahkan seluruhnya kepada sekolah atau pesantren. Saat anak-anak masuk sekolah, dia sudah punya pondasi yang dibangun dari rumah. Anak-anak yang baik dibentuk dari kelekatan yang baik sesuai kebutuhannya. Kelekatan itu dimulai bersama orang tuanya.
Orang tua memberikan pengaruh besar kepada anak-anaknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan meletakkan suatu kaidah dasar yang intinya adalah bahwa seorang anak itu tumbuh dewasa sesuai dengan agama orang tuanya. Kedua orang tuanyalah yang besar pengaruhnya terhadap mereka.
Ibnu Qayyim mengatakan bahwa orang tua akan ditanya terlebih dahulu tentang anak-anaknya pada hari kiamat sebelum ditanya tentang orang tua mereka. Kita harus menunaikan hak anak dan jangan selalu menuntut untuk dihormati. Selain orang tua, anak-anak juga berhak untuk diperlakukan dengan baik.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
“Berlaku adillah kepada anak-anakmu.” (HR. Thabrani)
Berlaku adillah dalam pemberian dan kasih sayang. Jangan memberatkan perhatian hanya kepada salah satu anak hanya karena yang lainnya kurang pandai, kurang berprestasi, atau karena mereka hanya seorang anak perempuan. Hanya orang-orang Quraisy pada zaman jahiliyah yang masih merendahkan anak perempuan hingga berani menguburnya hidup-hidup.
Ibnu Qayyim bahkan menegaskan bahwa timbulnya keburukan pada jiwa anak sering diakibatkan oleh orang tua mereka sendiri. Anak-anak yang suka berkata kasar biasanya mendengar kata-kata yang sama dari orang tua atau pengasuhnya. Begitu juga ketika melihat hal-hal yang tidak berkenan lainnya handaklah mengevaluasi diri dan jangan selalu menyalahkan anak-anaknya.
Tentu kita tidak mau anak yang semasa kecil kita harapkan kehadirannya justru mencaci kita di waktu tua hanya karena kita telah mengabaikan mereka. Mereka berkata bahwa kita telah mendurhakai mereka sewaktu kecil, maka sudah waktunya mereka membalasnya dengan hal yang sama. Naudzubillah.
Pendidikan bukan hadiah, melainkan hak anak
Masih banyak orang tua yang mengabaikan pendidikan anak-anaknya. Pendidikan tidak terbatas hanya sekolah, tapi juga pengasuhan saat mereka di rumah. Anak-anak butuh belajar mengelola emosinya dan semua itu bisa dipelajari dari orang tuanya.
Anak-anak harus mengenal Allah dan Rasul-Nya, maka orang tua harus mengenalkannya melalui cerita-cerita yang mengesankan dan membekas pada hati.
Percayalah, anak yang dibesarkan dengan baik, penuh empati, dan kasih sayang akan tumbuh dengan baik.
Banyak sekali buku-buku parenting yang bisa kita pelajari, tapi sebenarnya basicnya ada pada hati.
Anak-anak tidak perlu dibelikan mainan mahal dan banyak, tapi mereka butuh kehadiran orang tuanya. Mereka bisa bermain dengan jemari kita dan tertawa dengan celotehan kita. Mereka tidak selalu senang ketika diajak ke mall, tapi mereka akan merasa utuh jika orang tuanya selalu ada untuknya.
Kita tidak bisa selalu bersama dengan mereka, tapi setiap kali ada waktu, buatlah kesempatan itu menjadi berkualitas. Saya tidak selalu melihat anak-anak yang tumbuh dengan baik hadir dari keluarga yang ibunya tidak bekerja. Ada juga yang sejak kecil dibebankan tanggung jawab menjaga adiknya saat ayah dan ibunya mencari nafkah, tapi ia tetap tumbuh dengan baik.
Jadi, sebenarnya ini bukan tentang kuantitas, tapi soal kualitas. Percuma saja orang tuanya di rumah, tapi jika mereka hanya sibuk dengan ponselnya masing-masing dan tidak memberi ruang bercerita kepada anaknya, maka rumah itu tetap akan terasa asing dan dingin. Anak akan mencari tempat lain di luar untuk diterima dan didengarkan yang sebenarnya ini akan berakibat fatal karena bisa saja anak salah mencari teman.
Ketika mengetahui tugas dan tanggung jawab mendidik anak sepenuhnya adalah tugas dan kewajiban kita, maka ambillah peran itu dan lakukan dengan sepenuh hati. Mereka tidak bisa memilih siapa orang tuanya, maka jangan biarkan mereka menyesal karena telah lahir dari rahim kita.
Salam hangat,
Saturday, August 23, 2025
Kisah Teladan Rasulullah SAW: Kasih Sayang Kepada Buah Hati
![]() |
Photo by Omar Lopez on Unsplash |
Anak-anak butuh perhatian dan kasih sayang dari pengasuhnya, terutama orang tua. Hubungan antara orang tua dan anak merupakan hubungan pertama yang mestinya berjalan sukses, tapi tidak jarang hubungan ini menjadi trauma yang dibawa hingga dewasa akibat orang tua yang melakukan kekerasan baik fisik maupun verbal.
Mendidik anak-anak tidak bisa dilakukan dengan kekerasan. Kita tidak bisa juga menyamakan antara kekerasan dengan tegas. Sebagai orang tua, kita mesti mendidik anak dengan konsisten, tapi tidak berarti harus berbuat kasar, baik dengan memukul, mengurung mereka di kamar gelap setelah melakukan kesalahan, apalagi memaki mereka hingga menangis.
Paparan verbal abuse dari orang tua kepada anak berusia 13 tahun meningkatkan risiko depresi dan masalah perilaku remaja usia 13-14 tahun. Hal ini merupakan hasil dari study Longitudinal pada 976 keluarga. Selain itu, kekerasan pada anak bisa merusak relasi keluarga yang tentu saja itu merugiakan kita sebagai orang tua.
Islam telah mengajarkan betapa pentingnya kasih sayang dan ketulusan kepada buah hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan banyak contoh kedekatannya kepada anak kecil supaya umat Islam meneladani akhlak beliau. Rasulullah pernah membiarkan cucunya menaikinya ketika sujud, Rasul juga begitu humble dan suka bercanda dengan anak-anak yang pernah ditemuinya.
Akhlak mulia yang Rasulullah contohkan selaras dengan banyak penelitian yang membuktikan bahwa kelekatan emosional yang baik antara orang tua dan anak bisa memberikan rasa aman. Ketika anak memiliki rasa aman, maka ia akan memiliki kemampuan untuk berkembang secata optimal dalam semua aspek kehidupan.
John Bowlby yang merupakan psikolog Inggris menggambarkan bahwa kelekatan sebagai hubungan psikologis yang berkesinambungan di antara manusia. Kelekatan merupakan hubungan yang dipelajari dari lingkungan, pengasuh, serta semua orang yang berkaitan dengan anak.
Kelekatan muncul ketika kita merespon kebutuhan anak dengan baik. Saat bayi menangis, kita mengerti bahwa dia sedang lapar, ingin digendong atau dipeluk, butuh ditemani, atau mungkin haus. Menjadi orang tua baru memang melelahkan, apalagi setelah melahirkan. Fisik yang masih lelah, kurang tidur, juga buah hati yang sering menangis membuat banyak ibu baru mudah stres. Inilah pentingnya peran ayah dalam membantu meringankan beban istrinya. Hal ini juga membantu membentuk bonding atau kelekatan antara anak dan ayahnya.
Betapa sulitnya menjadi orang tua, tapi kita telah melihat banyak contoh dari Rasulullah yang begitu sabar menghadapi anak-anak. Kesabaran kita kepada buah hati bukan hanya akan menguatkan ikatan emosional, tetapi juga menjaga relasi kita dengan mereka supaya tetap stabil.
Ketika melihat anak yang ‘bermasalah’ di sekolah, baik karena ia suka membully temannya, suka mencuri, berbohong, atau bahkan terlalu pendiam, sebenarnya kita bisa melihat bagaimana pola asuh orang tuanya di rumah. Anak tidak serta merta menjadi pintar setelah lahir. Ia melihat bagaimana lingkungan dan pengasuhnya merespon kebutuhannya.
Ketika mereka sering melakukan hal-hal ‘menyebalkan’, tidak berarti mereka nakal. Bisa jadi, mereka hanya butuh perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Dia hanya butuh dipeluk dan mendapatkan tempat aman.
Anak-anak bukan orang dewasa. Beberapa hal tidak bisa diceritakan secara terang-terangan sehingga ia menyimpan rasa takut dan kebingungannya sendiri. Ketika ada anak bermasalah, jangan buru-buru menyalahkan si anak, tapi mari evaluasi pola asuh kita selama ini. Anak adalah cerminan orang tuanya. Mereka adalah ‘kita’ dalam versi sachet. Ucapan serta perilakunya tidak jauh-jauh dari adab orang tuanya.
Anak yang diperlakukan dengan baik, penuh kesabaran, dan kasih sayang akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri, mudah bergaul, dan sayang kepada orang-orang di sekelilingnya. Berbeda dengan anak yang sering dibentak, dimarahi karena kesalahan sepele, dihukum terlalu keras, maka ia cenderung mencari cara untuk melindungi dirinya dari kemarahan orang tuanya, misalnya dari salah satu kasus yang saya temukan, anak yang terlalu takut kepada orang tuanya jadi suka berbohong supaya orang tuanya tidak memarahinya. Ia juga kerap melampiaskan kemarahannya kepada teman sekelasnya. Menjadi sulit ketika orang tua merasa anaknya baik-baik saja sehingga sering kali mereka menyalahkan anak lain dan mencari kambing hitam dibanding mengevaluasi diri.
Nabi Muhammad SAW selalu mengajak anak bermain dan berlemah lembut kepada mereka
![]() |
Photo by Baby Natur on Unsplash |
Sahabat Anas rhadiayallhu ‘anhu bercerita,
“Terkadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (mencandaiku dengan) memanggilku, ‘Wahai Dzal Udzunain (si pemilik dua daun telinga).’ Abu Usamah (salah satu periwayat hadis) mengatakan, ‘Beliau bermaksud untuk bersenda gurau dengannya.'” (HR. Tirmidzi)
Banyak hadis yang meriwayatkan betapa Rasulullah menyayangi anak kecil di sekelilingnya. Beliau pernah terkena kencing seorang bayi dalam gendongannya, tapi tidak mempermasalahkan itu. Ketika berbicara dengan anak kecil, beliau mensejajarkan posisinya sebagai bentuk sayang dan menghargai lawan bicaranya. masya Allah. Betapa indahnya akhlak beliau.
Menurut saya pribadi, tidak ada yang namanya kebaikan yang bisa diterapkan dengan melakukan sikap dan perilaku buruk. Misalnya, demi mendisiplinkan anak, kita terpaksa memukul, mendiamkan, dan membentak anak-anak. Hal semacam ini hanya menimbulkan luka dan rasa takut, bukan kesadaran untuk patuh kepada aturan.
Makanya, tidak heran banyak anak-anak yang dibesarkan dengan kekerasan atau pengabaian cenderung melakukan hal buruk di belakang orang tuanya.
Tidak penting seberapa banyak waktu kita buat anak-anak karena tidak semua orang tua bisa stand by di rumah setiap waktu, tapi ketika bersama, berikan waktu kita kepada mereka tanpa teralihkan oleh pekerjaan atau hal lain.
Saya percaya, anak-anak yang dibesarkan dengan kasih sayang tanpa mengesampingkan kedisiplinan akan mengerti kondisi orang tuanya. Tidak selalu menuntut, tidak selalu manja, bahkan mereka cenderung mandiri dan survive ketika harus tinggal jauh dari kita.
Salam hangat,
Thursday, August 21, 2025
Review Buku Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan
![]() |
Photo: Dok pribadi |
Adakah di antara teman-teman di sini yang suka membaca buku-buku yang ditulis oleh konselor, psikiatri, atau psikolog? Terlebih buku-buku terjemahan seperti yang akan saya review ini. Beberapa buku terjemahan isinya cukup berat, tapi untuk buku ini benar-benar ringan dan enak dibaca. Jumlah halamannya tipis, tidak makan waktu banyak, dan yang pasti isinya sangat menarik.
Salah satu alasan kenapa saya akhirnya meminang buku ini tidak lain karena saya termasuk orang yang suka berpikir berlebihan alias overthingker. Setiap kali ada hal-hal yang di luar keinginan atau rencana, saya merasa suntuk, stres, pengin nangis, dan akhirnya susah tidur nyenyak. Kenapa ada orang-orang sensitif dan overthinking seperti kita di dunia ini?
Sejauh yang saya pelajari, kehidupan kita yang sekarang, seperti apa kita di masa dewasa tidak jauh dari pengaruh saat kita dibesarkan. Saya bukan ingin mengkambinghitamkan orang tua dan pola asuhnya. Rasanya tidak dewasa serta tidak pantas selalu mengahakimi cara mereka membesarkan anak-anaknya, tapi dalam penelitian pun memang disinggung hal yang sama. Ibaratnya, kita nggak akan tahu obatnya apa kalau kita sendiri nggak mencari tahu penyakitnya. Inilah yang saya lakukan sebagai upaya untuk menyembuhkan diri dan membantu agar saya kembali utuh setelah banyak hal dilewati hingga sedewasa ini.
Selalu menarik berbicara tentang pola asuh, kesehatan mental, hingga trauma pengasuhan karena mungkin sedikit banyak saya mengalaminya. Itu juga sebenarnya yang melatarbelakangi saya akhirnya melanjutkan pendidikan dan mengambil jurusan Psikologi Islam.
Membaca buku kesehatan mental tidak seberat membaca modul-modul kuliah, ya. Kwkwk.
Sebagian adalah koleksi buku lama sebelum saya memutuskan melanjutkan pendidikan.
Kenapa bisa suka buku-buku seperti ini? Ada salah satu buku dari seorang konselor Jepang (kalau tidak salah ingat) yang isinya benar-benar relate dengan kehidupan saya saat menjadi orang tua baru. Kamu bisa baca ulasan bukunya di sini.
Masa-masa mengasuh anak saat mereka masih kecil benar-benar membuat saya cukup sering menarik napas panjang. Dulu, saya nyaris menyerah, tapi Allah masih sayang kepada saya. Allah baik banget karena telah membantu saya sembuh. Apakah ini mudah? Nggak sama sekali.
Dengan latar belakang pola asuh ala VOC, rasanya wajar jika setelah dewasa ada hal-hal di luar kendali diri dan kadang bikin nangis nggak habis-habis. Ternyata, pola asuh itu berpengaruh begitu besar kepada kehidupan kita, kehidupan anak-anak kita bahkan dari sebuah teori kelekatan menyebutkan,
Ikatan paling awal yang dibentuk oleh anak dengan ibu/pengasuhnya memiliki dampak luar biasa yang terus berlanjut sepanjang hidup.
Bisa kamu bayangkan, jika ikatan emosional itu tidak berjalan sukses, seumur hidup kita akan menanggung beban itu hingga dewasa. Berat, ya? Hu hu.
Dan, buku ‘Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan’ mungkin bisa sedikit membantu pola pikir kita yang suka overthinking dan cemas dengan hal-hal yang ada di luar kendali akibat pola asuh yang kurang ‘tepat’ saat kecil.
Anak-anak melihat bagaimana orang tuanya merespon suatu masalah. Apakah ayahnya membanting barang ketika kesal dan tidak berhasil melakukan sesuatu? Apakah ibunya mencubit dan menyakiti anaknya ketika mereka tidak bisa diatur? Apakah ibunya cukup pemalu saat bertemu banyak orang?
Hal-hal semacam itu dicontoh oleh anak-anak tanpa kita sadari.
Bagaimana anak-anak saya terlalu menutup diri dalam lingkungan sosial di rumah, betapa mereka merasa kesal kalau diminta keluar rumah dan berkumpul dengan tetangga saat ada acara di sana, dan hal-hal itu saya yakin diadaptasi dari ibunya...kwkwk.
Well, sejujurnya akhir-akhir ini, saya sudah merasa jauh lebih baik sebagai manusia. Saya bukan lagi manusia yang nggak enakan, saya bisa memberi batasan, dan pelan-pelan tidak terlalu peduli dengan komentar orang.
Membaca buku yang ditulis oleh dokter Tsuneko dan dokter Hiromi ini benar-benar membuka mata saya bahwa hidup tuh nggak perlu dipikirin berat-berat dan capek. Kita tidak selalu harus punya hubungan dekat dengan seseorang jika akhirnya hanya saling menyakiti. Kita tidak harus selalu berambisi mencapai ini dan itu jika hidup seperti sekarang saja sudah baik dan cukup. Buku ini benar-benar menampar saya. Kenapa kita terlalu keras kepada diri sendiri?
Hidup Tidak Selalu Memberi Kita Pilihan
![]() |
Photo: Dok pribadi |
Saat menyadari bahwa kita tidak lahir dari keluarga berada dan cukup, rasanya tidak ada hal paling tepat selain jalani aja sampai selesai. Karena kita tidak bisa menukar tempat dan posisi dengan orang lain, sedangkan mengeluh dan berangan terlalu jauh sering membuat kita kehilangan arah dan tujuan hidup. Kenapa sih kita nggak jadi Maudy Ayunda yang hidupnya serba sempurna? Punya keluarga harmonis dan berada, bisa sekolah ke luar negeri, dan menikah di usia muda dengan orang yang tepat.
Dokter Tsuneko tidak punya pilihan ketika harus melanjutkan sekolah kedokteran. Di masa perang, dia ikut keluarganya yang bersedia membiayai pendidikannya. Katanya, itu bukan hal yang dia inginkan, tapi dia tidak punya pilihan. Karena tetap tinggal bersama orang tuanya yang pas-pasan hidupnya akan menyulitkan diri dan keluarganya di masa depan.
Ketika ditanya apakah beliau sangat mencintai pekerjaannya? Kenapa bisa dikerjakan hingga 70 tahun lebih? Dia bilang, tidak juga. Ha ha. Dia nggak secinta itu sama pekerjaannya. Hu hu. Namun, jika ditanya apakah dia suka? Ya, dia memang suka menjalaninya meski telah bekerja puluhan tahun lebih di rumah sakit. Amazing banget, kan?
Kalau dari yang saya pahami, dokter Tsuneko tipenya nggak terlalu berambisi dengan hal apa pun. Ketika bekerja di rumah sakit, dia tidak mengejar jabatan tinggi, tapi lebih menikmati kariernya sebagai psikiatri dan berhubungan baik dengan semua orang.
Apakah beliau tidak pernah punya masalah dengan orang lain? Jawabannya nggak. Kenapa bisa seaman itu hidupnya? Sebenarnya, mungkin karena beliau orangnya bijak dan nggak gampang emosi. Ketika dia berdebat dengan dokter lain mengenai suatu hal, dia tidak membesar-besarkan masalah itu dan kembali berbaikan keesokan harinya. Dokter Tsuneko bakalan minta maaf meski dia nggak salah. Semua itu membuat hidupnya berjalan baik.
Tidak Membenci ataupun Menyukai Orang Lain
![]() |
Photo: Dok pribadi |
“Saat orang lain memerhatikan kita, ucapkan terima kasih dengan tulus. Dan, terimalah kasih sayang yang diberikan dengan gembira. Sebaliknya, ketika orang lain pergi menjauh, biarkan ia menjauh. Sikap “berterima kasih untuk apa yang datang, dan tidak mengejar apa yang pergi” pada akhirnya paling meringankan bagi kedua belah pihak.” (Hal. 29)
Dalam sebuah hubungan, terutama dalam pertemanan atau bahkan hubungan keluarga, sering kali kita menjadi dekat, tapi di kemudiah hari menjadi bermusuhan atau saling menjauh. Salah satu ilmu yang bisa dipelajari dari dokter Tsuneko tentang hubungan dengan manusia adalah memutuskan untuk tidak membenci siapa pun, tapi tidak juga menyukai mereka (atau menjadi dekat).
Jadi, kita bisa memperlakukan seseorang sewajarnya. Toh setelah dewasa, kita hanya butuh kepada anak-anak ataupun pasangan (keluarga inti) dibanding orang lain. Melihat mereka baik-baik saja, bisa kita ajak bicara, dan tertawa bersama merupkan hal yang lebih dari cukup.
Kenapa baru baca buku ini sekarang setelah sekian banyak hubungan pertemanan menjadi asing di kemudian hari? Hu hu.
Dokter Tsuneko tetap baik dan humble kepada semua pasiennya, tapi beliau bisa memberikan batasan supaya tidak terlalu dekat. Beliau juga sering berbagi cerita dengan pasiennya karena menurutnya, hal itu bisa menghilangkan stres atau mengurangi beban pikiran.
Ketika suaminya sering mabuk-mabukan, dokter Tsuneko memutuskan tidak minta cerai, tapi memilih mengurangi stresnya dengan berbagi cerita menjengkelkan tentang pasangannya kepada pasien. Jujur, ini bagian yang lucu, tapi suaminya sebenarnya memang baik sehingga masih layak dipertahankan. Beliau mementingkan keutuhan hati buah hatinya dibanding menuruti egonya.
Ketika dokter Tsuneko sangat kesal kepada sang suami, beliau membuat target pendek seperti dia akan mempertahankan pernikahannya sampai kedua anaknya menikah. Setelah itu, dia ingin bercerai. Namun, setelah waktu terlewati, dia menemukan suaminya sudah menjadi lebih baik dan akhirnya mengurungkan niatnya untuk berpisah. Alasannya? Karena mengurus perceraian juga merepotkan katanya. Ha ha. Lawak sekali ya, beliau ini.
“Pada dasarnya manusia makhluk yang kuat. Mungkin terlihat kembali ke titik nol, tapi sebenarnya itu adalah titik permulaan. Pada gilirannya, manusia terlahir kembali seperti burung phoenix, lalu berpikir “Mengapa sebelumnya saya merisaukan soal itu?” atau “Ternyata sekarang saya sudah lebih kuat.” dan kemudian menjalani hidup dengan ringan. Apa pun yang terjadi, sebagian besar akan bisa diatasi. Atau lebih tepatnya, hidup akan mencari jalannya sendiri.” (Hal. 71)
Kunci dari hidup tenang adalah sewajarnya memberikan porsi kepada hal apa pun, baik itu kepada pekerjaan, keluarga, juga manusia. Dokter Tsuneko juga menjaga privasi anak-anaknya setelah mereka menikah. Dia bahkan memilih tinggal seorang diri setelah suaminya meninggal dibanding harus tinggal bersama anaknya. Katanya, kenapa harus takut mati? Bukankah itu hal alamiah yang pasti terjadi? Justru kalau kita mati sendirian di rumah, kita tidak akan merepotkan keluarga atau anak-anak.
Makanya, meski sudah berusia 90 tahun lebih, beliau tetap bekerja di rumah sakit supaya tidak ada banyak waktu melamun di rumah. Waktu luang di rumah bisa memicu pikiran kita untuk berpikir berlebihan atau memikirkan hal-hal yang tidak penting.
Menurut saya, pendapat ini benar adanya. Ibu saya juga jarang sekali berkegiatan di luar rumah. Beliau tidak punya teman kajian karena kesulitan pergi ke mana-mana seorang diri.
Tinggal di rumah tanpa kegiatan berarti dan dengan kondisi suka berpikir berlebihan benar-benar menjadi komposisi sempurna untuk menimbun beban stres di kepala. Hingga kemudian, Ibu akhirnya tidak sadarkan diri sampai berhari-hari. Dokter pernah bilang, mungkin Ibu tidak depresi, tapi kalau stres sih kemungkinan besar iya. Saya pun yakin Ibu stres karena sering menyimpan banyak beban, bahkan yang sudah berlalu bertahun-tahun silam.
Hidup itu pilihan. Mau bagaimana dan dengan cara seperti apa kita melewatinya? Sebagai seorang perempuan, sangat penting untuk memiliki kegiatan di rumah, bukan sekadar pekerjaan sehari-hari sebagai Ibu Rumah Tangga. Kita mesti punya hobi, hal-hal sepele yang bisa dikerjakan bersama teman, bisa datang kajian supaya energi kita terisi kembali meski akhirnya harus naik turun lagi. Hal-hal seperti ini saya yakin bisa menjadi hiburan bagi masa tua kita nanti.
Salam hangat,
Tuesday, August 19, 2025
Hak-Hak Anak Dalam Islam
![]() |
Photo by Aldin Nasrun on Unsplash |
Jauh sebelum anak lahir, seorang calon suami atau istri hendaknya mencarikan calon ayah atau ibu yang baik bagi anak-anaknya nanti. Di dalam Islam, ada poin-poin yang mesti diperhatikan sebelum memilih pasangan. Kriteria ini hendaknya dijadikan pegangan terutama bagi umat Islam yang hendak menikah.
1.Pilihlah pasangan yang baik agamanya
Dijelaskan bahwa orang yang baik agamanya berarti ia mampu memahami ajaran Islam yang lurus, menjalankan syariat agama dengan baik, serta memiliki adab, dan ilmu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Perempuan itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta, dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Menikah dengan orang yang keliru bisa menyebabkan kerusakan dalam rumah tangga. Bagi kita, sulit mengubah orang yang sudah dewasa dan tumbuh dalam lingkungan yang buruk. Tidak mudah mengubah seorang lelaki atau perempuan yang terbiasa meninggalkan salat. Tidak mudah juga mengajari apa itu sabar kepada lelaki yang tempramen.
Jika kita keliru memilih pasangan, rumah tangga pun akan berantakan. Hal ini juga turut memberikan pengaruh buruk kepada anak-anak kita nanti. Itulah sebabnya, jauh sebelum mendidik anak, kita harus memilih calon pasangan yang sesuai dengan aturan syariat Islam. Jangan hanya termakan janji manis, tapi pastikan ia juga termasuk orang-orang yang mengamalkan agamanya dengan baik.
2. Pilihlah pasangan dari latar belakang keluarga yang baik
Riset genetika membuktikan bahwa anak mewarisi sifat-sifat moral, fisik, hingga intelektual orang tuanya. Karena itulah Islam menganjurkan kita supaya memilih pasangan dari nasab yang baik dengan harapan anak-anak yang lahir bisa tumbuh menjadi pribadi yang bertakwa serta bermoral.
3. Jangan memilih pasangan dari keluarga dekat
Islam menganjurkan supaya kita tidak memilih pasangan dari keluarga dekat seperti sepupu. Bukan tanpa alasan, hal ini menyimpan hikmah yang sangat baik di antaranya dapat melahirkan keturunan yang cerdas, menghindari penyakit menurun, serta memperluas hubungan keluarga.
4. Pilihlah perempuan yang masih gadis serta subur
Ada alasan kuat di balik anjuran memilih pasangan yang masih gadis, salah satunya demi menjaga keintiman dalam hubungan suami istri. Perempuan yang belum menikah diharapkan bisa mencintai pasangannya tanpa membandingkan dengan pasangan sebelumnya. Namun, bukan berarti seorang janda tidak dihormati di dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menikahi sayyidah Khadijah disebabkan nasab serta kemuliaannya.
Selain itu, Islam juga memerintahkan supaya seorang calon suami menikahi perempuan subur yang diharapkan dapat memberikan keturunan. Hal ini juga sejalan dengan harapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ingin melihat umatnya dalam jumlah banyak.
Hak-Hak Anak Dalam Islam
Ada beberapa hak anak yang mesti ditunaikan oleh orang tua. Beberapa di antaranya,
- Memilihkan calon ibu yang baik. Ibu merupakan sekolah pertama bagi anak-anak kita. Hampir seluruh waktu mereka habiskan bersama ibunya. Mereka belajar adab dan ilmu dari ibunya sebelum belajar di sekolah. Karena itulah, Islam menganjurkan supaya calon suami mencarikan ibu yang baik karena itu juga menjadi hak anak bahkan meski ia belum dilahirkan ke dunia.
- Mendoakan anak-anak kita supaya menjadi generasi saleh dan senantiasa dekat dengan Al-Qur'an. Tidak ada doa yang lebih mustajab selain doa orang tua kepada anaknya. Doa yang baik akan mengantarkan anak-anak ke jalan yang baik. Karena itu, hendaklah orang tua menjaga emosinya supaya tidak mudah berkata kasar ataupun mendoakan keburukan bagi anak-anaknya.
- Berikan nama anak-anak kita dengan nama yang baik. Nama yang baik akan menjadi panggilan serta doa yang akan ia bawa sampai mati. Kita boleh menamainya dengan Abdurrahman, Abdullah, atau Aisyah, serta Fatimah.
- Orang tua harus memberikan teladan serta contoh yang baik kepada anak-anaknya. Seorang anak berhak melihat kebaikan dalam keluarganya karena ia akan mencontoh dan meneladani orang-orang terdekatnya sebelum teman-temannya. Itulah kenapa ada kalimat yang menyebutkan bahwa mendidik anak sama dengan mendidik diri sendiri. Sebelum mendidik mereka, hendaklah kita memperbaiki amal serta adab diri karena semua itu akan dicontoh oleh mereka.
- Mendidik anak-anak kita dengan aqidah yang lurus sehingga mereka terjaga imannya serta dijauhkan dari perbuatan syirik. Pendidikan agama merupakan tanggung jawab orang tua karena fitrah seorang anak sejatinya beriman kepada Allah. Orang tuanyalah yang membawanya kepada agama lain selain Islam.
- Mengajarkan dan mencontohkan anak supaya mengerjakan salat fardhu. Berdasarkan pengalaman penulis, anak-anak tidak serta merta hanya diperintahkan untuk salat, tapi juga diajak salat bersama, dicontohkan sejak kecil dengan rajin membawanya ke masjid untuk salat berjamaah, dan memilihkan sekolah Islam yang mengajarkan mereka hal yang sama. Hal ini benar-benar memudahkan mereka supaya istikamah melaksanakan salat tanpa harus dipaksa setiap harinya.
- Memperlakukan anak-anaknya dengan adil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang seseorang memberikan sesuatu hanya kepada salah seorang anaknya, sedangkan yang lainnya tidak. Maka, Rasul dengan tegas melarang hal itu. Selain tidak adil, hal ini juga dapat menimbulkan kecemburuan di antara mereka sehingga muncullah masalah yang bisa merenggangkan hubungan keluarga.
- Jangan membedakan antara anak perempuan dan anak lelaki sebagaimana kaum kafir Quraisy yang suka mengubur bayi perempuannya hidup-hidup. Saat ini, masih banyak orang tua yang mengagungkan anak lelakinya dan menganggap rendah anak perempuannya. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Berikan pendidikan yang baik bukan hanya baik dari sisi akademik, tapi juga agamanya. Hal ini merupakan bagian dari tanggung jawab orang tua dalam mendidik putra putrinya yang mesti ditunaikan supaya mereka memiliki adab serta ilmu sesuai dengan ajaran Islam yang lurus.
Orang tua punya kewajiban berbuat baik kepada anak-anaknya, sedangkan anak-anak tetap dibebankan kewajiban untuk berbakti kepada orang tuanya.
Seiring berjalannya waktu, masih banyak orang tua yang meminta imbalan balas jasa kepada anaknya dan sering mengungkit pemberiannya seolah anaklah yang meminta dilahirkan ke dunia.
Menurut saya, hal ini tidak seharusnya terjadi mengingat baik orang tua ataupun anak sama-sama memiliki tanggung jawab serta kewajiban yang mulia di sisi Allah. Menjalankan kewajiban kita masing-masing membuat hubungan antara orang tua dan anak menjadi harmonis dan tidak saling menzalimi satu sama lain. Itulah kenapa, sebagai seorang muslim kita harus belajar ilmunya sehingga bisa mengamalkan tanpa harus menyakiti siapa pun.
Salam hangat,
Subscribe to:
Posts (Atom)
Hey there!
Part of
