Anak Korban Perceraian, Benarkah Dunia Mereka Akan Baik-Baik Saja?

Monday, September 22, 2025

 

Anak Korban Perceraian, Benarkah Dunia Mereka Akan Baik-Baik Saja?
Photo by Arvin Yuan on Unsplash


Pernikahan merupakan ibadah terlama dan terpanjang yang kita jalani bersama orang lain. Mempertahankan pernikahan bukan hal mudah. Di sana sini akan banyak sekali kerikil hingga jalan menanjak yang sering kali membuat kita berpikir, apakah benar pernikahan kita harus dipertahankan?  

Saya menikah di usia sangat muda, tepat saat saya berusia 19 tahun setelah menyelesaikan pendidikan D1 Syariah Islam di pesantren. Orang tua yang tidak mendukung pendidikan tinggi bagi anak perempuannya, juga takdir Allah yang menjemput lebih cepat seolah tidak memberikan banyak pilihan bagi saya waktu itu.

Masa awal pernikahan merupakan masa riskan, tapi lima tahun pertama bukan berarti masa-masa tersulit karena nyatanya banyak juga pasangan yang akhirnya berpisah setelah menikah puluhan tahun. Kita tidak bisa menebak kapan ombaknya akan meninggi, pun kita tidak bisa memastikan semua hal akan berjalan baik meski telah diusahakan.

Namun, niat awal menikah dan membina hubungan karena Allah mungkin bisa menjadi alasan untuk sama-sama menurunkan ego dan terus berusaha menghindari hal-hal buruk yang tidak Allah ridai. Karena tidak semua hal tentang diri kita. Kita juga mesti mengerti pasangan masing-masing.

Penyebab kasus perceraian zaman sekarang sering kali disebabkan oleh kehadiran orang ketiga. Menikah dan bersama orang yang sama dalam waktu bertahun-tahun mungkin membuat sebagian orang menjadi jenuh dan menginginkan hal baru, tapi bukankah pernikahan tidak bisa dijalankan hanya karena kita ingin dan mengakhirinya karena kita telah bosan?

Selain memikirkan betapa Allah membenci perceraian, kita juga mesti memikirkan kondisi psikologis anak-anak korban perceraian. Hal ini tidak selalu mudah bagi mereka. Anak korban perceraian juga mengalami banyak masalah psikologis hingga akademis yang menurun.

Hal ini tidak berlaku bagi semua orang, tapi penelitian membuktikan dampaknya yang dinilai negatif bisa muncul bagi sebagian besar anak-anak. Bukan hanya menjadi salah satu faktor, tetapi menjadi risiko, implikasi, dan konsekuensi bagi anak kita.

Namun, saya ingin menggaris bawahi bahwa tidak semua pernikahan bisa dipertahankan dengan alasan menjaga mental anak kita. Pernikahan dengan pasangan abusive, suka KDRT, dan melakukan kekerasan sebaiknya tidak dipertahankan hanya karena ingin menjaga psikologis anak-anak kita.

Mempertahankan pernikahan abusive justru merusak mental anak-anak karena setiap hari mereka harus melihat dan mendengar pertengkaran serta kekerasan dalam rumah tangga yang seharusnya tidak mereka lihat. Beberapa penelitian menyebutkan faktor yang bisa memengaruhi respon anak-anak terhadap perpisahan orang tuanya, yakni jelas memengaruhi kesehatan mental anak-anak kita.

Melihat perpisahan orang tua, mendapati fakta kita tidak lagi tinggal bersama adalah hal yang mungkin sulit mereka pahami. Pada sebagian anak, hal ini bisa menimbulkan stres dan efek negatif.

Perceraian juga berhubungan dengan peningkatan risiko masalah penyesuaian diri anak hingga remaja, kesulitan akademis, kecanduan, depresi, hingga putus sekolah.

Bagi saya, membahas perceraian bukan hal baru. Di keluarga besar kami ada beberapa orang yang harus bercerai setelah menikah bahkan lebih dari sekali. Penyebabnya mulai dari suami yang tidak memberikan nafkah, kekerasan dalam rumah tangga, hingga hadirnya orang ketiga.

Saya berpikir bahwa, orang-orang dewasa yang belum beres dengan dirinya sendiri cenderung kesulitan menjalani hubungan yang sehat bahkan meski mereka sebenarnya tidak saling membenci. Jika kita ‘sakit’, besar kemungkinannya kita akan menyakiti pasangan setelah menikah.

Perceraian Dalam Islam Perceraian


Terkadang, dibutuhkan talak bagi sebagian pasangan untuk saling menjaga satu sama lain supaya tidak saling menyakiti. Mempertahankan rumah tangga terkadang melebihi menggenggam duri. Pada akhirnya, pilihan bercerai menjadi salah satu jalan keluar.

Islam tidak serta merta melarang perceraian. Di dalam agama kita, ada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan berdasarkan Alquran dan sunnah. Beberapa di antaranya,

  • Mencari penengah, memikirkannya dengan matang bukan hanya karena emosi sesaat, serta mempertimbangkan baik dan buruknya bagi kedua belah pihak, serta anak-anak. 
  • Ketika aturan Allah tidak bisa ditegakkan, maka vonis talak bisa dijatuhkan.
  • Jatuhnya talak bukan bermaksud menyakiti pasangan.
  • Menjatuhkan talak karena pasangan tidak bisa menjaga kehormatan dirinya dan sulit diperbaiki.
  • Tidak dianjurkan menjatuhkan talak tiga sekaligus.
  • Menjadikan dua orang saksi dalam proses perceraian atau talak sebagaimana telah Allah sebutkan dalam Alquran.
  • Talak dijatuhkan dengan cara yang baik, tidak dengan merendahkan, berkata kasar, atau menyakiti.  

“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 241) 

Mut’ah adalah hadiah yang bisa menyenangkan hati seorang istri atau kita sebut dengan hiburan. Baik itu pakaian, nafkah, atau pembantu. Namun sayangnya, banyak lelaki yang tidak memberikan mut’ah kepada mantan istrinya saat proses perceraian. Hal ini jelas menzalimi hak istri. Maka dari itu, kita menyadari betapa pentingnya ilmu agama bagi seorang muslim. Bukan hanya yang dia pelajari dan pahami, tapi juga diamalkan dengan baik sehingga ia tidak akan menzalimi hak istri ataupun anak-anaknya.

Bagaimana Jika Orang Tua Harus Bercerai?


Perceraian bukan hal yang terlarang di dalam Islam, sehingga bisa dijatuhkan dalam kondisi tertentu sesuai syariat. Namun, bagaimana dengan kondisi mental anak-anak korban perceraian? Apakah kita bisa menjaga kondisi psikologis mereka dengan baik setelah terjadi perpisahan?

Ya, dengan penanganan yang tepat, anak-anak korban perceraian bisa tumbuh dengan baik tanpa trauma. Orang tua, baik dari pihak ayah dan ibu mesti bekerja sama untuk saling memberikan perhatian dan kasih sayang kepada mereka sehingga kelekatan tetap terjaga.

Anak-anak korban perceraian tidak selalu mundur dalam hal akademis. Banyak anak yang survive karena orang tuanya bisa berkerja sama dengan baik dan menurunkan egonya masing-masing. Hal ini mungkin tidak bisa diproses dengan mudah, tapi dengan kesabaran dan penuh pengertian, insya Allah anak-anak korban perceraian bisa menjalani hidupnya tanpa trauma psikologis.

Jika dibutuhkan, jangan segan mendatangi tenaga profesional untuk mengetahui kondisi psikologis anak kita. Makin peka kita terhadap tanda-tanda traumatis pada anak, makin mudah kita mengambil tindakan dan treatment yang tepat.



Salam hangat,

Comments