![]() |
Photo by Wijdan Mq on Unsplash |
“Bapakku (Basyir) memberiku sebuah hadiah.” ‘Amrah binti Rawahah berkata, “Aku tidak rela sampai Engkau mempersaksikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Bapakku kemudian menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Aku memberikan hadiah kepada anakku dari ‘Amrah binti Rawahah, tapi dia memerintahkanku untuk mempersaksikannya kepada Anda, wahai Rasulullah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah semua anakmu diberi hadiah seperti ini?” Bapakku menjawab, “Tidak.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bertakwalah kalian kepada Allah dan berbuat adil-lah terhadap anak-anak kalian.”
Nu’man bin Basyir kemudian berkata, “Dia pun menarik pemberiannya dan beliau (‘Amrah) juga menolak pemberian bapakku.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Pilih kasih atau berlaku tidak adil kepada anak-anak merupakan perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung sebagaimana dikisahkan dalam hadis di atas. Sebagai manusia, wajar jika ada orang tua yang condong kepada salah satu anak karena berbagai macam alasan. Sebagaimana anak kecil yang disodorkan beberapa potongan kue. Secara spontan ia akan memilih potongan kue paling besar. Pun dengan kita, terkadang kita cenderung pilih kasih kepada anak yang lebih pintar, lebih berprestasi, atau hanya karena ia berjenis kelamin laki-laki.
Di zaman jahiliyyah, kaum Quraisy merasa malu jika memiliki bayi perempuan. Maka, mereka dengan sadar mengubur bayi itu hidup-hidup. Namun, Islam telah lahir ke dunia dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meluruskan kekeliruan di zaman jahiliyyah, termasuk dengan tidak mengistimewakan anak lelakinya.
Dalam keluarga, kedudukan anak lelaki dan perempuan mestinya sama kecuali dalam hak waris.
Andai anak lelaki diberi pendidikan tinggi, maka anak perempuan juga berhak mendapatkannya dalam batasan yang diperkenankan syariat.
Namun, ternyata masih banyak orang tua yang cenderung berbangga hati kepada anak lelakinya dan memandang rendah anak perempuannya. Jika benar ada orang tua yang demikian, maka sesungguhnya ia telah berbuat tidak adil atau pilih kasih kepada anak-anaknya. Dan jelas itu telah menyakiti hati mereka.
Adil Tidak Harus Sama Persis
Ketika menjelaskan konsep adil kepada anak-anak, terkadang kita merasa bingung atau kesulitan karena kebutuhan si kakak dengan si adik biasanya berbeda. Si kakak yang sudah kuliah mungkin butuh biaya lebih besar dibanding adiknya yang masih sekolah. Hal semacam ini mestinya dijelaskan sejak dini kepada anak-anak kita supaya tidak timbul kesalahpahaman karena tidak semua anak mengerti dan memahami konsep adil dengan benar.
Dalam beberapa hal, kita mungkin mesti memberikan benda yang sama kepada mereka, tapi dalam kasus lain, terkadang kita mesti memberikan sesuatu sesuai kebutuhan. Misalnya, ketika memberikan uang saku kepada anak-anak. Anak yang lebih besar dengan kebutuhan lebih banyak pasti butuh uang saku lebih besar dibanding adiknya.
Namun, berbeda dengan pemberian lain, seperti hibah rumah, tanah, atau bahkan benda-benda berbentuk hadiah yang mestinya memang diberikan sama besar.
Anak-anak cenderung sensitif dalam hal semacam ini. Meski tidak benci, terkadang timbul rasa tidak nyaman ketika orang tua bersikap tidak adil di antara dia dan saudaranya.
Setelah membaca hadis di atas, kita jadi mengerti bahwa pemberian itu mesti sama, tidak berat sebelah hanya karena ada anak yang lebih disayang, tidak pura-pura lupa hanya karena si anak sudah dianggap mandiri.
Diperlakukan dengan adil merupakan hak anak kita. Jangan sekali-kali menyakiti mereka dengan bersikap pilih kasih. Setiap anak dilahirkan istimewa. Tidak ada yang lebih di antara mereka. Kita mesti memberikan support dan perhatian yang sama. Kita mesti memberikan kasih sayang dan cinta yang sama. Di sinilah, keadilan orang tua diuji.
Pemberian yang tidak adil akan membuat salah satu dari mereka iri dan mendorong mereka menjadi durhaka kepada orang tua. Terkadang, bukan anak-anak yang tidak mau akur dan rukun, tapi justru orang tualah yang sering mengadu domba anak-anaknya sehingga mereka menjadi bermusuhan satu sama lain. Misalnya, orang tua yang suka membandingkan anak-anaknya cenderung akan membuat salah satu dari anak merasa kesal kepada saudaranya sendiri.
Menjadi orang tua yang baik memang sulit, tapi ketika kita berusaha mendahulukan hak anak-anak di atas hak kita, maka insya Allah hal yang tidak diinginkan bisa dihindari. Orang tua juga mesti berusaha menjauhi hal-hal yang meimbulkan konflik di antara keluarga. Jangan selalu menyalahkan anak-anak kita, tapi perbanyaklah introspeksi diri.
Bersikap Terbuka Kepada Anak-anak
Berkaca dari pengalaman pribadi, sebisa mungkin saya bersikap terbuka kepada anak-anak tentang apa pun. Misal, ketika ingin membelikan sepatu atau pakaian untuk si kakak (karena miliknya sudah rusak atau kekecilan), saya pasti akan menceritakan hal tersebut kepada adiknya dan menawarkan apakah dia juga sedang membutuhkan barang yang sama? Atau mungkin ingin dibelikan barang jenis lain yang dia butuhkan? Namun, sering kali dia menolak karena merasa tidak membutuhkan apa-apa.
Dengan begitu, tidak ada hal yang saya sembunyikan darinya dan jika suatu hari nanti dia tahu, tidak juga akan menimbulkan kekecewaan.
Ketika saya dan adiknya pergi ke Gramedia dan membeli buku, si Kakak tetap akan mendapatkan jatah belanja buku sebagaimana adiknya meski ia sedang di pesantren. Hal-hal semacam ini saya buat menjadi sama rata karena ini bukan soal kebutuhan, melainkan hadiah.
Sebenarnya, mengasuh anak-anak tidak terlalu sulit jika komunikasi di antara kita dan anak-anak terjalin dengan baik. Ketika ada hal-hal yang tidak dinginkan sekalipun, kita bisa ngobrol dengan nyaman tanpa harus mendiamkan satu sama lain.
Sebagaimana kita dilarang mendiamkan saudara kita melebihi tiga hari, maka begitu juga kepada anak-anak. Jangan terbiasa mendiamkan mereka karena suatu masalah dan menganggap itu sebagai sebuah hukuman. Lebih tepatnya, mestinya kita ngobrol setelah suasana hati menjadi lebih baik dan mulailah dengan meminta maaf kepada mereka karena sering kali orang tua melakukan kesalahan, tapi jarang sekali menyadarinya.
Anak-anak butuh orang tua yang mau diajak kompromi, diskusi, memaklumi, memaafkan, juga mendengarkan mereka apa pun kisahnya. Rasanya, tidak ada hal yang lebih menyenangkan selain melihat anak-anak kita tumbuh dengan baik tanpa harus membuat jarak dengan orang tuanya sendiri.
Di dalam Islam sendiri, kita pun diajarkan untuk berbuat baik kepada orang tua serta anak-anak. Maka, berbuat baiklah dengan bersikap adil, tidak membanding-bandingkan satu sama lain apalagi pilih kasih.
Percayalah, perasaan mereka jauh lebih berharga untuk dijaga dibanding pemberian kita yang tidak seberapa. Jika kita merasa telah menjadi orang tua, maka belajarlah bersikap adil sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkannya kepada kita semua.
Salam hangat,
Comments