![]() |
Photo by Ramin Talebi on Unsplash |
Kelekatan akan terbentuk ketika orang tua atau pengasuh utama selalu merespon dengan konsisten sinyal kebutuhan anak. Penjelasan mudahnya, kita selalu ada untuk anak kita, baik ketika ia butuh didengar dan didampingi, ataupun tidak. Kita konsisten hadir sehingga anak percaya bahwa kita akan selalu ada atau kembali meski sempat pergi.
Bagi anak-anak, kita adalah dunianya. Kita selalu diharapkan hadir dan membuat mereka merasa aman dan nyaman. Penelitian membuktikan bahwa sentuhan ibu atau kehadirannya dapat menenangkan hati anak. Pada penanganan kasus traumatis juga terbukti, mereka mendapatkan terapi sentuhan bisa sembuh dan normal kembali, berbeda dengan anak-anak yang tidak mendapatkannya. Jadi, sentuhan, pelukan, kasih sayang, dan perhatian adalah hal yang sangat penting dalam proses pengasuhan.
Sisi negatif dari kelekatan yang terganggu
- Kesulitan mengendalikan perilaku dan emosi sehingga meningkatkan risiko melakukan kekerasan terhadap orang lain.
- Citra diri terdistorsi dan harga diri rendah.
- Mencari perhatian dan pengakuan dari semua orang.
- Menjadi anti sosial.
- Gagal membangun hubungan yang sehat dan sulit mengubahnya.
- Muncul kecemasan dan depresi.
- Kecanduan obat-obatan keras.
- Menjadi pelaku bullying atau sebaliknya menjadi korban.
- Terjadi withdrawal syndrome (sindrom penarikan diri).
Banyak di antara kita mungkin berpikir bahwa anak kecil sering kali tidak memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Seperti pertengkaran orang tua dan kekerasan yang ia lihat atau alami secara langsung. Kita berpikir bahwa hal itu akan berlalu dengan mudah karena mereka pasti tidak akan mengingatnya saat sudah dewasa, tapi sayangnya, semua pengalaman hingga hal yang mereka lihat dan dengar terekam dalam diri dan berpotensi menjadi bagian dari kepribadian mereka.
Sebagaimana kita tahu, anak-anak mengembangkan apa yang dilihatnya, termasuk kekerasan.
Sebagaimana dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa anak yang melihat orang dewasa memukul boneka bisa mengembangkan perilaku tersebut bukan hanya dengan memukul temannya, tapi juga memubully secara verbal dan bersikap kasar melebihi tindakan memukul. Anak-anak merekam semua yang dilihat dan didengar dan ini menjadi masalah yang sangat kompleks.
Sebenarnya, hal yang sangat saya khawatirkan adalah hal tersebut muncul dan sulit dikendalikan saat sudah dewasa, terutama saat memiliki anak. Orang-orang yang memiliki trauma pengasuhan akan mencari orang yang lemah untuk melampiaskan kekesalan dan kemarahannya yang belum tuntas, dan satu-satunya figur lemah itu adalah anak kita sendiri.
Kita tidak bisa seenaknya marah kepada pasangan, tapi kepada anak, kita mampu dan bisa karena secara fisik, kita lebih besar, kekuatan kita lebih hebat, bahkan secara pengalaman dan ucapan kita lebih segalanya dari mereka. Jika sampai ini terjadi, kita telah ‘merusak’ hidup anak kita sendiri dengan mewariskan trauma ketika mereka dewasa.
Bagaimana Islam Memandang Kelekatan Antara Anak dengan Orang Tuanya?
Sebelum teori-teori psikologi Barat bermunculan, umat Islam telah belajar tentang psikologis yang baik dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ingin melihat cara merespon suatu hal dengan baik, lihatlah bagaimana Rasul merespon musuh-musuh dan orang-orang yang menzaliminya. Jika ingin tahu bagaimana cara tetap tenang dalam menjalani hidup, lihat bagaimana Rasul beribadah dan senantiasa dekat dengan Allah bahkan meski beliau maksum atau suci dari dosa.
Penelitian menyebutkan bahwa orang-orang yang sisi spiritualitasnya bagus cenderung terhindar dari depresi dan kecemasan, juga diberi umur yang panjang sebagaimana telah disebutkan dalam salah satu ayat Alquran. Artinya, Islam telah mengajarkan hidup yang baik, seimbang, dan tenang melalui kisah-kisah dalam Alquran juga contoh dan teladan dari akhlak Rasulullah.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata,
“Ada beberapa orang badui yang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengatakan, ‘Apakah kalian mencium anak-anak kalian?’ Para Sahabat menjawab, ‘Ya.’ Lebih lanjut orang-orang badui itu berkata, ‘Demi Allah, akan tetapi kami tidak pernah mencium mereka.’ Lalu beliau bersabda:
“Aku tidak berkuasa apa-apa jika Allah mencabut rahmat (kasih sayang) dari hati kalian.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium al-Hasan bin ‘Ali sedang bersama beliau ada al-Aqra’ bin Habis at-Tamimi sedang duduk. Lalu al-Aqra’ berkata, ‘Sesungguhnya aku memiliki sepuluh orang anak, tetapi aku tidak pernah mencium seorang pun dari mereka.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangnya seraya berucap:
‘Barangsiapa tidak menyayangi sesama, maka dia pun tidak akan disayangi.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kita bisa memahami bahwa Rasul memerintahkan kita supaya menyayangi anak-anak, bercanda dengan mereka, dan mencium mereka sebagai tanda perhatian dan kasih sayang. Hal ini sejalan dengan teori kelekatan yang disebutkan oleh teori Barat.
Dalam beberapa kisah, kita juga mendapati bahwa Rasul sering bercanda dengan anak kecil, cucu beliau, bahkan beliau tidak marah ketika ditunggangi cucunya saat sedang salat.
Islam mengajarkan kasih sayang jauh-jauh hari sebelum teori Barat muncul yang menandakan bahwa ilmu psikologi bukan hal baru bagi umang Islam. Mestinya kita telah mengetahui cara mengasuh anak dengan baik, adil, dan tidak menzalimi hak anak-anak.
Anak-anak adalah tanggung jawab serta amanah dari Allah. Mereka bukan hanya sekadar lahir ke dunia, tapi kita mengharapkan mereka datang ke pangkuan kita sebagai pelengkap dalam keluarga. Jika kita butuh panduan untuk merakit kipas angin, lalu bagaimana kita bisa mengasuh anak tanpa membaca panduannya? Bukankah anak-anak jauh lebih penting, lebih sulit, dan kompleks andai keliru dan rusak?
Kenapa banyak orang tua tidak mau belajar dan menimba ilmu agama dengan baik, belajar ilmu parenting, dan memperbaiki akhlaknya karena anak akan mengimitasi perilaku kita saat mereka lahir ke dunia. Kenapa kita tidak memakai buku panduan untuk membesarkan bayi manusia? Bukankah mereka jauh lebih berharga dibanding kipas angin yang ada di rumah?
Sejujurnya, hidup dengan trauma pengasuhan itu tidak pernah mudah. Saya butuh waktu bertahun-tahun untuk membereskan semua hutang pengasuhan serta memaafkan diri sendiri. Dari sinilah saya berusaha memutus trauma dan tidak mewariskannya kepada anak-anak.
Manusia diberi pilihan dan kebebasan, makanya kita dimintai bertanggung jawab oleh Allah atas pilihan-pilihan tersebut. Meski semua telah ditakdirkan, tapi Allah memandu kita untuk melakukan hal-hal yang Dia ridai. Jadi, kita mesti belajar supaya tahu mana yang benar dan salah. Kita tidak bisa selalu menyalahkan pola asuh orang tua dan menjadikan mereka kambing hitam. Ingat, kita punya pilihan.
Terutama saat menjadi orang tua. Jangan sampai kita menghancurkan hubungan pertama kita dengan anak-anak yang mestinya berjalan sukses dan menjadi pondasi bagi hidup mereka.
Semoga, setelah ini kita mulai memahami betapa pentingnya kelekatan dengan anak-anak, menjaga komunikasi, dan terus menyayangi mereka tanpa pamrih. Karena membesarkan anak-anak dengan baik adalah tugas dan kewajiban orang tua, bukan pekerjaan yang mesti dibayar kembali setelah mereka dewasa.
Salam hangat,
Comments