![]() |
| Photo by Aditya Romansa on Unsplash |
Benar, kita tidak familiar dengan ‘orang tua durhaka’, tapi kita sangat hafal dengan sebutan ‘anak durhaka’ yang relate dengan anak-anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya. Ada sebuah kisah di zaman khalifah Umar bin Khattab yang bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Diriwayatkan pada masa khalifah Umar bin Khattab, ada seorang ayah yang menyeret putranya ke hadapan Amirul Mukminin. Di depan khalifah Umar, orang tua itu mengadukan kelakuan putranya yang tidak mau menghormati dan durhaka padanya. "Mohon nasihati dia, wahai Amirul mukminin!" kata orang tua itu.
Khalifah Umar lalu menasihati anak lelaki itu. "Apa kamu tidak takut kepada Tuhan-mu sebab rida-Nya tergantung rida orang tuamu?" Tak disangka-sangka anak itu balik bertanya: "Wahai Khalifah! Apa di samping terdapat perintah anak berbakti kepada orang tua, terdapat juga ajaran orang tua bertanggung jawab kepada anaknya?"
Umar bin Khattab menjawab: "Ya, benar ada! Seharusnya seorang ayah menyenangkan dan mencukupi nafkah istri sekaligus ibu dari putra-putrinya, memberikan nama yang baik kepada putra-putrinya, serta mengajari putra-putrinya Al-Qur'an dan ajaran agama lainnya."
Mendengar penjelasan Amirul Mukminin, anak laki-laki itu membalas: "Jika demikian, bagaimana aku berbakti kepada ayahku? Demi Allah, ayahku tak sayang kepada ibuku yang diperlakukan tak ubahnya seorang hamba sahaya. Sekali-kalinya dia mengeluarkan uang untuk ibuku, sebanyak 400 dirham untuk menebus ibuku. Dia juga tak menamaiku dengan nama yang baik: Aku dinamai ayahku dengan nama "Juala" (Jadian). Dia juga tak mengajariku mengaji, satu ayat pun!"
Seketika itu Umar bin Khattab berpaling, matanya memandang tajam ke arah orang tua anak itu, sambil berkata: "Kalau begitu bukan anakmu yang durhaka, tetapi kamulah orang tua durhaka!"
Ternyata, orang tua bisa dianggap durhaka kepada anaknya jika tidak memenuhi hak-hak anak atau tidak bertanggung jawab kepada mereka. Seorang anak butuh disayangi, diperhatikan, diberi nama yang baik, diberi hak pendidikan, serta nafkah. Anak-anak juga tidak menjadi pandai dengan sendirinya. Orang tua memiliki kewajiban untuk menjaga fitrah anak (tauhid) supaya tetap ada pada jalan yang lurus.
Ketika anak masih kecil, jangan abaikan pendidikan agama mereka. Orang tua, baik ayah dan ibu adalah madrasah pertama yang mestinya mengajarkan tentang tauhid serta Al-Qur'an. Semua kewajiban itu jangan dilimpahkan seluruhnya kepada guru-guru di sekolah.
Coba bayangkan, guru di sekolah berharap muridnya datang dalam kondisi siap belajar yang artinya setidaknya mereka sudah mendapatkan hal-hal dasar dari rumahnya, tapi orang tua justru berharap anak-anak mereka bisa menjadi pintar setelah pulang dari sekolah.
Artinya, kita sama-sama berharap anak lahir dalam kondisi psikologis yang baik, pintar dalam semua hal, dan melupakan proses yang mestinya dilewati bersama orang tuanya. Akhirnya, ketika kita tidak mendapatkan apa yang diinginkan, anak-anaklah yang disalahkan karena dianggap tidak mau belajar, tidak rajin, dan pemalas.
Anak bukanlah beban yang mesti dikeluhkan sepanjang hari karena kurang ini dan itu. Setiap manusia punya potensi kebaikan dan kelebihannya masing-masing. Anak-anak yang mudah menangis dan sering dianggap cengeng biasanya lebih peka perasaannya. Dia punya empati yang tinggi sehingga mudah tersentuh dengan kejadian-kejadian kecil di sekitarnya. Anak yang punya ide-ide aneh dan konyol atau out of the box bukan berarti buruk. Mereka justru hebat karena bisa memunculkan ide-ide yang tidak pernah dipikirkan oleh orang lain.
Salah seorang dosen saya di IOU, Mas Dillo Augustdi Putra, S.Psi., M.Psi., Psikolog, mengatakan bahwa beliau pernah mengalami gangguan jiwa dan harus mengonsumsi obat dari psikiatri. Beliau juga didiagnosis bipolar saat menyelesaikan studi S2-nya, tapi beliau tahu bahwa di balik semua kekurangannya, Allah sertakan juga kelebihan.
Dibanding menangisi keadaan dan mencari tahu apa saja kekurangan bipolar, kenapa kita tidak melihat sisi positif dari bipolar yang menjadi kelebihannya? Misalnya, rasa percaya dirinya tinggi sehingga orang dengan bipolar cenderung pede untuk tampil dan berbicara di depan publik. Mas Dillo juga tidak fokus dengan masalah gangguan mental yang dideritanya, beliau justru menjadi percaya diri dan menerima kondisinya.
Jika ada masalah pada anak-anak, sebenarnya yang mesti digali dan dicari tahu bukan hanya tentang alasan si anak melakukan hal tersebut, tapi cari tahu juga kondisi psikologis orang tuanya. Salah satu dosen saya yang lain, Mas Ahmad Yunus, S.Pd. M.Pd. Couns. (S.A), K.B. P.A., menceritakan pengalamannya saat menangani anak klepto. FYI, klepto merupakan salah satu gangguan perilaku di mana seseorang merasa kesulitan untuk menolak dorongan kuat dan berulang untuk mencuri tanpa adanya motif atau kebutuhan.
Jadi, ada anak suka mencuri uang, padahal uangnya tidak dipakai untuk jajan atau untuk top up game. Dia merasa tertantang dan sulit menghindari dorongan tersebut.
Sebagai orang awam, kita pasti merasa kesal dan menyalahkan si anak dan juga orang tuanya yang dianggap tidak bisa mendidiknya dengan baik.
Si anak ini akhirnya memang diskors dari sekolah selama dua minggu, tapi alih-alih marah dan kesal, Mas Yunus justru ngajak ngobrol orang tuanya dari hati ke hati. Orang tua yang awalnya pengin marah sama si anak, justru malah menyadari kekurangan mereka yang dianggap belum sepenuhnya memahami anak kandungnya sendiri.
Setelah dipelajari, ternyata anak ini suka melakukan hal-hal yang menantang sehingga ia diikutkan beberapa macam les, seperti robotik untuk menyalurkan energinya. Orang tuanya pun mau evaluasi diri dan mengambil cuti untuk menemani anaknya selama beberapa hari tersebut.
Saya percaya, anak-anak memang bukanlah kertas kosong yang bisa diwarnai oleh lingkungannya. Kita punya fitrah baik dan buruk, tapi orang tua bisa membentuk anaknya dan membantunya tumbuh optimal asalkan diberikan hak-haknya dengan tepat. Andai ada anak yang bermasalah, misal tentang perilaku, bisa jadi ada tahap perkembangan psikologis yang dia lewatkan atau tidak dilewati dengan baik.
Saat kecil, kita juga belajar mengelola emosi, tapi melihat pertengkaran orang tua setiap hari, mendengar kalimat cacian dan makian yang intens bisa membuat emosi kita jadi tidak berkembang sebagaimana mestinya. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa anak-anak yang melihat tindak kekerasan cenderung dapat melakukan hal yang jauh lebih buruk dan bervariasi.
Misalnya, seorang anak yang melihat ayahnya memukul ibunya, ia bisa mengembangkan perilaku bukan hanya memukul orang lain, tapi juga memaki, membully, dan sebagainya. Maka benar, menjadi orang tua adalah proses mendidik diri sendiri. Sebelum mendidik anak-anak, kita harus membereskan diri kita dulu.
Anak-anak tidak bisa memilih siapa orang tuanya. Saya sering menyebutkan hal ini di beberapa tulisan saya. Karena saya mau menekankan bahwa yang mengharapkan mereka hadir adalah kita, orang tua mereka. Artinya, mestinya kita berusaha sepenuh hati untuk memberikan perhatian dan waktu, bukan hanya sekadar memberi makan dan membayar SPP sekolah. Mereka tidak bisa memilih, jadi jangan biarkan mereka menyesal karena telah lahir dari rahim kita.
Salam hangat,


Comments