Perlukah Anak SD Diberi PR?

Friday, August 23, 2019

Perlukah anak SD diberi PR



Hmm
, mari siapkan tisu. Postingan ini bisa saja mengandung bawang merah yang membuat mata perih atau malah hati perih (karena beda pendapat). Jika tidak kuat, saya sarankan kamu segera tutup halaman ini dan carilah tema-tema yang lebih menyenangkan untuk dibaca seperti tips menguruskan badan misalnya?

Ada nggak, sih, ibu-ibu yang ngedumel saat anaknya dikasih PR banyak oleh gurunya? Kenapa sekolah full day kok bisa masih dapat PR sebanyak ini hampir setiap hari pula? Padahal seharian mereka sudah menghabiskan waktu belajar di sekolah. Tolong garis bawahi, ya. Mereka di sekolah dari pagi sampai sore belajar, bukan main-main, lho. Lalu kenapa masih dibebani PR seolah mereka nggak ngapa-ngapain selama seharian? Itu pendapat salah satu orang tua tentang pemberian tugas tambahan di rumah seperti PR. Bagaimana pendapat para guru?


PR itu dibutuhkan bagi siswa supaya mereka bisa belajar di rumah. Kalau tidak ada PR, apa mereka mau belajar? Apa orang tua mau membantu anak-anak mengulang pelajaran yang sudah-sudah? Guru juga harus memastikan materi pembelajaran tuntas saat siswa melaksanakan PTS. PTS sudah sebentar lagi, lho, Bunda. Dan materi belum sepenuhnya selesai dibahas, bahkan banyak siswa yang belum memahami pelajaran sepenuhnya. Dengan adanya PR, anak-anak juga lebih mandiri. Bukannya di rumah itu santai, jadi bisa belajar bareng orang tua?


Sebenarnya apa tujuan anak-anak usia SD diberikan PR? Kalau kita pikir, mereka udah capek dari sekolah, pulang udah sore (bagi yang sudah sekolah full day terutama), tapi masih dibebani pekerjaan rumah yang sebenarnya tidak diperuntukkan sebagai tugas rumah bersama orang tua, tetapi lebih pada jenis tugas akademis yang sebenarnya dari Kemdikbud sendiri sudah terang-terangan dilarang.


Banyak sekali pendapat berbeda akan hal ini. Ada yang menanggapinya santai, ada yang serius mengingat ada yang sampai anaknya jadi school phobia gara-gara PR. Iya, nggak percaya, kan? Masalahnya kita sedang membahas anak-anak yang dunianya tidak seperti orang dewasa. Please, pahami dengan hati jernih, no ngedumel apalagi sampai marah dengan postingan ini. Karena beda pendapat itu wajar, ya. Hanya saja saya berusaha menghadirkan data, bukan hanya emosi. Nggak mau egois sampai menyalahkan anak-anak yang nggak mau belajar di rumah karena memang sudah capek, apalagi malah menyalahkan guru yang sering banget ngasih PR tanpa mengerti porsi untuk usia anak didiknya. Yuk, tarik napas dan kita lanjutkan pembahasan ini.


Riset Pemberian PR

Seorang peneliti bernama Harris Coopers yang telah meneliti pekerjaan rumah atau PR selama 25 tahun menemukan hasil yang mencengangkan. Pemberian PR pada anak-anak usia SD cenderung memberikan dampak negatif ketimbang positif. Dia mengungkapkan bahwa PR yang diberikan kepada anak SMA bisa berdampak positif dan memberikan manfaat, tetapi, manfaat itu menurun jika diberikan kepada anak SMP, bahkan sama sekali tidak bermanfaat andai diberikan kepada anak-anak usia SD. Kok, bisa? Kan ngasih PR supaya mereka pinter, biar mereka lebih paham pelajaran di sekolah. Materi sekarang itu susah banget, lho. Makannya jangan main-main kalau sekolah. Harap sabar, Zubaedah. Kita lanjut lagi, ya!


Berikut merupakan alasan kenapa PR menjadi tidak bermanfaat bagi anak-anak usia SD menurut Coopers seperti dilansir Republika.co.id,
1. Anak-anak usia SD memiliki waktu panjang dalam jenjang pendidikannya ke depan. Jenjang pendidikan mereka masih menanti jauh, setelah SD mereka mau SMP, setelah itu masih masuk SMA dst. Sekarang, mereka baru saja merasakan senangnya sekolah, jadi jangan membuat mereka membenci sekolah dengan beban PR yang begitu banyak. Mereka harusnya happy. Dan itu hak mereka juga.


2. Dampak negatif lain dari pemberian PR adalah rusaknya hubungan personal antara anak dengan orang tua. Tidak seperti anak yang sudah berusia remaja, anak-anak usia SD cenderung masih harus selalu diingatkan akan kewajibannya, termasuk untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Seharian mereka sudah belajar di sekolah, tidak seperti orang dewasa yang mampu mengerjakan banyak tugas, anak SD akan menghindari pekerjaan rumah karena merasa sudah jenuh (bukan malas, ya). Otomatis orang tua perlu mengingatkan supaya mereka mengerjakan tugasnya apalagi jika guru sampai memberikan hukuman di sekolah. Ujung-ujungnya terjadi keributan kecil yang berdampak bagi psikologis mereka. Hubungan kurang menyenangkan seperti ini akan berlanjut sampai mereka berusia remaja di mana mereka seharusnya sudah mulai merasakan manfaat dari PR yang diberikan oleh para guru.


3. Pemberian PR yang tujuannya diberikan demi memberikan rasa tanggung jawab ternyata tidak sepenuhnya berhasil mengingat anak-anak masih harus selalu diingatkan oleh orang tua. Tapi, mereka kan harus belajar bertanggung jawab sejak dini? Iya, tetapi tidak dengan beban PR banyak. Masih banyak hal-hal sederhana yang bisa dilakukan, seperti mengajarkan anak-anak menaruh cucian kotor di keranjang cuciannya sendiri, mencucinya jika dirasa sudah mampu, atau mencuci piring yang telah dia gunakan. Tugas sehari-hari seperti itu juga bisa memupuk tanggung jawab dan kemandirian mereka, tidak hanya dengan adanya PR.


4. PR cenderung menghabiskan sisa waktu anak-anak di luar sekolah yang seharusnya digunakan untuk bermain dan menikmati waktu kecil mereka bersama teman-teman sebayanya. Kehidupan mereka tidak seperti orang dewasa yang diharuskan kerja, kerja, dan kerja! Iya, kan? Mereka juga punya hak untuk bermain. Jangan rampas hak anak-anak demi ambisi orang dewasa semata.


 
5. Pemberian PR yang tidak diperhitungkan juga berdampak bagi kesehatan mereka. Anak-anak jadi kurang tidur. Seharusnya mereka punya cukup waktu untuk istirahat supaya bisa maksimal dan produktif selama di sekolah. Kalau akhirnya di sekolah menjadi tidak maksimal, ujung-ujungnya kita sering menyalahkan mereka. Padahal, sebenarnya siapa yang mesti disalahkan jika terjadi hal seperti ini?


Data lain memberikan kesimpulan bahwa pemberian PR bisa berdampak kurang baik bagi kesehatan seperti yang ditemukan oleh Cheung & Leung – Ngai yang melakukan survey terhadap 1.983 siswa di Hongkong, PR tidak hanya dapat meningkatkan kecemasan dan stres, tetapi juga perubahan fisik seperti sakit perut dan sakit kepala.


Siswa yang dihukum oleh guru, orang tua, atau diejek oleh temannya karena tidak mengerjakan PR menunjukkan peningkatan depresi. Sampai seburuk itu dampaknya jika memang nggak diperhitungkan baik-baik. Masih ada yang meremehkan?


Belajar Tidak Tergantung pada Membaca dan Berhitung Saja, lho


Anak-anak juga butuh belajar di lingkungan keluarga dan masyarakat. Mereka tidak mungkin hanya hidup dengan matematika saja, lho. Dunia mereka luas, banyak hal harus dipelajari. Jadi, jangan heran kalau sampai ada anak yang sudah kuliah tidak bisa membedakan mana jahe dan lengkuas, mana sawi hijau dan bayam :(


Dan ini benar-benar kejadian sama kerabat saya. Hal-hal seperti ini bisa dipelajari di rumah. Kita belajar jangan hanya berpatokan pada bangku sekolah. Di luar pun banyak hal menarik untuk diekplorasi. Karena alasan inilah, Kemdikbud memberikan himbauan dengan melarang pemberian PR kepada anak-anak usia SD. Meskipun larangan memberikan PR sudah diterapkan sejak tahun 2017, tetapi ternyata masih banyak guru yang memberikan PR. Bahkan hingga detik ini. Semua tetap tergantung kebijakan guru dan seharusnya tetap mempertimbangkan kondisi anak-anak juga.


Pendapat Saya Tentang Pemberian PR untuk Anak Usia SD


Buat saya pribadi, pemberian PR tidak seratus persen salah. Tidak juga selalu positif. Andai diberikan dengan porsi yang tepat, sepertinya tetap fun buat anak-anak. Sejak kelas 2 SD, si sulung sudah terbiasa mendapatkan PR. Sempat diberikan terlalu banyak hampir setiap hari dengan alasan supaya mereka bisa belajar lagi di rumah, tetapi faktanya memang lebih banyak ngasih beban ketimbang manfaatnya. Sehingga saat itu akhirnya para wali murid berdiskusi dengan wali kelas, dan terjadilah kesepakatan bahwa kami orang tua setuju saja dengan pemberian PR asalkan tidak terlalu sering. Rasanya adil, sih, mengingat dunia anak-anak bukan hanya bermain dalam angka, perkalian, dan pembagian. Mereka juga butuh melihat indahnya pelangi di luar sana. Mereka juga butuh tertawa lepas bersama teman-teman sebayanya. Saya setuju dengan kalimat yang dituliskan di laman idntimes.com,

PR membuat anak yang tinggal serumah, tetapi merasa asing satu sama lain dengan keluarganya.


Dalem banget maknanya. Selama ini saya tidak banyak memikirkan soal dampak dari pemberian PR kepada anak-anak usia SD. Sampai saya tahu ternyata dampaknya memang tidak sesederhana yang orang dewasa pikirkan. Anak saya sekarang sudah hampir 9 tahun. Dia bukan tipe anak pemalas, dia bertanggung jawab atas tugas-tugas sekolah yang diberikan oleh para gurunya. Dia juga tidak menonton televisi di rumah, karena bagi kami televisi membuat dunia mereka hambar bahkan hilang kalau boleh lebay. Jadi, selama ini kami mematikan televisi dan mereka fun aja.

Ketika masuk kelas 3, saya paham betul materi di kelasnya akan semakin susah dipahami. Bukan hanya bagi mereka, bahkan bagi kami orang tuanya terutama saya yang sangat tidak senang dengan angka-angka dalam pelajaran Matematika. Jadi, harus ada kesadaran orang tua juga di rumah untuk membantu anak-anak, karena kita tahu, tugas mendidik tidak seratus persen menjadi tanggung jawab guru di sekolah, tetapi juga tugas kita. Kalau orang tua mau aktif juga, insya Allah semua akan berjalan lebih baik.



Anak saya sekolah full day, mulai pukul 07.15 WIB, hingga hampir pukul 3 sore. Sampai di rumah menjelang Ashar sekitar pukul 15.15 WIB. Dia menghabiskan 8 jam sehari di sekolah. Kalau sekolah sudah pasti belajar, ya. Mana mungkin hanya dribble bola basket. Tidak seindah itu, Ferguso…hehe. Jadi, ketika dia pulang sekolah, sebagai orang tua saya merasa perlu menurunkan kadar emosi di dalam diri sendiri. Emak-emak jangan banyak nuntut, deh, kalau anaknya baru pulang sekolah apalagi sampai nanyain PR segala. Bisa-bisa terjadi pertumpahan darah yang tidak diinginkan.


Ustadz Eri Setiawan yang merupakan Master Trainer ‘Super Study Skills’ mengatakan bahwa kita sebagai orang tua harus sabar dan berkomunikasi dengan baik pada anak-anak terutama saat mereka pulang sekolah. Beliau bilang, saat anak baru pulang sekolah, jangan disuruh belajar terus, jangan ditanyain ada PR nggak? Udah dikerjain belum PR-nya? Udah belajar belum? Kok, kamu main mulu? Kenapa kamu nggak belajar? Yang seolah-olah kita mengatakan bahwa mereka selama 8 jam di sekolah hanya main dan guyon nggak jelas sama teman-temannya.


Karena kondisi seperti itu, maka wajar jika kita memaksa, ujung-ujungnya ribut. Andai anaknya santai, nggak ngerjain ya udah, kan hanya PR (ada lho anak begini, yang jelas ini bukan anak saya…hiks), nggak merasa PR jadi beban karena ya ngapain juga dipikir berat, hidup aja udah berat, kan? Tapi, masalahnya, ada anak yang panik (seperti anak saya, hiks) bahkan sampai stres kalau PR-nya belum kelar, padahal PR yang perlu diselesaikan sehari itu nggak hanya satu, ada beberapa misal, atau malah bersamaan dengan Penilaian Harian atau PH. Gimana rasanya?


Jika ada PR, sepulang sekolah, anak saya langsung mandi seperti biasa. Biasanya dia istirahat dulu, main-main sebentar sama adiknya. Tapi, saat ingat ada PR, dia akan bilang seperti ini kepada saya,


“Bunda, Alby mau ngerjain PR dulu, ya? Biar nanti Alby bisa santai dan ada waktu buat main.”


Karena selama ini dia mengaji bersama saya, waktunya memang jadi lebih fleksibel. Dia boleh mengubah jam ngajinya kapan saja asal dia tetap mengaji. Jadi, pulang sekolah pukul setengah 4, dia sudah mandi, wangi, rapi dan siap ngerjain PR karena dia pengen banget main setelahnya. Dia berharap ada waktu bermain sore itu. Nggak maksa buat main terus, nggak juga nolak buat ngerjain tugasnya yang kadang bikin dia harus nangis.


Saya pribadi tidak pernah memanjakan dia. Bahkan sejak kecil, ketika dia menginginkan sesuatu, dia belajar harus menabung dulu. Dia memang sedang dalam masa jenuh, kelas 3 ini rawan jenuh karena pelajarannya mulai serius banget. Tapi, dia juga punya hak buat bermain. Kalau sampai akhirnya dia kehilangan waktu bermain, kehilangan haknya, saya merasa egois banget memaksa dia sekolah sampai segitunya.


Pengalaman Pahit Cukup Bagi Saya, Bukan untuk Masa Depan Anak Saya

Dulu, saya sekolah serius banget karena tuntutan dari orang tua. Saya tidak sedang mencari kambing hitam atas masa lalu saya. Saya memaafkan masa lalu saya. Saya berusaha berdamai dengan semua itu. Itu semua karena ketidaktahuan orang tua. Mereka tidak salah :)

Orang tua senang jika saya juara, orang tua membantu saya belajar dan saya suka, kok. Saya nggak merasa terpaksa saat itu. Sampai saat SMP, saya termasuk anak yang jarang keluar kelas saat jam istirahat. Saya dan teman-teman belajar mengisi LKS di kelas, nggak jajan seperti anak-anak lain. Bukan karena nggak pengen dan dianggap sok rajin, tetapi uang jajan saya selalu kurang jika digunakan untuk membeli makanan...hihi. Hanya cukup untuk membeli permen beberapa biji.

Saya happy bisa belajar sampai tengah malam, bahkan saya hapal semua halaman mata pelajaran, letaknya di mana, ada di halaman berapa. Kebayang semua tuh di kepala. Saya melakukan demi apa? Demi orang tua yang sering menyindir saya, kok kamu nggak juara sih kayak si A? Demi membantu orang tua supaya SPP saya gratis selama 6 bulan.

Dan benar, saya yang dulu sering kena cubitan guru SD karena nggak bisa Matematika menjadi pinter banget berhitung. Saya menguasai Fisika. Rasanya itu ajaib banget. Saat Ujian akhir, saya mendapat tugas membantu teman-teman yang lain, minimal kasih jawaban supaya mereka lulus, deh. Sampai akhirnya saya menjadi juara pertama satu yayasan, bukan hanya di sekolah saya, tetapi nilai saya lebih tinggi daripada sekolah lain dalam satu yayasan itu. Hebat, banget, kan? Pasti bangga dong jadi anak sehebat itu. Tapi, tahu nggak sih apa yang terjadi setelahnya? Saya nggak bisa apa-apa. Semua kemampuan saya selama beberapa tahun menjadi juara hilang tak berbekas. Saya seperti orang bodoh yang nggak pernah juara satu. Saya bahkan tidak bisa menghitung angka-angka mudah. Why? Ada apa dengan saya?


Saat saya punya anak, saya tidak mau dia seperti saya. Belajar yang dipaksakan. Mau sebaik apa niatnya kalau nggak sesuai dengan fitrah perkembangan anak-anak, ujung-ujungnya justru bakal merusak anak itu sendiri. Jadi, saya memutuskan untuk tidak melulu menjadikan juara satu di sekolah sebagai suatu kebanggaan. Anak-anak kita semua cerdas. Bisa jadi mereka nggak pandai berhitung, tetapi mereka jago menggambar, mereka suka seni, suka olahraga, mereka suka alam, itu juga bagian dari kecerdasan. Kalau hanya fokus sama nilai akademis, rasa-rasanya kita sebagai orang dewasa jadi begitu egois.


Saya dan teman sekelas juga bisa tertawa lepas dan bilang kalau nilai akademis bagus dan peringkat pertama itu hanya dibutuhkan bagi orang yang mau nyaleg. Iya, kalau kamu nggak pengen nyaleg ya nggak usah sampai segitunya belajar. Bahkan mereka yang belajarnya santai sekarang banyak yang akhirnya ‘jadi’ orang. Dan ini diamini oleh teman-teman saya juga. Kok, bisa nyambung nyaleg sama juara kelas? Itu salah satu cara kami menertawakan kebodohan kami dulu :)


Bagaimana Pendapat Ahli Psikologi Tentang Cara Belajar Anak usia SD?

Saat saya ikut kajian rutin, ustadz saya yang merupakan Dosen Psikologi juga mengatakan bahwa anak SD itu jangan dibuat jenuh. Sekolah santai aja karena jika sampai anak jenuh ketika SD, dampaknya nggak baik buat perkembangan mereka nanti.


Data lain dari Ustadz Eri Setiawan yang juga jelas mengerti soal ini, mengatakan begini,


Sebelum memahami manfaat, efektif atau tidaknya PR bagi anak-anak usia SD, sekolah, guru, dan orang tua, harus memahami tentang tahap perkembangan anak. Karena treatment apa pun yang tidak sesuai dengan tahap perkemgangan anak, maka hanya merusak anak itu sendiri. Memberikan beban PR yang berlebihan tidak sesuai dengan fitrah tahap perkembangan anak di usia 8-9 tahun (kelas 3). Dampaknya, anak mendapatkan pengalaman belajar yang tidak menyenangkan dan itu akan berdampak pada tahap-tahapan selanjutnya. Banyak anak yang akhirnya menderita scholl phobia gara-gara PR.


Dari sini jelas ya bisa diambil kesimpulan bahwa niat baik, sebaik apa pun itu kalau diterapkan tidak sesuai porsinya, nggak melihat apakah sesuai dengan tahapan perkembangan mereka, ujung-ujungnya tidak akan berguna, bahkan merusak diri anak-anak sendiri.


Saya senang anak saya pintar dalam bidang akademis, tetapi sekolah bagi saya semata-mata bukan  hanya untuk itu. Sama seperti saat mau ke dokter, saya tidak selalu bertujuan meminta obat supaya anak saya sembuh sehingga dokter jadi nggak rasional karena konsumen kesehatan nggak rasional juga, nuntut dikasih obat melulu. Kadang saya hanya konsultasi, memantapkan diagnosis, beneran sakit common cold aja atau nggak?

Sama seperti sekolah. Bagi saya, sekolah bukan hanya tempat belajar berhitung dan membaca, sekolah juga menjadi tempat belajar banyak hal. Anak-anak butuh belajar bergaul. Mereka harus belajar menghargai orang lain, bertanggung jawab, dll. Penting bagi saya, sekolah harus bikin mereka happy, jangan sampai tertekan.


Jangan sampai karena beban PR yang berlebihan bagi anak-anak, sampai ada yang mogok sekolah atau minta pindah sekolah, sampai ada yang sama sekali nggak mau ngerjain PR, sekarang dan selamanya *jadi kayak lagu…hehe.

PR sesuai porsi akan tetap bermanfaat. Asal waktu di rumah jangan sampai dihabiskan hanya untuk memahami angka-angka terus. Kan, mereka juga punya hak buat bermain. Ini bukan alasan kami yang malas mengajari mereka. Insya Allah kami para orang tua tidak melepas sepenuhnya meski anak-anak kami sekolahkan. Mereka tetap anak kami, yang bahkan sampai mereka lulus kuliah juga menjadi tanggung jawab kami. Kamu pasti setuju soal ini, kan?


Saya berusaha mencari tahu kepada orang-orang yang memang lebih mamahi seperti kepada ustadz Eri dan beberapa rekan yang berprofesi sebagai guru. Postingan ini saya tutup dengan pendapat-pendapat para orang tua serta guru yang bersedia menyempatkan waktunya demi menjawab keresahan saya. Terima kasih buat kamu yang sudah membaca postingan ini. Mari menjadi orang tua yang lebih baik lagi buat anak-anak. Berikan hak mereka, cintai mereka, dan buat mereka menjadi berharga. Karena sejatinya anak-anak tidak pernah bisa memilih siapa orang tua mereka, tetapi kitalah yang meminta mereka hadir dalam hidup kita.

Pendapat Orang Tua dan Guru Tentang PR untuk Anak SD


Pemberian PR akademis termasuk dalam pelanggaran. Karena kurikulum yang sekarang dianjurkan memberikan PR yang non akademis. Supaya anak nggak stres dan takut sekolah. Masa-masa seperti mereka pasti lebih suka aktivitas daripada ngerjain soal. Larangan PR akademis itu himbauan langsung dari Kemdikbud. Tiap pelatihan kurikulum juga dihimbau tentang itu. Karena kurikulum sekarang itu bukan ngejar keahlian akademis, tetapi lebih pada pembelajaran bermakna. Jadi, siswa diajak mengenal lingkungan dan kemudian bisa mengenal bahkan menciptakan konsep. Dari situ pembelajaran jadi lebih seru, mereka akan selalu ingat. Penting kita bisa ngajar efektif. Karena per tema itu materinya diulang-ulang. Kalau hanya mengikuti buku banget, kapan kelarnya? Waktu pertama pakai kurtilas saya juga kebingungan merasa kurang waktu. Sekarang saya mengajar efektif saja. (Siti Zuhrotul Willadia, Guru)

 

Saya memilih  sekolah anak biar happy, bukan membebani lagi. Realita sekarang, teman-teman saya yang santai di sekolah jauh lebih sukses daripada teman-teman saya yang hanya mementingkan prestasi akademis semata. (Talitha Rahma, Ibu rumah tangga dan mantan wartawan)


Kan sekolah sudah full day. Harusnya pulang itu sudah bebas belajar. Kalau masih ada PR, berarti gurunya tidak bisa memaksimalkan selama KBM berlangsung. Aturan memberikan PR juga tidak boleh lebih dari 10% waktu bermain anak. Kalau sampai menyita seluruh wakyu bermain, itu sudah menyalahi aturan. (NC Suryani, Penulis, guru)


PR tetap perlu, tetapi jangan setiap hari. Untuk sekolah Full day, sebaiknya semua tugas sekolah sudah diselesaikan di sekolah. Jangan ada PR lagi. Paling kalau bikin project akhir gitu nggak masalah, waktunya lebih fleksibel. Manfaat dari pemberian PR itu juga diukur secara umum. Kalau seangkatan yang nilai Matematikanya naik hanya 5 orang, dan ratusan anak lainnya hanya mendapatkan dampak stres, berarti kurang bagus cara ngasih PR-nya. (Farida, Ibu Rumah Tangga)


Saya sebagai orang tua lebih suka ada PR, karena tujuannya supaya bisa review di rumah. Karena kalau nggak ada PR, mereka jadi sulit disuruh belajar di rumah. Selama guru memberikan PR sesuai porsinya dan guru mengapresiasi hasil kerja anak, saya tidak pernah merasa keberatan. (Finika, Ibu Rumah Tangga)


Masih perlu adanya PR biar bisa mengetahui perkembangan belajar anak selama di sekolah. Tapi, kalau bisa tidak setiap hari harus ada PR. Ini kalau versi sekolah anak saya yang tidak full day. (Ratna, Ibu Rumah Tangga)


PR di rumah sebenarnya diberikan dengan tujuan supaya anak-anak lebih paham dengan pelajarannya di sekolah, jadi ngabantu banget selama PR yang diberikan sesuai porsi. Kalau untuk sekolah full day, PR diberikan saat tugas sekolah belum selesai kemudian dilanjutkan di rumah. Jadi, anak tetap komitmen dan disiplin. (Asih, Ibu Rumah Tangga)


Kalau di sekolah saya, khusus kelas 1 dan 2 tidak diberi PR yang berupa pertanyaan yang ahrus mereka jawab secara tertulis. Karena bagi kami semua itu cukup kami lakukan di sekolah. Tapi, PR hanya diberikan dalam bentuk pertanyaan yang membuat anak jadi berinteraksi dengan keluarganya di rumah. Nanti mereka akan mengungkapkan atau menceritakan kembali di sekolah. Untuk kelas 3-6, ada PR tapi tidak boleh lebih dari 15 pertanyaan. Itu hanya mengajarkan mereka bertanggung jawab atas tugas yang diberikan. (Masruraini, Guru)


Anak saya kelas 6 SD. Dia masih sering dapat PR dan bagi saya itu bukan masalah justru membantu mereka ‘terpaksa’ mengulang pelajaran hari itu. Saya masih agak terganggu dengan penggunaan Google untuk mengerjakan PR, karena guru jelas-jelas menyuruh mencari jawaban di Google. Apa tidak ada referensi lain? (Hastie, Orang tua siswa)


PR sangat membantu juga untuk anak supaya belajar di rumah. Tapi, jangan terlalu banyak. Cukup untuk mengulang pelajaran di sekolah. Harapan saya ada metode belajar di sekolah yang bisa membuat mereka benar-benar paham, bukan sekadar bisa. Karena kalau sudah paham secara nalar, Insya Allah bisa lebih bermanfaat untuk masa depannya.(Merti Vera, Ibu Rumah Tangga)


Anak saya sekolah full day. Jadi, jarang banget dapat PR. Kalaupun ada PR, biasanya maksimal 5 pertanyaan, seringnya hanya 3, sih. Menurut gurunya, karena sudah capek di sekolah, maka di rumah saatnya bersosialisasi dengan keluarga. Kecuali orang tua meminta pada wali kelas untuk memberikan PR dengan alasan tertentu. Tanpa PR, orang tua dan anak tetap bisa mengulang pelajaran dengan cara lebih menyenangkan seperti membuat quiz dll. Banyak metode yang dapat dieksplorasi, tergantung pada niat, komitmen, waktu, dan kreativitas. (Devi, Editor, Ibu Rumah Tangga)


Di sekolah anak saya full day, kelas 1-2 tidak diberikan PR sama sekali sekali. Mereka hanya membawa pekerjaan rumah yang merupakan tugas di sekolah yang belum selesai. Saat kelas 3-6, barulah mereka dapat PR, itu pun tidak setiap hari dan hanya untuk anak yang di sekolah tidak begitu memahami. Anak kelas 4 tahun ajaran ini sampai bulan ini bar 1 kali dapat PR. Jadi, hampir nggak pernah ada PR. (Yuni Siti Nuraeni, Ibu Rumah Tangga)


Anak saya sekolah di sekolah alam. PR ada, tetapi tidak banyak dan tidak sering. Alhamdulillah, meski jarang diberikan PR, anak-anak tetap perhatian dengan tugasnya. Sebenarnya yang perlu dibangun minat dan kesadaran belajaranya. Aspek yang dikembangkan jangan hanya dari akademisnya, perlu dikembangkan aspek lain seperti kecerdasan emosi, sosial, dan kepemimpinan.(Citra Retnani, Ibu Rumah Tangga)



Pengalaman anak-anak saya yang sekolah full day, sempat sharing juga dengan orang tua lainnya, ternyata PR menjadi beban bagi mereka. Karena di sekolah belajar sudah full. Berharap saat sampai di rumah, mereka bisa refresh tidak dibebani oleh PR lagi. Sempat ada PR, tetapi itu saat libur saja. (Utami Irga, Orang Tua)

 
Saya kurang setuju dengan pemberian PR bagi anak yang sudah sekolah full day. Karena mereka sudah sekolah sampai sore. Alhamdulillah, kelas 4 ini mulai jarang dapat PR. (Hastin Pratiwi, Editor, Penulis, dan Ibu Rumah Tangga)

Sebenarnya ada banyak alternatif pengganti peran edukatif dari PR dari guru kepada anak didiknya. Misalnya seperti dengan membantu orang tua mengerjakan tugas-tugas rumah, main ke Museum, atau yang lainnya. Bantu mereka memahami konsep bahwa yang namanya belajar itu bisa di mana saja dan kapan saja. Dan yang pasti, belajar itu harus menyenangkan, ya :)

Salam,

Comments

  1. Peer buat anak sd....entahlah...tapi selama peer itu nggak membebani anak dan nggak musti bikin emak jadi darting siih its okey...tapi klo udh sampe tahap emak yg kudu ngerjain peer...jelas emak yg kudu sekolah.
    .

    ReplyDelete
  2. Masyaallah...Ini keren.. lengkap dan variatif. Meskipin sedemikian panjang membacanya jadi nggak cepat bosan. Tabarakallah... mbak muy😇

    ReplyDelete
  3. Mantep artikelnya lengkap, pembahasannya juga menarik, kita juga ga bisa melulu menyalahkan pr, soalnya metode pembelajaran guru juga beda", ada baiknya juga guru harus bisa memahami tiap anak didiknya jangan asal maen pukul rata semua sama. Soalnya kadang juga kasihan lihat anak sekolah full day pulang juga masih diberi pr, terus ga bisa ngerjain tugas, dimarahin, dituduh ga belajar. Padahal sekolah juga belajar. ��

    ReplyDelete
  4. Selain berdalih agar anak2 belajar di rumah, pemberian PR sepertinya mempermudah guru dalam memberi nilai dan mempercepat menyelesaikan materi. Padahal di sekolah aja anak2 juga belajar seharian, masih ditambah PR hmm

    ReplyDelete
  5. Semoga kelak saya bisa jadi orangtua yang baik juga😊
    Memang ya, kadang PR itu malah bikin stress, apalagi kalau masih Sd. Karena masih suka main-main jadi kalau ada Pr yang kalau nggak dikerjakan bakal dapat hukuman, pasti rasanya sebel banget.
    Dan semua anak itu kan pada dasarnya emang cerdas...
    Setuju banget mbak...
    Nggak harus pintar matematika untuk jadi orang sukses, semua anak punya bakatnya masing-masing😊

    ReplyDelete