Cerita Seru di Balik Gramedia Writers & Readers Forum 2019

Sunday, August 11, 2019

Cerita Seru di Balik Gramedia Writers & Readers Forum 2019


Akhirnya tiba juga saatnya mengisi blog setelah seharian mengejar target menulis naskah buku untuk hari ini. Yup! Nggak perlu panjang kali lebar lagi menjelaskan karena ketika mengetik postingan ini, sudah lewat dini hari, Guys…hihi. Ngantuk parah, tetapi kangen banget pengen ngeblog.


Kemarin, tepatnya pada hari Minggu, 04 Agustus 2019, saya berkesempatan hadir dalam acara Gramedia Writers & Readers Forum 2019 yang diadakan di perpustakaan nasional. Gramedia Writers & Readers Forum atau bisa disingkat dengan GWRF ini merupakan forum yang mempertemukan pembaca dengan penulis favoritnya yang dibagi dalam kelas-kelas tertentu. Karena hanya fokus pada Editor’s Clinic, saya tidak banyak tahu ternyata acara ini sudah dimulai sejak tanggal 2 Agustus lalu dan dihadiri oleh banyak public figure, lho. Ketahuan saya sangat tidak update kalau sudah bicara soal artis dan kawan-kawan….hehe.


Selain itu, di sana diadakan berbagai macam acara seru seperti Editor’s Clinic yang memberikan kesempatan kepada para penulis atau calon penulis untuk bertemu langsung dengan para editor dari beberapa penerbit. Ada juga diskusi inspiratif, talkshow, review film, penghargaan Gramedia Short Film Festival 2019, serta bazar buku murah yang antreannya naudzubillah…kwkwk.

Sebagai salah seorang yang senang menulis, jujur saja ini kali pertama saya datang ke perpustakaan nasional untuk menghadiri acara seperti ini. Awalnya tidak ada niat untuk datang jika memang tidak ada teman-teman dari Estrilook Community yang datang. Minder banget kalau harus tatap muka sama orang-orang yang belum saya kenal. Apalagi kalau harus brtemu dan berdiskusi dengan para editor yang bisa jadi kemarin pernah menolak naskah saya. Trauma nggak, sih? Hehe.

Karena dua teman saya sesama penulis buku Ada Dia di Hatiku (Quanta, 2019) ikut hadir dan bergabung juga, akhirnya saya memaksanakan diri untuk hadir juga.

Ketika sampai di sana, kebanyakan yang datang memang anak muda seumuran saya*uhuk (Keselek kodok…kwkwk). Jarang banget yang sampai bawa balita seperti saya dan teman saya…haha. Ya Allah, rasanya seru banget bawa anak ke tempat seperti ini di mana yang lain begitu serius datang sendiri demi bertemu editor, sedangkan saya malah diskusi sambil dijambakin anak…kwkwk. Itu pengalaman tak terduga yang saya alami. Mas yang ikut datang nggak sadar kalau anaknya sedang jambak-jambakin emaknya, beliau sibuk mengabadikan momen *huft.
Bertemu Editor Quanta dan Elex Media

Ini mungkin cerita yang paling ditunggu-tunggu (oleh saya)…hehe. Nggak sabar mau cerita gimana serunya saya ketika bertemu para editor yang selama ini mengedit naskah saya (dan menolak naskah saya…huhu).

Belum sempat saya duduk, para editor sudah memanggil nama saya. Seperti biasa, nama saya agak susah disebut. Dengan hati berdebar saya pun maju. Nggak nyangka ternyata di depan saya ada mba Dewi Bestari yang memegang buku saya dkk ‘Ada Dia di Hatiku’ (Quanta, 2019), ada juga mbak Jarwati, editor buku duet saya ‘Adab dan Kebiasaan Hebat Anak Muslim’ (Quanta, 2019), serta ada mba Agnes dari Elex Media, entah beliau yang mengurusi 4 naskah anak saya di Elex Media atau bukan. Mau tanya udah lupa aja dari kemarin, padahal naskah saya ada 4 yang di-acc di sana, hanya saja karena lewat agensi, jadi saya tidak tahu siapa editor yang mengambilnya.

Malam sebelumnya, saya sempat menyelesaikan satu outline dan daftar isi. Outline sebenarnya sudah rampung beberapa hari sebelumnya, bahkan judulnya sudah saya dapat jauh-jauh hari, hanya saja saya belum menyelesaikan daftar isi. Nah, karena qadarallah ada acara GWRF ini, akhirnya buru-buru saya rampungkan untuk dibawa ke editor. Sambutannya? Alhamdulillah positif. Mungkin nanti saya ceritakan di postingan yang lain soal naskah saya.

Di sini saya juga mau cerita sama teman-teman tentang kegalauan kita selama ini. Apakah kita bisa mengirimkan outline saja ke penerbit? Nggak usah naskah utuh? Editor dari Quanta mengatakan bahwa bisa saja, tetapi mungkin mereka lebih banyak menolak karena khawatir ketika naskah sudah disetorkan utuh, eh malah nggak sebagus ketika ngasih contoh. Akhirnya editir harus kerja dua kali buat minta revisi dan revisi. Bagi saya ini sangat masuk akal mengingat memang seperti ini adanya.


Saya lebih menyarankan teman-teman untuk mengirimkan naskah utuh kepada penerbit, terlebih kalau kita ini baru menulis, baru aja mau nerbitin buku di sana. Biarkan penerbit tahu kalau kita memang sungguh-sungguh ingin menerbitkan buku. Jangan setengah-setengah.



Menyelesaikan naskah juga bisa jadi sarana kamu belajar menulis, kok. Nggak akan sia-sia, deh, apa yang kamu perjuangkan selama ini. Andai saja kemungkinan terburuknya naskah kamu ditolak, kamu masih bisa menerbitkan naskahmu sendiri ke penerbit indie seperti ke Bitread. Karya kamu bisa jadi portfolio. Nggak akan pernah ada ruginya.
Publish Your Stories 

Kemarin saya dapat selembar kertas bertuliskan ‘publish your stories’ yang diberikan oleh salah satu editor Quanta. Di situ dijelaskan tahapan-tahapan mengirimkan naskah sampai jadi buku. Tahukah kamu apa saja tahapannya? Baiklah, saya akan share mumpung saya lagi baik…hihi.
Kirimkan Naskah ke Penerbit

Kirimkan naskah kamu ke Quanta. Sudah tahu email penerbit Quanta? Catat dan simpan baik-baik, ya!


luky@elexmedia.id

jarwati@elexmedia.id

dewibestari@elexmedia.id

hedi@elexmedia.id

Pastikan kamu menulis subjek email dengan: Naskah (judul naskah).

Quanta Menerima Naskah Apa Saja? 


Apa saja naskah yang bisa kamu kirimkan ke Quanta? Pastikan naskah kamu adalah naskag nonfiksi islami, ya. Jangan sampai kamu kirimkan naskah-naskah fiksi fantasi…hihi. Kalau kumpulan puisi boleh, Kak? Resep? Hmmm, kumpulan cerpen? Sekali lagi, nonfiksi islami, Zubaedah…hihi. Contohnya naskah-naskah parenting, motivasi islami, inspirasi, doa-doa, dan pengetahuan islami untuk anak-anak.


Apa Saja Syaratnya?



Kirimkan naskah utuh yang sudah kamu edit, yang sudah rapi banget, yang nggak perlu banyak revisi, kalau bisa yang tidak mudah ditolak penerbit *lha…hehe. Kirimkan minimal 100 halaman full teks dengan font Times New Roman, ukuran 12, spasi 1,5. Margin ikut aturan umum. Sertakan kata pengantar, daftar isi, sinopsis, dan testimony atau endorsement penulis lain yang kamu kenal.
Berapa Lama Kamu Bisa Menunggu?

Editor akan me-review naskah kamu selama 1-2 bulan. Kok lama banget? Kamu pikir hanya naskah kamu saja yang masuk ke penerbit? Ada banyak sekali naskah masuk setiap harinya. Jadi, please, jangan ngeluh apalagi kirim email bolak balik buat menanyakan naskah. Bisa-bisa bikin editor malas ngurusin naskah kamu. Sabar, ya. Ini memang ujian…kwkwk.
Bila diterima, editor akan mengabarkan dalam waktu 1-2 tersebut. Jika ditolak, segera minum antimo, editor bakal ngabarin juga, kok. Kenapa harus minum antimo? Biar nggak mual setelahnya…hihi. Bercanda, kok :)



Naskah yang Diterima Akan Diedit Oleh Editor, Selanjutnya Apa?



Selanjutnya adalah masuk proses layout yang memakan waktu hingga 3 minggu dari naskah selesai diedit oleh editor. Setelah itu, masuk proses proof, naskah akan dikoreksi kembali untuk menghindari kesalahan.

Setelah itu, penerbit akan mengirimkan cover buku dan kamu bisa mempertimbangkan, apakah akan menerima itu atau mengubahnya. Seperti saat buku ‘Agar Suami Tak Mendua’, saya menolak cover yang pertama kali diberikan karena menurut saya pribadi seperti tidak mencerminkan naskah islami, kemudian kayak nggak menjual banget *sotoy…hehe. Akhirnya diganti dengan yang sekarang. Warna pastel, soft banget, Masya Allah, lucu.

Kalau dihitung-hitung, mulai dari mengirimkan naskah hingga terbit memakan waktu kurang lebih 6 bulanan. Selama menunggu, kamu bisa menulis naskah baru. Jadi, jangan terpaku sama naskah ini saja. Kerjakan lagi yang lain. Naskah yang telah dilepas ke penerbit baik sudah diterima atau belum, sebaiknya lupakan.
Drama Mati Lampu

Saya berangkat pukul 10 pagi, padahal acaranya saja dimulai pukul 10 sampai jam 3 sore. Tapi, karena harus menunggu Mas yang bolak balik ke bengkel, akhirnya berangkat lebih siang. Mau jam berapa pun, tetap saya bawa happy karena ini hal baru buat saya, ini kesempatan yang bisa jadi nggak bisa didapatkan oleh orang lain entah karena kondisi jarak yang terlalu jauh atau tidak ada waktu luang. Bahkan saya sangat berterima kasih pada Mas, harusnya saya datang sendiri, kan? Harusnya nggak perlu ngerepotin siapa-siapa, tapi dia mau nganterin padahal sibuk parah.

Pukul 10.30 WIB saya masih di dalam KRL menuju perpustakaan nasional. Kenapa naik KRL? Akhir-akhir ini memang saya, Mas, dan anak-anak hobi banget naik kereta listrik. Selain mudah, suasananya pun nyaman banget. Walaupun kursi penuh, saya tetap menikmatinya. Toh nanti bakalan ada penumpang turun di beberapa stasiun berikutnya. Kami tidak pernah harus berdiri terus menerus, kok. Pengalaman naik kereta lebih menyenangkan ketimbang naik kendaraan pribadi, sih. Anak-anak juga belajar banyak hal. Karena beberapa alasan itulah, kami sering naik kereta ke mana-mana.

Hampir pukul 11 siang saya baru tiba di stasiun Juanda dan harus mencari taksi menuju perpustakaan nasional. Nggak tahu kenapa, di sana sinyal tuh susah banget. Bahkan internet saya pun nggak bisa dipakai sama sekali sejak tiba di stasiun.

Teman saya ternyata sudah tiba duluan di lokasi bahkan sudah berdiskusi bersama editor dari Elex Media dan Quanta. Jadi, agak lumayan deg-degan banget ya secara saya harus maju sendirian. Baru sampai di depan lift menuju lantai berikutnya, listrik mati. Tek! Sempat terjadi kehebohan karena banyak orang yang sedang naik lift. Alhamdulillah, semua bisa diatasi karena sudah pasti di sana pakai genset.

Nggak nyangka saja, ternyata mati listrik masih terus berlanjut sampai saya pulang, lho. Awalnya saya nggak paham kenapa Jakarta bisa mati lampu selama ini. Nggak biasanya mati lampu berjam-jam bahkan hampir sehari semalam.

Saya paham, di luar sana, saat kami warga Jakarta bercerita di sini mati lampu berjam-jam, banyak yang nyinyirin…hihi. Ah, di desa saya sudah biasa mati lampu berjam-jam bahkan berhari-hari. Yess! Saya paham, bahkan di kampung saya saja kalau mati lampu lama juga, kok. Hanya saja, ini Jakarta. Sebagian besar hidup di sini bergantung pada listrik.

Saat saya hendak naik KRL lagi untuk pulang, listrik belum nyala, lho. Itu sudah sore. Stasiun pun ditutup. Penumpang menumpuk di depan stasiun. Lebih kasihan lagi, tukang ojek online ikut menumpuk di sana. Gimana mereka kerja? Kita buka aplikasi pun hanya muter-muter, Guys! Nggak bisa pesan Grab Car atau sejenisnya.

Iya, di kota lain mati lampu biasa. Tapi, di Jakarta tidak biasa. Jadi, maafkan kalau kami kadang lebay menanggapinya kemarin. Benar-benar hal baru dan seperti bikin kota lumpuh. Itu, sih, yang ada di dalam kepala saya. Padahal, ya  nggak seburuk apa juga. Hanya saja tetap membawa dampak kurang menyenangkan bagi sebagian orang.

Saya benar-benar bersyukur, karena saat kami mau pulang dari perpusnas, aplikasi seperti Grab dan Gojek nggak bisa dibuka. Mas tetap usaha. Gagal dong. Coba lagi. Gagal lagi. Parahnya, nggak bisa cancel, nggak dapat mobilnya juga. Subhanallah.

Nggak lama kemudian, saat Mas tutup aplikasinya, ada yang telpon dong. Ternyata itu supir Grab, Masya Allah. Rasanya ajaib banget mengingat di aplikasi Mas nggak muncul apa-apa. Buat nelpon pun susah. Tapi, ini nyambung dan akhirnya kami bisa pulang sekitar pukul 4 sore.

Sampai rumah, lampu masih mati. Baru nyala sekitar pukul 9 atau 10 malam di mana kami semua sudah tepar…hehe. Alhamdulillah, mati lampu hanya saat itu, nggak lagi setelahnya.

Terdengar seru nggak, sih, sesuai sama judulnya? Jujur saja, kangeen berat ngisi blog. Biasanya saya update postingan baru nggak sampai seminggu sekali. Sekarang lama banget rasanya. Selain ada naskah yang harus segera diselesaikan, qadarallah si bungsu juga sakit sudah beberapa minggu ini. Jadi, saya harus selesaikan yang lebih utama.

Saya berharap, postingan ini bermanfaat terutama buat teman-teman yang masih bermimpi ingin menulis buku dan diteribitkan oleh penerbit mayor. Yakin saja, usaha yang keras, dan banyak doa. Insya Allah impianmu akan terwujud. Selamat mencoba!

Salam hangat,

Comments

  1. Hahahahaha.... Menunggu-nunggu foto kita tak jua ada. Sukses untuk naskahnya ya Bun Muy

    ReplyDelete
  2. Wah... Ceritanya seru ya mbk, pake ada drama mati lampunya segala.

    Ternyata di jakarta lebih sering mati lampu ketimbang di tempat saya ya....

    Dan pasti emang lebih nggak enak karena disana kota besar dan kehidupan masyarakatnya baik siang atau malam tergantung sama listrik.

    Semoga suatu saat saya bisa juga bikin buku kayak mbk muyass😁

    ReplyDelete
  3. makasih sharingnya, acara yang bagus

    ReplyDelete
  4. Pgn juga gtu nulis naskah untuk buku ga hanya fokus nulis di blog. Cuma belum tertalu percaya diri.

    Pinta tips nya donk mba,

    ReplyDelete