9 Penderitaan yang Akan Kamu Rasakan Ketika Memutuskan Jadi Penulis, Masih Sanggup Bertahan?

Monday, October 1, 2018

9 Penderitaan yang Akan Kamu Rasakan Ketika Memutuskan Jadi Penulis, Masih Sanggup Bertahan?


Kemarin sempat membaca postingan Bu Arleen A, seorang penulis buku anak super kece yang pernah saya tahu, tergelitik setelah membaca satu per satu bagian yang membuat saya harus mengatakan bahwa semua itu memang betul sekali adanya.


Menjadi penulis itu memang nggak main-main, tidak hanya sekadar menulis cerita saja, lho. Ada banyak hal yang perlu teman-teman tahu, mengenai penderitaan di balik semua kesuksesan dan ketenaran seorang penulis. Rupanya ada duka, ada luka, dan bahkan sakit hati yang kadang sulit dilupakan.


Setelah melalui banyak hal sulit, saya harus percaya bahwa tidak ada orang yang benar-benar mudah untuk kita percaya. Ya, memercayai orang itu, yang hanya sekadar kita temui di media sosial, ternyata sangat  tidak mudah. Nggak gampang bilang si A baik, saya pikir butuh waktu lama untuk membuktikan itu semua. Tapi, bukan hak kita juga mengatakan seseorang itu buruk. So, yang paling penting adalah bagaimana kita bersikap kepada orang lain, bagaimana kita berbuat, bagaimana kita memperlakukan orang lain, dan selebihnya kamu pasti tahu bahwa Allah itu nggak tidur, melihat siapa yang sebenarnya melukai dan dilukai. 

Ada orang yang mungkin pernah mengalami ini, ada juga yang merasa karier kepenulisannya lancar dan mulus aja, tetapi nggak sedikit juga yang merasakan pahitnya.



Selalu Dianggap Paling Tahu Padahal Belum Tentu

Kebayang nggak sih, kita yang sebenarnya kadang punya pengetahuan pas-pasan kemudian dianggap paling tahu banyak hal? Apalagi saya selama ini lebih banyak otodidak ketika mempelajari sesuatu, kadang suka bingung kalau ditanya soal teori. Jadi penulis memang sering dianggap paling tahu segalanya, ya. Memang menyenangkan bisa dianggap seperti itu, jadi tempat bertanya, inbox dan wapri masuk banyak banget, tetapi intinya cuma satu, mereka menganggap kita paling tahu banyak hal. Saya pribadi nggak akan malu kalau memang nggak tahu jawabannya, bisa nanya ke google dulu sebelum menyerah, atau langsung bilang aja, “Coba kamu cari sendiri di google.” Hehe. Sadis nggak, sih?


Ditolak Itu Menyakitkan, Tetapi Nggak Bikin Kapok

Saya yang masih pemula entah sudah berapa kali merasakan penolakan dari penerbit ataupun media online. Ditolak itu memang menyakitkan, tetapi karena saya merasa itu hal wajar dan artinya naskah saya memang tidak layak, hal berikutnya yang harus saya lakukan adalah belajar memperbaiki semuanya. Jangan sampai saya kirim lagi, kemudian ditolak lagi, ‘kan?


Bagi yang ingin menjadi penulis, jangan jadikan penolakan dari penerbit sebagai sesuatu yang akan mematahkan semangat untuk mewujudkan impian kamu, ya. Ditolak itu hal biasa, kamu bisa kirimkan lagi. Penerbit juga senang dengan penulis yang pantang  menyerah. Dan lagi, penulis-penulis terkenal yang bukunya banyak dipajang di toko buku, kebanyakan dulunya juga pernah ditolak, lho. Bahkan nggak cukup ditolak sekali. Gimana, masih pengen jadi penulis?


Menunggu Itu Kadang Memang Menyebalkan

Jika kamu punya pengalaman menerbitkan naskah atau buku di penerbit mayor, kamu pasti nggak asing lagi sama yang namanya menunggu. Setelah berbulan-bulan kita selesaikan naskah, yang artinya itu bukan waktu sebentar, kemudian kita harus menunggu lagi selama beberapa bulan supaya tahu apakah naskah kita ditolak atau diterima. Lalu, kabar baiknya naskah kita diterima setelah menunggu selama 2-3 bulan. Lama, ya?


Setelah itu, naskah kita nggak bakalan secepat kilat terbit, lho. Proses editing juga memakan waktu cukup lama. Setelah semua siap, kamu harus menunggu antrean. Kadang bahkan setelah antre bertahun-tahun justru nggak terbit. Ini fakta banget dan pernah saya alami.


Makannya, ketika kita selesai mengirimkan naskah, jangan ditanya kapan itu diterima, kapan akan terbit. Biarkan saja waktu yang menjawabnya … hihi. Saya percaya, setiap tulisan itu pasti ada pembacanya. Jangan pesimis, tapi optimislah dan bayangkan bahwa buku kamu pasti akan terbit meskipun harus menunggu lama, bahkan bertahun-tahun untuk mencari jodohnya.

Sabar Itu Mahal Harganya!

Selain harus menunggu lama, kamu juga harus sabar dengan tidak terlalu banyak bertanya, kapan. nih terbit? Jadi terbit nggak, sih? Sudah hampir setahun kok belum ada kabar? Duh, capek nungguinnya.


Pliss, sabar! Kadang menyebalkan juga mendengar pertanyaan yang sama setiap hari. Lalu bagaimana jika editor atau penerbit yang mendengarnya? Bisa-bisa naskah kita dikembalikan, ya?


Pelajaran banget buat kamu yang memutuskan menerbitkan buku di penerbit mayor, yang namanya menunggu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun itu adalah hal yang wajar banget terjadi. Banyakin aja doanya, banyakin juga sedekahnya, semoga buku yang kamu tulis dengan susah payah itu bisa segera terbit pada saat yang tepat!


Diminta Sharing Padahal Suka Mati Gaya di Depan Publik

Berbagi pengalaman atau cerita di balik terbitnya sebuah karya adalah hal yang wajar. Tapi, tahukah kamu jika bicara di depan orang banyak ternyata tidak selalu dikuasai oleh semua penulis? Bahkan sekadar sharing online aja bikin keringat dingin, lho.


Saya setuju banget pada poin ini yang ditulis oleh bu Arleen dalam postingannya. Saya pribadi termasuk orang yang nggak bisa tampil di depan banyak orang, karena itu saya menulis. Sulit bagi saya untuk tidak gugup, tapi saya menjadi begitu berani ketika menulis. Saya merasa luar biasa ketika menuliskan banyak hal. Jika dipaksa bicara di depan orang banyak, itu benar-benar penderitaan buat saya!


Dikejar-kejar Deadline

Pasti nggak enak banget kerja sambil dikejar-kejar deadline. Kadang kita memang merasa diburu-buru banget ketika menyelesaikan naskah. Karena itu, saya pribadi sekarang lebih suka mengirimkan naskah lengkap ketimbang hanya sekadar rancangan saja. Karena apa, karena kadang mood buat menyelesaikan tema itu juga sudah berubah, kadang ya nggak enak banget diburu-buru. Mending saya rampungkan dulu, baru kemudian saya kirimkan. Selebihnya, tinggal revisi pada bagian tertentu saja.


Dianggap Punya Banyak Buku dan Suka Diminta Oleh Orang Terdekat

Tahukah kamu jika penulis itu sebenarnya sama seperti kalian semua? Kita hanya punya beberapa bukti terbit dan selebihnya jika kami ingin lebih, sama seperti kamu, harus membelinya juga.


Tapi, kadang orang menganggap kita punya buku banyak banget, sehingga dengan ringan mereka meminta buku pada kita. Apalagi bagi pemula, royalti kadang juga belum seberapa, kemudian dimintai buku dari orang sejagad maya, gemas nggak sih?


Plis, belilah buku kami jika kamu memang merasa kita sahabatan *ngancem..haha.


Bertemu Penerbit atau Orang yang Tidak Amanah

Dunia literasi itu kejam! Saya setuju banget dengan kalimat ini. Bagi kita yang pemula, yang sangat berharap buku bisa terbit dan dibaca banyak orang, ternyata kadang harus berhadapan dengan penerbit atau orang yang nggak amanah.


Dan ini memang real banget terjadi dalam dunia literasi. Orang yang kadang kita lihat baik, yang sangat kita harapkan bantuannya justru nggak amanah dan tiba-tiba menghilang serta sulit dihubungi. Tahu-tahu aja kita sudah di-unfollow dan di-delete padahal dia duluan yang dulu ngajak berteman. Nyesek banget nggak sih ketemu orang begini? Lebih parahnya dia masih punya kewajiban yang harus dipenuhi pada kita yang masih prematur di dunia literasi ini? Harus dikejar ke mana orang seperti ini?


Jika pun kita bicara pada semua orang tentang siapa dia, mungkin justru malah kita kali yang dianggap jelek dan buruk karena hampir semua orang melihat dia super duper baik.


Atau, buku yang janji akan diterbitkan, kemudian dalam kurun waktu berbulan-bulan bahkan hampir setahun nggak juga ada kabar, padahal kita sudah memenuhi persyaratan. Ketika kita bicara dan menagih hak kita, kadang tetap kita, lho yang kelihatan salah.


Mereka dengan santai mengatakan sedang menunggu naskah lain dari penulis dalam sebuah antologi bersama. Dalam waktu berbulan-bulan? Melewati deadline? Lucu banget, sih. Tapi, fakta ini memang nyata banget. Buat saya, orang yang amanah itu nggak akan begini. Pasti bakalan dikabari jika ada buku terbit, pasti bakalan ditunjukkan kemajuan dari naskah kita, meskipun itu berjalan lambat, pasti bakalan dikabari kalau naskah gagal terbit, nggak membiarkan penulis bertanya-tanya apalagi sampai buruk sangka. Tapi, itulah dunia literasi. Kadang kita harus bertemu orang yang tidak amanah dan hanya memanfaatkan kita. But, Gusti Allah mboten sare. Allah melihat siapa yang sedang dilukai dan siapa yang sedang melukai.


Sakitnya Dibully Senior hingga Diabaikan

Emang ada ya penulis senior membully juniornya? Lucu nggak sih mendengar poin terakhir ini? But, ini beneran terjadi, lho. Saya pikir, nggak semua senior suka melihat juniornya berhasil apalagi sampai melambung tinggi. Bagi sebagian orang itu menyakitkan. Padahal, seharusnya itu menjadi kabar baik. Senang dong juniornya berhasil? Kan itu juga bagian dari keinginannya saat membimbing juniornya dulu, ‘kan?


Atau diabaikan? Keduanya sama menyakitnya, lho. Semoga jika suatu saat kita sudah senior, jangan merasa berat ketika junior kita lebih sukses daripada kita. Jangan abaikan mereka yang butuh kita bimbing, sebab senior pun dulunya pernah junior, ‘kan? Kenapa juga harus melakukan hal menyakitkan itu pada orang lain?


Nah, dari sekian banyak penderitaan yang saya jabarkan, mana yang menurut kamu paling menyakitkan? *eh maksudnya mana yang pernah kamu alami selama ini? Yang pasti, meskipun harus menghadapi banyak hal sulit, menulis itu tetap menjadi sesuatu yang paling menyenangkan buat saya. Dan bisa jadi juga buat kamu. Apalagi ketika tahu buku kita akhirnya terbit setelah bertahun-tahun melalui medan sulit. 

 

Comments

  1. Yang saya pahami sampai saat ini, usaha tidak akan menghianati hasil jadi, bagi para penulis yang terus berjuang untuk menerbitkan tulisannya tetap maju dan pantang menyerah. 👍

    ReplyDelete
  2. Menurut saya setiap profesi pasti ada suka dukanya, namun dgn berjalannya waktu kita akan semakin dikuatkan...
    Saya juga pernah baca autobiography seorang penulis, perjalanan karirnya sebelum mencapai kesuksesan, banyak diawali dgn kegagalan.

    ReplyDelete
  3. Intinya sabar berusaha & percaya pada diri sendiri...tetap semangat..👍👍

    ReplyDelete
  4. penderitaan yang bisa jadi modal sukses sebagai proses

    ReplyDelete
  5. Pokoke terus menulis dengan semangat lalu lupakan. Tulis lagi, lupakan. Begitu seterusnya. Hihihi..meski praktiknya suka agak gimana gitu nunggu jawaban terbit itu.

    ReplyDelete
  6. wah...ternyata sulit jadi penulis dan dan lebih sulit kalau bisa karyanya diterbitkan.
    Bermanfaat artikelnya. Thank you for sharing

    ReplyDelete
  7. kok saya jadi baper yah "ketenaran seorang penulis. Rupanya ada duka, ada luka, dan bahkan sakit hati yang kadang sulit dilupakan.

    ReplyDelete
  8. Dibully senior itu bikin banyak penulis junior jadi mutung hehehe.
    Dan sering dimintain buku oleh orang2 itu jadi berasa pengusaha buku hahaha

    ReplyDelete
  9. Yha bener, paling nyesek dikejar2 dealine mbak. tp nggak papa sih, drpd menanggung penderitaan bayang2 mantan. nggak sanggup aku! Hahha

    ReplyDelete
  10. Sedih juga jadi penulis yah, mending jadi kayak gua, nulis nggak jelas ckck

    ReplyDelete
  11. Iya, sy juga sering baca dan dengar langsung...justru manisnya di situ emang karena perjuangannya nggak selalu mudah

    ReplyDelete
  12. Iya, Mbak..ini sudah membiasakan diri :D

    ReplyDelete
  13. Haha..aamiin..padahal penulis kadang susah jualan bukunya sendiri kwkwk

    ReplyDelete
  14. Haha...sy memilih menanggung risiko buat maju, Mas :D

    ReplyDelete