Jodoh Untuk Ririn

Wednesday, October 4, 2017

Jodoh Untuk Ririn
Photo on Unsplash


Seringkali kita mengkhawatirkan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ditakutkan. Termasuk soal jodoh. Katanya jodoh di tangan Tuhan, tapi kenapa akhir-akhir ini Ririn justru tak pernah habis memikirkan tentang siapa lelaki yang kelak akan menjadi pendamping hidupnya. Usianya masih terbilang muda, belum kepala tiga. Tetapi suara ribut tetangga dan keluarga membuat daun telinganya waspada.

Silaturrahim saat lebaran justru jadi ajang tanya jawab yang lumayan menyebalkan. Ririn sudah selesai kuliah. Dia menjadi salah satu pengajar tetap di Sekolah Dasar dekat rumah. Kehidupannya jelas berada meski tak mewah. Rutinitasnya cukup menyenangkan. Sebenarnya tidak ada yang perlu dikeluhkan dalam hidupnya. Kecuali tentang satu itu, jodoh.


Awalnya gadis dua puluh lima tahun ini tidak mempermasalahkannya. Mau dikejar sejauh apa pun, kalau bukan jodoh pastilah terlepas juga. Begitu juga sebaliknya. Tapi Ibu bilang jodoh memang harus dicari. Buktinya tetangga sebelah, dia pendiam dan anak rumahan. Bisa dibilang jodohnya susah karena dia memang jarang bergaul, tidak punya banyak teman dan juga satu lagi, orang tuanya malas mencarikan dia jodoh.


Jadi, sebagai orang tua yang peduli, Ibu merasa perlu sekali mencarikan Ririn pendamping. Lima lembar foto pemuda dilemparkan begitu saja di atas meja. Ririn melongo. Memangnya masih ada zaman Siti Nurbaya?


Ibu dengan semangat menjelaskan, siapa saja lelaki yang ada di dalam gambar. Pertama, namanya Shaleh. Dia anak sahabat Ibu yang sekarang menetap di Yogyakarta. Pekerjaannya lumayan, salah satu pegawai di sebuah bank. Wajahnya? Hmm, menurut Ririn Maher Zain tetap yang paling menawan. Ririn menggeleng. Melempar satu lembar foto berukuran 3R. Tidak lulus!


Foto kedua, lelaki berwajah Arab. Hidungnya mancung dan berewokan. Sebelum Ibu mulai menjelaskan, Ririn buru-buru mengembalikan foto itu pada Ibu. Wajahnya gondok.


“Ini kan artis, Bu. Mana mau dia sama Ririn!”


Ibu tertawa, “Mungkin tadi keselip, Rin. Tapi lumayan juga lho kalau kamu bisa menikah dengan dia. Ibu bisa pamer sama tetangga sebelah. Iya, kan?”


Ririn manyun, “Kenapa bukan Ibu saja yang menikah dengan dia.”


“Hussh! Ibukan sudah tua, Nduk! Lagian kan kamu yang harusnya cepet-cepet menikah. Ibu tidak akan menikah lagi. Ibu masih setia sama almarhum Bapakmu.”


“Sebenarnya apa sih yang membuat Ibu betah mencintai Bapak?” Ririn menatap wajah Ibunya. Menunggu.


Tapi yang ditanya justru segera merapikan foto-foto. Sebelum Ririn sempat mendengar jawaban dari Ibu, wanita lima puluh tahun itu segera berlalu, meninggalkan Ririn yang termangu di dalam kamar. Pertanyaan yang tidak pernah ingin Ibu jawab meski kepergian Bapak telah menghabiskan masa sepuluh tahun yang sepi.


Ririn sering bertanya pada Ibu, kenapa Ibu bisa betah menjadi janda selama bertahun-tahun sedangkan orang-orang tak pernah ada habisnya membicarakan Ibu di belakang. Menjadi janda bukan perkara mudah. Dipandang jelek hampir oleh semua mata. Tapi Ibu yang resmi jadi janda saat usianya empat puluh tahun itu hanya menjawab pendek, “Ibu tidak bisa melupakan Bapakmu, Nduk.”


Ririn merasa Bapak tidak jauh berbeda dengan laki-laki lainnya. Wajahnya pas-pasan, pekerjaan yang biasa saja, dan tentu saja Bapak bukanlah orang kaya yang mewariskan banyak harta setelah kepergiannya. Lalu apa yang bisa Ibu pertahankan dari sosok Bapak yang telah lama pergi?


Ririn ingin sekali memaksa Ibu bicara. Sayangnya Ibu tetap bergeming dan enggan menjawab. Adegan selanjutnya, Ririn melamun di kamarnya. Memikirkan tentang siapakah jodohnya kelak. Apakah sebaik almarhum Bapak? Ataukah setampan salah satu foto pemuda pilihan Ibu barusan? Entahlah, meski telah memutuskan tidak akan memikirkan itu, dia tetap saja tak bisa mengelak bahwa sebenarnya dia pun ingin segera menikah.


***


Terdengar suara tersedu dari dalam kamar Ibu. Mengendap-endap, Ririn membuka pintu kamar, mengintip. Ibu terlihat menangis sambil memegang foto Bapak. Ah, adegan yang menyayat hati. Ririn tak bisa menahan, kemudian membuka pintu dan mendekati Ibu.


“Sebaik apa Bapak, Bu?”


Orang-orang mungkin saja memilih menikah lagi setelah pasangannya meninggal. Apalagi jika dilihat secara fisik, Ibu masih sangat cantik. Tapi, entah kenapa Ibu justru memilih membesarkan dirinya sendirian.


Ibu menatap wajah Ririn. Mengusap air matanya yang menderas bagai aliran sungai. Ririn tahu Ibu sangat mencintai Bapak. Tapi kadang berlebihan melihat Ibu kerap menangis sedangkan Bapak telah pergi sangat lama dari kehidupan mereka.


“Kalau cari suami yang sabar dan shaleh. Kayak Bapakmu.”


Itu saja. Ririn menaikkan kedua alisnya, “Apa Bapak sebaik itu sampai-sampai Ibu tidak bisa lupa sama Bapak?”


“Itulah jodoh, Nduk. Kalau sudah suka mana bisa dipaksa lupa.” Ibu tertawa kali ini sambil mencubit hidung Ririn. Berusaha menggoda.


Ririn tertawa, “Lalu kenapa Ibu sibuk sekali mencarikan Ririn jodoh? Kalau sudah jodohkan mana bisa dipaksa pergi? Kalau bukan jodoh mana mungkin dipaksa datang juga. Iyakan, Bu?”


Ibu tertawa lagi, “Besok Ibu mau ajak anak Mbak Sri buat ketemu kamu. Titik!”


Ririn mendelik. Ibu ini, habis menangis saja masih bisa sempat bercanda.


“Anaknya Bu Sri kan udah nikah semua, Bu. Tinggal yang bontot usia lima tahun. Apa Ririn disuruh momong aja?”


 
Kali ini mereka tertawa. Ibu merangkul putrinya erat. Usia ibu tak lagi muda. Bukan hal mudah melihat Ririn yang beranjak dewasa dan sampai sekarang belum juga menikah. Ibu hanya tidak mau putrinya sendiri ketika dia pergi. Ibu hanya tidak ingin Ririn sendirian. Bukankah jodoh dan kematian di tangan Tuhan? Dan Ibu mulai risau kalau-kalau usianya tak mau lagi menunggu lama. 

***

Comments