Cerbung Tentang Kita Bag 9; Antara Kita

Tuesday, October 24, 2017

Cerbung Tentang Kita Bag 9; Antara Kita
Photo on Unsplash


(Bagas)


Mengingat masa lalu serupa menusukkan jarum tajam ke ulu hati, ngilu. Saya tidak tahu betul bagaimana kejadian saat malam di mana saya tiba-tiba saja jatuh pingsan di rumah Sherly. Kebodohan yang terus saya dengungkan hampir setiap hari. Tidak ada yang bisa diingat dari kejadian itu selain benturan keras di kepala bagian belakang. Tidak ada yang bisa dilihat saat malam beranjak pagi kecuali ingatan menjijikkan tentang gadis yang telah lama membohongi saya.

Saat terbangun pada pagi yang menyesakkan, dengan kepala masih berdenyut pusing, saya melihat Sherly duduk di depan cermin di dalam kamarnya. Dia tersenyum menyambut saya, lebih tepatnya menyeringai dan menertawakan kebodohan saya. Dia mendekati ranjang di mana saya masih lemah berbaring. Jemarinya yang lentik menyentuh pipi yang dengan tegas saya tepis. Apa yang sebenarnya terjadi?


Saya bahkan kehabisan kata-kata dan memutuskan segera beranjak meski dengan kesadaran masih limbung. Sherly mencegah. Tapi saya sudah tidak percaya padanya sejak pagi ini ketika tiba-tiba semua ingatan berubah memuakkan. Gadis itu dulu bersikap baik seperti seorang adik kepada kakaknya. Gadis itu selalu sopan bahkan tidak pernah berani menyentuh lengan saya meski kami sering pergi berdua. Gadis itu bahkan sudah saya anggap seperti seorang adik. Tapi lihatlah apa yang telah dilakukannya sekarang?


“Ini terakhir kali kita bertemu!” Pekik saya sambil membanting pintu kamar yang dibalas seringai.


Saya seorang lelaki, tidak pantas menangis hanya karena dimainkan perasaannya. Tapi saya akan menangis bahkan lebih dalam lagi ketika menyadari bahwa ada dosa yang telah saya perbuat entah apa, bahkan menebaknya pun tak bisa. Sepanjang jalan pulang, saya mengurut kening. Ribuan istigfar mengalir membasahi bibir. Apa yang harus saya katakan kepada kedua orang tua? Mereka telah mendidik saya sampai sebesar ini bukan untuk sebuah dosa besar yang sangat menjijikkan. Mereka akan sangat kecewa, bahkan saya sendiri tidak bisa memaafkan kesalahan serta kebodohan saya selama ini. Kenapa dengan entengnya menerima permintaan Sherly tanpa sedikit pun rasa curiga. Saya tidak pernah membayangkan bahwa gadis yang tak pernah berkata manis itu berani melakukan hal semacam ini.


Untuk kali terakhir, saya ingin melenyapkan ingatan tentang Sherly. Tentang apa pun yang berhubungan dengannya. Ingatan padanya membawa rasa pahit dan ngilu yang nyaris bersama membasuh ulu hati. Habis sudah semua impian saya. Habis!



***


Sherly menarik pergelangan tangan gadis kecil berkuncir dua. Menahannya untuk tidak beranjak lebih dekat kepada saya. Saya tertawa sinis. Omong kosong apa lagi yang akan dibuatnya kali ini. Sudah habis kesabaran saya.


“Rara adalah anak kita, mas Permadi. Dia darah dagingmu!” Isaknya setengah berteriak dengan suara serak


Saya ingin percaya, sayangnya kepercayaan seseorang tidak bisa dimainkan. Jika dulu saya bisa dengan mudah percaya, maka kali ini ada usaha yang lebih keras lagi untuk mendapatkannya.


“Kalau begitu kita tes DNA.” Kata saya tegas.


“Jadi kamu tidak percaya bahwa dia anakmu? Keterlaluan kamu!” Sherly berteriak seperti orang kesetanan. Dan saya masih tidak peduli bahkan tidak ingin beranjak sedikit pun dari keputusan awal.


Apa yang tidak bisa diketahui akan dibuktikan dengan tes DNA. Jika gadis itu memang benar putri saya, maka saya akan bertanggung jawab dengan lapang dada. Mungkin saya harus memaafkan masa lalu saya yang pahit dan memberikan ruang sedikit saja pada gadis itu. Gadis kecil itu tidak pernah berdosa dan bukan penyebab terjadinya dosa besar di antara kami. Saya akan memaafkannya, memaafkan gadis kecil itu tapi tidak untuk Sherly. Saya sudah terlalu muak. Bahkan sejak awal melihat wajahnya, perut saya tiba-tiba mual dan ingin muntah.


Sherly, dia masa lalu yang menerbangkan semua mimpi saya. Hilang. Musnah!


***


(Raina)


Malam ini, ketika kedua mataku mulai bengkak karena menangis, tiba-tiba kulihat mas Bagas melambaikan tangan dari jendela kamarnya. Entah apa yang ingin dia katakan. Kulihat kedua tangannya saling mengatup di depan dada, sampai-sampai dagunya menyentuh ujung jarinya. Dia meminta maaf?


Sayangnya tidak semudah itu meminta maaf, mas. Butuh lebih dan lebih banyak lagi waktu untukku berpikir bahwa sebenarnya kejadian tadi pagi hanyalah sebuah permainan. Bukan sesuatu yang mesti kupercaya.


Tanpa menjawab, kututup pintu balkon kamar. Meninggalkan mas Bagas sendiri. Meninggalkan hatiku yang tiba-tiba ngilu mengingat semuanya.

***

 

Comments

  1. Hm..siapa sangka Sherly menjebak Bagas..
    Oh, semakin menarik saja ini

    ReplyDelete
  2. Aduh, saya jadi bingung ngelanjutinnya...hehe

    ReplyDelete