Gara-Gara Diet

Tuesday, September 19, 2017

cerpen Gara-Gara Diet
Photo by Diana Polikhina on Unsplash


Belakangan Kinanti lebih sibuk berolah raga ketimbang memasak dan mengurus rumah. Biasanya pagi-pagi sekali, wanita tiga puluhan itu sudah beradu dengan adonan tepung dan panasnya kompor. Sekarang, dia lebih rajin lari pagi di sekitar komplek rumahnya dan membeli sarapan di warung depan yang buka setelah Shubuh.

Suaminya, Pras tidak pernah protes. Toh selama ini dia juga tidak pernah memaksa Kinanti memasak untuk keluarga. Nasi uduk dan teman-temannya sudah cukup nikmat disantap saat sarapan sebelum dia bertolak ke tempat kerja.


Sayangnya tidak begitu dengan Adi, putra sulung mereka. Dia yang pertama protes dengan wajah sumpek.


“Apa tidak ada makanan lain selain nasi uduk, Um? Adi bosan sekali sarapan nasi uduk setiap hari. Belum lagi bekal sekolah Adi juga isinya sama.”


Pras hanya tersenyum dan menaikkan kedua bahunya. Itu di luar kuasa Pras. Anak sulung mereka tentu sudah bisa protes sekarang. Berbeda ketika dia masih balita. Makan apa pun dia terima. Bahkan meski sebulan penuh makan nasi uduk. Tapi sekarang, Adi sudah jadi anak SD kelas dua. Selera makannya pun semakin baik. Terlebih ketika Kinanti lebih rajin berada di dapur dan membuatkan anak-anaknya camilan lezat melebihi yang ada di kantin sekolah.


“Mungkin Umi sedang tidak punya waktu, Di.” Pras menengahi. Khawatir menyinggung istrinya yang sepekan terakhir terlihat lebih sensitif.


“Memangnya Umi sibuk apa, Bi? Adi lihat setiap pagi Umi cuma lari pagi, push up dan senam.” Katanya sambil memasukkan bihun ke dalam mulut dengan wajah cemberut.


“Makan nasi uduk juga sudah cukupkan? Lagipula Abi tidak suka melihat Umi kelamaan di dapur.” Kinanti balas komentar.


Pras menoleh. Semakin tidak mengerti dengan jalan pikiran istrinya.


***


“Kok nggak ada sarapan di meja makan?” Adi semakin lesu.


Kemarin masih untung ada nasi uduk walaupun sudah seminggu makan menu sama. Sekarang, justru teh hangat dan sarapan pun sudah tidak muncul lagi di atas meja makan keluarga Pras. Sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan Kinantinya?


Pras mengusap kepala sulungnya. Mengecupnya pelan dan membisikkan sesuatu. Lantas sumringah di wajah Adi sudah cukup melegakan perasaan Pras. Hari ini, Pras memutuskan mengajak Adi sarapan di luar. Mungkin istrinya sedang lelah dan tak ingin memasak ataupun membeli sarapan untuk mereka. Bukan masalah. Menjadi ibu rumah tangga, meski kadang terlihat sepele, namun kenyataannya tidaklah semudah yang dibayangkan kebanyakan orang. Mereka bergelut dengan rutinitas yang sama setiap hari. Jarang bergaul dengan teman-teman sebab mengurus rumah saja kadang tidak mengizinkan para istri untuk beristirahat. Pras sangat memahami itu. Dan Kinanti mungkin juga sedang merasakan hal yang sama, bosan dan lelah.


Sebelum keduanya berangkat, Kinanti muncul di depan pintu dengan napas terengah. Dia membungkuk sambil menahan perutnya yang nyeri.


“Kalau lari jangan terlalu capek, nanti bisa sakit.” Pras menyodorkan segelas air putih.


Kinanti menepis, “Kinanti melakukan semua ini hanya demi mas Pras.” Katanya dengan ketus.


Pras melihat istrinya berlalu ke belakang tanpa mencium tangannya. Wanita itu kadang bersikap aneh tanpa sebuah alasan yang jelas. Pras menarik napas dan menggandeng tangan Adi. Deru motor terdengar keras sebelum akhirnya bayangan mereka hilang di ujung jalan.


Kinanti muncul dari kamar mandi dengan wajah sembab. Kedua matanya merah bukan karena terlalu lelah dan kurang tidur. Semalam dia bahkan tidak sempat menunggu Pras pulang. Setelah shalat Isya dia terlelap dengan keletihan tak tertahan.


“Ada apa, Mi?” Naura keluar dari kamar dengan wajah masih mengantuk.


Kinanti menggeleng sambil merengkuh bungsunya, “Hanya kelilipan, Sayang.”


Naura menerima jawaban itu tanpa protes. Tapi kemudian gadis kecil lima tahun itu mendengar bunyi perutnya sendiri yang keroncongan. Lapar sekali. Berharap bisa makan setangkup roti buatan ibunya yang biasa tersaji di meja makan hampir setiap pagi. Sayangnya, ketika langkah kecil itu terhenti di dekat meja makan, hanya segelas air putih yang tampak di sana.


“Kapan Umi masak lagi?”


Kinanti terperangah mendengar pertanyaan itu muncul dari gadis kecilnya. Kapan Kinanti masak lagi? Kapan dia membuat roti lagi? Kapan dia mau berhenti dan berdamai dengan perasaannya yang tak karuan? Rasanya seperti digerogoti. Hari-hari setelah kejadian seminggu kemarin, membuatnya kehilangan waktu menikmati kebersamaan yang hangat bersama anak-anak dan mas Prasnya.


Belum sempat Kinanti menjawab, air matanya menderas melebihi anak sungai. Dadanya tiba-tiba saja sesak. Jika bukan karena Pras, dia tidak akan melakukan ini. Semua kerja kerasnya hanya untuk Prasnya yang tampan. Seharian minum air putih hangat tanpa sesuap nasi juga karena Prasnya. Apa pun akan dia lakukan untuk Pras. Hanya untuk lelaki yang delapan tahun telah menikahinya.


Naura mendekati ibunya. Menarik baju Kinanti yang sebagian basah terkena air mata. Naura ingin bertanya ada apa dan kenapa tiba-tiba ibunya menangis? Apa karena Naura memintanya membuat roti lagi? Apa ibunya sedih dengan permintaannya barusan?


“Maafkan Umi, Sayang.” Kinanti merengkuh Naura dan tersedu lama.


***


“Lelaki zaman sekarang nggak bisaan kalau lihat wanita cantik. Apalagi kalau lihat janda kayak Noni tetangga baru kita.” Tukas Bu Retno sambil mencubit lengan Kinanti.


“Insya Allah mas Pras tidak seperti itu, Bu.” Jawabnya sambil tersenyum getir.


Ya, Kinanti yakin mas Prasnya adalah lelaki yang baik dan setia. Dia tidak pernah protes dan mengeluh meski setelah melahirkan Naura, tubuhnya tak seramping dulu. Mas Prasnya tidak akan protes meski Kinanti tidak pandai memakai make up. Kinanti juga punya tubuh mungil dan pendek, tidak seperti teman-teman Pras di kantornya yang tinggi bak foto model. Kinanti jauh jika dibanding mereka. Tapi yang membuatnya lega adalah Pras tidak pernah sekalipun mengeluh apalagi mengatakan terang-terangan tentang kekurangannya itu. Kinanti anggap itu bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.


“Tapi saya lihat Jeng Kinanti lebaran ya dibandingkan dulu,” Bu Yatno menambahkan sambil melihat tubuh Kinanti dari ujung kepala hingga kaki.


“Laki-laki sukanya main belakang, Jeng. Mana ada yang terang-terangan.”


Hati Kinanti mencelos. Cukup. Meski telah berjanji akan selalu memercayai Pras, rupaynya pagi itu dia tak sanggup menahan gelisah akibat ucapan para tetangganya. Kinanti segera membayar belanjaannya dan lekas berlalu.


Di rumah, dia berdiri di depan cermin. Memerhatikan dengan seksama. Kinanti terpaku dengan sedikit kerutan di sekitar mata. Tidak, itu tidak hanya sedikit, bahkan lebih banyak daripada yang pernah dilihatnya kemarin. Dengan gelisah Kinanti menarik kelopak mata. Tersenyum sendiri di depan cermin. Kemudian murung setelah menyadari bahwa tidak banyak lagi pakaian lama yang bisa dikenakannya setelah Naura lahir. Tercenung melihat koleksi gamisnya hanya tergantung sia-sia tanpa pernah terjamah. Kinanti menyadari, dia harus berubah demi lelaki yang sangat dicintainya.


***


Kinanti mengerti betapa suaminya sangat sibuk akhir-akhir ini. Selalu pulang telat. Berangkat pagi-pagi sekali dan malamnya mereka hanya menyapa serta basa basi sebentar sebelum akhirnya Pras melanjutkan pekerjaannya. Di balik pintu kamar, Kinanti mengelus dada. Suaminya sudah berubah. Perubahan yang sebelumnya tidak pernah sempat dia lihat. Jangan-jangan sudah sejak lama mas Prasnya seperti itu. Kinanti mungkin saja tidak menyadari sebab terlalu sibuk dengan kegiatannya setiap hari.


Bu Yatno bilang, lelaki sukanya main belakang. Tiba-tiba tayangan infotaiment tentang salah satu artis papan atas yang berpoligami melintas dalam pikirannya. Padahal istrinya sudah cukup cantik bahkan sangat cantik dibanding Kinanti. Tapi lelaki yang tidak pandai bersyukur justru memilih berpoligami di belakang mereka. Mempermainkan syariat tanpa mengerti ilmunya. Tidak, Kinanti tidak bisa menunggu sampai semua itu terjadi padanya. Dia harus berubah.


Besok, dia akan lari pagi menyusuri komplek rumah. Kinanti juga berjanji tidak akan makan sebelum tubuhnya kembali normal seperti ketika dia memiliki Adi. Kinanti tidak bisa membayangkan jika mas Prasnya tiba-tiba jatuh ke pelukan wanita lain hanya karena Kinanti tidak pandai merawat diri. Lelaki mana yang suka melihat wanita berdaster yang selalu bermain tepung di dapur? Dan Pras tentu sudah mulai jengah dengan hobinya itu.


***


“Mas pulang telat lagi?” Kinanti berkacak pinggang di depan pintu. Membuat Pras kaget dan berhenti menguap.


“Mas sudah bilang, seminggu ini ada audit. Jadi mas sibuk sekali.” Pras tersenyum sambil mengusap kepala Kinanti. Tak terbersit sedikit pun kemarahan meski nyatanya dia sudah sangat lelah apalagi ketika disambut dengan kalimat ajakan perang seperti yang Kinanti lakukan saat ini.


Kinanti menarik napas panjang, mengikuti Pras dari belakang, “Mas ganti parfum, ya? Kok wanginya beda.”


Pras tertawa, “Bukannya ini parfum yang Kinan belikan kemarin? Mas kan tidak pernah suka pakai parfum. Karena Kinan yang minta, makannya mas pakai,” katanya sambil menggamit dagu istrinya.


Kinanti hampir lupa, bukannya memang dia yang selalu memerhatikan penampilan Pras? Mulai dari sepatu, celana sampai kemeja bahkan parfum. Mendadak dia menyesali itu. Harusnya biarkan saja Pras tidak pakai parfum, dengan begitu, suaminya yang ganteng itu tidak akan bisa tebar pesona.


“Mas,” Kinanti menarik lengan suaminya.


“Ya?” Lelaki berwajah teduh itu urung membuka tudung saji di meja makan demi melihat wajah Kinanti yang selalu murung beberapa hari terakhir.


“Kinanti jelek, ya? Gendut? Kulit Kinanti juga tidak putih. Mas Pras…”


Sebelum kalimatnya selesai, Kinanti justru menangis sambil memeluk suaminya. Membuat Pras menahan tawa. Sejak kapan Kinanti menjadi sedetail itu menilai penampilan? Biasanya dia selalu percaya diri. Merasa menjadi ratu di dalam rumah sebab kenyataannya Pras memang selalu memperlakukannya demikian.


Pras menyukai Kinanti apa adanya. Jika hanya karena cantik saja, tentu Pras tidak akan memilihnya sebagai pendamping. Tapi Pras punya alasan lain kenapa dia bersikeras menikahi Kinanti meski dulu orang tuanya sangat tidak setuju dengan pilihannya itu.


“Kinanti punya kecantikan di sini, Buk. Jika hanya ingin yang cantik, Pras bisa memilih yang lain. Tapi yang punya kecantikan dari hati tentu tidak mudah menemukannya. Dan Pras sudah melihatnya pada Kinanti.” Katanya meyakinkan.


Sebab itulah, Pras tidak pernah protes meski akhir-akhir ini Kinanti sangat sibuk di dapur sampai-sampai dia melupakan kemeja Pras. Biasanya Kinanti selalu menggantungnya di lemari. Pras hanya tinggal memakainya. Dan yang lebih parah, istrinya itu justru sibuk dengan kegiatan barunya, lari pagi dan senam. Sesuatu yang sama sekali tidak pernah dilakukan Kinanti sebelumnya. Tapi sekali lagi Pras tidak pernah protes dan mempertanyakan.


“Ada apa? Memangnya mas salah, ya?” Pras mengangkat wajah Kinanti.


Kinanti menggeleng. Tak kuasa menjawab. Suaminya itu, meski pendiam dan jarang bicara, bukan berarti dia tak pernah peduli. Mas Prasnya memang bukan lelaki romantis yang setiap hari membawakannya bunga. Tetapi lelaki yang usianya terpaut sepuluh tahun dengannnya itu tahu bagaimana cara menyenangkan hatinya.


Tanpa basa basi, Pras membelikan oven listrik untuk Kinanti setelah melihat dirinya begitu bersemangat membuat roti. Melihat ketekunan Kinanti, Pras menghadiahkannya sesuatu yang sangat Kinanti inginkan sejak lama. Pras bahkan tak mengatakan apa pun meski Kinanti bersorak senang dan memeluknya. Lelaki itu hanya tersenyum datar sambil bercanda.


“Jadi kapan mas bisa makan roti buatan Kinan lagi?” Pras mencubit hidung Kinanti, “Mas bosan lihat Kinan lari pagi setiap hari, Adi juga kasihan kalau setiap pagi makannya nasi uduk.” Pras menarik napas dan melihat mata istrinya yang sembab.


“Mas, sebenarnya Kinanti hanya takut kalau mas Pras berpaling ke lain hati. Lihat, Kinanti sekarang tidak seramping dulu. Bahkan baju-baju lama Kinanti sudah tidak muat lagi.” Kinanti setengah merajuk. Membuat Pras tersenyum geli.


“Terus?” Pras balik bertanya.


Kinanti jadi bingung harus menjawab apa, “Kenapa mas Pras tidak memuji Kinanti? Apa benar Kinanti sudah sejelek dan segendut kata orang-orang?” Kinanti manyun.


“Mas tidak suka berbohong. Kalau memang gemuk kenapa harus dibilang kurus?” Celetuk Pras sambil tertawa dan memamerkan deretan giginya yang putih tanpa bekas nikotin.


“Jadi Kinanti memang seburuk itu ya, di mata mas Pras...” Kali ini Kinanti menangis lagi.


Pras tertawa, “Jangan terlalu sibuk dengan anggapan orang. Kinan yang paling tahu siapa diri Kinan sendiri. Dan mas Pras tidak bilang kalau Kinan gendut. Hanya mungkin agak berisi ketimbang dulu.”


Belum sempat Kinanti merasa lega, tiba-tiba kalimat terakhir Pras membuatnya terkaget-kaget. Dengan sebal dia memukul suaminya.


“Tampil cantik memang perlu, tapi jangan abaikan kewajiban. Kasihan Adi kalau setiap hari makannya nasi uduk sama nasi goreng terus.” Pras nyengir. Diikuti oleh anggukan kecil Kinanti.


Mas Prasnya itu, meski tak banyak bicara dan menebar kalimat gombal, nyatanya dia paling tahu bagaimana memperlakukan Kinanti, menegur tanpa perlu melukai, dan mencintai meski tanpa menyatakan. Jika selalu mengikuti pendapat orang lain tentu akan sangat melelahkan. Dan seperti yang Pras bilang, sampai kapan pun kitalah yang paling mengerti siapa dan sebaik apa kualitas diri. Orang lain hanya melihat cover, bukan isi. Lalu kenapa sampai dibawa mimpi?

 

Comments

  1. Hihihi.. Perempuan sukanya sibuk dengan ketakutan sendiri ya :)

    ReplyDelete
  2. jleb sama endingnya..! orang lain mah liat covernya bukan isinya..ngapain pusing mikirin yaaak:D

    ReplyDelete
  3. Tapi tetep aja pusing yaaa...karena dibawa pusing..hihi

    ReplyDelete
  4. Aish..bener banget tuh, harus inget sama tugas, dan mending abai aja sama pendapat orang yg merendahkan ^^

    ReplyDelete
  5. Fiksinya bagus... Ceritanya real banget. Suka bacanya☺

    ReplyDelete