Rindu

Friday, October 20, 2017

cerpen rindu
Photo on Unsplash


Pukul 10 malam, Rasyid baru saja sampai di rumah. Setelah mengunci mobil, lelaki 30 tahun itu menatap lampu ruang tamu yang masih menyala. Bella pasti belum tidur, atau mungkin tidur dalam keadaan duduk tegak sambil sesekali kepalanya terjatuh membentur bahu. Rasyid bisa membayangkan bagaimana wajah cantik itu terlelap begitu lelahnya sambil tetap memegang jarum rajut. Sedangkan sepatu mungil berwarna biru cerah yang sudah sampai separuh dikerjakan akhirnya berantakan karena dimainkan oleh kucing kesayangan mereka.


Sudah berulang kali Rasyid mengatakan pada istrinya bahwa dia tak perlu repot-repot menunggu. Rasyid sudah membawa kunci rumah sendiri, dia bisa masuk kapan pun tanpa mengganggu Bella. Sayangnya, wanita bertubuh mungil itu tetap keras kepala. Dia ingin membukakan pintu dan melihat wajah Rasyid pertama kali saat suaminya tiba di rumah. Kenapa harus begitu?

 
“Hanya ingin memastikan bahwa kamu pulang benar-benar karena lembur, Mas.”

“Hah? Apa maksudmu?” Rasyid bertanya heran.

“Bisa jadi kamu pulang karena hmm, aku pasti tahu beda parfum orang lain dengan parfum suamiku sendiri. Apalagi parfum perempuan tentu berbeda dengan yang kamu pakai, Mas.” Jawab Bella dengan wajah jenaka.


Rasyid tertawa sambil mengacak rambut Bella, “Lalu apa yang kamu temukan, Sayang?”


“Bella bersyukur, kemeja mas Rasyid bersih, parfumnya pun hanya berganti jadi asam keringat! Wajah, tidak ada yang berbeda dari sejak pertama kita bertemu pagi tadi. Hanya lebih banyak minyak dan sedikit debu.”
 

Sekali lagi Rasyid terbahak, “Jadi kamu bersyukur sudah menikah denganku, kan?”

Bella mengelak, “Tidak juga.”

“Apa?” Tanya Rasyid kesal.
 

Tiba-tiba saja Bella duduk dan menarik pergelangan tangan suaminya, “Maafkan jika aku belum juga bisa memberikan anak buat kamu, Mas.” Suaranya terdengar putus-putus.

Rasyid diam. Dia rindu tangisan bayi. Dia rindu dipanggil ayah. Tapi dia jauh lebih rindu melihat senyuman istrinya.

Rumah itu, hanya ramai saat mereka berdua bertemu. Selepas Rasyid pergi bekerja setiap pukul enam pagi, rumah serupa istana yang Rasyid bangun dengan hasil keringatnya hanyalah sebuah ruang kosong tanpa penghuni. Sepi.

Lima tahun pernikahan, mereka belum juga dikarunia anak. Hampir lebih tepatnya. Bella pernah hamil hingga usia kandungan tujuh bulan. Bayi laki-laki yang lebih cepat hadir di dunia. Putra pertama mereka lahir prematur. Tidak sampai semalam, bayi itu meninggal karena fungsi paru-parunya belum sempurna. Mereka berdua berduka.

Hampir setiap hari Bella menangis. Kejadian yang sangat menyedihkan. Tidak ada kesedihan yang lebih besar melebihi kehilangan seorang anak yang telah tinggal dan hidup di rahimnya selama sekian bulan. Dan Rasyid tahu duka Bella teramat dalam.
 

Beberapa hari Rasyid bahkan sengaja cuti. Dia memutuskan menemani Bella selama masa berkabung. Dan perlahan, istrinya yang selalu terlihat cantik itu pun mulai bangkit, melupakan kehilangan, melupakan kesedihan.

Sekarang, ketika mereka sudah 8 tahun menikah, kehamilan itu pun kembali menjadi kado terindah dalam kehidupan rumah tangga mereka. Bella menangis dan memeluk suaminya saat melihat hasil test kehamilan. Kebahagiaan yang telah lama hilang.


Lima bulan kehamilan, Rasyid dan Bella benar-benar berusaha menjada si cabang bayi. Bella bahkan tidak pernah diizinkan melakukan banyak hal seperti biasanya. Bahkan mencuci dengan mesin pun dilarang. Bellah merasa Rasyid sangat berlebihan, sayangnya suaminya yang punya stok sabar melebihi dirinya itu tahu kapan harus menuruti kemauan Bella dan tahu kapan harus menolaknya.


Seorang asisten rumah tangga akhirnya mereka pekerjakan di rumah demi mengambil alih semua tugas Bella.
 

“Jadi Bella harus ngapain, Mas? Bosan kalau hanya duduk, pindah ke kamar, baca buku.” Keluhnya suatu hari.
 

Keesokan harinya, Rasyid membawakan buku panduan merajut dan beberapa peralatan rajut. Menyodorkan pada istrinya, “Kalau masih bosan, besok kamu ikut saja ke kantor. Jadi pengawas!” Celetuk Rasyid sambil mencubit hidung Bella.


Bella tertawa dan menerima dengan senang hati hadiah dari suaminya. Kegiatan baru yang akan sangat menyenangkan. Dia bisa membuat topi bayi, sepatu bayi, atau mungkin selimut bayi yang lucu. Bella membayangkan bagaimana jika suatu saat janin dalam kandungannya lahir dan memakai semua pernak pernik yang telah dibuatnya, tentu akan sangat menggemaskan.

 
“Terima kasih, Mas Rasyid!”


Dokter melarang Bella melakukan aktivitas berat karena kandungannya yang masih muda sering mengalami kontraksi dini. Dia benar-benar harus istirahat. Duduk pun tidak boleh terlalu lama. Dia tahu apa yang harus dilakukannya. Tidak ingin kejadian sebelumnya terulang lagi. Maka dia jarang melawan setiap kali Rasyid menyuruhnya segera isrirahat, tidak boleh terlalu lama berdiri untuk memasak, tidak boleh mengepel lantai, dia benar-benar jadi tuan putri selama masa kehamilan keduanya.


Rasyid membuka kunci pintu rumahnya pelan. Ketika pintu terbuka, Rasyid sudah pasti bisa melihat istrinya sedang tertidur di kursi dengan benang rajut menjuntai ke lantai. Dia tertawa.

“Dasar keras kepala! Sudah mas bilang jangan menunggu mas pulang, kamu bisa sakit punggung karena tidur sambil duduk seperti ini.” Rasyid bicara sendiri dengan suara pelan. Setelah menaruh ransel, dia memunguti benar-benar yang terjatuh di lantai lantas bergegas membopong istrinya ke kamar.


“Berat, Mas?” Tiba-tiba saja Bella membuka mata. 

Rasyid menggeleng dan tertawa, “Dasar bandel!” ujarnya berkali-kali.

Bella tertawa sambil menatap wajah suaminya. Keesokannya, kebahagiaan itu berubah mencekam seketika.
 

***


Rasyid masih belum percaya jika pagi tadi, istrinya mengalami pendarahan hebat. Tanpa jatuh, tanpa kejadian menakutkan apa pun. Bau amis menyebar diiringi rintih kesakitan. Rasyid buru-buru membawa Bella ke UGD. Istirnya itu kini masih belum juga siuman.


“Biarlah, biarlah. Yang penting Bella selamat.” Berkali-kali kalimat yang sama keluar dari mulut Rasyid. Mereka sudah berusaha dan bersungguh-sungguh menjaga. Tapi mungkin Allah belum menghendaki. Biarlah, biarlah asal istirnya selamat. Mereka masih bisa memikirkan kebahagiaan lainnya. Rasa sepi itu bisa saja dilindas oleh keakraban mereka berdua. Rasyid bisa menelepon Bella setiap jam istirahat kantor. Atau Rasyid bisa mengajak mertuanya tinggal bersama di rumah mereka.


Rasyid mengepal kedua tangannya. Disaat matanya basah, tiba-tiba dokter muncul sambil membenahi kacamatanya. Rasyid buru-buru menghampiri. 

“Alhamdulillah, istri anda sudah mulai siuman.”


Rasyid tersenyum. Bersyukurnya dia, pendarahan istrinya bisa diatasi. Bukan masalah, Bella. Kita bisa memulainya lagi. Rasyid akan memberitahukannnya nanti, saat kondisi Bella sudah mulai stabil. Tentang buah hati mereka. Tentang bayi mungil yang kini telah tiada.

Comments