Cerbung Tentang Kita Bag 3; Sebuah Pilihan

Monday, October 16, 2017

Cerbung Tentang Kita Bag 3; Sebuah Pilihan
Photo by Arno Smit on Unsplash


(Raina)

Memikirkanmu serupa mimpi

yang sulit sekali bertandang pada malam-malam pekat

Melihat punggung mas Bagas berlalu dari hadapanku, sedikit meninggalkan kecewa yang menusuk di hati. Sebenarnya tidak mudah menemukan pemuda seperti dia. Tapi, lelaki yang dengan gagah bertemu ayah itu justru aku tolak. Dia pergi dan menyisakan teka teki yang belum usai. Hatiku bukannya lega dengan kepergiannya malah justru sebaliknya.

Mungkin aku adalah orang yang tidak pandai bersyukur. Apa yang kurang dari mas Bagas? Dia pandai dan alim. Wajahnya pun tak kalah menarik. Tapi, soal hati jujur saja aku belum merasa klik.

Semoga saja lelaki berhidung mancung itu mengerti apa maksudku. Tidak mudah mengatakan ‘tidak’ tapi bukan sesuatu yang ringan juga memutuskan untuk mengiyakan permintaannya. Aku yang tak pernah jatuh cinta, kini seperti sedang patah hati. Aneh, tapi rasanya hati ngilu teriris. Bagaimana dengan mas Bagas? Apa dia baik-baik saja?
 

            Aku membuka pintu balkon kamar. Yang pertama kali terlihat adalah rumah mas Bagas. Benar, rumah kami saling berhadapan. Cat berwarna putih menjadi dominan ketika melihat rumahnya pertama kali. Bangunan itu sudah sejak lama menjadi pemandangan yang tak asing lagi. Hampir setiap malam aku bisa melihat dengan jelas siapa yang sedang duduk di kursi berwarna putih dengan kacamata menghiasi wajah dan sebuah buku tebal di tangannya.


            Tentulah dia adalah mas Bagas yang seperti sedang jatuh cinta pada buku-buku. Lelaki seperti dia apa bisa jatuh cinta pada wanita? Apalagi secepat ini? Tidakkah itu terlalu mencurigakan? Batinku berkecamuk.


            “Memangnya mas Bagas serius, Bang?” Aku menyempatkan bertanya sambil mengambil selembar roti tawar dan mengusap satu sisinya dengan selai blueberry. Pagi itu, aku memutuskan bertanya lebih jauh tentang mas Bagas. Meski akhirnya hanya jadi bahan ledekan oleh kakak sulungku yang paling menyebalkan itu.


            “Kalau dia main-main, pastilah kamu hanya diajak pacaran, Rai.” Sahutnya sambil mengunyah roti.


            Benar juga, tapi sikap mas Bagas yang terlalu buru-buru itu apa bisa disebut serius? Aku takut ada rahasia yang sedang disembunyikan. Aku khawatir dia sedang menyembunyikan sesuatu.


            “Lagian siapa sih yang mau mainin kamu. Kayak kamu laku aja!”


            “Astagfirullah, Rio. Hati-hati kalau bicara.” Ibu ikut protes.


            Bang Rio meminta maaf dan tertawa habis-habisan sebelum akhirnya dia tersedak.


            “Syukurin!” Aku tertawa puas.


            Ayah dan Ibu yang sedang menyantap sarapan hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan kami yang masih serupa anak-anak. Masih suka gebuk-gebukan. Adu jotos dan jelas kami sering meledek satu sama lain. Tapi, jujur saja kami berdua tidak pernah betah ketika salah satu marah.


            Bang Rio yang biasanya merayu. Dan aku, jelas yang paling suka ngambek dan mengancam tidak mau memaafkan jika permintaanku tidak dia kabulkan. Kebayang bagaimana ekspresi kesalnya bang Rio ketika aku meminta eskrim dan sepuluh batang cokelat favorit? Bahkan membayangkan saja aku ingin sekali tertawa lebar.


            “Bukannya kamu sudah menolak Bagas, Rai?” Ayah tiba-tiba saja bertanya setelah menyesap secangkir teh berwarna pekat buatan ibu.
 

            Aku yang ditanya begitu justru gelagapan. Iya, Ayah benar juga, kemarin aku jelas telah menolak lamaran mas Bagas. Lalu, untuk apa aku menanyakan sesuatu yang sebenarnya saling berlawanan? Hanya mempermalukan diri di depan bang Rio saja. Menyesal, sebab nasi sudah menjadi bubur. Dan bubur itu kini sudah dianggap umpan oleh bang Rio. Lihat saja, dia menahan tawa sampai wajahnya merah. Aku kesal dan ingin sekali menimpuknya dengan roti tawar di tangaku.

 
            “Kalau tidak suka kenapa nanya?” Bang Rio melirikku dengan tatapan sinis. Sekali lagi sangat sinis, seolah ingin balas dendam.
 

            Aku manyun dan pura-pura tidak mendengar pertanyaannya barusan. Dan setelahnya, bang Rio bicara dan meledekku tanpa ampun.


            “Bang Rio, berhenti!”

 

***

Comments