Cerbung Tentang Kita Bag 2; Tentang Kamu

Sunday, October 15, 2017

Cerbung Tentang Kita Bag 2; Tentang Kamu
Photo by Trevor McKinnon on Unsplash


(Bagas)

Aku kumpulkan seribu tangkai mawar

Berharap wanginya sejenak mengenyahkan bayangan tentangmu

Sayangnya, justru wajah ayumu lagi yang menghampiri

Tak kunjung pergi bahkan semakin mendekap

Erat...

Untuk pertama kalinya saya melihat gadis ayu berhijab rapi mengetuk pintu hati. Pelan tapi pasti semakin hari wajah itu semakin lekat. Saya sama sekali tidak mengenalnya. Dia tetangga dekat. Rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari rumah baru yang sudah beberapa bulan saya tempati.

Setiap sore saya bisa melihat dia menyiram tanaman di halaman rumahnya yang asri. Pohon-pohon menghijau dan bunga-bunga menyembul indah di antara rindangnya. Sayangnya, keindahan itu tak mampu juga menyembunyikan wajah itu dari pandangan saya. Sulit sekali diterka, entah saya hanya sedang mengagumi atau telah…

Tapi entahlah, selama ini belum pernah ada gadis yang mampu menaklukkan hati. Kata teman-teman, saya ini berhati batu dan sulit sekali ditaklukkan oleh wanita. Faktanya saya memang hampir tidak pernah menyukai perempuan kecuali hanya sebagai teman diskusi dan teman biasa.

Dan sekarang, gadis yang belakangan saya ketahui namanya itu benar-benar menggoyahkan keyakinan saya. Saya kira tidak mudah menyukai siapa pun kecuali nanti saat saya akan menikah. Tapi tunggu sebentar, apakah saya menyebutkan bahwa saya akan menyukai seseorang ketika hendak menikah? Apakah ini pertanda bahwa saya akan segera menikah dengannya? Hm, sepertinya saya harus segera tidur supaya besok tidak gugup saat memeriksa pasien di rumah sakit.

Sayangnya, saya harus tidur dengan membayangkan sesuatu yang sulit sekali diterjemahkan oleh hati dan akal sehat. Saya seorang dokter, tapi untuk menyembuhkan resah sesederhana ini saja tak mampu. Lalu untuk apa saya belajar mati-matian tentang dunia kesehatan jika saya sendiri saja tidak merasa sehat sejak kedatangan gadis itu. Saya sakit, dan rasa sakit yang menggetarkan hati seperti ini sungguh sangat tidak menyenangkan.

O ya, seperti yang saya sebutkan. Gadis itu bernama Raina. Ternyata dia adalah adik dari sahabat saya di kampus, Rio. Dia yang mengenalkan saat tanpa sengaja kami saling bertemu. Jika ditanya apakah dia wanita tercantik yang pernah saya temui, maka saya pastikan dia bukan orangnya. Tapi, jika ditanya apakah dia sanggup mengguncang ketenangan hati dan pikiran saya, maka jawabannya adalah benar.

Cinta dan mencintai itu adalah fitrah. Tidak ada seorang pun yang bisa membuat dan membelinya. Pejabat setinggi apa pun pangkatnya tentu tidak akan sanggup membeli rasa serta cinta. Begitu juga mustahil memaksa seseorang untuk jatuh cinta pada orang yang sama sekali tidak disukainya.


Maka, yang selalu menjadi pertanyaan dalam pikiran saya, apakah gadis berpenampilan sederhana itu bersedia mencintai saya ataukah hanya saya saja yang selalu memikirkan pertemuan singkat di antara kami?

Jujur saja saya ragu ketika melihat Raina hampir selalu cuek ketika bertatap muka dengan saya. Dia enggan sekali menyapa meski saya sudah mulai menegur atau melemparkan seulas senyum terbaik yang saya miliki untuknya. Dia tetap seperti biasa, hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Segera melanjutkan rutinitasnya setiap pagi dan sore di halaman rumah.

Saya gugup. Ingin mundur tapi jujur saja saya selalu suka melihat bahkan mencuri pandang ke arahnya. Itu adalah hal tergila yang pernah saya lakukan seumur hidup. Tapi Raina telah merubah segalanya, mengganggu tidur malam serta ketenangan hidup saya.

Allah, sepertinya saya sedang jatuh hati…

 

***

 

Sore itu, saya memutuskan untuk segera datang dan melamar Raina. Hanya sendiri. Kebetulan orang tua saya tinggal dan menetap di Surabaya, karena sekolah dan tempat tugas saya di Jakarta, maka dengan berat hati saya harus tinggal berjauhan dengan mereka.

Sebelumnya saya tidak pernah membayangkan betapa nekatnya saya ketika memutuskan untuk segera datang dan menemui ayah Raina. Hal tergila yang saya lakukan untuk seorang gadis berjilbab sepertinya. Ketika saya mengatakan keinginan ini kepada orang tua, mereka seperti disengat petir. Kaget dan sangat tidak percaya sampai-sampai mereka mengira saya telah menghamili anak orang di luar nikah.

“Memangnya kenapa buru-buru, Gas? Kemarin Bapak jodohkan sama anak teman Bapak yang ayu kamu nolak. Sekarang pengen cepetan nikah. Semua baik-baik aja, kan?”

Dari seberang telepon saya tertawa. Tentu saja tidak ada masalah. Masalahnya adalah ketika saya sudah merasa mampu dan hati saya mengatakan telah menemukan orang yang tepat untuk mendampingi hidup saya. Saat itulah saya memutuskan untuk segera menikah. Saya tidak mau mempermainkan perasaan orang atau malah menjerumuskannya dalam liang dosa jika saja saya berani mengajaknya terikat tanpa kehahalan agama.

Tapi, ya Allah, saya harap dia adalah jodoh saya. Rio bilang adiknya adalah gadis yang baik. Setelah menamatkan S1 di UI, gadis berlesung pipit itu memutuskan mengajar di sekitaran kawasan Klender. Dia berangkat ke sana dengan angkutan umum atau dengan naik ojek. Ya, sesekali saya juga melihat dia mengenakan ransel biru cerah, berjalan menghentikan angkutan umum. Tapi, saya yang masih baru kenal tidak pernah berani bertanya.

Raina selalu mengakui bahwa dirinya adalah seorang pengangguran. Kerjanya hanya di rumah setelah kuliahnya selesai. Gadis manis yang tidak suka mengumbar kebaikan. Padahal, di kawasan pabrik di daerah Klender, dia mengajar anak-anak kurang mampu secara percuma. Katanya dia kasihan, daerah kumuh dan banyak sekali anak-anak yang tak bisa melanjutkan sekolah. Atas inisiatifnya, Raina dan beberapa orang temannya aktif mengajar di sana.

Cerita yang sempat membuat hati saya terkagum-kagum setelah mendengarnya dari Rio. Gadis itu, meski tidak bergaya seperti jilbaber masa kini, tapi kecantikannya keluar dari hati. Dia tersenyum seperti bidadari yang sedang menyapa. Jika terus-terusan memikirkan Raina, saya bisa pastikan akan tidur kemalaman dan begadang setiap hari.

Untuk itulah, sore itu ketika matahari mulai merangkak turun, saya memberanikan diri mengetuk pintu rumahnya. Celakanya, Rainalah yang membukakan pintu. Dengan ramah dia mempersilakan saya masuk. Saya coba menata hati, saya seorang dokter yang telah memeriksa banyak sekali pasien, kenapa harus gugup ketika bertemu Raina? Anggap saja dia adalah salah satu pasien saya juga. Benarkan?

Sayangnya, sebelum benar-benar siap, saya hampir saja terjatuh. Tidak jelas apa yang membuat langkah kaki saya tiba-tiba seolah terbentur sesuatu yang keras. Alhasil, saya hampir saja terpelanting di depan gadis pujaan hati. Benar-benar sesuatu yang sangat memalukan. Dan celakanya saya sempat melihat Raina menahan tawa.

“Hati-hati, Mas.” Katanya.

Lalu, bisa dipastikan setelahnya, jantung saya berdetak semakin kencang mengalahkan roller coaster. Raina, semoga kamu segera lupa dengan kebodohan saya. Semoga…

 

***

Comments