Gadis Pilihan Ibu

Monday, January 1, 2018

Gadis Pilihan Ibu


“Kamu pikir cari istri itu mudah?”

Ziyad menaikkan kedua alis tebalnya sambil memelototi Karim, sahabatnya.

“Lah, orang ganteng dan mapan seperti kamu juga susah cari pendamping? Hm, apalagi yang modal nekat seperti aku,” celetuk Karim disusul gelak tawa dari keduanya.

Meskipun telah memasuki kepala tiga, sampai detik ini, Ziyad masih belum menentukan siapa calon pendamping hidupnya nanti. Bisa jadi seperti tuduhan kakak iparnya, karena terlalu sibuk mengejar karier, Ziyad jadi lupa bagaimana rasanya jatuh hati.

Ziyad sudah menyangkalnya berkali-kali, tetapi alasan itu memang tampak pas dengan sosok bertubuh tinggi itu. Berangkat pagi, pulang saat semua orang telah terlelap. Bahkan hari libur pun dia korbankan demi menyelesaikan pekerjaan.

“Buat apa, sih kerja siang malam kalau nggak menikmati, Nak?” tanya Ibu suatu kali ketika mereka sedang duduk santai di ruang tamu.

Ziyad terbatuk-batuk mendengarnya, “Saya menikmatinya kok, Bu.”

“Kerja terus nggak nikah-nikah. Terus gimana? Ibu pikir kamu sedang menunggu seseorang,” lanjut Ibu.

Hampir saja sesapan teh manis yang tersisa di mulutnya menyembur keluar, “Seseorang? Sepertinya tidak ada, Bu.”

“Nak, ibu itu yang melahirkan kamu, merawat kamu sampai sebesar ini. Masa ibu sendiri nggak tahu keinginan kamu?”

Ziyad hanya melongo melihat ibu meninggalkan ruang tamu tanpa basa basi lagi. Jantung Ziyad lepas kendali. Melompat tinggi dan mengempas sampai ke dasar. Ziyad menepuk keningnya sendiri, kemudian menyandarkan kepalanya yang tiba-tiba pening pada sofa berwarna toska.

“Sejak kapan ibu tahu semua ini?”

****


Ketika pertama kali bertemu, Ziyad tahu, perempuan berpenampilan sederhana itu adalah wanita baik-baik. Dia sering terlihat datang pagi-pagi ke rumah Ziyad, sekadar membantu ibu yang sudah tua, menyiapkan sarapan untuk Ibu dan Bapak serta secangkir teh hangat untuk dirinya.

Ibu tidak pernah bercerita, entah sejak kapan Ibu mempekerjakan gadis itu. Hanya saja, akhir-akhir ini, saat Ziyad pulang dan mengambil cuti, gadis itu hampir tidak pernah absen datang ke rumah.

Di Jakarta, bukan hal sulit mencari perempuan berwajah cantik, bahkan yang secantik selebriti pun bisa dilihat di mana saja. Sayangnya, Ziyad tidak pernah tertarik. Jangankan jatuh hati, sekadar suka pun tidak bisa.

Namun, diam-diam gadis berjilbab marun itu mengetuk pintu hatinya yang sempat tertutup rapat, bahkan sangat rapat hingga tak seorang pun bisa memasukinya. Ziyad menyadari, sudah beberapa detik dia lewati dengan mencuri pandang ke arah gadis yang tengah sibuk mengaduk teh hangat di meja dapur. Sepasang bola matanya yang bulat kemudian terkejut melihat Ziyad yang sedang berdiri mematung di dekat meja makan.

“Ada yang bisa dibantu, Mas?” katanya gugup hingga nyaris tidak terdengar.

Dan lebih memalukan, bujang 30 tahun itu justru jauh lebih gugup sampai-sampai tidak bisa mengatakan apa pun kecuali gelengan kepala serupa anak kecil yang sedang ditanyai oleh orang asing. Menggelikan, namun cukup meninggalkan kesan tersendiri di hati pemuda berkulit sawo matang itu.

Sejak saat itu, Ziyad ingin tahu lebih banyak tentang gadis desa yang ternyata bernama Raifa.

“Dia masih 20 tahun, Nak. Masa mau kamu nikahin?” kalimat Ibu yang tiba-tiba menyentak kesadaran Ziyad.

Dua puluh tahun sudah cukup umur. Bahkan gadis itu terlihat sangat cekatan ketika membantu Ibu di dapur. Itu yang Ziyad pikirkan saat menyangkal pernyataan ibunya. Dewasa itu bukan soal umur, kan? Banyak gadis berusia di atas 20 tahun yang sifatnya bahkan masih kekanakan.

“Ibu tidak suka?” tiba-tiba Ziyad memotong tanpa basa basi.

Raut wajah Ibu seketika pasi. Sebelum meninggalkan Ziyad, Ibu sempat menatapnya tajam. Pandangan yang tak pernah dia terima selama puluhan tahun tinggal bersama ibunya sendiri.

****


Belakangan, Ibu sering mengirim foto-foto gadis cantik di kampungnya kepada anak bungsunya yang sudah tak lagi muda. Ziyad sempat protes, tapi Ibu semakin menjadi. Sehari bisa ada dua sampai tiga foto.

“Kenapa Ibu tidak bertanya pada Ziyad, sebenarnya siapa yang Ziyad inginkan selain gadis-gadis yang Ibu kenalkan?”

Ibu tiba-tiba saja mendehem. Terdengar suara batuk yang dibuat-buat dari seberang telepon.

“Raifa sudah tidak bekerja di sini. Jadi, kamu lupakan saja gadis itu.”

Meskipun tampak kaget, tapi Ziyad berusaha mengontrol nada suaranya. Bukan hal baik mendebat orang tua terutama pada wanita yang telah melahirkannya.

“Ziyad harus tahu alasannya, Bu.”

“Karena dia tidak pantas buat kamu, buat keluarga kita. Apa kata orang nanti, Nak. Sarjana kok nikahnya sama pembantu.”

Astagfirullah. Rasa sakit melindap hatinya pelan. Meskipun telah tinggal lama dengan Ibu, tak sekalipun terpikir alasan itu bisa muncul dari mulutnya. Walaupun mereka termasuk orang berada di kampungnya, tapi keluarga Ziyad selalu rendah hati dan terlihat sangat berempati kepada orang di sekitarnya. Rasanya janggal sekali ucapan Ibu barusan. Jauh dari kesan santun yang selama ini dilihatnya.

Ziyad memilih segera mengakhiri telepon. Tidak baik banyak bicara ketika sedang marah. Bisa-bisa tanpa sadar dia menyakiti hati ibunya.

Di rumah yang dia sewa dengan ukuran tak seberapa luasnya, Ziyad menatap langit-langit kamar. Mengingat sikap Ibu membuat hatinya ngilu. Masih zamankah mencari pendamping hanya karena kaya dan terpandang? Padahal, akhlak mulia bisa mengalahkan semua.

Meskipun merasa patah hati atas sikap ibunya, tapi Ziyad percaya, jodoh tidak akan ke mana-mana. Dia hanya butuh bersabar hingga Ibu mau mengiyakan keinginannya atau menanti bertambahnya usia Ziyad tanpa seorang perempuan pun mendampingi. Itu bahkan terlihat amat buruk. Ibu tentu tidak ingin itu sampai terjadi.

Pemuda berhidung mancung itu memejamkan mata. Berharap esok ada kabar baik dari seberang telepon, tentang kepastian restu pernikahannya dengan gadis sederhana yang pernah ditemuinya beberapa kali tepat ketika dia pulang saat cuti liburan tahun baru. Perasaan yang mekar serupa kelopak bunga, kini harus menguncup kembali.

Meskipun terdengar sederhana, tapi hati siapa yang bisa menerima? Ketika hal itu terjadi padamu, apa yang bisa kamu lakukan selain menatap langit-langit kamar yang mulai kusam?

Ziyad memutuskan menyudahi lamunannya. Sayangnya, gadis berparas ayu itu justru hadir dalam mimpi. Apakah ada yang bisa menghindari jatuh cinta yang tiba-tiba ini?


Comments

  1. Penasaran ama kelanjutannya mbak..

    ReplyDelete
  2. nice, ini ada kelanjutannya atau memang dibiarkan mengambang

    ReplyDelete
  3. Aaaaa...ditunggu lanjutannya mbak sudah termehek-mehek nih...

    ReplyDelete
  4. hampir mirip sama aku ni ceritanya:D

    ReplyDelete
  5. nunggu episode selanjutnya neh mbak.hehehe

    ReplyDelete
  6. Sebenarnya ini cerpen, mbak..tapi mungkin bisa dilanjutkan entah kapan..hehe

    ReplyDelete
  7. Hihi, ambil tisu mbak..semoga ada kelanjutannya ya mbak..hehe

    ReplyDelete
  8. to tweettt...
    masih penasaran nasibnya si ziyad mau nikahnya sama siapa..
    ceritanya harus dilanjutkan..

    ReplyDelete
  9. Terima kasih mba sudah berkenan membaca..:)

    ReplyDelete
  10. Bersambungnya ke tetangga sebelah :D

    ReplyDelete
  11. Hihi, semoga bisa dibuat kelanjutannya ya mbak :)

    ReplyDelete