Monday, September 22, 2025

Anak Korban Perceraian, Benarkah Dunia Mereka Akan Baik-Baik Saja?

 

Anak Korban Perceraian, Benarkah Dunia Mereka Akan Baik-Baik Saja?
Photo by Arvin Yuan on Unsplash


Pernikahan merupakan ibadah terlama dan terpanjang yang kita jalani bersama orang lain. Mempertahankan pernikahan bukan hal mudah. Di sana sini akan banyak sekali kerikil hingga jalan menanjak yang sering kali membuat kita berpikir, apakah benar pernikahan kita harus dipertahankan?  

Saya menikah di usia sangat muda, tepat saat saya berusia 19 tahun setelah menyelesaikan pendidikan D1 Syariah Islam di pesantren. Orang tua yang tidak mendukung pendidikan tinggi bagi anak perempuannya, juga takdir Allah yang menjemput lebih cepat seolah tidak memberikan banyak pilihan bagi saya waktu itu.

Masa awal pernikahan merupakan masa riskan, tapi lima tahun pertama bukan berarti masa-masa tersulit karena nyatanya banyak juga pasangan yang akhirnya berpisah setelah menikah puluhan tahun. Kita tidak bisa menebak kapan ombaknya akan meninggi, pun kita tidak bisa memastikan semua hal akan berjalan baik meski telah diusahakan.

Namun, niat awal menikah dan membina hubungan karena Allah mungkin bisa menjadi alasan untuk sama-sama menurunkan ego dan terus berusaha menghindari hal-hal buruk yang tidak Allah ridai. Karena tidak semua hal tentang diri kita. Kita juga mesti mengerti pasangan masing-masing.

Penyebab kasus perceraian zaman sekarang sering kali disebabkan oleh kehadiran orang ketiga. Menikah dan bersama orang yang sama dalam waktu bertahun-tahun mungkin membuat sebagian orang menjadi jenuh dan menginginkan hal baru, tapi bukankah pernikahan tidak bisa dijalankan hanya karena kita ingin dan mengakhirinya karena kita telah bosan?

Selain memikirkan betapa Allah membenci perceraian, kita juga mesti memikirkan kondisi psikologis anak-anak korban perceraian. Hal ini tidak selalu mudah bagi mereka. Anak korban perceraian juga mengalami banyak masalah psikologis hingga akademis yang menurun.

Hal ini tidak berlaku bagi semua orang, tapi penelitian membuktikan dampaknya yang dinilai negatif bisa muncul bagi sebagian besar anak-anak. Bukan hanya menjadi salah satu faktor, tetapi menjadi risiko, implikasi, dan konsekuensi bagi anak kita.

Namun, saya ingin menggaris bawahi bahwa tidak semua pernikahan bisa dipertahankan dengan alasan menjaga mental anak kita. Pernikahan dengan pasangan abusive, suka KDRT, dan melakukan kekerasan sebaiknya tidak dipertahankan hanya karena ingin menjaga psikologis anak-anak kita.

Mempertahankan pernikahan abusive justru merusak mental anak-anak karena setiap hari mereka harus melihat dan mendengar pertengkaran serta kekerasan dalam rumah tangga yang seharusnya tidak mereka lihat. Beberapa penelitian menyebutkan faktor yang bisa memengaruhi respon anak-anak terhadap perpisahan orang tuanya, yakni jelas memengaruhi kesehatan mental anak-anak kita.

Melihat perpisahan orang tua, mendapati fakta kita tidak lagi tinggal bersama adalah hal yang mungkin sulit mereka pahami. Pada sebagian anak, hal ini bisa menimbulkan stres dan efek negatif.

Perceraian juga berhubungan dengan peningkatan risiko masalah penyesuaian diri anak hingga remaja, kesulitan akademis, kecanduan, depresi, hingga putus sekolah.

Bagi saya, membahas perceraian bukan hal baru. Di keluarga besar kami ada beberapa orang yang harus bercerai setelah menikah bahkan lebih dari sekali. Penyebabnya mulai dari suami yang tidak memberikan nafkah, kekerasan dalam rumah tangga, hingga hadirnya orang ketiga.

Saya berpikir bahwa, orang-orang dewasa yang belum beres dengan dirinya sendiri cenderung kesulitan menjalani hubungan yang sehat bahkan meski mereka sebenarnya tidak saling membenci. Jika kita ‘sakit’, besar kemungkinannya kita akan menyakiti pasangan setelah menikah.

Perceraian Dalam Islam


Terkadang, dibutuhkan talak bagi sebagian pasangan untuk saling menjaga satu sama lain supaya tidak saling menyakiti. Mempertahankan rumah tangga terkadang melebihi menggenggam duri. Pada akhirnya, pilihan bercerai menjadi salah satu jalan keluar.

Islam tidak serta merta melarang perceraian. Di dalam agama kita, ada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan berdasarkan Alquran dan sunnah. Beberapa di antaranya,

  • Mencari penengah, memikirkannya dengan matang bukan hanya karena emosi sesaat, serta mempertimbangkan baik dan buruknya bagi kedua belah pihak, serta anak-anak. 
  • Ketika aturan Allah tidak bisa ditegakkan, maka vonis talak bisa dijatuhkan.
  • Jatuhnya talak bukan bermaksud menyakiti pasangan.
  • Menjatuhkan talak karena pasangan tidak bisa menjaga kehormatan dirinya dan sulit diperbaiki.
  • Tidak dianjurkan menjatuhkan talak tiga sekaligus.
  • Menjadikan dua orang saksi dalam proses perceraian atau talak sebagaimana telah Allah sebutkan dalam Alquran.
  • Talak dijatuhkan dengan cara yang baik, tidak dengan merendahkan, berkata kasar, atau menyakiti.  

“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 241) 

Mut’ah adalah hadiah yang bisa menyenangkan hati seorang istri atau kita sebut dengan hiburan. Baik itu pakaian, nafkah, atau pembantu. Namun sayangnya, banyak lelaki yang tidak memberikan mut’ah kepada mantan istrinya saat proses perceraian. Hal ini jelas menzalimi hak istri. Maka dari itu, kita menyadari betapa pentingnya ilmu agama bagi seorang muslim. Bukan hanya yang dia pelajari dan pahami, tapi juga diamalkan dengan baik sehingga ia tidak akan menzalimi hak istri ataupun anak-anaknya.

Bagaimana Jika Orang Tua Harus Bercerai?


Perceraian bukan hal yang terlarang di dalam Islam, sehingga bisa dijatuhkan dalam kondisi tertentu sesuai syariat. Namun, bagaimana dengan kondisi mental anak-anak korban perceraian? Apakah kita bisa menjaga kondisi psikologis mereka dengan baik setelah terjadi perpisahan?

Ya, dengan penanganan yang tepat, anak-anak korban perceraian bisa tumbuh dengan baik tanpa trauma. Orang tua, baik dari pihak ayah dan ibu mesti bekerja sama untuk saling memberikan perhatian dan kasih sayang kepada mereka sehingga kelekatan tetap terjaga.

Anak-anak korban perceraian tidak selalu mundur dalam hal akademis. Banyak anak yang survive karena orang tuanya bisa berkerja sama dengan baik dan menurunkan egonya masing-masing. Hal ini mungkin tidak bisa diproses dengan mudah, tapi dengan kesabaran dan penuh pengertian, insya Allah anak-anak korban perceraian bisa menjalani hidupnya tanpa trauma psikologis.

Jika dibutuhkan, jangan segan mendatangi tenaga profesional untuk mengetahui kondisi psikologis anak kita. Makin peka kita terhadap tanda-tanda traumatis pada anak, makin mudah kita mengambil tindakan dan treatment yang tepat.



Salam hangat,

Sunnah Mencium Buah Hati Vs Teori Kelekatan

Sunnah Mencium Buah Hati Vs Teori Kelekatan
Photo by Ramin Talebi on Unsplash
 

Belajar tentang teori kelekatan sejatinya mengajarkan kita supaya memperhatikan hak anak bukan hanya soal makan, pakaian, hingga pendidikan, tetapi juga perhatian dan kasih sayang. Kelekatan adalah ikatan emosional yang terjadi antara anak dengan orang tua atau pengasuh utamanya. Teori kelekatan yang dikemukakan oleh John Bowlby (1969), menyebutkan bahwa anak yang memiliki kelekatan dengan seseorang menandakan bahwa dia ingin menjadi dekat dan terhubung dengan orang tersebut, terutama dalam situasi tertentu ketika ia merasa tidak aman dan tidak nyaman.

Kelekatan akan terbentuk ketika orang tua atau pengasuh utama selalu merespon dengan konsisten sinyal kebutuhan anak. Penjelasan mudahnya, kita selalu ada untuk anak kita, baik ketika ia butuh didengar dan didampingi, ataupun tidak. Kita konsisten hadir sehingga anak percaya bahwa kita akan selalu ada atau kembali meski sempat pergi.

Bagi anak-anak, kita adalah dunianya. Kita selalu diharapkan hadir dan membuat mereka merasa aman dan nyaman. Penelitian membuktikan bahwa sentuhan ibu atau kehadirannya dapat menenangkan hati anak. Pada penanganan kasus traumatis juga terbukti, mereka mendapatkan terapi sentuhan bisa sembuh dan normal kembali, berbeda dengan anak-anak yang tidak mendapatkannya. Jadi, sentuhan, pelukan, kasih sayang, dan perhatian adalah hal yang sangat penting dalam proses pengasuhan.

Sisi negatif dari kelekatan yang terganggu


  • Kesulitan mengendalikan perilaku dan emosi sehingga meningkatkan risiko melakukan kekerasan terhadap orang lain. 
  • Citra diri terdistorsi dan harga diri rendah. 
  •  Mencari perhatian dan pengakuan dari semua orang. 
  •  Menjadi anti sosial. 
  • Gagal membangun hubungan yang sehat dan sulit mengubahnya.
  • Muncul kecemasan dan depresi.
  • Kecanduan obat-obatan keras.
  • Menjadi pelaku bullying atau sebaliknya menjadi korban.
  • Terjadi withdrawal syndrome (sindrom penarikan diri).

Dan masih banyak dampak negatif dari kelekatan yang terganggu atau gagal dibentuk antara seorang anak dengan orang tuanya. Betapa pentingnya kelekatan karena hal ini akan memengaruhi hidup seseorang sepanjang hidup.

Banyak di antara kita mungkin berpikir bahwa anak kecil sering kali tidak memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Seperti pertengkaran orang tua dan kekerasan yang ia lihat atau alami secara langsung. Kita berpikir bahwa hal itu akan berlalu dengan mudah karena mereka pasti tidak akan mengingatnya saat sudah dewasa, tapi sayangnya, semua pengalaman hingga hal yang mereka lihat dan dengar terekam dalam diri dan berpotensi menjadi bagian dari kepribadian mereka.

Sebagaimana kita tahu, anak-anak mengembangkan apa yang dilihatnya, termasuk kekerasan. Sebagaimana dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa anak yang melihat orang dewasa memukul boneka bisa mengembangkan perilaku tersebut bukan hanya dengan memukul temannya, tapi juga memubully secara verbal dan bersikap kasar melebihi tindakan memukul. Anak-anak merekam semua yang dilihat dan didengar dan ini menjadi masalah yang sangat kompleks.

Sebenarnya, hal yang sangat saya khawatirkan adalah hal tersebut muncul dan sulit dikendalikan saat sudah dewasa, terutama saat memiliki anak. Orang-orang yang memiliki trauma pengasuhan akan mencari orang yang lemah untuk melampiaskan kekesalan dan kemarahannya yang belum tuntas, dan satu-satunya figur lemah itu adalah anak kita sendiri.

Kita tidak bisa seenaknya marah kepada pasangan, tapi kepada anak, kita mampu dan bisa karena secara fisik, kita lebih besar, kekuatan kita lebih hebat, bahkan secara pengalaman dan ucapan kita lebih segalanya dari mereka. Jika sampai ini terjadi, kita telah ‘merusak’ hidup anak kita sendiri dengan mewariskan trauma ketika mereka dewasa.

Bagaimana Islam Memandang Kelekatan Antara Anak dengan Orang Tuanya?


Sebelum teori-teori psikologi Barat bermunculan, umat Islam telah belajar tentang psikologis yang baik dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ingin melihat cara merespon suatu hal dengan baik, lihatlah bagaimana Rasul merespon musuh-musuh dan orang-orang yang menzaliminya. Jika ingin tahu bagaimana cara tetap tenang dalam menjalani hidup, lihat bagaimana Rasul beribadah dan senantiasa dekat dengan Allah bahkan meski beliau maksum atau suci dari dosa.

Penelitian menyebutkan bahwa orang-orang yang sisi spiritualitasnya bagus cenderung terhindar dari depresi dan kecemasan, juga diberi umur yang panjang sebagaimana telah disebutkan dalam salah satu ayat Alquran. Artinya, Islam telah mengajarkan hidup yang baik, seimbang, dan tenang melalui kisah-kisah dalam Alquran juga contoh dan teladan dari akhlak Rasulullah.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata, 

“Ada beberapa orang badui yang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengatakan, ‘Apakah kalian mencium anak-anak kalian?’ Para Sahabat menjawab, ‘Ya.’ Lebih lanjut orang-orang badui itu berkata, ‘Demi Allah, akan tetapi kami tidak pernah mencium mereka.’ Lalu beliau bersabda: “Aku tidak berkuasa apa-apa jika Allah mencabut rahmat (kasih sayang) dari hati kalian.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, 

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium al-Hasan bin ‘Ali sedang bersama beliau ada al-Aqra’ bin Habis at-Tamimi sedang duduk. Lalu al-Aqra’ berkata, ‘Sesungguhnya aku memiliki sepuluh orang anak, tetapi aku tidak pernah mencium seorang pun dari mereka.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangnya seraya berucap: ‘Barangsiapa tidak menyayangi sesama, maka dia pun tidak akan disayangi.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kita bisa memahami bahwa Rasul memerintahkan kita supaya menyayangi anak-anak, bercanda dengan mereka, dan mencium mereka sebagai tanda perhatian dan kasih sayang. Hal ini sejalan dengan teori kelekatan yang disebutkan oleh teori Barat. Dalam beberapa kisah, kita juga mendapati bahwa Rasul sering bercanda dengan anak kecil, cucu beliau, bahkan beliau tidak marah ketika ditunggangi cucunya saat sedang salat.

Islam mengajarkan kasih sayang jauh-jauh hari sebelum teori Barat muncul yang menandakan bahwa ilmu psikologi bukan hal baru bagi umang Islam. Mestinya kita telah mengetahui cara mengasuh anak dengan baik, adil, dan tidak menzalimi hak anak-anak. 

Anak-anak adalah tanggung jawab serta amanah dari Allah. Mereka bukan hanya sekadar lahir ke dunia, tapi kita mengharapkan mereka datang ke pangkuan kita sebagai pelengkap dalam keluarga. Jika kita butuh panduan untuk merakit kipas angin, lalu bagaimana kita bisa mengasuh anak tanpa membaca panduannya? Bukankah anak-anak jauh lebih penting, lebih sulit, dan kompleks andai keliru dan rusak? 

Kenapa banyak orang tua tidak mau belajar dan menimba ilmu agama dengan baik, belajar ilmu parenting, dan memperbaiki akhlaknya karena anak akan mengimitasi perilaku kita saat mereka lahir ke dunia. Kenapa kita tidak memakai buku panduan untuk membesarkan bayi manusia? Bukankah mereka jauh lebih berharga dibanding kipas angin yang ada di rumah?

Sejujurnya, hidup dengan trauma pengasuhan itu tidak pernah mudah. Saya butuh waktu bertahun-tahun untuk membereskan semua hutang pengasuhan serta memaafkan diri sendiri. Dari sinilah saya berusaha memutus trauma dan tidak mewariskannya kepada anak-anak.

Manusia diberi pilihan dan kebebasan, makanya kita dimintai bertanggung jawab oleh Allah atas pilihan-pilihan tersebut. Meski semua telah ditakdirkan, tapi Allah memandu kita untuk melakukan hal-hal yang Dia ridai. Jadi, kita mesti belajar supaya tahu mana yang benar dan salah. Kita tidak bisa selalu menyalahkan pola asuh orang tua dan menjadikan mereka kambing hitam. Ingat, kita punya pilihan.

Terutama saat menjadi orang tua. Jangan sampai kita menghancurkan hubungan pertama kita dengan anak-anak yang mestinya berjalan sukses dan menjadi pondasi bagi hidup mereka. Semoga, setelah ini kita mulai memahami betapa pentingnya kelekatan dengan anak-anak, menjaga komunikasi, dan terus menyayangi mereka tanpa pamrih. Karena membesarkan anak-anak dengan baik adalah tugas dan kewajiban orang tua, bukan pekerjaan yang mesti dibayar kembali setelah mereka dewasa.

Salam hangat,

Thursday, September 18, 2025

Kisah Orang Tua yang Durhaka Kepada Anaknya

 

Kisah Orang Tua yang Durhaka
Photo by Aditya Romansa on Unsplash


Saat mengisi seminar di salah satu pesantren di kota Bekasi, ada seorang wali santri mengajukan sebuah pertanyaan, apakah ada orang tua durhaka yang disebutkan dalam dalil atau kisahnya pada zaman dulu? Karena selama ini yang familiar bagi kita adalah sebutan durhaka kepada anak, bukan kepada orang tua.  

Benar, kita tidak familiar dengan ‘orang tua durhaka’, tapi kita sangat hafal dengan sebutan ‘anak durhaka’ yang relate dengan anak-anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya. Ada sebuah kisah di zaman khalifah Umar bin Khattab yang bisa menjawab pertanyaan tersebut. 

Diriwayatkan pada masa khalifah Umar bin Khattab, ada seorang ayah yang menyeret putranya ke hadapan Amirul Mukminin. Di depan khalifah Umar, orang tua itu mengadukan kelakuan putranya yang tidak mau menghormati dan durhaka padanya. "Mohon nasihati dia, wahai Amirul mukminin!" kata orang tua itu. 

Khalifah Umar lalu menasihati anak lelaki itu. "Apa kamu tidak takut kepada Tuhan-mu sebab rida-Nya tergantung rida orang tuamu?" Tak disangka-sangka anak itu balik bertanya: "Wahai Khalifah! Apa di samping terdapat perintah anak berbakti kepada orang tua, terdapat juga ajaran orang tua bertanggung jawab kepada anaknya?" 

Umar bin Khattab menjawab: "Ya, benar ada! Seharusnya seorang ayah menyenangkan dan mencukupi nafkah istri sekaligus ibu dari putra-putrinya, memberikan nama yang baik kepada putra-putrinya, serta mengajari putra-putrinya Al-Qur'an dan ajaran agama lainnya." 

Mendengar penjelasan Amirul Mukminin, anak laki-laki itu membalas: "Jika demikian, bagaimana aku berbakti kepada ayahku? Demi Allah, ayahku tak sayang kepada ibuku yang diperlakukan tak ubahnya seorang hamba sahaya. Sekali-kalinya dia mengeluarkan uang untuk ibuku, sebanyak 400 dirham untuk menebus ibuku. Dia juga tak menamaiku dengan nama yang baik: Aku dinamai ayahku dengan nama "Juala" (Jadian). Dia juga tak mengajariku mengaji, satu ayat pun!" 

Seketika itu Umar bin Khattab berpaling, matanya memandang tajam ke arah orang tua anak itu, sambil berkata: "Kalau begitu bukan anakmu yang durhaka, tetapi kamulah orang tua durhaka!"

Ternyata, orang tua bisa dianggap durhaka kepada anaknya jika tidak memenuhi hak-hak anak atau tidak bertanggung jawab kepada mereka. Seorang anak butuh disayangi, diperhatikan, diberi nama yang baik, diberi hak pendidikan, serta nafkah. Anak-anak juga tidak menjadi pandai dengan sendirinya. Orang tua memiliki kewajiban untuk menjaga fitrah anak (tauhid) supaya tetap ada pada jalan yang lurus.

Ketika anak masih kecil, jangan abaikan pendidikan agama mereka. Orang tua, baik ayah dan ibu adalah madrasah pertama yang mestinya mengajarkan tentang tauhid serta Al-Qur'an. Semua kewajiban itu jangan dilimpahkan seluruhnya kepada guru-guru di sekolah.

Coba bayangkan, guru di sekolah berharap muridnya datang dalam kondisi siap belajar yang artinya setidaknya mereka sudah mendapatkan hal-hal dasar dari rumahnya, tapi orang tua justru berharap anak-anak mereka bisa menjadi pintar setelah pulang dari sekolah.

Artinya, kita sama-sama berharap anak lahir dalam kondisi psikologis yang baik, pintar dalam semua hal, dan melupakan proses yang mestinya dilewati bersama orang tuanya. Akhirnya, ketika kita tidak mendapatkan apa yang diinginkan, anak-anaklah yang disalahkan karena dianggap tidak mau belajar, tidak rajin, dan pemalas.

Anak bukanlah beban yang mesti dikeluhkan sepanjang hari karena kurang ini dan itu. Setiap manusia punya potensi kebaikan dan kelebihannya masing-masing. Anak-anak yang mudah menangis dan sering dianggap cengeng biasanya lebih peka perasaannya. Dia punya empati yang tinggi sehingga mudah tersentuh dengan kejadian-kejadian kecil di sekitarnya. Anak yang punya ide-ide aneh dan konyol atau out of the box bukan berarti buruk. Mereka justru hebat karena bisa memunculkan ide-ide yang tidak pernah dipikirkan oleh orang lain.

Salah seorang dosen saya di IOU, Mas Dillo Augustdi Putra, S.Psi., M.Psi., Psikolog, mengatakan bahwa beliau pernah mengalami gangguan jiwa dan harus mengonsumsi obat dari psikiatri. Beliau juga didiagnosis bipolar saat menyelesaikan studi S2-nya, tapi beliau tahu bahwa di balik semua kekurangannya, Allah sertakan juga kelebihan.

Dibanding menangisi keadaan dan mencari tahu apa saja kekurangan bipolar, kenapa kita tidak melihat sisi positif dari bipolar yang menjadi kelebihannya? Misalnya, rasa percaya dirinya tinggi sehingga orang dengan bipolar cenderung pede untuk tampil dan berbicara di depan publik. Mas Dillo juga tidak fokus dengan masalah gangguan mental yang dideritanya, beliau justru menjadi percaya diri dan menerima kondisinya.

Jika ada masalah pada anak-anak, sebenarnya yang mesti digali dan dicari tahu bukan hanya tentang alasan si anak melakukan hal tersebut, tapi cari tahu juga kondisi psikologis orang tuanya. Salah satu dosen saya yang lain, Mas Ahmad Yunus, S.Pd. M.Pd. Couns. (S.A), K.B. P.A., menceritakan pengalamannya saat menangani anak klepto. FYI, klepto merupakan salah satu gangguan perilaku di mana seseorang merasa kesulitan untuk menolak dorongan kuat dan berulang untuk mencuri tanpa adanya motif atau kebutuhan.

Jadi, ada anak suka mencuri uang, padahal uangnya tidak dipakai untuk jajan atau untuk top up game. Dia merasa tertantang dan sulit menghindari dorongan tersebut. Sebagai orang awam, kita pasti merasa kesal dan menyalahkan si anak dan juga orang tuanya yang dianggap tidak bisa mendidiknya dengan baik.

Si anak ini akhirnya memang diskors dari sekolah selama dua minggu, tapi alih-alih marah dan kesal, Mas Yunus justru ngajak ngobrol orang tuanya dari hati ke hati. Orang tua yang awalnya pengin marah sama si anak, justru malah menyadari kekurangan mereka yang dianggap belum sepenuhnya memahami anak kandungnya sendiri.

Setelah dipelajari, ternyata anak ini suka melakukan hal-hal yang menantang sehingga ia diikutkan beberapa macam les, seperti robotik untuk menyalurkan energinya. Orang tuanya pun mau evaluasi diri dan mengambil cuti untuk menemani anaknya selama beberapa hari tersebut.

Saya percaya, anak-anak memang bukanlah kertas kosong yang bisa diwarnai oleh lingkungannya. Kita punya fitrah baik dan buruk, tapi orang tua bisa membentuk anaknya dan membantunya tumbuh optimal asalkan diberikan hak-haknya dengan tepat. Andai ada anak yang bermasalah, misal tentang perilaku, bisa jadi ada tahap perkembangan psikologis yang dia lewatkan atau tidak dilewati dengan baik.

Saat kecil, kita juga belajar mengelola emosi, tapi melihat pertengkaran orang tua setiap hari, mendengar kalimat cacian dan makian yang intens bisa membuat emosi kita jadi tidak berkembang sebagaimana mestinya. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa anak-anak yang melihat tindak kekerasan cenderung dapat melakukan hal yang jauh lebih buruk dan bervariasi.

Misalnya, seorang anak yang melihat ayahnya memukul ibunya, ia bisa mengembangkan perilaku bukan hanya memukul orang lain, tapi juga memaki, membully, dan sebagainya. Maka benar, menjadi orang tua adalah proses mendidik diri sendiri. Sebelum mendidik anak-anak, kita harus membereskan diri kita dulu.

Anak-anak tidak bisa memilih siapa orang tuanya. Saya sering menyebutkan hal ini di beberapa tulisan saya. Karena saya mau menekankan bahwa yang mengharapkan mereka hadir adalah kita, orang tua mereka. Artinya, mestinya kita berusaha sepenuh hati untuk memberikan perhatian dan waktu, bukan hanya sekadar memberi makan dan membayar SPP sekolah. Mereka tidak bisa memilih, jadi jangan biarkan mereka menyesal karena telah lahir dari rahim kita.




Salam hangat,

Tuesday, September 9, 2025

Mendidik Anak Adalah Perjuangan Seumur Hidup

 

Mendidik Anak Adalah Perjuangan Seumur Hidup
Photo by Ana Klipper on Unsplash


Mendidik anak bukan hanya pekerjaan sehari dua hari saja. Anak-anak yang tumbuh besar tetap menjadi tanggung jawab kita sebagai orang tua. Bahkan setelah mereka dewasa, kita tetap menjadi orang tuanya.  

Coba ingat kembali kisah Kan’an, putra Nabi Nuh yang tidak mau beriman. Setelah dewasa, Nabi Nuh tetap mendidik dan mengarahkannya supaya beriman kepada Allah, tapi sayangnya, ia tetap memilih kafir.  

Terutama anak-anak di zaman sekarang, tidak mudah bagi kita mendidik mereka di tengah gempuran dunia digital yang serba melaju kencang. Informasi terbuka luas, memungkinkan anak-anak menyangkal banyak hal ketika dinasihati. Berteman bisa dengan siapa saja, bahkan yang berbeda negara, juga berbeda bahasa. Hal ini makin menyulitkan kita untuk mengontrol akhlak mereka supaya sesuai dengan tuntunan syariat. 

Anak-anak usia dini yang sudah lekat dengan handphone membuat dunia mereka tidak lagi sekadar bermain layang-layang di lapangan luas, bersepeda di sore hari, atau bermain lompat tali. Mereka yang masih kelas 2 SD sudah punya grup Whatsapp, punya jadwal mabar bersama teman-temannya, juga tidak segan mengatakan kata-kata tidak pantas. 

Banyak kasus terjadi di depan mata, mulai dari anak-anak pesantren yang terbiasa dengan video-video porno hingga LG*T, juga anak-anak SD yang suka membully temannya, dan menutup diri dari orang tuanya. Kenyataan ini bukan hanya sekadar isapan jempol. Hal ini menandakan bahwa hidup di zaman modern tidak mudah. 

Teknologi membantu hidup kita, tapi di sisi lain ia juga merupakan musibah yang membuat orang tua lalai dari tanggung jawab mendidik. Agar orang tua tidak direpotkan, anak-anak diberi handphone sejak kecil. Mereka lebih banyak diam, tidak rusuh, tidak mengganggu, tapi dunia mereka menjadi rusak. 

Anak-anak yang mestinya bergerak aktif ke sana kemari, kini mulai terpaku di depan gawai hingga berjam-jam bahkan nyaris seharian. Jangan kira hal ini tidak membawa dampak negatif. Banyak anak yang kecanduan handphone mulai menangis dan tantrum ketika handphone-nya diambil, bahkan jadi malas belajar dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Ini bukan masalah sepele. Ini tentang tanggung jawab kita kepada Allah.

Memohon Pertolongan Kepada Allah 

Manusia itu makhluk yang lemah. Tanpa pertolongan Allah, mustahil kita bisa mendidik anak-anak dengan baik. Tanpa kemudahan dan izin dari-Nya, mustahil kita bisa menjaga anak-anak dari fitnah akhir zaman yang sangat kejam. 

Anak adalah cerminan orang tuanya. Mereka adalah diri kita dalam versi kemasan sachet. Apa yang kita lakukan akan selalu dilihat dan dipelajari, kemudian ditiru. Karena itu, jika ingin mengajarkan anak-anak salat, contohkan apa itu salat dengan melaksanakan salat tepat waktu dan mengajaknya berjamaah ke masjid. Jika ingin mengajarkan Al-Qur'an, bacakan setiap hari dan perdengarkan tilawah. 

Ketika berharap anak kita tumbuh dengan baik, kita pun harus berusaha melakukan hal-hal yang serupa. Anak-anak yang bermasalah cenderung lahir dari orang tua yang bermasalah. Meski tidak selalu, tapi hal ini bisa kita jadikan pelajaran sebelum men-judge anak, sebaiknya kita mengambil cermin dan melihat kepada diri kita sendiri. 

Menjadi orang tua memang tidak mudah. Tantangannya luar biasa mendebarkan. Terkadang, setelah berusaha mati-matian, tetap saja ada hal-hal yang terjadi di luar kendali kita. Makanya, kita butuh Allah untuk menjaga mereka dari hal-hal yang tidak diinginkan. 

Banyak-banyaklah mendoakan anak-anak kita dan mohon ampunlah kepada Allah atas kelalaian sebagai manusia. Tidak ada manusia yang sempurna, tapi menyadari kesalahan serta kekurangan diri merupakan usaha terbaik yang bisa orang tua lakukan selama mendidik anak-anaknya. Tanpa rasa bersalah, mungkin kita tidak akan pernah mau belajar menjadi orang tua yang baik.

Jangan Pernah Lelah Belajar Menjadi Orang Tua yang Baik 

Kita sering lupa, bahwa menjadi orang tua juga merupakan proses belajar seumur hidup. Bukan hanya anak-anak yang mesti belajar di sekolah, orang tua juga harus belajar memperbaiki dirinya, menambah pengetahuannya, juga ilmu agamanya melalui banyak cara. 

Saya banyak belajar dari buku dan juga kajian-kajian. Banyak hal baru bisa diambil pelajaran, juga pengingat supaya senantiasa berhati-hati ketika mendidik anak-anak. Terkadang, lisan kita tidak terkendali ketika kesal. Terkadang, doa-doa kita berisi sumpah serapah hanya karena mereka berulah di meja makan.  

Jangan pernah lupa, doa orang tua bisa menembus langit dan menjadi salah satu doa yang mudah Allah kabulkan. Jadi, tolong jangan mudah baper kepada anak. Jangan gampang tersinggung ketika mereka kesal dan marah. Kita jauh lebih dewasa dibanding mereka yang masih anak-anak. Kita pernah menjadi mereka, tapi mereka belum pernah menjadi orang tua. Jadi, bersikap dewasalah supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. 

Jadilah Teman, Jadilah Dekat 

Punya anak remaja merupakan tantangan tersendiri. Banyak orang tua mengeluh karena ketidakmampuan mereka mendidik dan mengendalikan anak remajanya yang sedang mencari jati diri. Sebagai orang tua yang punya anak remaja, saya menyadari bahwa banyak di antara kita lupa membangun kelekatan dan komunikasi yang baik dengan anak. Menunaikan kebutuhan mereka bukan sekadar memberikan pendidikan dan nafkah cukup, tapi juga hadir dan ada dalam situasi apa pun. 

Ketika menjenguk si sulung ke pesantren, menjadi pemandangan yang umum ketika banyak anak remaja lebih senang bermain gawai dibanding bercengkerama dengan orang tuanya. Menjadi hal biasa ketika anak remaja mencari handphone-nya dulu dibanding orang tuanya. Hal ini mestinya menjadi perhatian kita bahwa tanpa adanya batasan, sesuatu yang baik pun bisa menjadi buruk. 

Terkadang, anak-anak belum bisa mengendalikan dan memberi batasan kepada dirinya. Maka, tugas orang tualah untuk mengarahkan dan memberi batasan supaya mereka tidak melakukan suatu hal secara berlebihan. 

Bermain gawai bukan perkara haram, tapi berlebihan bisa menimbulkan banyak dampak negatif, termasuk rusaknya hubungan antara anak dengan orang tuanya. Hal ini menjadi pelajaran penting dalam keluarga kami sehingga saya dan pasangan berusaha membuat kesepakatan dan memberi batasan kepada anak-anak, terutama saat bermain gawai.

Edukasi tentang bahaya dan dampak negatif akibat terlalu intens bermain handphone juga mesti dijelaskan sejak dini. Kebanyakan, anak-anak kecanduan hanphone karena tidak pernah diberikan edukasi, juga batasan, terlebih mereka mulai punya gawai sejak kecil. Hal ini makin memperburuk keadaan. 

Di rumah, kitalah rajanya. Bukan berarti kita boleh bersikap zalim, tapi ini tentang memberi batasan dan aturan. Anak-anak mesti mematuhi aturan yang kita buat dan sepakati bersama supaya keluarga kita tidak menjadi pincang akibat kelalaian salah satu anggota keluarga. Sebagai gantinya, kita mesti hadir dan ada buat mereka. 

Mereka hanya butuh didengarkan, diakui keberadaannya, dan diterima. Kenapa banyak anak kecanduan games dan handphone, bisa jadi karena orang tua tidak hadir sehingga mereka mencoba mencari pelampiasan atau teman pengganti yang bisa membunuh rasa bosan. 

Saya yakin, atas izin Allah, keluarga yang berusaha mendidik anak-anaknya dengan baik akan Allah mudahkan semuan proses pengasuhannya. Usaha yang baik tidak akan sempurna tanpa doa-doa yang baik. Seperti itulah perjalanan menjadi orang tua. Pekerjaannya tidak pernah usai. Berlangsung seumur hidup bahkan setelah anak-anak kita tumbuh dewasa. 




Salam hangat

Wednesday, September 3, 2025

Orang Tua Pilih Kasih, Bolehkah?

 

Orang Tua Pilih Kasih, Bolehkah?
Photo by Wijdan Mq on Unsplash


“Bapakku (Basyir) memberiku sebuah hadiah.” ‘Amrah binti Rawahah berkata, “Aku tidak rela sampai Engkau mempersaksikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Bapakku kemudian menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Aku memberikan hadiah kepada anakku dari ‘Amrah binti Rawahah, tapi dia memerintahkanku untuk mempersaksikannya kepada Anda, wahai Rasulullah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah semua anakmu diberi hadiah seperti ini?” Bapakku menjawab, “Tidak.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bertakwalah kalian kepada Allah dan berbuat adil-lah terhadap anak-anak kalian.” Nu’man bin Basyir kemudian berkata, “Dia pun menarik pemberiannya dan beliau (‘Amrah) juga menolak pemberian bapakku.” 
(HR. Bukhari dan Muslim) 

Pilih kasih atau berlaku tidak adil kepada anak-anak merupakan perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung sebagaimana dikisahkan dalam hadis di atas. Sebagai manusia, wajar jika ada orang tua yang condong kepada salah satu anak karena berbagai macam alasan. Sebagaimana anak kecil yang disodorkan beberapa potongan kue. Secara spontan ia akan memilih potongan kue paling besar. Pun dengan kita, terkadang kita cenderung pilih kasih kepada anak yang lebih pintar, lebih berprestasi, atau hanya karena ia berjenis kelamin laki-laki. 

Di zaman jahiliyyah, kaum Quraisy merasa malu jika memiliki bayi perempuan. Maka, mereka dengan sadar mengubur bayi itu hidup-hidup. Namun, Islam telah lahir ke dunia dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meluruskan kekeliruan di zaman jahiliyyah, termasuk dengan tidak mengistimewakan anak lelakinya. 

Dalam keluarga, kedudukan anak lelaki dan perempuan mestinya sama kecuali dalam hak waris. Andai anak lelaki diberi pendidikan tinggi, maka anak perempuan juga berhak mendapatkannya dalam batasan yang diperkenankan syariat. 

Namun, ternyata masih banyak orang tua yang cenderung berbangga hati kepada anak lelakinya dan memandang rendah anak perempuannya. Jika benar ada orang tua yang demikian, maka sesungguhnya ia telah berbuat tidak adil atau pilih kasih kepada anak-anaknya. Dan jelas itu telah menyakiti hati mereka. 

Adil Tidak Harus Sama Persis 


Ketika menjelaskan konsep adil kepada anak-anak, terkadang kita merasa bingung atau kesulitan karena kebutuhan si kakak dengan si adik biasanya berbeda. Si kakak yang sudah kuliah mungkin butuh biaya lebih besar dibanding adiknya yang masih sekolah. Hal semacam ini mestinya dijelaskan sejak dini kepada anak-anak kita supaya tidak timbul kesalahpahaman karena tidak semua anak mengerti dan memahami konsep adil dengan benar. 

Dalam beberapa hal, kita mungkin mesti memberikan benda yang sama kepada mereka, tapi dalam kasus lain, terkadang kita mesti memberikan sesuatu sesuai kebutuhan. Misalnya, ketika memberikan uang saku kepada anak-anak. Anak yang lebih besar dengan kebutuhan lebih banyak pasti butuh uang saku lebih besar dibanding adiknya. 

Namun, berbeda dengan pemberian lain, seperti hibah rumah, tanah, atau bahkan benda-benda berbentuk hadiah yang mestinya memang diberikan sama besar. Anak-anak cenderung sensitif dalam hal semacam ini. Meski tidak benci, terkadang timbul rasa tidak nyaman ketika orang tua bersikap tidak adil di antara dia dan saudaranya. 

Setelah membaca hadis di atas, kita jadi mengerti bahwa pemberian itu mesti sama, tidak berat sebelah hanya karena ada anak yang lebih disayang, tidak pura-pura lupa hanya karena si anak sudah dianggap mandiri. Diperlakukan dengan adil merupakan hak anak kita. Jangan sekali-kali menyakiti mereka dengan bersikap pilih kasih. Setiap anak dilahirkan istimewa. Tidak ada yang lebih di antara mereka. Kita mesti memberikan support dan perhatian yang sama. Kita mesti memberikan kasih sayang dan cinta yang sama. Di sinilah, keadilan orang tua diuji. 

Pemberian yang tidak adil akan membuat salah satu dari mereka iri dan mendorong mereka menjadi durhaka kepada orang tua. Terkadang, bukan anak-anak yang tidak mau akur dan rukun, tapi justru orang tualah yang sering mengadu domba anak-anaknya sehingga mereka menjadi bermusuhan satu sama lain. Misalnya, orang tua yang suka membandingkan anak-anaknya cenderung akan membuat salah satu dari anak merasa kesal kepada saudaranya sendiri. 

Menjadi orang tua yang baik memang sulit, tapi ketika kita berusaha mendahulukan hak anak-anak di atas hak kita, maka insya Allah hal yang tidak diinginkan bisa dihindari. Orang tua juga mesti berusaha menjauhi hal-hal yang meimbulkan konflik di antara keluarga. Jangan selalu menyalahkan anak-anak kita, tapi perbanyaklah introspeksi diri. 

Bersikap Terbuka Kepada Anak-anak 


Berkaca dari pengalaman pribadi, sebisa mungkin saya bersikap terbuka kepada anak-anak tentang apa pun. Misal, ketika ingin membelikan sepatu atau pakaian untuk si kakak (karena miliknya sudah rusak atau kekecilan), saya pasti akan menceritakan hal tersebut kepada adiknya dan menawarkan apakah dia juga sedang membutuhkan barang yang sama? Atau mungkin ingin dibelikan barang jenis lain yang dia butuhkan? Namun, sering kali dia menolak karena merasa tidak membutuhkan apa-apa. 

Dengan begitu, tidak ada hal yang saya sembunyikan darinya dan jika suatu hari nanti dia tahu, tidak juga akan menimbulkan kekecewaan. Ketika saya dan adiknya pergi ke Gramedia dan membeli buku, si Kakak tetap akan mendapatkan jatah belanja buku sebagaimana adiknya meski ia sedang di pesantren. Hal-hal semacam ini saya buat menjadi sama rata karena ini bukan soal kebutuhan, melainkan hadiah. 

Sebenarnya, mengasuh anak-anak tidak terlalu sulit jika komunikasi di antara kita dan anak-anak terjalin dengan baik. Ketika ada hal-hal yang tidak dinginkan sekalipun, kita bisa ngobrol dengan nyaman tanpa harus mendiamkan satu sama lain. 

Sebagaimana kita dilarang mendiamkan saudara kita melebihi tiga hari, maka begitu juga kepada anak-anak. Jangan terbiasa mendiamkan mereka karena suatu masalah dan menganggap itu sebagai sebuah hukuman. Lebih tepatnya, mestinya kita ngobrol setelah suasana hati menjadi lebih baik dan mulailah dengan meminta maaf kepada mereka karena sering kali orang tua melakukan kesalahan, tapi jarang sekali menyadarinya. 

Anak-anak butuh orang tua yang mau diajak kompromi, diskusi, memaklumi, memaafkan, juga mendengarkan mereka apa pun kisahnya. Rasanya, tidak ada hal yang lebih menyenangkan selain melihat anak-anak kita tumbuh dengan baik tanpa harus membuat jarak dengan orang tuanya sendiri. 

Di dalam Islam sendiri, kita pun diajarkan untuk berbuat baik kepada orang tua serta anak-anak. Maka, berbuat baiklah dengan bersikap adil, tidak membanding-bandingkan satu sama lain apalagi pilih kasih. 
Percayalah, perasaan mereka jauh lebih berharga untuk dijaga dibanding pemberian kita yang tidak seberapa. Jika kita merasa telah menjadi orang tua, maka belajarlah bersikap adil sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkannya kepada kita semua. 


Salam hangat,