Review Buku Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan

Thursday, August 21, 2025

 

Review Buku Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan
Photo: Dok pribadi

Adakah di antara teman-teman di sini yang suka membaca buku-buku yang ditulis oleh konselor, psikiatri, atau psikolog? Terlebih buku-buku terjemahan seperti yang akan saya review ini. Beberapa buku terjemahan isinya cukup berat, tapi untuk buku ini benar-benar ringan dan enak dibaca. Jumlah halamannya tipis, tidak makan waktu banyak, dan yang pasti isinya sangat menarik. 

Salah satu alasan kenapa saya akhirnya meminang buku ini tidak lain karena saya termasuk orang yang suka berpikir berlebihan alias overthingker. Setiap kali ada hal-hal yang di luar keinginan atau rencana, saya merasa suntuk, stres, pengin nangis, dan akhirnya susah tidur nyenyak. Kenapa ada orang-orang sensitif dan overthinking seperti kita di dunia ini? 

Sejauh yang saya pelajari, kehidupan kita yang sekarang, seperti apa kita di masa dewasa tidak jauh dari pengaruh saat kita dibesarkan. Saya bukan ingin mengkambinghitamkan orang tua dan pola asuhnya. Rasanya tidak dewasa serta tidak pantas selalu mengahakimi cara mereka membesarkan anak-anaknya, tapi dalam penelitian pun memang disinggung hal yang sama. Ibaratnya, kita nggak akan tahu obatnya apa kalau kita sendiri nggak mencari tahu penyakitnya. Inilah yang saya lakukan sebagai upaya untuk menyembuhkan diri dan membantu agar saya kembali utuh setelah banyak hal dilewati hingga sedewasa ini. 

Selalu menarik berbicara tentang pola asuh, kesehatan mental, hingga trauma pengasuhan karena mungkin sedikit banyak saya mengalaminya. Itu juga sebenarnya yang melatarbelakangi saya akhirnya melanjutkan pendidikan dan mengambil jurusan Psikologi Islam. Membaca buku kesehatan mental tidak seberat membaca modul-modul kuliah, ya. Kwkwk.  

Sebagian adalah koleksi buku lama sebelum saya memutuskan melanjutkan pendidikan. Kenapa bisa suka buku-buku seperti ini? Ada salah satu buku dari seorang konselor Jepang (kalau tidak salah ingat) yang isinya benar-benar relate dengan kehidupan saya saat menjadi orang tua baru. Kamu bisa baca ulasan bukunya di sini.

Masa-masa mengasuh anak saat mereka masih kecil benar-benar membuat saya cukup sering menarik napas panjang. Dulu, saya nyaris menyerah, tapi Allah masih sayang kepada saya. Allah baik banget karena telah membantu saya sembuh. Apakah ini mudah? Nggak sama sekali. 

Dengan latar belakang pola asuh ala VOC, rasanya wajar jika setelah dewasa ada hal-hal di luar kendali diri dan kadang bikin nangis nggak habis-habis. Ternyata, pola asuh itu berpengaruh begitu besar kepada kehidupan kita, kehidupan anak-anak kita bahkan dari sebuah teori kelekatan menyebutkan,

Ikatan paling awal yang dibentuk oleh anak dengan ibu/pengasuhnya memiliki dampak luar biasa yang terus berlanjut sepanjang hidup. 

Bisa kamu bayangkan, jika ikatan emosional itu tidak berjalan sukses, seumur hidup kita akan menanggung beban itu hingga dewasa. Berat, ya? Hu hu. Dan, buku ‘Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan’ mungkin bisa sedikit membantu pola pikir kita yang suka overthinking dan cemas dengan hal-hal yang ada di luar kendali akibat pola asuh yang kurang ‘tepat’ saat kecil. 

Anak-anak melihat bagaimana orang tuanya merespon suatu masalah. Apakah ayahnya membanting barang ketika kesal dan tidak berhasil melakukan sesuatu? Apakah ibunya mencubit dan menyakiti anaknya ketika mereka tidak bisa diatur? Apakah ibunya cukup pemalu saat bertemu banyak orang? Hal-hal semacam itu dicontoh oleh anak-anak tanpa kita sadari. 

Bagaimana anak-anak saya terlalu menutup diri dalam lingkungan sosial di rumah, betapa mereka merasa kesal kalau diminta keluar rumah dan berkumpul dengan tetangga saat ada acara di sana, dan hal-hal itu saya yakin diadaptasi dari ibunya...kwkwk. Well, sejujurnya akhir-akhir ini, saya sudah merasa jauh lebih baik sebagai manusia. Saya bukan lagi manusia yang nggak enakan, saya bisa memberi batasan, dan pelan-pelan tidak terlalu peduli dengan komentar orang. Membaca buku yang ditulis oleh dokter Tsuneko dan dokter Hiromi ini benar-benar membuka mata saya bahwa hidup tuh nggak perlu dipikirin berat-berat dan capek. Kita tidak selalu harus punya hubungan dekat dengan seseorang jika akhirnya hanya saling menyakiti. Kita tidak harus selalu berambisi mencapai ini dan itu jika hidup seperti sekarang saja sudah baik dan cukup. Buku ini benar-benar menampar saya. Kenapa kita terlalu keras kepada diri sendiri?  

Hidup Tidak Selalu Memberi Kita Pilihan 


Review Buku Hidup Damai Tanya berpikir berlebihan
Photo: Dok pribadi

Saat menyadari bahwa kita tidak lahir dari keluarga berada dan cukup, rasanya tidak ada hal paling tepat selain jalani aja sampai selesai. Karena kita tidak bisa menukar tempat dan posisi dengan orang lain, sedangkan mengeluh dan berangan terlalu jauh sering membuat kita kehilangan arah dan tujuan hidup. Kenapa sih kita nggak jadi Maudy Ayunda yang hidupnya serba sempurna? Punya keluarga harmonis dan berada, bisa sekolah ke luar negeri, dan menikah di usia muda dengan orang yang tepat. 

Dokter Tsuneko tidak punya pilihan ketika harus melanjutkan sekolah kedokteran. Di masa perang, dia ikut keluarganya yang bersedia membiayai pendidikannya. Katanya, itu bukan hal yang dia inginkan, tapi dia tidak punya pilihan. Karena tetap tinggal bersama orang tuanya yang pas-pasan hidupnya akan menyulitkan diri dan keluarganya di masa depan. 

Ketika ditanya apakah beliau sangat mencintai pekerjaannya? Kenapa bisa dikerjakan hingga 70 tahun lebih? Dia bilang, tidak juga. Ha ha. Dia nggak secinta itu sama pekerjaannya. Hu hu. Namun, jika ditanya apakah dia suka? Ya, dia memang suka menjalaninya meski telah bekerja puluhan tahun lebih di rumah sakit. Amazing banget, kan? 

Kalau dari yang saya pahami, dokter Tsuneko tipenya nggak terlalu berambisi dengan hal apa pun. Ketika bekerja di rumah sakit, dia tidak mengejar jabatan tinggi, tapi lebih menikmati kariernya sebagai psikiatri dan berhubungan baik dengan semua orang. Apakah beliau tidak pernah punya masalah dengan orang lain? Jawabannya nggak. Kenapa bisa seaman itu hidupnya? Sebenarnya, mungkin karena beliau orangnya bijak dan nggak gampang emosi. Ketika dia berdebat dengan dokter lain mengenai suatu hal, dia tidak membesar-besarkan masalah itu dan kembali berbaikan keesokan harinya. Dokter Tsuneko bakalan minta maaf meski dia nggak salah. Semua itu membuat hidupnya berjalan baik. 

Tidak Membenci ataupun Menyukai Orang Lain 


Review Buku Hidup Damai Tanya berpikir berlebihan
Photo: Dok pribadi

“Saat orang lain memerhatikan kita, ucapkan terima kasih dengan tulus. Dan, terimalah kasih sayang yang diberikan dengan gembira. Sebaliknya, ketika orang lain pergi menjauh, biarkan ia menjauh. Sikap “berterima kasih untuk apa yang datang, dan tidak mengejar apa yang pergi” pada akhirnya paling meringankan bagi kedua belah pihak.” (Hal. 29) 

Dalam sebuah hubungan, terutama dalam pertemanan atau bahkan hubungan keluarga, sering kali kita menjadi dekat, tapi di kemudiah hari menjadi bermusuhan atau saling menjauh. Salah satu ilmu yang bisa dipelajari dari dokter Tsuneko tentang hubungan dengan manusia adalah memutuskan untuk tidak membenci siapa pun, tapi tidak juga menyukai mereka (atau menjadi dekat). 

Jadi, kita bisa memperlakukan seseorang sewajarnya. Toh setelah dewasa, kita hanya butuh kepada anak-anak ataupun pasangan (keluarga inti) dibanding orang lain. Melihat mereka baik-baik saja, bisa kita ajak bicara, dan tertawa bersama merupkan hal yang lebih dari cukup. Kenapa baru baca buku ini sekarang setelah sekian banyak hubungan pertemanan menjadi asing di kemudian hari? Hu hu.

Dokter Tsuneko tetap baik dan humble kepada semua pasiennya, tapi beliau bisa memberikan batasan supaya tidak terlalu dekat. Beliau juga sering berbagi cerita dengan pasiennya karena menurutnya, hal itu bisa menghilangkan stres atau mengurangi beban pikiran. 

Ketika suaminya sering mabuk-mabukan, dokter Tsuneko memutuskan tidak minta cerai, tapi memilih mengurangi stresnya dengan berbagi cerita menjengkelkan tentang pasangannya kepada pasien. Jujur, ini bagian yang lucu, tapi suaminya sebenarnya memang baik sehingga masih layak dipertahankan. Beliau mementingkan keutuhan hati buah hatinya dibanding menuruti egonya. 

Ketika dokter Tsuneko sangat kesal kepada sang suami, beliau membuat target pendek seperti dia akan mempertahankan pernikahannya sampai kedua anaknya menikah. Setelah itu, dia ingin bercerai. Namun, setelah waktu terlewati, dia menemukan suaminya sudah menjadi lebih baik dan akhirnya mengurungkan niatnya untuk berpisah. Alasannya? Karena mengurus perceraian juga merepotkan katanya. Ha ha. Lawak sekali ya, beliau ini.

“Pada dasarnya manusia makhluk yang kuat. Mungkin terlihat kembali ke titik nol, tapi sebenarnya itu adalah titik permulaan. Pada gilirannya, manusia terlahir kembali seperti burung phoenix, lalu berpikir “Mengapa sebelumnya saya merisaukan soal itu?” atau “Ternyata sekarang saya sudah lebih kuat.” dan kemudian menjalani hidup dengan ringan. Apa pun yang terjadi, sebagian besar akan bisa diatasi. Atau lebih tepatnya, hidup akan mencari jalannya sendiri.” (Hal. 71) 

Kunci dari hidup tenang adalah sewajarnya memberikan porsi kepada hal apa pun, baik itu kepada pekerjaan, keluarga, juga manusia. Dokter Tsuneko juga menjaga privasi anak-anaknya setelah mereka menikah. Dia bahkan memilih tinggal seorang diri setelah suaminya meninggal dibanding harus tinggal bersama anaknya. Katanya, kenapa harus takut mati? Bukankah itu hal alamiah yang pasti terjadi? Justru kalau kita mati sendirian di rumah, kita tidak akan merepotkan keluarga atau anak-anak. 

Makanya, meski sudah berusia 90 tahun lebih, beliau tetap bekerja di rumah sakit supaya tidak ada banyak waktu melamun di rumah. Waktu luang di rumah bisa memicu pikiran kita untuk berpikir berlebihan atau memikirkan hal-hal yang tidak penting. Menurut saya, pendapat ini benar adanya. Ibu saya juga jarang sekali berkegiatan di luar rumah. Beliau tidak punya teman kajian karena kesulitan pergi ke mana-mana seorang diri. 

Tinggal di rumah tanpa kegiatan berarti dan dengan kondisi suka berpikir berlebihan benar-benar menjadi komposisi sempurna untuk menimbun beban stres di kepala. Hingga kemudian, Ibu akhirnya tidak sadarkan diri sampai berhari-hari. Dokter pernah bilang, mungkin Ibu tidak depresi, tapi kalau stres sih kemungkinan besar iya. Saya pun yakin Ibu stres karena sering menyimpan banyak beban, bahkan yang sudah berlalu bertahun-tahun silam. 

Hidup itu pilihan. Mau bagaimana dan dengan cara seperti apa kita melewatinya? Sebagai seorang perempuan, sangat penting untuk memiliki kegiatan di rumah, bukan sekadar pekerjaan sehari-hari sebagai Ibu Rumah Tangga. Kita mesti punya hobi, hal-hal sepele yang bisa dikerjakan bersama teman, bisa datang kajian supaya energi kita terisi kembali meski akhirnya harus naik turun lagi. Hal-hal seperti ini saya yakin bisa menjadi hiburan bagi masa tua kita nanti. 


Salam hangat,

Comments