Perempuan-Perempuan yang Dipenuhi Luka

Saturday, July 22, 2017

Perempuan-Perempuan yang Dipenuhi Luka


“Semua sakit hati dan sengsara yang aku rasakan adalah sebuah kesalahan besar yang diam-diam telah Ibu lakukan. Jika bukan karenamu, Bu, mungkin nasib baik masih bersamaku.” Terdengar kecewa sekaligus nada tinggi yang sedikit ditekannya. Perempuan tiga puluh tahun itu menunjuk jantung Rosmina. Memecah sunyi. Merobek ketenangan yang terpaksa ditanam meski sejak lama sakit hati memaksa meluap dan mengalirkan riak dalam tatap matanya.

Tubuh Rosmina seketika menggigil. Gemuruh di dada memuncak. Jika tak ingat perempuan itu lahir dari rahimnya, mungkin sejak tadi sebelah tangannya menampar Atika penuh amarah.


“Atika menyesal telah dilahirkan dari rahim Ibu!”


Rosmina terbeliak. Kini gemuruh itu begitu deras mengalirkan embun yang sejak tadi ditahannya. Slide-slide masa lalu bergantian mengetuk ingatan. Dua kali dua puluh empat jam menanti putri sulungnya lahir ke dunia sembari menahan sakitnya kontraksi bertubi. Wanita berkulit putih itu hanya meringis menahan ngilu serupa belati membeset kulit dari tulang-tulangnya.


Kini, lihatlah! Gadis mungil yang dulu begitu dirindunya melaknat ibu kandungnya sendiri!


Durhaka! Kata tertahan yang hanya sempat berteriak dalam tenggorokan. Tercekat oleh isak. Namun, perih dan sakit itu meneriakkannya jauh ke langit. Menembus lapisan ketujuh. ‘Arsy terguncang. Tuhan tak akan berpangku tangan, Atika!


***


Danu memahami, setiap jengkal dari nasib buruk yang kini diterimanya adalah balasan atas apa yang telah dilakukannya selama bertahun silam. Sejatinya lelaki bertubuh tinggi itu hafal betul siapa orang yang paling bersalah dalam urusan rumah tangganya.


Bukan wanita ayu yang telah dinikahinya. Bukan pula orang tua yang telah menjodohkan. Tapi dirinya. Ya, dirinya sendiri yang tak pernah sedikit pun punya niat untuk menafkahi keluarga. Meski gajinya cukup untuk membelikan istrinya sekarung beras, tapi dia memilih membeli kemeja-kemeja bermerek atau menghabiskan uangnya untuk mentraktir teman.


Selama bertahun-tahun, Danu tak pernah merasa bertanggung jawab atas keluarga kecilnya. Bahkan dengan pandangan tak berdosa, dia melepas istrinya pergi ke luar negeri. Merantau dan terseok di negeri orang demi memenuhi ambisinya sebagai suami. Tidakkah Danu memiliki hati?


Keluarga kecilnya pelan-pelan terguncang. Layar yang dikembang hati-hati kini koyak oleh kegamangan perempuan berhidung mancung yang enam tahun silam telah dinikahinya. Sudah cukup pengorbanan perempuan berperawakan ramping itu selama ini. Berdagang keliling, menjahit baju-baju pesanan atau bahkan rela berhutang pada tetangga demi membeli sebotol susu untuk putranya. Semua telah dia lakukan. Hingga akhirnya, lelaki yang begitu ia hormati meminta lebih.


Perempuan yang hanya lulusan SMA itu tak bisa menolak. Atas nama rasa hormat serta taat kepada suami, dia rela meninggalkan rumah dan anaknya yang baru berusia 2 tahun. Permintaan yang amat berat namun sungguh dia tak bisa mengelak ketika berkali-kali Danu memaksa. Dia tetap akan pergi. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Suami dan anaknya akan baik-baik saja. Semua demi keluarga kecil mereka. Kalimat-kalimat itu terus menerus dia pupuk hingga tak ada lagi celah bagi keraguan. Dia harus pergi demi orang-orang yang dicinta. Begitulah, hati pun mengalah menahan rindu dan meninggalkan kebersamaan yang kelu.


Tapi, kenyataan pahit mengoyak hati. Kabar burung tentang pernikahan Danu dengan wanita lain merenggut semua kepercayaan yang selama bertahun-tahun berusaha dia jaga. Tidakkah lelaki pintar itu tahu diri? Rupanya cinta saja tak cukup dijadikan alasan untuk memperjuangkan kehidupan mereka. Butuh kewarasan yang pelan-pelan mulai menghilang dari akal Danu.


Detik itu, perempuan yang kali ini merasa jauh lebih tegar dengan tegas menggugat cerai! Adakah wanita lain yang mau berkorban sebesar yang telah dilakukannya? Dan Danu mulai mengerti sekarang, tak ada satu pun wanita selain dia yang mau tetap tinggal.


***

 

“Menikah saja dengan suamiku. Ambil saja semua kebahagiaan yang aku punya!” Tarikan nafasnya bahkan terlalu kuat untuk disembunyikan.


Kemudian perempuan tiga puluh tahun itu melanjutkan caci makinya, “Tak seharusnya kamu ada di sini, Raifa! Janda tidak tahu diri!”


Raifa menutup wajahnya dengan bantal. Makian-makian saudara kandungnya begitu lekat hingga sulit baginya untuk lupa. Siapa sangka, kakak perempuan yang begitu dihormatinya tiba-tiba saja datang dan menikam.


Raifa menahan perih. Tak pernah terlontar keinginan untuk menceritakan semua sakit hati itu pada adik bungsu apalagi orang tua. Luka-luka yang telah memenuhi hati, kini bertambah dengan kebencian serta fitnah saudara kandungnya sendiri.


Jika bisa, ingin rasanya melawan semua tuduhan yang ditujukan padanya. Kebaikan Ibu yang disebut hanya untuknya atau perhatian kakak iparnya. Raifa tak pernah meminta ibu membeda-bedakan kasih di antara mereka. Seharusnya saudara sulungnya tahu, pahit hidup berumah tangga juga pernah dialami Raifa. 

 

Sekarang, sendiri dia harus melewati sepi. Tanpa lelaki yang dulu pernah singgah dalam lamunannya. Dia bahkan jauh lebih kesepian ketimbang seekor burung yang tengah kedinginan di dalam sarangnya.



Dan siapa? Raifa mengulang kembali ingatan tentang suami saudaranya. Bahkan jika gila pun, Raifa lebih memilih jadi janda ketimbang merebut suami orang!

 

***

 

Lelaki itu begitu keras kepala. Tidak pernah dia merasa sebahagia ini. Jatuh cinta pada pandangan pertama. Mungkin kalimat itu begitu tepat untuknya. Meski sejak lama dia selalu mengelak, namun hari ini, ketika sepasang mata mereka saling bertemu, bayangan perempuan dengan pasmina abu-abu itu tak bisa lagi menjauh dari pikirannya.


Siapa dia? Pertanyaan yang selanjutnya begitu lekat dan memaksanya untuk terus bertanya. Apa yang membuatya pergi sejauh ini? Berada di luar negeri bukanlah sebuah keinginan besar jika hanya berniat mencari pekerjaan. Banyak tenaga kerja yang berangkat dengan alasan yang hampir sama. Memenuhi kebutuhan keluarga. Meski sebenarnya Hilmi sering menerka, bukan kebutuhan yang membuat mereka nekat pergi sampai-sampai harus meninggalkan yang dicinta, tapi kebanyakan demi memenuhi gaya hidup yang tak biasa.


Hilmi terus saja memandang diam-diam ke arah wanita itu. Namun, perempuan yang terlihat kerepotan dengan koper besarnya memilih diam. Semakin membuat Hilmi penasaran. Dan sebelum perempuan berparas ayu itu benar-benar pergi, di belakangnya, Hilmi tampak girang mengepalkan tangan penuh kemenangan. Sebuah nomor yang baru saja didapatnya diam-diam. Bukan Hilmi jika tak keras kepala.


***


Mereka tiga bersaudara. Perempuan-perempuan berhati malaikat, begitu ucap Bapak setiap kali menatap ketiga putrinya. Meski anak-anaknya terpaut usia yang lumayan jauh, tak sedikit pun menyurutkan kasih lelaki yang kini telah dipenuhi kerutan halus itu. Mereka tetap membutuhkan orang tua kendati usia telah beranjak dewasa bahkan hingga mereka berumah tangga. Tetaplah orang tua adalah tempat paling nyaman untuk pulang dan bersandar.


Tapi hari ini, tiba-tiba hatinya seolah ditusuk berkali-kali. Kebencian mendalam kepada sosok lelaki yang tak lama menjadi pendamping putri sulungnya. Diam-diam menantu barunya menjadi belati dalam keluarga besar mereka. Meruntuhkan semua rasa hormat si sulung terhadap dirinya.


Ini bukan hanya sekadar kesalahan kecil. Makian-makian terdengar jelas melintas di hadapannya. Lelaki yang dulu dianggapnya sebagai malaikat penolong bagi putri sulungnya kini tak berbeda dengan iblis! Lihat saja, putri sulungnya kini beringas. Berani memaki dan mengentak-entak ketenangan yang selama bertahun-tahun selalu dijaga di dalam rumah mereka.


“Suami macam apa kamu!” ucapannya terngiang kembali. Mengutuk menantu baru yang merusak tabiat putri sulungnya.


Mata tua Bapak menatap halaman rumah yang lengang. Tak akan ada lagi suara anak kecil yang biasa riuh memanggil. Mereka telah pergi setelah puas menyakiti. Dan di sudut ruangan yang lain, seorang perempuan terisak tiada henti.


***


Rosmina mulai mengeja takdir. Dulu, tak terbesit keinginan untuk menyakiti orang tua meski dahulu sang ibunda begitu keras mendidiknya. Sebab menjadi seorang anak adalah sebuah bakti yang tak kenal lelah. Membalas sejengkal pun tak mampu meski telah memberi seribu kebaikan serta kebahagiaan. Orang tua tetaplah harus dihormati meski kadang terjadi selisih paham di antara mereka dan anak-anaknya.


Bagi Rosmina, itu bukan alasan untuk tidak berbakti. Tapi sayang, Atika tak pernah memahami betapa cintanya begitu besar padanya. Perjodohan Atika dengan Danu adalah sebuah kesalahan. Kesalahan yang tak pernah sengaja dia lakukan.


Siapa sangka, lelaki yang katanya keturunan kyai itu ternyata tak becus menafkahi bahkan cenderung mendzalimi istri. Tak sedikit pun Rosmina berkeinginan meninggalkan Atika dalam rumah tangga yang jauh dari bahagia. Dengan hati-hati wanita paruh baya itu membantu tanpa berkeinginan mencampuri urusan rumah tangga putri sulungnya.


Namun ketika Danu memintanya pergi dan bekerja di luar negeri, Rosmina adalah orang pertama yang menolaknya.


“Meski hidup kekurangan, bukan berarti kami mengizinkanmu menjadi TKW.” Ucap suami Rosmina sambil menatap putri sulungnya lekat. Seolah ingin mengalirkan energi penuh kasih yang tak pernah benar-benar ditinggalkan meski Atika telah berumah tangga.


Namun, Atika lebih memilih mendengarkan Danu. Memaksa orang tua menerima keputusannya. Dengan berat hati, Atika menitipkan buah hatinya pada Rosmina. Membiarkan semua berjalan seperti mimpi hingga pada akhirnya lelaki yang awalnya begitu ia benci_karena sebuah perjodohan tanpa persetujuan Atika_memilih berpoligami. Meninggalkan janji suci yang bertahun-tahun dia tanam dalam hati.


Atika menahan rasa sakit yang diam-diam dipendamnya. Hingga perlahan luka itu mulai mengering setelah pertemuan indahnya dengan Hilmi, lelaki yang ditemuinya di sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja.


Atika mulai merajut kembali kebahagiaannya yang sempat koyak oleh pengkhianatan Danu. Hilmi menyembuhkan bukan hanya luka Atika namun juga rasa bersalah yang dialami oleh ibu mertuanya, Rosmina.


Tapi, punya rumah serta seorang anak dari Hilmi saja rupanya tak membuat Atika bersyukur. Selalu saja mengeluh karena merasa Rosmina berlaku kurang adil di antara dia, Raifa serta adik bungsunya. Padahal, Rosmina telah memberikan kebahagiaan lebih banyak pada putri sulungnya. Sesuatu yang tak pernah diberikan kepada anak-anaknya yang lain. Rosmina tak pernah menyangka ketika tiba-tiba Atika mengkal hati. Memarahi Rosmina yang telah dianggapnya menjadi orang yang paling bersalah atas semua masa lalu kelam yang menimpanya.


Putrinya itu, diam-diam menagih dendam lama.


Atika sejatinya telah punya segalanya. Jika dulu dia memiliki Danu yang tak layak dihormati, maka kali ini Tuhan telah menggantinya dengan lelaki bertanggung jawab seperti Hilmi. Sayangnya, Hilmi dan Atika mulai terbuai perasaan serakah. Kehidupan mereka yang terlihat megah di mata orang lain rupanya tak disyukuri sedikit pun oleh sepasang suami istri itu. Atika jengkel kenapa Rosmina terlihat lebih peduli kepada Raifa yang telah janda atau perasaan kesal setiap kali Rosmina menyebut kebaikan adik bungsunya. Lalu Atika dianggapnya apa?


Berkali-kali Atika meluapkan emosi. Buta oleh kesalahpahaman serta rasa iri. Hingga kalimat menyakitkan itu menutup semua pintu maaf seorang ibu kepada anaknya.


“Atika menyesal telah dilahirkan dari rahim Ibu!”


Cukup! Untuk kali ini sakit hatinya tak lagi bisa disembuhkan. Rosmina terisak di dalam kamar. Memandang jendela dengan tatapan nanar. Di tempat lain, Atika sedang berteriak sambil tertawa. Kewarasan yang hilang tiba-tiba sesaat setelah sumpah serapahnya kepada Rosmina, ibu kandungnya.


 
-Tamat-

Comments