Pengantin Baru

Monday, July 3, 2017

Pengantin Baru


Dan di antara derai tawa yang menyelinap manis di kedua bibir merahmu, terselip cerita semerbak tentang kita.

Banyak impian menguap ketika Ridho akhirnya tinggal serumah dengan wanita cerewet bernama Riani. Wanita dengan jilbab lebar berwarna cerah itu selalu saja banyak bicara. Terlebih ketika Ridho menolak keinginannya. Kalau bisa, ingin rasanya dia sumpal kedua telinga. Supaya gendangnya tak sering bergetar sebab terlalu banyak diprotes oleh istrinya itu. Tak banyak yang bisa dia lakukan kecuali diam dan mengangguk.


Maka, belakangan Ridho mulai suka memakai headphone. Bukan karena ingin berdendang dengan band favoritnya, namun lebih pada keinginan menghindari suara cempreng wanita bertubuh mungil itu.

Riani mulai risih sebab Ridho jarang menyahut saat diajak bicara. Kecuali pada panggilan ketiga, empat dan lima. Lelaki dengan senyum hangat itu mengangkat wajahnya demi mencari perempuan yang tengah melotot di hadapannya. Ridho bergidik. Sejak kapan dia menikah dengan nenek sihir ini?

Dulu, Ridho tak butuh banyak alasan untuk menyukai Riani. Selain sifat santunnya yang sering didengungkan oleh banyak orang. Wanita dua puluh lima tahun itu pun punya senyum manis yang amat memikat. Ridho mulai suka pada pandangan pertama. Selanjutnya, dia pun jatuh hati pada pandangan kedua tepat setelah mengucap ijab kabul di depan ayah Riani.

Sayangnya, harapan memiliki rumah tangga penuh binar dengan kelopak mawar bermekaran hilang pada pandangan ketiga. Tepat setelah resepsi usai. Ridho tersentak menemukan wanita berparas ayu itu tersedu di ujung tempat tidur. Dengan hati-hati Ridho mendekat. Menatap kedua mata istrinya yang mengambang. Air mata menganak sungai.

“Riani, kenapa menangis? Bukankah ini hari bahagia buat kita?” sapaan hangat penuh empati. Sambil mendekati, Ridho meraih pergelangan tangan istrinya yang dipenuhi hiasan tangan indah.

Respon berlebih yang mengejutkan. Riani terbeliak dan menatap sinis Ridho.

“Jika bukan karena pinangan Abang, Riani tak akan sesakit ini!”

Ridho memicingkan mata. Melepas begitu saja genggaman tangan penuh cinta. Ada apa ini? Bukankah pernikahan ini luar biasa indah? Direstui oleh kedua orang tua dengan taaruf yang berjalan mulus tanpa rintangan berarti? Ridho merasa sebagian jantungnya berhenti berdetak. Aliran darah membeku. Tubuhnya tiba-tiba terasa panas.

“Ada apa sebenarnya, Ri?”

Riani bergeming. Melengos. Tak lama justru beranjak meninggalkan Ridho yang sedang berlutut di hadapannya penuh tanda tanya. Semakin Ridho melihat wanita yang tengah bergelung selimut, semakin pula hatinya dihantam rasa sakit.

“Riani,” suara lelaki itu mulai akrab di telinga.

“Riani,” untuk kedua kali dengan tarikan selimut.

“Riani,” kali ketiga masih dengan nada sama. Terdengar sabar tanpa sedikit pun emosi menyelinap.

Tapi jawaban yang diterima lelaki berhidung bangir itu selalu di luar dugaan.

“Berhenti! Riani tak mau bicara dengan Abang!”

Lebih mirip sebuah lengkingan ketimbang jawaban manis seorang istri kepada suaminya. Detik itu juga, Ridho beringsut meninggalkan wanita terkasihnya. Memilih tidur bersama hawa dingin di sofa. Dan Riani, hanya sesekali melirik tanpa sepengetahuan Ridho. Menahan manik-manik yang berjejalan di sudut mata. Ada rasa bersalah, tapi lelaki itu harus diberi pelajaran. Sungguh, pernikahan bukanlah sekadar ucapan serah terima serupa akad jual beli. Ada tanggung jawab dan janji suci yang harus diemban setelahnya. Dan wanita dengan riasan wajah yang masih tersisa, merasa telah dikhianati oleh lelaki yang kini resmi mempersunting dirinya.

Harapan-harapan yang kemarin melambung seputih kapas, kini menguap begitu saja. Lelaki yang tengah meringkuk kedinginan di sofa berwarna cokelat muda, menahan getir dan sembilu yang tiba-tiba saja menyayat. Tanpa merasa perlu bertanya lebih banyak, Ridho menebak-nebak alasan Riani memarahinya. Lelah seharian usai resepsi meluruhkan semua beban pikiran. Tak perlu waktu lama, kamar pengantin itu pun berubah senyap. Ridho tertidur pulas menyisakan tatapan sayu dari seorang wanita yang kini tengah menatap lekat wajahnya.

***


Pernikahan sejatinya dipenuhi binar. Tapi Ridho belum menemukan alasan untuk bahagia bersama istrinya. Satu minggu tinggal satu atap di dalam rumah mungil dengan cat biru muda, belum juga Ridho dapati istrinya menyuguhkan teh. Sarapan hanya dibelinya di warung depan rumah. Ridho sedikit pun tak mengeluh atau berkomentar.

Semakin kesal saja Riani dibuatnya. Ridho justru terlihat santai meski sikap Riani jauh dari yang diharapkan. Dia kerap menemukan lelaki itu tengah menyeduh teh di dapur. Lain waktu, Riani melihat Ridho sedang membuat sarapan untuk mereka berdua. Pelan-pelan rasa bersalah menikam ulu hati. Riani masih menyimpan ngilu namun tak mampu menolak hatinya yang tiba-tiba jatuh cinta.

Sempat terpikir untuk menceritakan semua, mengenai alasan kenapa dia kerap mengacuhkan. Tapi, terngiang ucapan seorang wanita di seberang telepon tepat sebelum akad nikahnya digelar. Dan dengan cepat Riani mengurungkan niat. Biarkan sejauh mana lelaki bertubuh tegap itu bertahan.

Sebuah ketukan membuyarkan lamunan. Ridho masuk dengan sepiring nasi goreng dan telur mata sapi setengah matang. Menyuguhkan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Semakin membuat Riani meradang. Ingin bicara namun lidah kelu. Ingin berlari mengejar namun kaki beku. Ah, rasanya sulit sekali menerka hati lelaki yang telah menikahinya selama kurang lebih seminggu.

Tinggal bersama tanpa tegur sapa, hari-hari semakin menyesakkan bagi Riani. Ridho benar-benar bungkam tak mau tahu. Tapi bukankah itu yang diharapkan oleh Riani selama ini? Ketika Ridho berusaha menanyakan, dengan tatapan sinis Riani menutup pembicaraan. Bagaimana semua bisa dimulai?

Riani beringsut dari kamar. Menaruh sepiring nasi goreng yang telah dimakannya satu sendok. Membuka pintu perlahan sambil menahan derit, lantas langkahnya kebas menatap suaminya sedang duduk di sofa ruang tengah. Tak ada amarah dalam tatap matanya. Tak ditemukannya rasa benci sebab selama seminggu pertama yang sejatinya sangat berarti dilewati tanpa sapaan. Riani mematung di depan pintu ketika Ridho tanpa sengaja melihat.

Sepasang mata yang saling bertemu. Hati yang tiba-tiba bergemuruh penuh rindu. Keduanya hanya termangu sambari mengeja perasaan yang selama ini tertahan.

“Duduklah,” terdengar tulus.

Riani salah tingkah. Segera masuk kamar dan menyembunyikan deru yang menjejali hati. Malu. Pikiran dipenuhi rasa bersalah. Cinta yang tiba-tiba bermekaran tanpa bisa ditahan. Memaksanya menahan rindu namun juga rasa ngilu. Tanpa sadar, kedua sudut matanya telah basah. Hujan lebat menimbulkan isak. Riani menangis.

Ridho menyusul. Sepertinya sudah waktunya bicara.

“Ada masalah apa?” suaranya masih tanpa beban.

Kali ini Riani mengangkat kepala demi melihat kesungguhan dari lelaki yang tengah berlutut di hadapannya. Tak ditemukan cela. Lelaki dengan rambut ikal serta jenggot tipis itu semakin menyesakkan hati. Tersedu Riani dibuatnya. Ridho tersenyum sambil menggenggam jemari istrinya. Jika bukan karena ingin menjaga perasaan, sudah sejak tadi Ridho terbahak dibuatnya.

“Sebenarnya ada apa, Ri? Abang nggak tahan melihat wajah masammu setiap hari.” Lembut terdengar dan penuh kehangatan.

Manik hitam yang membulat penuh rindu, tatapan itu tertuju pada sosok lelaki yang kini sedang terduduk menunggu kalimat pertama keluar dari mulutnya.

“Maafin Riani, Bang,” disusul isak bertubi yang semakin membuat Ridho geli.

“Abang tahu, kamu sedang kesal. Jadi Abang memilih diam daripada dimarahi.”

Riani manyun. Mengusap matanya yang basah dengan punggung tangan. Bagaimana harus memulai? Bicara langsung atau basa basi? Lantas siapa wanita yang kemarin sempat meneror kebahagiaannya. Bukankah Riani tak sempat bertanya sebab rasa kesal yang tak mau menunggu.

“Maafin Riani,” mengulang kalimat yang sama.

Ridho menarik pergelangan tangan Riani. Sambil mengambil sepiring nasi goreng yang tergeletak di meja rias. Riani menurut. Lelaki itu mengajaknya duduk di meja makan. Menarik kursi ke belakang, lantas mempersilakan Riani serupa ratu. Menunduk dengan hormat dan tak pernah lepas senyum manis di kedua bibirnya. Dengan malu, Riani menurut.

Sepiring nasi goreng yang tadi sempat dimakan sedikit, kini menunggu dihabiskan. Ridho dengan cekatan menaruh secangkir teh hangat di atas meja makan.

“Kita sarapan bersama,” tanpa perlu menghilangkan senyum di wajah.

Riani membalas dengan senyum pasi. Malu dan canggung berhadapan dengan lelaki yang sama sekali tak dikenalnya namun kali ini telah membuatnya jatuh hati. Seharusnya dialah yang menyiapkan makan pagi. Bukan Ridho. Tapi, lelaki berkulit putih itu dengan senang hati melakukannya hampir setiap hari.

“Riani, setelah menikah, masalah kamu adalah masalah Abang juga.”

Terbata Riani meletakkan sendok dan garpu. Melihat lelaki itu santai mengunyah telur mata sapi buatannya sendiri. Seluas itukah hatimu, Bang?

“Jujur saja, Abang takut kalau Riani marah dan ngomel-ngomel setiap hari,” Ridho  menahan tawa.

Selama satu minggu pernikahan, Ridho kerap menemukan wanitanya marah tanpa alasan. Malam pertama yang dilewati dengan tatapan sinis, hari-hari berikutnya yang tak kalah seram. Ridho sempat bingung, bagaimana bisa dia menikahi nenek sihir? Tersenyum sendiri dibuatnya. Kalimatnya seolah hiburan demi menolak rasa marah terhadap perempuan yang dulu tak pernah terdengar bentakan kasar dari mulutnya.

“Sebenarnya, kemarin ada seorang perempuan menelepon Riani. Sebelum akad nikah, dia mengatakan banyak hal buruk tentang Abang.”

Ridho menaruh sendok. Mendengarkan seksama ketika istrinya mulai bicara. Dilihat seperti itu, Riani justru salah tingkah.

“Katanya Riani telah merusak hubungan orang. Abang batal menikahinya gara-gara Riani datang. Padahal Abang sendiri yang bilang kalau selama ini tak pernah menjalin hubungan dengan wanita lain selain Riani,” terdengar sedikit serak. Mulai meleleh air mata. Setitik jatuh tepat di atas piring yang masih menyisakan separuh nasi goreng.

“Memang benar. Abang tak pernah punya hubungan serius dengan siapa pun.”

“Lalu wanita itu siapa?!” mulai terdengar keras penuh gemuruh.

“Abang juga mau tanya, memangnya dia siapa, Ri?”

Riani tak menemukan rasa cemas berlebih ketika suaminya mendengar pernyataannya barusan. Biasa saja. Justru terkesan datar. Benarkah lelaki itu jujur saat bertanya mengenai wanita yang baru saja diceritakannya?

“Mustahil kita bisa membina rumah tangga jika saling curiga. Harusnya Riani menanyakan dulu pada Abang.”

Tergugu, Riani menemukan suaminya sedang menatapnya lekat.

“Riani tahu? Abang sudah jatuh cinta berkali-kali sejak kita menikah.”

Riani terbeliak. Hatinya melonjak kaget. Benar apa yang dia curigai selama ini. Jatuh cinta pada banyak wanita bahkan ketika mereka telah menikah.

“Jatuh cinta sama kamu, kamu dan kamu, Ri.”


DEG!


Comments