Kamu Menjelma Mimpi

Saturday, July 15, 2017

Kamu Menjelma Mimpi


Seharusnya lelaki gagah itu mudah saja menyelesaikan masalah kecil ini. Seutuhnya terjadi karena kehadiran gadis sederhana yang jauh dari keinginan orang tua. Meski teramat sulit, namun Fadli berjanji akan menyelesaikannya. Cinta telah mendekapnya erat, dan kini, lelaki berkaca mata minus itu enggan berpaling.

***


Hamami sudah menunggu lama. Mendamba cucu dari putra tunggalnya yang kini memiliki karir jauh melesat melebihi keinginannya dulu. Lelaki dengan rambut perak itu mengurut kening. Seharusnya ini kabar gembira. Putranya akan segera menikah. Membina rumah tangga dan memberinya cucu yang menggemaskan. Sayangnya, lelaki paruh baya itu mulai pening dan sesak ketika tahu Fadli datang dengan perempuan biasa, bahkan jauh dari harapan!


Tidakkah anaknya tahu, keluarga terhormat harusnya bisa meminang gadis yang lebih baik ketimbang hanya anak seorang buruh cuci? Apa kata teman serta relasinya? Banyak gadis menunggu bahkan berebut perhatian Fadli sejak lama. Teman kerja serta teman kuliah yang jauh lebih berpendidikan ketimbang hanya gadis miskin yang tinggal di perumahan padat. Apa yang bisa dilihat dari gadis dengan penampilan sederhana itu? Punya apa dia hingga mampu memesona putra tunggalnya?


“Dia gadis baik, Pak. Fadli sudah lama mengenalnya,” Fadli menarik napas.


Hamami memandang Sania yang tertunduk di depannya. Gadis itu memang cantik, tapi Fadli bahkan bisa mendapatkan yang jauh lebih dari dia. Jika hanya karena baik, putri-putri sahabatnya juga tak kalah baiknya. Sungguh hatinya gelisah memikirkan bagaimana harus menolak kedatangan Sania sore itu. Dengan lantang menolak ataukah bisa berkompromi dengan putranya? Tapi, mengingat betapa kerasnya kemauan Fadli, membuatnya urung. Detik ini juga, Hamami harus menemukan alasan selain status sosial untuk menolak pernikahan mereka.


“Tak usah buru-buru menikah,” ucap Hamami sambil menyesap teh hangat.


Fadli terbeliak. Menatap Sania yang bahkan tak berani menarik napas. Tegang. Sudah diduga, rencana pernikahan mereka hanya akan jadi mimpi. Jauh dari kenyataan. Sania menahan gemuruh di dada. Sudut mata mulai basah. Alasan selanjutnya sudah bisa ditebak, tak akan ada pernikahan antara Sania dan Fadli.


Seharusnya Fadli mendengarkannya. Cinta saja tak cukup jadi alasan untuk diperjuangkan. Sania tahu betul, dirinya bukan siapa-siapa. Sedangkan Fadli, lihat saja kemeja bermerek yang selalu dikenakannya, sepatu mengilap serta kaca mata yang bertengger manis di wajahnya. Sania, sungguh kamu bukan apa-apa jika dibandingkan dia. Tapi, lelaki berhidung mancung itu selalu punya alasan untuk memperjuangkan dirinya.


“Harta tak pernah dibawa mati, Sania.”


Selalu saja alasan itu muncul setiap kali mereka bicara. Sania dengan senang hati mundur jika memang Fadli menginginkannya. Tapi sungguh, kegigihan lelaki itu sulit sekali ditolak. Meski sering hampir bertengkar karena Sania merasa tak pantas bersanding, tetap saja Fadli akhirnya mengembalikan senyum serta harga dirinya lekas.


“Bukannya Bapak ingin segera melihat Fadli menikah?” kembali bertanya. Seolah mengingatkan obrolan kemarin sore yang dilontarkan Hamami pada dirinya.


Hamami manggut-manggut. Mengingat betapa bodohnya dia telah menyerahkan urusan seserius ini kepada Fadli. Seharusnya sejak lama dia jodohkan saja dengan putri salah satu sahabatnya di Bandung. Mungkin saat ini dia tak lagi pusing memikirkan alasan penolakannya untuk Sania.


“Secepatnya kami akan menikah. Fadli harap Bapak menerima pilihan Fadli.”


Seolah mendengar petir di siang bolong, kalimat terakhir yang dilontarkan Fadli membuat darahnya mendidih. Dengan tatapan sinis menikam Sania yang bahkan tak berani mengangkat wajah. Siapa sebenarnya gadis itu? Begitu mudahnya merebut perhatian Fadli. Tapi, bukan Hamami jika tiba-tiba kehilangan sikap santun terutama di depan anaknya sendiri. Ingin rasanya bangkit dan memaki gadis berparas ayu itu. Menunjuk geram dan mengusirnya pergi. Selanjutnya, adegan serupa kisah dalam sinetron itu hanyalah adegan dalam hayalan lelaki tua itu saja, tak lebih.


Sania berpamitan diiringi Fadli yang menyambut punggung tangannya dengan rasa hormat. Tak banyak yang bisa dilakukannya selain menatap keduanya pergi dengan perasaan berkecamuk.


***


Sejak lama Fadli mengutarakan keinginannya kepada ibu. Wanita yang masih cantik di usia senjanya selalu saja mengiyakan asal Fadli bahagia. Tak sanggup mengusir pendar bintang di mata anaknya. Sania memang bukan siapa-siapa dibanding mereka. Tapi, sikap sopan santun yang dilihat sejak pertemuan pertama membuat wanita itu tak mengharap yang lain selain kebahagiaan mereka berdua.


Sania anak yang cerdas meski dia terlahir dari keluarga biasa bahkan terlalu biasa. Siapakah yang ingin dilahirkan dalam keadaan serba terbatas? Bukankah itu adalah suratan takdir yang harus dia terima? Kekayaan serta nasib baik yang dimiliki keluarga Hamami hanyalah titipin Tuhan. Suatu saat bahkan bisa memberatkan hisab. Ah, wanita itu selalu berpikir sederhana. Melihat pijar di mata Fadli, membuatnya mengangguk dan merestui.


“Semoga kalian bahagia,” ucapnya sambil mengusap kepala Sania.


Sumringah tak bisa lepas dari wajah putranya. Satu-satunya lelaki yang tak pernah lupa memberikan perhatian. Selalu saja syukur mengukir di wajahnya. Bukankah bahagia itu sederhana?


***


Sania menyerahkan setumpuk undangan kepada Fadli. Terukir nama mereka di dalamnya. Undangan berwarna gold dengan hiasan perak terukir indah di beberapa sisi. Fadli bergeming. Ini tak seharusnya terjadi. Bukankah mereka berjanji memperjuangkan kebersamaan hingga impian itu nyata?


Sania menggeleng pelan, “Tak seharusnya kita bersama, Mas.”


Fadli menatap embun di kedua mata Sania. Gadis itu selalu saja keukeuh ketika memiliki kemauan. Bukan hal mudah memikat hati Sania meski jelas Fadli punya segalanya. Perkenalan tanpa sengaja di perusahaan milik Fadli. Sania datang dengan senyum ramah. Melamar pekerjaan dengan sederet prestasi. Sania menyelesaikan kuliah dengan predikat cum laude. Membuat Fadli pelan-pelan menaruh hati.


Tapi Sania tak cukup berani untuk jatuh cinta. Terlalu jauh mengharap atasannya menjadi pendamping. Menolak berkali-kali perhatian Fadli.


“Kenapa begitu sulit membuatmu jatuh hati, Sania?”


Sebentar kedua pasang mata saling bertatap, “Saya lebih senang menjadi anak buah Mas Fadli. Tak cukup hati untuk kecewa sebab mustahil kita bersama, Mas.”


Fadli tersenyum. Mata itu cukup menjelaskan, “Kalau begitu kamu mau menerima saya?”


Sania menggeleng. Tak baik mengharap sesuatu yang mustahil diraih. Siapa saja tahu dan melirik sinis ketika kebetulan mereka bicara berdua. Jika orang lain saja sulit menerima, lalu bagaimana dengan orang tua Fadli? Sania sungguh tak bisa membayangkan kemungkinan terburuknya. Dia tak bisa menyakiti siapa pun termasuk ibunya sendiri. Harapan itu jelas akan menguap serupa udara yang telah dia embuskan berkali-kali. Tanpa jejak.


“Sania, semuanya bisa jadi mungkin,” Fadli meyakinkan.


Tak cukup keyakinan Sania untuk menerima sedikit kemungkinan. Cinta saja tak cukup untuk diperjuangkan. Orang tua Fadli pasti butuh lebih banyak alasan untuk menerima gadis sederhana seperti dirinya. Sania masih saja keukeuh dengan keputusannya.


“Sania, kadang sedikit bermimpi itu perlu.

“kita harus memperjuangkan mimpi itu, Sania.

“Aku tak bisa tak jatuh cinta, Sania.”


Sania tersenyum pasi. Tak cukup hati melihat kegigihan Fadli. Pertemuan yang sama sekali tak diinginkan. Kenapa dia harus berada dalam keadaan sesulit ini?


“Sania tak bisa, Mas.”


Tetap saja keukeuh menolak. Dan Fadli, lebih keukeuh lagi berjuang meluluhkan hati gadis berlesung pipit itu.


***


Hampir satu tahun menanyakan hal serupa pada Sania, jawaban berbeda akhirnya keluar dari bibir gadis itu. Perjuangannya tak sia-sia. Sore itu juga Fadli mengajak Sania menemui orang tuanya. Meminta restu dan tak mau berlama-lama menunggu. Penantian satu tahun baginya telah berjalan begitu lambat. Anggukan kecil dari gadis yang telah lama dikenalnya membuat hatinya lega. Satu kegigihan membuahkan hasil. Tak mustahil kesulitan berikutnya juga akan dengan mudah diatasi.


Sayangnya, Hamami tak memahami gejolak hati putranya. Tanpa anggukan serta restu, Fadli membawa Sania pergi. Tak masalah. Ibu sudah merestui. Bapak tak mungkin menolak jika pernikahan mereka semakin nyata.


Selama ini Fadli tak banyak meminta. Menjadi pribadi mandiri meski bergelimang harta. Usahanya dirintis dari bawah. Dan sekarang, kegigihannya bisa dilihat oleh siapa pun, membuat Hamami berdecak kagum. Bahkan dengan bangga lelaki paruh baya itu memperkenalkan putranya kepada sahabat-sahabatnya. Kini, putra tunggalnya ingin menjalin bahagia. Mencari pendamping setia bukan hanya sekadar baik saja. Tapi, sungguh hati sulit sekali menerima pilihan putranya. Kenapa harus gadis itu? Berkali-kali Hamami menanyakan hal serupa. Selalu saja jawaban yang sama. Sania gadis baik. Bukankah semua gadis pilihan Hamami juga baik?


“Baik saja tak cukup, Pak. Fadli butuh gadis setia, menyayangi Bapak dan Ibu. Menerima Fadli meski tak lagi berpunya.”


Alasan yang cukup masuk akal. Tapi, apakah Sania memenuhi kriteria? Bisa saja gadis itu hanya menginginkan kekayaan Fadli? Siapa yang bisa menerka. Tapi Fadli selalu punya alasan untuk memenangkan pilihannya. Sania bukan gadis biasa. Hatinya sungguh sulit sekali ditaklukkan. Dan kini, setelah sekian lama berjuang, Bapak justru jadi benteng angkuh yang merusak semua keinginan.


“Mas, sebaiknya jangan teruskan. Sania tak bisa menikah jika Bapak tak merestui hubungan kita.”


Fadli menatap undangan pernikahan yang telah lama jadi impian. Nama mereka bersanding manis di halaman pertama.


“Sania, bisakah kamu keukeuh seperti saat menolakku berkali-kali?”


Sania menggeleng, “Mungkin kita tak berjodoh, Mas.”


Fadli lelah. Mengembuskan napas kasar. Menatap langit merona. Sulit sekali menata hati. Sungguh, lelaki tiga puluh tahun itu belum siap patah hati.


“Jika kita berjodoh?” Fadli menerka.


“Tak akan sesulit ini menyatukannya,” Sania tersenyum, melepaskan ratusan undangan di tangan Fadli. Berpamitan dan meninggalkan sepi di hati lelaki berkaca mata minus itu.

Comments