Cerpen Di Antara Kita

Saturday, July 8, 2017

Cerpen Di Antara Kita


Gadis bermata bulat itu menggeleng cepat. Membuat sedikit gerakan di kedua bahunya. Jilbab berwarna cerah yang menjulur hingga pinggang, melambai seiring terpaan angin di musim panas.

“Jadi?” Pemuda berwajah indo di hadapannya mengerutkan kening. Mencari kepastian dalam tatapan gadis berlesung pipit.


“Saya memang tak ada hubungan apa-apa dengan Fahrizal. Tapi bukan berarti saya menerima permintaanmu barusan.”


Pemuda berkalung kamera itu cukup tahu diri. Memilih diam dan membalas dengan senyum tanpa perlu banyak melontar tanya. Meski sebenarnya hati merajuk ingin tahu alasan kenapa gadis paling pintar di kampus menolak cintanya. Banyak kemungkinan bermain dalam kepala. Bisa saja karena perkenalan mereka yang belum lama. Seolah lancang sebab secara terang-terangan dia mengaku suka. Atau bisa saja gadis penyuka warna pastel itu menolak karena tak mau kuliahnya terganggu oleh urusan sepele bernama asmara. Banyak sekali kemungkinan yang terjadi, namun dia tak ingin memastikan.


“Maafkan jika saya bersikap lancang.”


Gadis itu mengangkat bahu lantas tersenyum. Bukan masalah besar. Meski sedikit membuat hatinya terkaget-kaget atas pemberian setangkai mawar serta ucapan cinta. Beberapa menit sebelum dia menjawab, debar tak biasa muncul bagai gemuruh hujan di siang bolong. Buru-buru dia beristigfar. Jatuh cinta memang fitrah. Tapi, mencintai seseorang di waktu yang salah hanya akan merusak kejernihan hati dan pikiran. Memberi kesempatan setan bermain di dalamnya.


“Saya pamit,” tanpa menunggu pemuda berhidung mancung itu mengiyakan, gadis dengan gemuruh hujan yang belum usai beranjak menjauh.

 

***

 

Adhara menyematkan jarum di atas lipatan pashmina. Mematut penampilan di depan cermin sebelum akhirnya beranjak meninggalkan kamar dengan menjinjing tas merah marunnya. Buku-buku setebal dua hingga tiga ratus halaman menyembul keluar. Dia harus bergegas. Jalanan Jakarta selalu padat meski dia berusaha berangkat tiga puluh menit lebih awal.


Mengambil setangkup roti bakar. Menyapa mama dan papa yang telah lebih dulu duduk di meja makan. Basa basi dan berpamitan.


Adhara merasa hidupnya nyaris sempurna. Bisa menatap wajah kedua orang tua adalah karunia luar biasa yang mungkin tak mampu disadari oleh kebanyakan orang. Adhara bukan hanya harus bersyukur bisa menikmati kebersamaan manis bersama mama, namun juga menjadi saksi betapa gigihnya papa berjuang menafkahi keluarga.


Sayangnya, Adhara masih jomblo. Ups! Bukan merutuki nasib, tapi dia sendiri yang menginginkannya. Adhara menuliskan prinsip sekuat baja, memajangnya di dinding kamar. Kalimat penuh antusias yang membuat mama dan papa kerap merasa geli setiap kali membaca. ‘Lulus kuliah dengan predikat cum laude, menyelesaikan hafalan Alquran, jomblo mulia, menikah bahagia’. Nyaris membuat cekikikan hampir setiap hari.


Gadis itu tak ambil peduli. Bukan masalah ditertawakan asal mimpinya terus melesat memenuhi luasnya langit. Sebenarnya, bukan hanya orang tua yang geli dengan tulisan tangan yang dibuatnya. Dia sendiri kerap tertawa sendiri ketika tanpa sadar menatap deretan kalimat yang ditulisnya dua tahun silam.


“Kenapa Adhara tak menuliskan keinginan setelah kuliah? Punya nilai bagus tapi tak ingin bekerja? Misalnya menjadi pegawai kantoran seperti papa?”


Adhara mengangkat jari telunjuk. Menggoyangkan ke kanan dan kiri, “Berpendidikan tinggi nggak harus bekerja. Ibu rumah tangga juga harus pintar supaya bisa mencerdaskan anak-anaknya.”


Entah jawaban dari mana, papa dan mama hanya dibuat geleng kepala setiap kali mendengarnya. Mama adalah working mom yang memutuskan berhenti setelah mengetahui dirinya hamil. Memilih resign dan menjadi full time mom bukanlah hal mudah. Awalnya mama merasa kebosanan melanda. Hanya diam dan membereskan rumah bukanlah hal menyenangkan. Jauh dari teman dan sulit bercengkerama bersama sahabat. Mama sempat enggan dan ingin kembali bekerja meski perutnya sudah membuncit. Namun, keputusan pertama yang diaminkan oleh papa membuatnya urung.


Setiap orang dalam kondisi berbeda, tidak semua orang bisa menjadi ibu rumah tangga. Hanya diam dan berpangku tangan. Kadang, seorang perempuan benar-benar harus bekerja sebab keadaan memaksa. Belum lagi tuntutan ekonomi yang semakin mencekik. Mau tak mau, banyak ibu-ibu yang harus meninggalkan anak di rumah, bekerja dari pagi hingga sore demi memenuhi kebutuhan atau sekadar meringankan beban suami.


Mama merasa beruntung. Bukan hanya karena Adhara yang muncul lebih cepat dari perkiraan, namun juga ekonomi keluarga yang bisa dibilang lumayan. Sejak Adhara lahir, mama tak sedikit pun menyesal telah memutuskan menjadi ibu rumah tangga. Seperti yang sering Adhara dengungkan, jadi ibu rumah tangga juga harus berpendidikan. Sebab dari sanalah akan lahir generasi cemerlang yang akan membanggakan.


Adhara berlari dengan sepatu kets menepuk rumput basah di halaman fakultas ekonomi.  Dari kejauhan, seorang gadis sebaya dengan jilbab lebar melambaikan tangan. Antusias mereka saling meremas pipi. Hingga keduanya terpekik kesakitan.


“Sakit!” Teriak Adhara disusul gemuruh gelak tawa dari sahabat karibnya, Ririn.


Mereka terlihat akrab. Sahabat sejak SMP dan berlanjut hingga masuk perguruan tinggi. Ririn bukan hanya pandai namun juga selalu jadi nomor satu di kampus. Wajah kemerahan dengan tubuh mungil yang selalu antusias setiap kali memasuki toko buku. Berbeda dengan Adhara, Ririn justru terlihat jarang memegang buku-buku serius seperti yang sering Adhara bawa. Novel Harry Potter dengan kaca mata bulat itulah yang sering membuat Ririn berlama-lama diam tanpa memedulikan sapaan orang di sekitarnya. Termasuk ketika berkali-kali Adhara memanggil.


Adhara juga kerap kesal dibuatnya. Bukan hanya karena selalu bersikap cuek, tapi juga kecerdasan Ririn yang di atas rata-rata. Jarang terlihat belajar, namun punya otak encer.


“Rahasianya apa sih, Rin?”


Ririn hanya mengangkat bahu lantas melanjutkan imajinasi mengarungi dunia sihir. Memang apa istimewanya dia? Bukankah dia tak berbeda jauh dengan Adhara atau teman kampus lainnya? Dia juga menghabiskan banyak buku dengan tema serius dan nyeleneh setiap kali masuk kamar. Hanya saja, tak bisa dielakkan lagi, ketika memegang novel karangan J.K. Rowling, dia sulit sekali berpaling.


“Helmi menatap kita terus, emang kita punya hutang sama dia? Atau jangan-jangan dia lagi naksir salah satu dari kita?” Adhara mencubit pipi Ririn hingga merah. Tanpa sadar, ucapannya barusan memancing riak pada telaga yang sebelumnya telah susah payah ditenangkan.

 


***

 

Amel berseru mendapati kedua sahabat karibnya tengah asyik membahas sesuatu yang entah apa itu. Kedua tangannya merengkuh kedua gadis yang terlonjak kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba.


“Salam dulu, Mel.”


Amel tertawa lantas mengucap salam sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada, bergaya sok feminin, menyibak jilbab segiempat yang menjulur.


“Ngobrolin apa, sih? Serius amat?” Amel segera bergabung, duduk di antara kedua sahabat yang sejak tadi telah tiba lebih awal.


Mengenal Amel serupa mengenal hening. Gelap tanpa cahaya berpendar. Lahir dari Rahim perempuan penuh kasih rupanya tak membuat Amel mengerti betapa penuh warnanya kehidupan. Sosok lelaki yang sering dibanggakan oleh kedua sahabatnya rupanya tak juga muncul dalam kehidupannya.


Berkali-kali Amel menanyakan siapa ayahnya, berkali-kali pula ibu menutupinya rapat. Bahkan hingga dirinya beranjak dewasa, rahasia itu masih terselimuti gelap. Sebesar itukah rasa benci ibu kepada lelaki yang telah menitipkan janin dalam rahimnya? Amel berusaha memahami luka masa lalu wanita yang telah berjuang sendirian membesarkannya, namun, dalam keadaan tertentu, Amel ingin sekali tahu_meski tak berjumpa_siapa lelaki itu.


“Kita lagi gosipin kamu, Mel.” Sahut salah satu dari mereka.


“Ada apa sama Amel yang dermawan, cantik dan rupawan ini?”


“Ada deh,” kedua sahabatnya kompak menjawab. Membuat kerutan dan manyun di wajah Amel semakin lekat.


***


“Aku nggak bisa. Maaf, ya.”


Helmi membalas dengan senyum hambar. Jatuh cinta memang selalu indah. Tapi, ditolak mentah-mentah membuat dirinya sulit sekali berharap.


Gadis itu nyaris sempurna dengan alis tebal yang hampir bersinggungan. Kedua mata jernih dengan bulu mata yang lentik. Berkali-kali Helmi berdecak kagum tak bisa mengelak jika gadis itulah mimpi-mimpi selanjutnya yang bermekaran dalam tidur.


Hari ini, dia memutuskan menyatakan cinta. Siap kalah tapi lebih yakin cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Apa yang salah dengannya? Berperawakan tegap dengan lekukan wajah yang nyaris sempurna. Hampir semua orang suka dengan wajah gantengnya. Mirip Aliando, kata sahabat dekatnya. Yang jelas, dia tak serupa dengan Aliando yang sedang menyeringai dan mengeluarkan taring.


Tapi, gadis yang selalu terlihat penuh semangat itu menolaknya mentah-mentah tanpa merasa perlu memikirkan dua atau tiga hari. Seburuk itukah nasibnya hingga tak juga mampu menaklukkan hati seorang gadis?


***


Amel tertawa mendengar cerita dari kedua sahabatnya. Bukan hanya karena lucu namun juga sedikit mengagetkan. Awalnya Ririn bercerita tentang setangkai mawar dan ucapan cinta yang disampaikan oleh Helmi, teman satu kampus. Lantas dengan mata terbeliak, Adhara menceritakan hal serupa. Menolak dengan cepat cinta Helmi beberapa hari lalu. Amel yang mendapat giliran terakhir merasa perlu menarik napas dalam.


“Helmi juga nembak aku,” jawabnya dengan nada penuh iba yang dibuat-buat.


“Serius?!”  Ucap kedua sahabatnya hampir bersamaan.


Ketiganya tertawa lantas menatap Helmi yang sedang duduk di kursi tepat di belakang mereka. Begitu mudahnya lelaki itu mengumbar cinta. Hanya butuh tujuh hari untuk jatuh cinta pada tiga gadis sekaligus? Apakah itu bisa dikatakan wajar? Ririn bergidik dan menyesali sedikit getar dalam hatinya.


Ketiganya tertawa lantas memanggil nama pemuda berkalung DSLR itu bersamaan.


Helmi segera beranjak meninggalkan ketiga gadis berjilbab yang sedang tertawa menahan geli saat melihat wajah pemuda indo itu semerah kepiting rebus.


***


Bagaimanapun, selalu saja ada hal yang patut disyukuri. Amel, Ririn serta Adhara memiliki latar belakang keluarga dan kehidupan yang berbeda. Meski nyaris sempurna, namun Adhara juga tak memungkiri kadang kedua matanya sembab. Begitu juga dengan kedua sahabatnya yang lain.


Keinginan bertemu sang ayah memang semakin menguap. Kecewa dan sedih bertubi menyayat hati. Tapi, Amel masih merasa beruntung memiliki ibu yang tak pernah mengeluh meski dalam keterbatasan. Dan itulah yang selalu menjadi motivasi terbesarnya untuk sukses meraih mimpi.


Ririn, gadis nomor satu di kampus. Selain berparas ayu, dia pun punya kecerdasarn melebihi rata-rata teman sebayanya. Tapi, bukan berarti semua keistimewaan itu terjadi tanpa cela menyertai. Punya orang tua yang bercerai, kadang membuat luka menganga di hati. Mengharapkan kedua orang tuanya menyatu serupa mengharap langit runtuh. Memiliki keluarga tak utuh, membuatnya berlari menamatkan ratusan halaman buku.


Semua orang punya masalahnya sendiri. Mereka berjuang dengan caranya sendiri. Dan mereka bahagia dengan caranya sendiri. Namun, satu hal yang membuat mereka tak jauh berbeda, menerima semua cerita kelam dan gelap sebagai sebuah suratan yang harus dijalani. Mungkin itulah cara Tuhan menguatkan hati setiap hamba-Nya. Dan mereka percaya, selalu saja ada bahagia yang menyertai.

 

Comments

  1. ada dua pelajaran yang bisa dipetik disini. Pertama, jangan kauumbar cintamu hanya karena ingin memiliki status, memang benar cinta adalah fitrah tapi akan lebih indah jika kalimat itu diucapkan setelah sah. Kedua, apapun latar belakangmu jangan pernah menunjukkan kesedihanmu didepan orang lain, dan jangan pernah kau sombong dengan dengan keunggulanmu.

    ReplyDelete
  2. Terima kasih mas Bimo Aji sudah berkenan mampir... semoga pesan-pesannya bisa sampai ke pembaca. Salam kenal..

    ReplyDelete
  3. salut sama prinsipnya Adhara yg dipajang di dinding kamarnya :)

    ReplyDelete
  4. Jangan ragu menuliskan mimpi! :)

    ReplyDelete