![]() |
sumber |
Sebelumnya
nggak pernah mendengar apalagi kenal dokter-dokter di rumah sakit mata Jakarta
Eye Center atau JEC. Meski ternyata rumah sakit dengan fasilitas yang sudah
bertaraf internasional ini memang cukup banyak didengungkan baik di beberapa
komunitas atau pun media. Salah satunya ketika seorang penyidik KPK, Novel
Baswedan mengalami musibah penyiraman air keras oleh pihak yang nggak
bertanggung jawab. Beliau sempat ditangani di JEC sebelum akhirnya dipindahkan
ke Singapura. Beberapa artis papan atas seperti Rhoma Irama pun sempat
melakukan operasi mata di JEC. Tapi, meski banyak yang menyebut JEC adalah
salah satu rumah sakit terbaik dan pernah mendapatkan penghargaan dari MURI,
saya nggak pernah tahu hingga suatu hari, musibah menyesakkan itu datang tanpa
mau menunggu.
Adik
bermain pasir bersama kakak di salah satu ruangan terbuka di rumah. Biasanya
saya nggak mengizinkan mereka bermain hingga menyentuh pasir. Bahkan taman di
dalam rumah itu sengaja kami beri pagar pembatas supaya anak-anak tidak sampai
bermain di sana. Sayangnya, adik yang sebelumnya memang sudah sakit mata karena
tertular ayahnya, saya izinkan dengan enteng dan mudahnya bermain bersama kakaknya di sana. Alasannya karena
ada ayah yang menemani.
Tapi,
sekali lagi musibah itu nggak pernah mau menunggu apalagi mengucap permisi.
Nggak lama suara tawa berubah lengkingan tangis yang nggak bisa berhenti. Ayah
segera membopong adik ke kamar mandi. Mencuci mata dan kepala yang sudah dipenuhi
pasir. Nggak nyangka kejadian itu sungguh jadi mimpi buruk buat saya dan
keluarga.
Adik
belum juga berhenti menangis. Setiap kelopak matanya yang bengkak karena
sebelumnya sakit mata bergerak sedikit saja, spontan suara tangisnya keras
terdengar. Saya pikir itu hanya seperti kemasukan debu karena mata memiliki
bulu mata yang bisa melindungi. Jadi nggak kebayang kalau sampai masuk ke dalam
dan membuat dia susah melihat. Hari itu, kamis, tanggal merah. Sore hari yang
menyayat dan begitu lekat dipenuhi kesedihan. Nggak ada dokter spesialis yang
praktik di rumah sakit. Suami enggan membawa ke UGD. Menurut paksu, pasirnya
pasti bisa keluar sendiri ketika dia bekedip-kedip.
Tapi,
sampai beberapa jam, dia masih saja terpejam dan sesekali menangis kesakitan.
Saya melihat dia makan dengan meraba gelas berisi es buah yang saya siapkan
untuk berbuka puasa. Ngilu dan perih menatap anak sendiri tiba-tiba nggak bisa
melihat. Bayangan-bayangan buruk berkelebat. Sejak saat itu, sayalah orang yang
paling banyak menangis meski adik sama sekali nggak banyak merepotkan. Seperti
namanya, Dhigdaya, kami harapkan dia jadi anak kuat seperti nama yang kami
berikan.
Malam
berlalu tanpa perubahan berarti. Setiap saya menyeka matanya dengan tisu,
butiran pasir halus ikut menempel. Saya yakin itu sangat menyakitkan meski adik
jarang sekali menangis. Mata kemasukan debu saja perihnya bukan main, kali ini
pasir yang meski terlihat lembut tapi kenyataannya memiliki bentuk kasar dan
bisa menggores lapisan halus di mata.
Pagi-pagi
saya melarikan adik ke UGD rumah sakit terdekat. Tenaga medis di UGD langsung
merujuknya ke spesialis mata yang artinya saya harus menunggu lebih lama karena
waktu praktik masih 3 jam lagi. Saya menangis di ruang tunggu. Adik hanya
menyusu dan sesekali menangis lalu tertidur. Kelopak matanya semakin bengkak
dan membiru. Itu hal paling menyakitkan. Semakin melihat, semakin rasa bersalah
menikam tanpa ampun. Ini pelajaran berharga buat saya. Nggak seharusnya
mengizinkan anak-anak bermain tanpa pengawasan orang tua. Belum lagi si sulung
yang sama sekali belum paham bahayanya melempar pasir. Dan itu sama sekali
luput dari pikiran saya saat itu.
Dokter
spesialis mata sempat mengerutkan kening. Kayaknya nggak percaya dengan apa
yang terjadi dan menimpa anak saya. 3 sampai 4 dokter muda serta beberapa
suster ikutan heboh memegang adik yang mulai menjerit kesakitan saat matanya
dibuka dan dibersihkan. Saya hanya diam dan duduk, tak berani mendekat apalagi
melihat. Selesai drama menakutkan itu, adik diam dan tertidur di pangkuan saya.
Tapi, kenyataannya, adik belum juga bisa membuka mata meski dokter sudah
mengatakan telah membersihkan banyak pasir di matanya. Itu artinya masih tersisa pasir, begitu menurut dokter.
Keesokannya saya kembali membawa adik ke dokter yang sama. Meski dengan perasaan yang
mustahil tenang. Saya sendiri merinding dan
enggan kembali ke dokter tapi adik belum juga bisa melihat. Pikiran-pikiran
buruk melesat begitu cepat di dalam kepala. Saya nggak bisa membiarkan adik
dalam kondisi seburuk ini terlalu lama. Jadi, saya putuskan kembali. Adegan
menyebalkan itu terulang. Luar biasa. Saya merasa jadi orang tua paling jahat
sedunia sebab telah menyakiti putra sendiri. Serasa disayat sembilu, tanpa
ampun saya terus saja menyesali kejadian kemarin yang kini begitu sulit
dimaafkan.
Dua
hari menjelang, adik belum juga mampu membuka mata. Apakah itu tandanya masih
ada pasir di mata adik? Bukankah sampai dua kali dibersihkan? Kondisi kelopak
matanya sempurna bengkak dan lebam seperti habis dihantam kepalan tangan. Nggak
tega, hampir setiap melihatnya, saya pun menangis tanpa bisa ditahan.
Lima
hari berikutnya saya menelepon dan mendaftarkan nama adik di rumah sakit yang
sama. Sayangnya, dokter spesialis mata yang menangani hanya praktik sore hari. Menunggu dan melihat adik yang hanya diam dan lebih banyak tidur membuat saya
berpikir keras. Akhirnya saya browsing dan menemukan sebuah komunitas perempuan
yang sedang membahas dokter mata terbaik di Jakarta. Kebanyakan dari mereka
menyebut JEC. Belum paham dan mengerti tapi saya segera mengetik nama yang sama
di Google. Dan muncullah Jakarta Eye Center. Tanpa berpikir panjang, saya pun
menelepon ke JEC Menteng.
![]() |
sumber |
Alhamdulillah,
pagi itu saya bisa terdaftar meski belum punya kartu berobat. Dokter yang saya
pilih saat itu adalah dokter spesialis mata dewasa, dokter Ginting. Pihak JEC
sebelumnya telah mengatakan bahwa sebenarnya di sana menyediakan klinik mata
khusus anak yang artinya ada dokter spesialis yang menangani mata anak. Tapi,
kondisi darurat seperti ini sudah seharusnya saya bergerak cepat. Jika memang
diperlukan, nanti pasti akan dirujuk ke sana. Akhirnya saya tetap datang pagi
itu, dengan perasaan cemas mulai berkurang.
Pertama
kali tiba di Jakarta Eye Center, seorang perempuan cantik berseragam rapi
membantu proses pendaftaran. Prosesnya nggak lama meski rumah sakit itu lumayan
penuh. Adik yang sepertinya sudah trauma dan merasakan keberadaannya di mana,
menangis dan memanggil ayahnya. Ruang tunggu pasien jadi nggak nyaman karena
adik menolak duduk dan sulit sekali ditenangkan. Nggak lama kemudian, kami
masuk ke ruang dokter. Pelayanan yang ramah dan sangat ramah dengan dokter
Ginting yang sangat menghargai dan berkali-kali meminta maaf saat akan
memeriksa adik. Pertama beliau mengatakan ingin memastikan kornea matanya
baik-baik saja. Sebuah alat mirip kawat dipakai untuk tetap menyangga mata
supaya terbuka. Mirip seperti alat yang dipakai untuk membuka mulut saat
melakukan perawatan gigi. Saya sendiri nggak berani melihat saat itu. Tapi,
keadaan jauh lebih tenang. Dokter Ginting bahkan membiarkan adik tetap dalam
pangkuan saya. Beliau malah amat ‘melayani’ sebagai seorang dokter. Nggak lupa
membersihkan tangan sebelum memeriksa. Proses yang nggak saya temukan di rumah
sakit sebelumnya.
Mata
adik semerah api. Pasir masih sedikit tersisa tapi hal utama yang membuatnya
enggan membuka mata adalah kondisi matanya yang penuh goresan dan radang.
Beliau mengatakan itu sangat menyakitkan. Karena merasa tidak seharusnya
menangani pasien anak, akhirnya dokter Ginting merujuk kami ke dokter spesialis
mata anak.
Alhamdulillah, kornea masih baik dan artinya adik insya Allah bisa
melihat lagi jika keadaannya membaik. Lega? Tentu saja. Dan mungkin sikap dokter seperti ini sangat membantu, serta komunikasi yang baik membuat saya
merasa jauh lebih tenang.
Dua
hari setelahnya adik memang sudah membaik, tidur lebih anteng, suhu badannya
normal kembali setelah sebelumnya sempat panas dan membuat saya lemas seolah
roh lepas dari badan. Terbayang sakitnya adek sampai badannya panas, itu
berarti sedang ada radang atau infkesi. Semalaman saat adik suhunya naik, saya
nggak bisa tenang.
Hari
ke-8 saya kembali ke JEC menemui dokter spesialis mata anak. Dokter Florence
yang profilnya sudah saya baca sebelumnya di web resmi JEC. Beliau menangani
bahkan bayi-bayi prematur. Pas masuk ruangan, nggak kebayang sebelumnya kalau
dokter Florence ternyata cantik dan ramah banget. Menjelaskan detail dan nggak
pelit. Beliau bahkan menenangkan dan berkali-kali bilang bahwa darah yang
keluar saat membersihkan mata adik bukan masalah. Nanti akan berhenti sendiri.
Beliau juga memberikan beberapa video dengan kasus yang sama.
Mata
adik dipenuhi goresan kecil. Yang jadi masalah selain rasa sakit adalah benteng
berupa lendir yang menutupi seluruh permukaan mata sehingga membuat dia susah
sekali membuka kelopak matanya. Dokter Florence harus mengambilnya. Adik hanya
dipangku ayah dan saya hanya memegang kedua kaki. Nggak pakai acara keroyokan
segala, kok. Perawat hanya ada satu di setiap ruang dokter. Tidak ramai-ramai
seperti rumah sakit sebelumnya. Peralatan super canggih dan lengkap sekali.
Jadi, pasien nggak perlu dirujuk ke tempat lain sebab JEC sudah menyiapkan
semuanya.
Dokter
Florence menyebutkan jika benteng berupa lendir itu dibuat oleh kuman karena
selama beberapa hari ini, obat tetes mata nggak masuk dengan benar. Antibiotik
minum nggak diperlukan. Hanya disarankan makan-makanan bergizi dan buah yang
mengandung vitamin C supaya goresan di matanya lekas menutup. Jika perlu boleh
dengan minum vitamin C.
Di
sana saya juga diajarkan bagaimana meneteskan obat mata yang benar. Selain itu
beliau juga menjelaskan obat apa yang sebaiknya digunakan oleh anak-anak. Tidak
seperti orang dewasa yang mau diberi obat apa saja seperti salep atau yang
lain. Berbeda dengan anak-anak. Mereka cenderung nggak cocok dengan obat mata
jenis salep karena lengket dan membuat pandangan buram. Obat tetes mata dalam
kemasan botol juga nggak disarankan karena cenderung perih di mata. Sebab
mengandung pengawet yang jumlahnya mungkin jauh lebih besar ketimbang obat
tetes mata yang kemasan kecil dan harus dibuang dalam waktu 3 hari setelah
dibuka.
Jadi,
obat-obat kemasan berupa tabung kecil itulah yang cocok buat anak-anak sebab
tidak terlalu perih di mata. Caranya pun harus pintar-pintar. Nggak sembarangan
masuk, nangis, akhirnya obatnya terbuang.
Setelah
lendir di mata dibersihkan, itulah saat yang tepat buat mengobati supaya
kuman-kuman (Sebelumnya adik memang sudah sakit mata) bisa mati. Asal diobati
dengan benar, insya Allah nggak perlu waktu lama buat sembuh.
Caranya?
Teteskan obat pada sudut mata anak, lalu Tarik kelopak bagian bawah. Sebentar
aja nggak perlu heboh-heboh sampai dipegangin. Alhamdulillah, cara seperti ini
berhasil dan lebih mudah diterapkan ketimbang memegangi adik sampai nangis tapi
akhirnya obatnya keluar sia-sia.
Dokter
Florence begitu cekatan saat menangani adik. Dia berkali-kali bicara banyak hal
dan menjelaskan tanpa henti. Selain itu, beliau juga memberikan kartu nama dan
nomor handphone. Bisa dihubungi sewaktu-waktu jika dibutuhkan. Saya kira,
dialah dokter terbaik yang pernah saya temui selama ini. Nggak banyak dokter yang
bisa senyaman itu bercanda, bicara dan mengedukasi. Nggak banyak. Langka banget.
Alhamdulillah,
proses itu berjalan baik. Saya mengambil obat di apotek. Mengurus administrasi
dengan mudah di lantai dasar. Soal biaya? Memang di JEC biayanya jauh lebih
mahal ketimbang rumah sakit lain. Saya sendiri kurang tahu sebab saya memakai asuransi dari kantor. Tapi, sejauh pengetahuan saat saya
browsing, biaya konsultasi dokter saja mencapai 500 ribu ke atas. Belum
tindakan dan obat-obatan. Tapi, harga yang mahal diimbangi oleh kualitas
pelayan yang amat bagus, membuat saya nggak pernah menyesal telah berkunjung ke
sana. Masalahnya, mata termasuk indra penting bagi manusia. Rasanya kejadian
itu melucuti semua harapan saya. Alhamdulillah, qadarallah Allah mudahkan semua
proses penyembuhan adik meski harus melalui banyak hal menyakitkan.
Keesokan
harinya, pagi-pagi adik pelan mulai membuka mata. Begitu girangnya saya sampai
menangis menatap kedua matanya yang masih menyisakan sembab, bengkak dan
sedikit kebiruan. Nggak percaya, bersyukur dan senang melihat adik akhirnya
kembali membuka mata dan melihat wajah saya. Masya Allah, Nak. Sesuai namamu,
Dhigdaya, sekuat nama yang telah ayah berikan. Allah kuatkan dan Allah lindungi
kamu, insya Allah.
Tapi,
semua kejadian itu membekas trauma mendalam di hati adik. Saat kembali kontrol,
dia bahkan menarik napas panjang ketika berada di ruang dokter dan mulai
diperiksa kembali. Alhamdulillah, semua goresan di mata sudah bersih, warna
bercak putih-putih yang sebelumnya ada sudah hilang. Tinggal pemulihan saja.
Beberapa
hari setelahnya, kedua matanya sudah membaik dan kembali seperti sedia kala.
Saya sebagai ibu merasa amat bersalah dan selalu menangis setiap melihat wajah
adik. Belum lagi sikap adik yang seolah enggan merepotkan, nggak suka
digendong-gendong padahal matanya belum bisa melihat saat itu, sakit yang
dideritanya dia terima sendiri.
Alhamdulillah,
pengalaman terbaik yang saya rasakan ketika berobat ke Jakarta Eye Center. Ayah
yang waktu itu ikut periksa mata sebab sembab di matanya nggak hilang-hilang,
ikutan happy. Biasanya ayah jarang banget memuji dokter. Kebanyakan protes
karena beberapa dokter sebelumnya nggak suka ditanya, cenderung marah-marah dan
nggak ramah. Paling nggak enak, nggak ramahnya ini. Hihi. Sedangkan saat ke
JEC, dokternya super ramah, nggak pelit saat ditanya, bahkan saya yang
sebelumnya sempat membawa catatan pertanyaan jadi urung bicara karena dokter
Florence sudah menjabarkan semua.
Alhamdulillah,
semoga kejadian seperti ini nggak akan terulang lagi di lain waktu. Insya Allah
anak-anak dan kami bisa sehat, menikmati kebersamaan dan ingat selalu bahwa
anak-anak selalu butuh kita sebagai teman bermain dan berbagi.
Be First to Post Comment !
Post a Comment