Sepotong Kue Bolu

Wednesday, June 14, 2017

Sepotong Kue Bolu



Pelan-pelan aku mulai menyadari jika memasak tidak hanya ditentukan oleh bakat. Mungkin saja ibu menurunkan kepandaian memasaknya padaku, tapi jika tak pernah mencoba, semua bakat akan serupa tumpukan pasir tak berharga. Bagiku, pengalaman selama bertahun-tahun menjajal hampir semua menu di dapur, membuat tangan jauh lebih terampil. Sesekali pernah gagal, tapi semangat tak pernah pupus.

Sejak SMA aku suka memasak. Akibat terlalu sering melihat kegiatan ibu di dapur. Kelihaian ibu membuat cake dan roti membuatku semakin penasaran bagaimana menaklukkan jajanan favorit keluarga di rumah. Sejak saat itulah, ibu mengajarkan banyak hal, mengaduk adonan cake, membuat roti lembut serta memasak menu lebaran. Apa pun yang ibu kerjakan, selalu jadi pemandangan menarik untukku saat itu.

Bagi beberapa orang, memasak adalah sesuatu yang membosankan. Padahal, bisa menyajikan sesuatu yang spesial dari tangan sendiri adalah bonus luar biasa. Angga termasuk yang senang mendapatkan bonus-bonus itu dariku.

Ah, sayanganya, tak lama lagi kami akan berpisah. Beberapa waktu lalu, Angga menemuiku. Tak seperti biasa. Dia mengetuk pintu kamar, meminta izin masuk. Aku yang tak terbiasa merasa ada yang janggal.

“Kamu yakin akan menikah?” Tanya Angga sambil menarik kursi di depan meja rias.
Aku tersenyum, mulai mengerti arah pembicaraan kami selanjutnya.

“Memangnya kenapa? Apa Khey masih terlihat seperti adik kecil bagimu, Bang?” Ucapku sambil mencubit lengan Angga. Menahan gemuruh yang tiba-tiba menghantam dinding di hati. Rasanya terlalu menyedihkan, mengingat kami hampir tak pernah berpisah. Angga adalah kakak yang baik. Dia bukan tipe cowok yang malas mengantar adik perempuannya. Berbeda dengan kedua kakakku yang lain. Perhatian Angga justru membuat kami sulit menerima kenyataan seperti ini.

“Nanti siapa yang akan memasak kue untukku, Khey?” Angga menunduk. Memerhatikan kedua kakinya yang sengaja digerakkan ke kanan dan kiri.

“Memangnya abang nggak mau nikah?” Aku tertawa. Lebih tepatnya memaksa tergelak meski terlihat hambar.

“Harusnya aku duluan yang menikah. Kenapa kamu cepat sekali tumbuh dewasa. Rasanya baru kemarin aku mengantarmu ke sekolah.”

Aku tersenyum. Kali ini tak lagi menahan tangis. Kedua sudut mata terlanjur basah. Angga menatapku lama. Menarik napas dan beranjak.

“Izinkan Kheyla menikah, Bang...”

Angga memalingkan wajah, bergegas meninggalkan kamar. Menyisakan ngilu di hati.

Apa yang membuat seseorang terlambat mengerti? Terlalu sayang? Atau karena tak suka sehingga malas memahami? Mungkin kedua alasan itulah yang sedang dialami oleh kakak sulungku. Entah karena terlalu sayang, sehingga membuatnya menolak mentah-mentah pertunanganku dengan Sandi. Atau karena dia tak menyukai Sandi sehingga sampai detik ini tak juga memahami perasaanku.
Beberapa kali kucoba jelaskan, adik bungsunya hanya akan menikah, tidak pergi ke mana-mana. Sesekali akan bertandang ke rumah, bahkan mungkin lebih sering karena Sandi pun mengkhawatirkan kondisi ibu yang semakin tua. Kami sepakat akan menjaga orantua, baik ayah dan ibu Sandi atau pun orangtuaku.

Rumah Sandi pun tak seberapa jauh. Hanya beberapa ratus meter dari tempat tinggal kami. Tentu saja itu tak menjadi alasan kuat bagi Angga untuk menolak pinangan lelaki yang sudah menyukaiku sejak SMA itu. Kami sama-sama sudah dewasa. Sandi sudah bekerja dua tahun lalu sejak dia berhasil menyelesaikan kuliahnya. Ayah dan ibu pun tak pernah mempermasalahkan. Hanya saja, Angga selalu mencari alasan baru. Semakin lama semakin tak kumengerti.

Sungguh terlalu rumit mengingat aku dan Sandi sudah resmi bertunangan sejak tiga bulan lalu. Meski tak setuju, Angga tak bisa berbuat apa-apa. Hanya sesekali menyindirku yang terkesan terburu-buru ingin menikah. Padahal, usiaku sudah dua puluh empat tahun. Harus menunggu usia berapa lagi?
Beberapa kali Angga tak menegur. Bagaimana aku bisa nyaman jika dalam rumah ada orang dekat namun sengaja mendiamkanku? Tanpa sebab yang jelas, tanpa alasan pasti. Kadang dia lebih ketus. Marah ketika aku terlambat pulang ke rumah. Padahal, Jakarta memang selalu macet. Bukan rahasia jika jalanan selalu padat terutama saat jam pulang kerja.

Tapi Angga selalu menemukan pembenaran untuk dirinya. Dengan berbagai macam alasan, dia merasa berhak memarahiku. Ah, kenapa abangku berubah? Aku bahkan hampir tak bisa mengenalinya.

“Kue bolu apa?” Sahutnya dari belakang ketika aku mengeluarkan kue bolu pandan yang baru matang dari oven.

“Rasa pandan. Ini kesukaan abang, kan?”

Angga mengangguk. Tersenyum lebar lalu kembali diam. Kali ini tidak lagi mendiamkanku.
“Abang minta jangan teruskan pertunanganmu, Khey.”

Aku yang tak siap mendengarkan kalimat itu, tersentak dan seketika menatapnya penuh tanya.
“Ada apa dengan abang? Bukankah Kheyla sudah berusaha jadi adik yang penurut? Kheyla juga ingin punya keluarga, Bang. Pernikahan Khey tak akan merusaka hubungan kita sebagai saudara. Kenapa harus dilarang?” suaraku dipenuhi isak. Sedikit mengenai kue bolu yang tergeletak di meja.
“Bagaimana kalau Sandi ternyata bukan orang yang tepat buat kamu?”

Kalimat Angga serupa sembilu menyayat. Angga bahkan lebih mengenal Sandi dari pada aku. Sandi teman satu angkatan saat SMA. Sama-sama menjadi remaja masjid. Tak mungkin jika Angga tak mengenal siapa calon suamiku.

“Ucapan abang sempurna membuat Kheyla sakit. Kheyla pikir abang adalah orang yang paling mengerti perasaan Khey.” Tangis tak lagi terbendung. Butuh waktu lama bagiku agar bisa bicara panjang lebar pada Angga. Sebab tangis menyumpal tenggorokan. Membuat suara tercekat.
Setiap perempuan mendamba pernikahan dengan sang pangeran. Menjadi istri dan seorang ibu adalah impian terindah. Namun, terkadang mimpi itu harus terseok bukan karena sang pangeran yang terlambat datang. Tapi karena halangan lain dari keluarga sendiri. Bagiku ini terlalu sulit. Menikah namun ada yang bimbang bahkan merasa pernikahan kami nanti justru tak bisa menuai bahagia. Dalam keadaan seperti sekarang, aku tak bisa mencari jalan keluar. Sandi sudah memutuskan akan melaksanakan akad dalam waktu dekat meski mengetahui Angga tak pernah setuju dengan hubungan kami. Dia tetap keukeuh ingin kami menikah. Aku masih ragu. Pada akhirnya, malas bicara dengan kedua lelaki itu.

Aku mengusap kedua mata yang basah. Segera memotong kue bolu yang telah dingin. Menaruhnya di meja makan, berharap Angga akan segera menghabiskannya seperti waktu-waktu sebelumnya.
Malam ini, ketika keluar dari kamar, aku menemukan Angga sedang duduk di meja makan sambil mengunyah beberapa potong bolu pandan buatanku. Dia tak memerhatikan kedatanganku. Hanya termangu sambil menatap televisi yang menyiarkan acara sepak bola.

Suasana lengang. Ibu sudah tidur di kamar. Begitu juga dengan ayah. Angga beranjak. Tak menoleh atau bahkan menyapa adik bungsunya ini. Ah, rasanya ingin menangis melihat kakak kesayanganku tak acuh seperti itu.
***

“Bang,” aku menyerahkan boks berisi kue bolu tape keju kepada Angga.

“Apa ini?” Tanyanya penasaran lalu mengambil alih kotak berwarna biru itu dari tanganku. Membukanya pelan sambil mencium aroma wangi yang menguar dari dalamnya.

“Meski sudah menikah, Khey nggak akan lupa membuatkan abang kue bolu. Khey janji akan datang lebih sering,” ucapku sembari tersenyum.

Angga terperangah lantas merangkulku.

"Jaga adikku baik-baik," ucapnya lagi sambil menepuk bahu Sandi, suamiku.

Comments