Sepasang Bola Mata

Thursday, June 8, 2017

Cerpen sepasang bola mata


Sekar tergugu menatap sepasang bola mata mungil yang biasa berpijar namun kini nampak suram. Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?

Beberapa hari yang lalu, Bhumi masih berlarian. Mengitari ruang tamu, menuju dapur dengan tergesa sambil membawa beberapa lego yang sudah dirangkai, memanggil nama Sekar dengan panggilan kesayangan, menyodorkan mainan yang katanya adalah sebuah kamera. Dengan hangat Sekar memeluk putra bungsunya, “Bagus, Bhumi hebat!”

Di lain waktu, gelaknya bersama sang kakak terdengar tanpa henti. Biasanya Bhumi sedang bermain petak umpet sambil cekikikan. Sekar dengan senang menatap kedua putranya sambil mengelus dada. Terkadang mereka terjerembab. Tak terlalu hati-hati. Jika dilarang, mereka mengacuhkan sebab terlalu asyik bermain. Sekar selalu was-was melihat tingkah laku mereka. Melarang bukan hal baik, tapi membiarkan serasa jantung mau copot.

Sang kakak tak kalah aktif, naik ke atas kursi dan melompat tinggi-tinggi tanpa rasa takut. Sekar sering gelagapan melihatnya dari jauh. Memekik dan dibalas tawa renyah tanpa rasa bersalah. 

Memiliki dua anak laki-laki bukanlah hal mudah. Terlebih saat dia harus mengurus semuanya sendiri tanpa bantuan asisten rumah tangga. Kakek dan nenek pun terlampau jauh untuk dimintai tolong. Lagi pula, ini sudah jadi keputusan Sekar sejak awal, mengurus semuanya sendiri.

Bukannya tak pernah mengeluh, hanya saja wanita dua puluh lima tahun itu masih merasa mampu melewati semuanya dengan baik. Meskipun dengan kerja keras. Ya, setidaknya dia merasa lebih puas bisa mengawasi dan melihat tumbuh kembang buah hatinya.

Namun, kejadian sore itu benar-benar menyentak. Kedua kakinya tiba-tiba lemas. Lengkingan tangis dari suara yang sangat dia hafal. Dia bergegas menuju tempat di mana kedua putranya bermain sejak sore itu.

Si sulung bergeming. Menggeleng meski tak seorang pun bertanya. Dia memaksa menjawab walaupun tak seorang pun ingin mendengar karena kekhawatiran lain jauh lebih besar ketimbang hanya sebuah jawaban atau anggukan kecil.

Terlambat! Sekar terlambat hadir di antara rinai tawa yang baru saja terdengar. Seketika berubah derai tangis memilukan.

“Jika bisa, biarkan bunda yang menanggung sakitmu, Nak!” Pekik Sekar sambil memeluk tubuh bungsunya.

Anak dua tahun itu bergeming. Setelah menangis, dia tak banyak bersuara. Menggigit bibir bawah sambil menahan sakit yang amat menyayat. Siapa yang bertanggung jawab atas kejadian malang sore itu?

Tentu saja Sekar adalah orang pertama yang menyalahkan dirinya sendiri. Harusnya dia menjaga anak-anaknya dengan baik bukan malah sibuk di dapur. Dia pikir, mereka akan tetap aman. Toh selama ini mereka sering melakukannya. Namun, musibah datang tanpa diduga. Memaksa siapa pun seketika siap meski rasanya raga tak lagi menyentuh tanah.

Apa yang harus dia lakukan? Tak ada dokter yang praktek saat tanggal merah. Sekar memilin perasaan sambil mengusap matanya berkali-kali. Dia bahkan lebih sering menangis ketimbang si bungsu. Merasa menjadi orang paling jahat di dunia. Bagaimana bisa kejadian itu menimpa anaknya?

Semakin merintih ketika wanita bertubuh mungil itu menatap Bhumi yang sedang duduk di lantai dengan pasrah. Mengaduk-aduk segelas es buah yang hendak disajikan untuk berbuka namun akhirnya berakhir duka. 

“Buka mata, Nak!” 

Bhumi tak merespon. Satu kedipan saja akan membuat matanya amat sakit. Dia menahan kuat supaya kelopak mata tak bergerak. Menggigit bibir dan menarik napas panjang. Suara tangis terdengar berkali-kali, mengeluh sakit dan kebingungan yang sama di hati Sekar serta suaminya. Apa yang harus mereka lakukan? Hanya menunggu dan diam? Bukankah menatap buah hati yang kesakitan tak jauh berbeda dengan melukai diri sendiri?

Sepasang bola mata itu, kemarin masih berbinar ketika melihat ayahnya datang di senja yang semakin pudar. Tawanya menghangatkan seisi rumah. Langkah kecilnya terdengar menghentak berkali-kali. Sekarang, pemiliknya hanya duduk dan diam. Mengeja satu demi satu rasa sakit yang datang tanpa henti.

Berkali-kali Sekar meminta maaf, namun semua itu tak membawa kembali waktu yang sudah lewat. Rasanya ingin marah, kenapa dia mengizinkan kedua anaknya bermain pasir di taman dalam rumah? Ruangan kecil yang menembus langit itu selalu menjadi tempat favorit. Tapi, sore itu bukan hal baik mengizinkan Bhumi yang sedang sakit mata bermain di sana bersama kakaknya.

Cipratan serpihan pasir mengenai kedua mata bungsunya. Siapa yang salah? Si sulung tentu tak mau disalahkan karena dia merasa tak melakukan apa pun. Sedangkan Bhumi? Apa yang mau ditanyakan pada bocah dua tahun itu? Dia bahkan malas mengingatnya.

Serpihan pasir membuat matanya susah dibuka. Alasan tanggal merah membuat orangtuanya urung membawa ke rumah sakit. Sepanjang malam, bocah yang biasanya selalu tertawa itu hanya merintih, menyusu dan lebih banyak terbangun.

Sekar beberapa kali menyeka ujung mata Bhumi. Sedikit pasir tersisa di ujung tisu. Lama-lama ibu rumah tangga itu mual. Matanya bahkan langsung berair ketika terkena debu, lalu bagaimana dengan Bhumi yang terkena pasir? Apalagi dengan kondisi mata bengkak karena konjungtivitis sejak beberapa hari lalu. Itu pasti sangat menyakitkan. Sekar hampir tak lelap hingga fajar tiba.

Pagi-pagi sekali, wanita dua anak itu tergesa menuju UGD rumah sakit terdekat. Menjelaskan dengan terbata pada pegawai rumah sakit. Dijawab dengan keterkejutan serupa. Mereka angkat tangan dan merujuknya ke dokter spesialis mata. Itu artinya, Bhumi harus menunggu lebih lama lagi karena dokter baru praktik pukul sembilan pagi. Terlalu lama, batin Sekar.

Namun, tak ada pilihan lain. Dia akhirnya duduk di ruang tunggu setelah menyelesaikan pendaftaran dan mengurus asuransi. Tak ada yang bisa dilakukan selain menangis. Berkali-kali wanita bermata sembab itu mengusap kedua matanya. Menyembunyikan kepedihan dari tatapan beberapa orang yang berada di dekatnya. Bhumi menahan kedipan mata, sesekali menangis kesakitan. Waktu terasa amat lambat. Hingga akhirnya, nama putra bungsunya pun disebut.

Ruang dokter yang jauh dari lengang. Beberapa dokter praktik ikut mendengarkan cerita memilukan itu. Dokter mata segera mengambil tindakan. Memeriksa dan menarik kelopak bagian dalam. Pasir-pasir mulai terlihat. Dan detik itulah, lengkingan tangis Bhumi terasa lebih menyakitkan ketimbang goresan sebuah pedang.

Tak ada perubahan berarti selain kedua mata yang semakin bengkak setelah tindakan. Dokter itu berpesan, jika belum membuka mata, bisa dipastikan masih tersisa pasir di dalamnya. Ah, harusnya sudah bersih. Kenapa harus bersisa? Apa tak bisa dilakukan sekali saja? Bukankah itu sangat menyakitkan terlebih untuk anak usia dua tahun?

Namun, harapan untuk kembali melihat seolah diperlambat waktu, esoknya pun belum ada tanda-tanda Bhumi membuka mata. Apa harus kembali ke dokter lagi? Sekar mulai ragu. Rasanya tak sanggup mengulang kejadian yang sama di ruang dokter kemarin. Bhumi dipegangi beberapa orang. Berontak dan menangis keras. Sekar merasa tak mampu melakukannya lagi.

Tapi, anak itu masih terlihat kesakitan saat berkedip dalam gelap. Sesekali dia menangis dan mengeluh sakit. Sekar mencoba menata hati. Ini bukan keputusan mudah, sebab menyangkut organ penting dalam tubuh bungsunya. Sore itu, dia memutuskan kembali. Dan benar saja, beberapa pasir belum juga meninggalkan mata bungsunya.

Lima hari bukan waktu sebentar melihat sepasang bola mata lebam dan bengkak selalu tertutup. Di mana pandangan penuh binar itu, Nak? Apa yang sedang kamu pikirkan? Kenapa tak juga membuka mata? Apakah masih ada pasir atau trauma berlebih dalam dirimu? Sekar terlalu banyak menangis, menahan gemuruh penuh kepedihan yang sulit sekali disingkirkan. Setiap kali melihat sepasang bola mata terkatup, dia pun menyusulnya dengan gerimis yang semakin deras. Sampai kapan dia menunggu? Setiap pagi, dia menaruh harapan setinggi langit, berharap sepasang bola mata itu kembali berpijar dengan indahnya. Tapi, hingga hari kelima, harapan itu semakin menguap. Tak terjawab.

Pagi itu, Bhumi tampak lebih pendiam. Hanya memeluk guling kecil sambil sesekali bernyanyi. Keriangan sedikit muncul. Tapi, sepasang bola mata itu tetap terkancing rapat. Sekar tanpa sabar sudah menelepon rumah sakit terdekat yang sudah dua kali dikunjunginya bersama Bhumi. Harapan bisa segera kembali pada dokter akhirnya pupus. Dokter praktik sore hari itu. Sekar menarik napas. Bagaimana dia bisa berdiam menunggu sore sambil melihat kegelisahan yang tak kunjung usai setiap kali melihat bungsunya?

Sebuah keinginan besar tentu akan berbuah manis. Letupan rasa bersalah dan keinginan segera mengobati Bhumi membuat wanita itu akhirnya mendapatkan kabar baik. Sebuah rumah sakit mata bertaraf internasional yang berada di kawasan Mentang dihubungi. Benar saja, dia sudah bisa datang hari itu meskipun dokter spesialis mata anak sedang kosong. Terlalu lama menunggu esok, pikirnya. Dia bergegas dengan sisa harapan yang mulai melambung. Dia yakin, anaknya akan baik-baik saja.

Hampir satu jam perjalanan, Sekar dan putra bungsunya disambut seorang satpam ramah. Dia bergegas masuk dan mengisi pendaftaran serta mengurus asuransi. Rasanya, tak sabar segera masuk ke ruang dokter. Hanya saja, sikap Bhumi yang tiba-tiba berubah membuat wanita itu lunglai seketika. Bhumi tak ingin menunggu, bahkan dengan mata tertutup dia menolak duduk. Memanggil ayah dan ayah. Menangis tiba-tiba. Dia trauma luar biasa dengan suasana rumah sakit yang bahkan sejak kemarin tak bisa dilihat namun sangat tajam diingat.

Nak, apa yang kamu rasakan? Sekar menunduk dan memerhatikan sepasang bola mata yang masih terkatup. Mata itu masih saja memilih bungkam. Tak ingin tersenyum sedikit pun. Meski dokter terakhir memastikan kedua matanya sudah bersih, namun goresan dan rasa sakit masih tersisa. Itu menjadi sebab kenapa putra bungsunya masih tergugu dalam gelap.

Bhumi tak banyak bergerak. Hanya tidur di kasur atau sekadar bernyanyi ria. Meskipun dalam pandangan terbatas, anak lelaki itu tetap sumringah, merasa matanya tak lagi sakit. Hanya saja, menunggu sembuh bagi Sekar terasa lebih lama ketimbang waktu dia hamil serta membesarkan putra bungsunya selama ini.

Menjadi seorang ibu tak bisa hanya memiliki naluri, harus bermental baja dan melambungkan harapan penuh kebaikan setinggi langit. Jika tak ingat dia seorang ibu, mungkin sejak lama Sekar menyerah.

Comments