Kisah Secangkir Kopi

Sunday, May 28, 2017

Cerpen Kisah secangkir kopi


Aku nyaris meninggalkan kedai kopi di daerah Menteng, andai saja Ririn tak segera muncul. Dia sudah membuatku menunggu terlalu lama. Tiga puluh menit bukan waktu sebentar apalagi saat berada di kedai kopi yang ramai pengunjung. Rata-rata mereka datang bersama sahabat atau bahkan pacar. Sedangkan aku? Bisa dibayangkan, duduk sendirian di dekat jendela demi menatapsunsetdi sore hari, berharap jendela kaca itu cukup jelas menangkap bayangan Ririn yang sudah membuatku kesal. Tapi nyatanya, hingga secangkir espresso pesananku hampir tandas, Ririn belum juga menampakkan batang hidungnya. Entah di mana dia sekarang.


Lima belas menit sebelumnya, dia sempat mengirim pesan singkat. Katanya jalanan ibu kota macet parah. Dia tak bisa berkutik. Berada di dalam taksi, tak bisa belok kanan apalagi kiri. Di sekelilingnya dipenuhi kendaraan bermotor. Di depannya berbaris puluhan kendaraan roda empat yang mulai ribut membunyikan klakson.

Awalnya aku tersenyum membacanya, Ririn pasti jauh lebih jenuh dariku. Tapi, lama-lama aku juga suntuk. Menyapu pandangan ke sekeliling, tak ada seorang pun yang kukenal. Akhirnya, tanpa berpikir panjang, aku pun beranjak.

Beruntung, sebelum aku benar-benar meninggalkan tempat duduk, Ririn segera muncul di ambang pintu, melambaikan tangan dan berlari kecil sambil menjinjing rok berwarna gelap yang menutupi mata kaki.

“Maafin aku, Ta. Jangan marah, ya? Kamu manis, deh!”

Aku kembali duduk dengan wajah terlipat, mengusap pipi yang panas karena cubitan kecilnya.

“Terlambat lima menit wajar, Rin. Kalau setengah jam bukan telat namanya.” Ucapku ketus.

“Aku kan udah minta maaf, Ta,” ucapnya memelas.

Kali ini aku maafkan, “Ya…ya. Kamu boleh traktir aku hari ini.”

Ririn mendelik. Bibirnya manyun persis ikan mas koki. Aku tertawa.

“Lalu, apa yang bisa aku bantu, Ta? Mencarikan jodoh buat kamu?” Ririn terkikik. Puas sudah meledek.

“Aku masih waras, Rin. Nggak mungkin nyuruh orang jomblo mencarikan aku jodoh.” Kali ini gantian aku yang menertawakan. Dia membalas cubitan kecil di lenganku.

Dulu, kami disebut sahabat sehidup semati. Karena selalu bergandengan ke mana pun pergi. Di mana ada aku, di situ ada Ririn. Kami merasa sangat cocok, Ririn yang jahil dan konyol namun bisa serius. Sedangkan aku yang lebih bawel bahkan ketus. Tak jarang kami sering ribut. Tapi, itu bukan masalah besar. Keributan kecil seperti sore ini tentu bukan alasan buat kami saling menjauh.

Mencari teman banyak memang mudah. Bahkan saat SMA hingga masuk perguruan tinggi, aku punya banyak kenalan. Namun, mereka tak lebih dari sekadar teman ketawa ketiwi. Belum pernah ada yang seperti Ririn. Yang mengerti hitam putih dalam diriku. Memahami jatuh bangun serta perjuangan mempertahankan prinsip semisal saat tiba-tiba aku memutuskan untuk berhijab. Orang pertama yang menyetujui tanpa mempertanyakan alasan hanyalah Ririn, sedangkan keluarga justru mencari lebih banyak alasan saat melihatku menutup aurat. Mereka khawatir aku lepas tutup. Lantas khawatir dicibir oleh orang lain. Ah, entahlah. Aku tak mengerti kenapa sebuah kebaikan yang dimulai dengan tulus harus selalu dipertanyakan kenapa dan kenapa? Bukankah lebih baik mendukung dan mengiyakan supaya semangat yang sudah membara tak berubah arang dalam sekejap?

“Kamu berubah ya, Ta?”

Aku mengeryitkan dahi lantas menaikkan sebelah alis dan menanyakan maksud pertanyaannya barusan. Sepertinya tak ada yang berubah dariku. Beberapa bulan dan tak bertemu, Ririn bahkan sudah mulai pangling. Apa karena aku memakai pemerah bibir yang kuoles tipis sebelum berangkat?

“Penampilanmu sudah jauh lebih...” Ririn menghentikan ucapannya lantas menunjukku dengan gaya menilai, “lebih dewasa dan jibabmu itu,” sekali lagi dia diam.

Mataku terbeliak lantas menutup mulut dengan telunjuk, “Sssst…Apa sih, Rin.”

Aku tertawa lantas memesan secangkir kopi yang sama untuknya. Sejak beberapa bulan terakhir, aku mulai merubah tampilan hijab yang awalnya hanya sekadar menutup kepala menjadi serupa sahabat yang sedang duduk di depanku, Ririn.

“Sejak kapan kamu?” Ririn kembali mempertanyakan.

Aku tersenyum lantas menemukan seutas senyum serupa dari kedua bibirnya.

“Aku bahagia banget melihat kamu seperti ini, Ta!” Serunya tanpa ragu lantas menarik pergelangan tanganku.

Aku juga merasa lebih bahagia seperti ini. Sejak awal, aku bahkan tak terlalu paham untuk apa memakai hijab. Hanya sebab kewajiban atau adakah manfaat lainnya? Lama-lama aku merasa penasaran dengan gaya berhijab Ririn yang jauh dari kata populer apalagi fashionable.

Seperti hari ini, ketika mataku tanpa sengaja menemukannya di depan pintu kedai, seorang gadis berhijab lebar dengan gamis longgar berwarna senada, begitu menarik namun tak sedikit pun berlebihan. Ririn melambaikan tangan dan dengan senyum hangatnya segera berlari menemuiku. Meminta maaf dan segera merayu.

Dia belum juga berubah. Sederhana, apa adanya. Sesuatu yang kukira dulu akan segera tergerus waktu. Setelah keluar dari perguruan tinggi, kupikir dia akan berubah jadi wanita dewasa yang modis. Nyatanya dia tetap sama.

Suatu kali aku pernah menanyakan, kenapa kita harus menutup aurat dan memilih berhijab sedangkan di luar sana banyak muslimah bahkan tak sungkan membuka aurat?

Dia menjawab antusias, “Sebab berhijab adalah sebuah kemuliaan yang Allah berikan kepada kita. Dengan hijab, kita terlindungi dari berbagai pandangan buruk. Hijab berfungsi menutupi bukan menarik perhatian.”

Aku sempat terperangah sebab sebelumnya merasa hijab menjadi salah satu cara terbaik untuk eksis. Bukan karena aku ingin populer dengan hijab, namun pemandangan yang terpampang di depan mata mengatakan hal serupa.

“Jadi, alasan apa yang mempertemukan kita sekarang? Kamu kangen?” Ririn terkikik lantas menyesap espresso yang baru diantarkan oleh pramusaji.

“Aku mau menikah.”

“What? Dengan siapa?” Ririn terlonjak kaget lantas tersenyum dengan rona bahagia.

“Dengan mas Arya, senior kita.”

Untuk beberapa saat aku melihatnya tertegun lantas tersenyum pasi.

“Itu kabar bahagia, Ta. Aku senang mendengarnya.”

Suasana beku kembali mencair. Tanpa ragu aku pun mulai menceritakan pertemuanku dengan mas Arya yang terbilang singkat. Lamaran dan menentukan tanggal pernikahan yang berselang tak lebih dari tiga bulan.

“Datang ya, Rin.” Ucapku sungguh-sungguh sambil tersenyum hangat. Benar-benar mengharapkan kedatangannya di acara bahagiaku nanti.

Langit berubah senja. Satu jam berada di kedai kopi bersama Ririn membuatku sedikit lega. Pertemuan pertama setelah sekian lama hanya berbalas pesan singkat lewat handphone dan media sosial. Rasanya rinduku terobati sudah.

***


            Rasanya tak mudah mendengar sahabat akan menikah dengan orang yang dulu sempat mampir dalam kehidupanku. Ya, Tata bukan lagi sekadar teman, dia lebih dari itu. Aku sudah menganggapnya saudara. Dia memang terkesan ketus dan disiplin, namun sebenarnya orangnya baik dan hangat.

Mas Arya sempat berniat meminangku. Hingga penolakan orangtua membuatnya segera mundur. Mungkin apa yang Tata ucapkan benar adanya. Jodoh memang tak bisa dipaksakan. Dia datang tanpa persetujuan dan mencari pelabuhannya tanpa pernah bisa ditebak. Sekarang, aku harus menyiapkan diri dan hati saat tiba di resepsi pernikahan mereka. Menyembunyikan perasaan yang sebenarnya masih sama. Ah, mungkin ada orang yang lebih baik yang sedang Allah siapkan untukku…

***


            Kedua gadis berhijab lebar itu meninggalkan kedai dengan secangkir kopi yang sudah tandas. Membawa perasaan dan cerita berbeda…


Comments